CHAPTER 1 : Chapter 1 Of 1 - One Shot - I Order You
“Hari ini fanmeet loh, Ca!” “Apaan sih, berisik tau”, balasnya. “Bilang aja sebel gara-gara kehabisan tiket,” balasku sambil meledeknya. “Dieeem, Anja!!” Kenalin namaku Anja. Hari ini aku sibuk banget nyiapin banner dan kawan-kawannya buat dibawa ke fanmeeting. Yap! Bener banget, fanmeeting GOT7 bakal diadain hari ini. Rasanya udah nggak karuan, antara seneng, terharu, seneng banget, dan terharu banget. Sedihnya, temen seperjuanganku justru nggak bisa ikutan fanmeeting kali ini, karena Caca – Ahgaase seperjuangan aku – kehabisan tiket. Dewi Fortuna kayanya emang lagi berpihak sama aku, karena ketika verifikasi final selisih satu detik aja bisa-bisa aku nggak dapet tiket. Kota Kasablanka penuh sama antrian Ahgase untuk masuk, tapi aku udah antisipasi: 1. Bawa kertas buat duduk. 2. Bawa minum yang habis sekali minum. 3. Pake kaos putih polos supaya nggak gerah. 4. Bawa kipas tangan dengan gambar Mark, biasku di GOT7. 5. Banner “Get well really soon, Mark!” Semuanya berjalan lancar, seru, dan penuh kejutan. Kejutan yang paling nyebelin adalah ketika GOT7 tiba-tiba narik Ahgase dengan nomor tiket tertentu. Aku berdiri di paling belakang karena emang tiket yang aku beli termasuk golongan yang paling murah, awalnya aku pikir emang kesempatan buat jadi Lucky Ahgase emang nol. Hal yang bikin melongo sekaligus sebel adalah fakta bahwa bapak-bapak yang sebenernya cuma nemenin anaknya dan berdiri di sebelahku adalah salah satu Ahgase yang beruntung tapi beliau nggak mau maju ke panggung dan Lucky Ahgase nggak bisa diwakilkan oleh anaknya. Penutup fanmeeting kali ini, GOT7 nyanyi Confension Song bareng dengan Ahgase walaupun Mark cuma duduk karena bekas operasi di perutnya belum sembuh total tapi semuanya bener-bener berkesan dan spesial. Lengkap sudah 22 tahun hidupku setelah ketemu GOT7. Aku menyimpan note itu di ponselku. Tidak ada kegiatan yang boleh terlewat karena bisa jadi ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. “Halo?” “Anja, gimana? Gimana? Udah kelar kan?” tuntut Caca dari seberang via telepon. “Udah. Nanti deh gue ceritain, ini gue lagi buru-buru keluar supaya nggak desek-desekan waktu baliknya.” “Emang lo di section mana?” “Di section paling belakang sih, tapi gue nggak mau ribet aja.” “Terus sekarang lo dimana?” “Gue ini lagi ngejar lift. Hah akhirnya masuk lift. Nanti gue tele-“ “Halo? Anja? Lo gapapa kan?” cecar Caca dari telepon yang masih terdengar samar di telingaku. Entah darimana tiba-tiba ada sosok yang membungkam mulutku dari depan dan dengan gesit dia masuk ke dalam lift lalu memposisikan dirinya di belakangku. Sekilas aku ingat orang itu berperawakan laki-laki dan mengenakan hoodie hitam dengan masker. Lift kosong. Aku baru sadar ketika pintu lift menutup setelah beberapa detik tercengang dengan kejadian yang begitu cepat. Saat akalku mulai kembali aku berpikir memberanikan diri untuk melawan karena melawan atau tidak semuanya akan berakhir sama. Dug. Aku menyikunya sekuat tenaga dengan tangan kiri dan dengan cepat memeriksa ponsel yang ada di tangan kananku untuk meminta bantuan. Setelah waktu yang terasa begitu singkat aku melihat ke arah laki-laki itu untuk memastikan. Benar-benar di luar ekspektasiku, laki-laki itu langsung jatuh tersungkur setelah aku menyikunya padahal aku sudah berpikir bahwa dia begitu kuat dan akan melawan lagi tapi ketika melihat wajah laki-laki yang sekarang terbaring di lantai lift aku seketika ketakutan. Benar-benar takut. “Gimana kalo kena lukanya?” “Ya Tuhan, gue harus gimana?” kataku pada diri sendiri dan panik. Laki-laki yang berhoodie hitam dan memakai masker itu bukan penjahat. Dia Mark. Mark. M. A. R. K. Aku bukan terkejut karena dia adalah biasku, tapi aku sudah membuat keadaan Mark memburuk. Aku menyikunya tepat di perut sebelah kiri yang mana sedang dalam pemulihan setelah operasi lambung karena diet ketat sebelum fanmeeting dan menjelang comeback. Seketika karena paniknya, aku lupa kalau aku adalah calon dokter. Ya, aku mahasiswi kedokteran. Panik benar-benar membuat pikiranku buyar. Belum lagi rintihan kesakitan Mark yang samar-samar terdengar walaupun sudah berusaha dia tahan. “Mark, are you ok?” “It hurts right here.” katanya sambil menujuk perutnya. Tarik napas. Buang. Tarik napas. Buang. Aku mulai mensugesti diriku untuk tidak panik dan tenang. “I’m a medical student. Lemme check your wound. I’m really sorry.” “It’s okay. It’s my fault. I scare you.”, balasnya sambil merintih ketika aku melihat ada sedikit darah merembes dari jahitannya. Sambil memeriksa aku menanyakan padanya tentang keberadaan member lain, manager, dan staff, sayangnya dia benar-benar tidak tahu di mana mereka semua berada. “I was chased by sasaeng.” “I was from the toilet and just about to get to the changing room when she suddenly pulled out a knife and threatened me. I just kept running and I saw the lift.”, cerita Mark. “Call your manager then.” “I guess I left my phone at the changing room.”, jawabnya sedikit meringis kesakitan. “It’s done. Still hurt?” Mark menggeleng dan tersenyum tipis menyadari bahwa aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Meski tidak sepenuhnya untuk mengalihkan perhatiannya. Selama dia bercerita aku diam-diam sedikit menekan jahitannya agar darahnya behenti. Kejadian ini terasa begitu lama, padahal semuanya hanya terjadi di dalam lift dari lantai 3 ke lantai Ground. Keluar dari lift aku menyuruhnya untuk bersandar sebentar di dekat lift dan berpesan agar jangan sampai ketahuan bahwa dia adalah Mark. Tak lama, aku dapat taksi dan perlahan aku memapahnya berjalan ke arah taksi. “Hospital?”, tanyaku. “Is it okay? What if-“ “I’ll take you to someone I know.”, kataku meyakinkannya. Membawa Mark ke rumah sakit memang bukan ide yang bagus, tapi itu lebih baik daripada membiarkan dia kehilangan darah sedikit demi sedikit sementara aku belum bisa menemukan cara menghubungi member atau staff karena Mark bisa saja kehabisan darah atau pingsan ketika aku mencari mereka. Aku mencoba menelepon dokter kenalanku yang aku yakin bisa menyembunyikan identitas Mark. Aku bahkan tidak yakin beliau tahu siapa Mark. Dewi Fortuna belum pergi, dia masih mendampingiku karena dokter mengatakan bahwa beliau telah selesai praktik dan ada sedikit waktu luang untuk memeriksa pasien yang sudah aku sebut sebelumnya di telepon. Tidak butuh waktu lama untuk pemeriksaan, untungnya semuanya baik-baik saja. Pendarahan dalam dihentikan dan Mark mendapat jahitan ulang. Dokter mengatakan bahwa Mark baik-baik saja dan bisa langsung kembali. Tunggu.. kembali? “Gue harus balikin Mark ke mana?” “Huh?”, Mark bingung dengan ekspresi frustasiku. Kami terdiam cukup lama sambil saling pandang di ruang praktik dokter tadi meskipun dokter telah berpamitan pulang. Terdiam dan berpikir. Aku yakin Mark tidak mengerti bahwa aku kebingungan. Aku juga tidak yakin tentang apa yang saat ini Mark pikirkan. “Mark, it’s not possible to take you home but it’s impossible if I leave you, isn’t it?” “You can’t leave me.”, jawabnya sedikit kesal. “It’s impossible for us to go back to the venue. They probably already leaving.”, imbuhnya. Rumah tinggalku saat ini adalah asrama khusus perempuan, sangat tidak mungkin membawa Mark ke asramaku. Meninggalkan Mark juga tidak mungkin karena dia tidak tahu Jakarta. Belum lagi dia pasti akan mudah dikenali. “Ca-“, gumamku sambil melihat ponselku. “Ca.. Gue harus gimana?”, aku sedikit berteriak pada diriku sendiri saat menyadari layar ponselku sudah tidak terselamatkan. Baterai ponselku tanpa aku sadari sudah habis dan ponselku mati. Aku sedikit menyesal karena tadi merekam video terlalu banyak sehingga aku kehabisan baterai saat sedang sangat membutuhkannya. Penyesalanku tidak berlangsung lama ketika sadar bahwa ada sepasang mata yang mengintip dari balik gorden yang semi transparan. “Mark, let’s go. I think someone recognize you.”, kataku sembari menyambar dan menggenggam tangannya. Mark tanpa protes mengikuti jalanku yang sedikit berlari sambil menunduk. Tanpa pikir panjang aku langsung naik taksi dan- “Pak, ke Ritz-Carlton.” Sepanjang perjalanan aku dan Mark hanya berbagi kebisuan karena aku mulai sadar bahwa aku sedang menolong atau disebut membawa lari seorang Mark jika mereka tidak tahu cerita sebenarnya, dan Mark.. aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan sambil merawang jalanan yang dilalui lewat kaca jendela sampai kami tiba di hotel tersebut. “Tabungan gue langsung abis gara-gara bias. Emang ya cinta butuh duit.”, gerutuku pada diri sendiri setelah membayar tagihan hotel. “Room 1234, Mark. Follow me.” “Sorry, I can’t afford the best one.”, ucapku padanya. Mark hanya tersenyum penuh arti seolah mengatakan bahwa semuanya tidak apa-apa. Aku yang sudah mendapatkan kembali akal sehatku justru tidak dapat berpikir lagi. Dia adalah biasku. Aku saat ini sedang berjalan dengannya, berbicara padanya, dan bahkan membantunya, kecuali kejadian aku menyikunya tadi. “Where did you get that charger?”, tanyanya sambil duduk di sofa kamar. “I borrowed from the receptionist.”, balasku sambil mencoba menyalakan ponselku. “You should rest. You need to take a rest. It’s been a really long day. You must be so tired, Mark.” “I’ll find a way.”, imbuhku. But I don’t want to leave. I want to stay. - Mark “I will sleep. The medicine makes me sleepy.”, katanya. 10 menit keheningan benar-benar membuatku merasa begitu sendiri. Ada Mark, ada sejuta perasaan bahagia karena bertemu dengannya, ada milyaran rasa sedih karena akan berpisah dengannya, dan ada rasa aneh yang baru kali ini ada, seperti menggelitik, di balik tulang rusuk yang sudah 22 tahun bersamaku. “Who are you?”, katanya tiba-tiba setengah tertidur. “Anja, Mark. Remember me.” “I’m laying, not gonna sit tho.” -- “Dia ada di mana?” “Dia sudah pulang. Kamu tidak apa-apa?”, tanya Managernya. “Huh? Y-ya. Aku baik-baik saja.”, jawab Mark. Samar-samar terdengar suara ribut dari duo Bambam dan Jackson dari ruang tengah kamar hotel itu, membuat Mark segera bangkit dari tidurnya dan menghampiri mereka. “She really spam in my posts, my dm, and she even tagged my fansites. She’s really crazy.”, Bambam bercerita. “She capslocked every single letter. I was so shock when I open my instagram. I thought she was just joking around but then she sent Mark-Hyung picture. I asked her the location and she sent me the address.”, Jackson menimpali dengan lebay. “Mark, why?”, tanya Bambam saat menyadari Mark berdiri dan terdiam sembari mereka bercerita. Mark hanya menggeleng. “She took picture with us but Mark-hyung. She should took one with him.” “Maybe, he is not her bias.”, timpal Bambam. “What’s her username?”, tanya Mark. “Manager-hyung asked her complete identity. They were suspicious with her.” -- Instagram Direct Message @mark_tuan : hi! How’s life? @anja_tuan98 : OMG! IS IT REALLY YOU?! @mark_tuan : haha @mark_tuan : ur username make their suspiciousness worse @anja_tuan98 : what? @mark_tuan : are you busy? Send loct pls @anja_tuan98 : what for? @anja_tuan98 : mark? @anja_tuan98 : u left already? @anja_tuan98 : *location sent: Jakarta* -- “Ngapain woy!” “Apaan sih, Ca. Ganggu aja.”, balasku sebal. “Move on!!!! Udah berapa bulan coba.” “Nggak bisa, Caca!!!!” Hari-hari perkuliahan masih sama membosankannya seperti 3 tahun belakangan ini, tentunya kecuali satu hari saat aku menghadiri fanmeeting GOT7, ah, lebih tepatnya saat aku bersama dengan Mark selama 6 jam. 6 jam yang memorinya tidak mau hilang dari ingatan. 6 jam yang membuat aku menghabiskan hari-hari setelahnya dengan melamun dan melamun. 6 jam yang mengizinkanku melihat wajah tampannya ketika tertidur pulas meski sebentar saja. Ponselku bergetar. “Apa sih, Ca? Barusan kan ketemu, ngapain telepon?” “Hello, is this Anja?” “Huh?”, aku bengong karena aku tahu ini bukan Mark. Aku bengong karena aku berharap sosok yang berbicara di seberang sana adalah Mark. “Who-“, baru saja aku akan melanjutkan tapi dipotong oleh suara seberang. “I’m Tammy. Are you busy? I’m at Soekarno-Hatta Airport. I really lost.” “Huh?” “I want to surprise you but it seems it’s already failed.”, lanjut Tammy Tanpa pikir panjang aku langsung menanyakan di mana Tammy sekarang berada. Aku tidak sempat mengisi daftar kehadiranku di kelas tadi. Senang atau sangat senang, aku berulang kali bertanya dalam hati. Sesampainya di airport aku segera menuju kafe yang tadi Tammy sebutkan dalam percakapan kami di telepon tapi nihil. Tidak ada Tammy di situ, kafenya benar-benar kosong dan tidak ada yang tahu ketika aku menanyakan pada para pegawai. “Tammy, where are you?” “Oh, hotel. I’m in hotel.” “I see. Have a fun holiday, Tammy.” Aku menutup telepon. Sedih atau sangat sedih, aku lagi-lagi menanyakan pertanyaan itu berulang kali pada diriku. Ketika air mataku sudah mulai mengintip di ujung pelupuk mata tiba-tiba aku merasakan tangan yang hangat menggenggam tanganku dari belakang. Seseorang memelukku dari belakang dengan tubuh hangatnya. “Hoodie hitam lagi?”, gumamku. “Is that-“, kata-kataku terputus lagi. “Hi, I’m Joey!”, sapanya ramah. “Oh h-h-hi.” Bukan Mark. Aku mengutuki diriku sendiri karena begitu gila akan harapanku sendiri. Saat-saat seperti ini bukan akal sehatku yang bekerja tapi jiwa fangirlku yang begitu gila ingin bertemu Mark lagi atau - “Agh!”, teriaknya setelah aku menyiku orang yang tiba-tiba membungkamku dari belakang. Atau aku yang sudah jatuh hati pada Mark sampai-sampai tidak lagi dapat berhenti memikirkan dia. Tidak dapat berhenti membaca ulang percakapan kami di direct message, menyesal karena tidak berfoto dengannya sekalipun, dan menyesal karena tidak mengucapkan selamat tinggal dulu. “Why are you always hitting me?”, protes Mark. “Sorry.”, jawabku tersenyum malu. Tanpa aba-aba tubuhku langsung bertindak sebelum aku benar-benar sadar hal apa yang telah aku lakukan. Aku menemukan diriku memeluk Mark dan menangis dalam dekapannya. Cukup lama kami berpelukan seperti menyampaikan semua rindu yang selama ini sudah mati-matian kami tahan. “Yap. Caption: ‘It’s officially confirmed now’.”, ucap Papa Tuan membuyarkan kangen-kangenan kami. “Whoa, Ahgase already commented in my post.”, imbuhnya. “I love you.”, ucap Mark tiba-tiba sambil menggenggam kedua tanganku. Aku terdiam dan hanya mampu membalas tatapan mata Mark tanpa berucap. Rasanya lidahku begitu kelu untuk berkata dan hatiku terlalu ciut untuk membalasnya. Lagi-lagi, aku tidak dapat berpikir. Hal seperti ini benar-benar bukan ranahku karena aku begitu buntu untuk mencari jalan keluarnya. Aku kemudian melepaskan tangannya. Membuatnya kebingungan dan takut bahwa itu adalah tanda bahwa aku menolaknya. “Y-you are Ahgase, right?”, tanyanya seperti sedang berusaha menyingkirkan rasa terkejutnya. “Ahgase loves me, so do you.”, ucapnya berusaha tegas namun sedikit gugup. “He rented the whole cafe.”, bisik Joey sekilas di telingaku. Joey lalu menghampiri Papa Tuan yang sedang memesan minuman. Aku tersenyum. Semuanya menjadi tidak masuk akal bagiku karena tiba-tiba saja aku terpikir bahwa aku rela mengorbankan apapun agar aku dapat mengulang 6 jam bersamanya beberapa bulan yang lalu. Terlepas bahwa aku beruntung atau tidak beruntung, bertemu dengannya dulu adalah sebuah takdir. Ya. Aku juga mencintaimu, Mark. “I love you, too.” My bias kissed me on my forehead. Mark kissed me on my forehead. - Me “What do you want to order?”, tanya Mark padaku. “I order you.” “Huh?”, jawab Mark. “Ice A-Mark-I-Can-Know.” “Ice Americano?”, ulang Mark. Aku tertawa kecil dan memeluknya lagi, sungguh aku tidak akan pernah melepasnya lagi.