CHAPTER 1 : ....
Aku menancap gas sekencang mungkin. Ini pertama kalinya aku dikhianati dan dicurangi oleh seseorang. Dan yang lebih parah aku menangkap perselingkuhan itu dengan mataku sendiri. Aku merasa bodoh telah terbuai oleh rayuan maut dari seorang Park Jinyoung. Ini benar-benar menyebalkan. Ini sungguh menjengkelkan.
“AKU MEMBENCIMU PARK JINYOUNG!!!!” teriakku.
Aku mengelap air mata bodoh ini dan menarik selembar tissue untuk mengeringkan hidungku yang basah. Tanpa kusadari aku sudah berada di jalur yang salah. Sebuah mobil sedan melaju dengan kencang ke arahku. Mobil itu mengklaksonku berkali-kali. Aku panik dan membanting steer untuk kembali ke jalurku. Namun, itu sia-sia. Aku menabrak sebuah truk besar di samping dan mobilku terpental ke arah sebaliknya. Mobil sedan itu menabrakku kencang. Aku terbawa oleh sedan itu hingga mobilku terjepit di tepi jalan dengan keadaan terbalik.
Kepalaku pening, mataku buram, dan aku bisa melihat tetesan darah yang mengalir dari hidungku. Aku sudah tidak bisa merasakan apapun. Ini terlalu sakit. Ingatan memori dan kenangan terputar begitu saja di otakku. Dari aku balita hingga aku menjadi sekarang ini.
“Appa, eomma..” ucapku lirih.
Aku tersenyum sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
----
“Uhuk..” aku terbatuk dan kembali sadar. Keadaanku belum berubah. Posisiku masih terbalik. Aku melepaskan seatbelt kemudian merayap keluar dari jendela di sampingku yang sudah pecah. Aku berhasil keluar dengan banyak luka di sekitar tubuh. Aku berusaha bangkit dengan menumpu pada batu di depanku. Aneh, rasa sakit ini hilang perlahan-lahan.
“Han Saera. Meninggal pukul 15.20,” pria berbalut coat hitam itu melirik ke arlojinya kemudian menatapku. “Ikut aku. Aku akan menghantarmu menuju akhirat.”
“Akh… akhirat??? Hahahaha… Daebak! Aku bertemu orang yang menentukkan ajalku,” aku menyapu kotoran yang menempel di dress merah mudaku dan memerhatikan luka-luka di tubuhku. “Maaf tuan, bisa antarkan aku ke rumah sakit? Aku butuh obat dan perban” ucapku ditambah senyum di akhir kata.
“Kau tidak perlu itu. Sekarang kau adalah arwah” pria itu menatapku datar kemudian menunjuk mobilku dengan dagunya. “Lihatlah.. itu dirimu bukan?”
Aku mengikuti arah matanya. Mataku terbelalak. Wanita di mobil itu adalah aku, lalu makhluk apa aku sekarang?? Aku jatuh berlutut. Kakiku lemas seketika. Apa yang kau rasakan jika melihat dirimu ada dua dan satu lagi dalam keadaan nahas? Ah, tidak. Ini mimpi. Aku memejamkan mata lalu lima detik kemudian membukanya. Keadaan tidak berubah. Aku mengulang kegiatanku sekali lagi dan hasilnya tetap sama.
“Percuma. Kau sudah meninggal”
Dan sedetik kemudian aku mulai menangis.
“Sudah jangan menangis”
Tangisku semakin menjadi.
“Ini tidak ada gunanya”
Aku belum ingin berhenti.
“Heish..”
Lima menit kemudian tangisku reda. Aku mengelap air mataku dan berjalan ke arahnya. “Antarkan aku ke pemakamanku” dan pria itu melihatku jengkel.
---
Aku duduk di sebelah rangakaian bunga berduka milikku. Aku bisa melihat ibu menangis sembari menatap bingkai fotoku dan ayah duduk termenung. Mereka pasti sangat terpukul oleh berita meninggalnya aku yang mendadak. Tidak mereka saja yang terpukul, aku juga. Aku juga melihat Jinyoung menangis di sudut ruangan. Huh, air mata buaya.
“Cepatlah. Kita sudah telat satu jam karenamu. Aku harus membawamu sekarang” pria itu menatapku dingin. Apa dia tidak memiliki belas kasihan pada keluarga yang akan berpisah?
Aku membuang nafas kasar. “Baiklah, ayo kita pergi.”
Dalam sekejap, aku dan pria itu sampai di sebuah ruangan dengan dinding hitam, lantai hitam putih seperti papan catur, dan ada sebuah pintu berwarna putih di sisi ruangan. Pria itu menuntunku menuju pintu putih itu. Dia membuka pintu dan menyuruhku masuk. Aku sedikit ragu-ragu untuk melakukan perintahnya. Jujur, aku masih ingin tinggal di bumi. Aku memandang ke arah belakang untuk mengingat kenangan terakhir di alam semesta ini. Kakiku mulai melangkah satu demi satu menaiki anak tangga dan yang tak kusangka, aku terpental ke arah yang berlawanan.
Pria itu menghampiriku yang jatuh terkurap. “Kau baik-baik saja?”
“Tidak ada yang baik-baik saja dariku!” jawabku ketus seraya bangkit untuk duduk dan melepaskan cengkramannya di pundak. “Apa itu? Apa akhirat tidak menerimaku?”
“Apa kau memilikki dendam atau hal yang belum kau ungkapkan?”
Aku diam sejenak. Berusaha mengingat apa yang kulakukan selama ini. “Ya, ada. Aku benci pada mantanku. Park Jinyoung. Aku ingin membunuhnya!” kataku bersemangat saat teringat kesalahan yang telah Jinyoung lakukan padaku. Ide brilianku seketika muncul. Aku tersenyum manis pada pria dingin itu. “Kau ‘kan malaikat… bisakah kau membantuku membalas dendam?”
“Yaa! Aku malaikat pencabut nyawa, bukan malaikat pembalas dendam. Itu bukan tugasku. Lakukan sendiri”
Aku menahan tangannya sebelum dia berusaha bangkit untuk berdiri.
“Ku mohon…” ucapku memelas.
“Tidak,” dia menarik tangannya. “Kau memiliki satu bulan untuk melakukan itu. Lebih dari sebulan, kau akan ke akhirat dengan cara yang menyakitkan.”
“Lucu sekali. Baru kali ini ada malaikat mendukung untuk melakukan kejahatan,” aku berdiri. “Ku mohon, Tuan tak bernama.”
“Aku tidak mendukungmu. Percuma jika aku menyuruhmu untuk memaafkan pria itu. Kau pasti tidak mau,” dia jalan meninggalkanku kemudian berbalik. “Ah, iya namaku Mark dan tetap tidak.”
“Menyebalkan. Bunuh saja aku!”
“Kau sudah mati” jawab pria itu dengan santai dan melanjutkan jalannya yang semakin jauh.
“Yaa!! Tunggu! Aku akan menggentayangimu.”
---
“Kemana dia?” aku menengok ke kanan lalu ke kiri. Malaikat itu terlalu gesit sehingga aku kehilangan jejaknya. Kini aku tidak tahu harus kemana. Aku berjalan dengan gontai menyusuri jalan setapak. Sesekali aku bernyanyi dan melompat-lompat dengan riang demi menghilangkan rasa jenuhku. Toh, tidak akan ada yang bisa melihat. Kegiatanku terhenti saat seorang anak laki-laki menghalangi jalanku.
“Cantik...” ucapnya.
“Heh?,” aku mengibaskan tanganku di depan wajahnya. “Kau bisa melihatku?”
Dia mengerjap. “Tentu! Aku sama sepertimu,” laki-laki itu menjulurkan tangan dan menarik tanganku untuk bersalaman dengannya. “Aku Bambam. Kita berteman mulai sekarang” dia menarikku untuk berlari.
“Yaa!!”
Dan disinilah aku sekarang.
Bambam membawaku ke taman bermain tua yang sudah terbengkalai. Di sekelilingku terdapat lima orang laki-laki. Mereka adalah Jackson, Jaebum, Yugyeom, Youngjae, dan terakhir Bambam. Mereka memerhatikanku dari atas sampai bawah. Aku berharap mereka tidak akan macam-macam.
“Cantik bukan?” Bambam menunjukku dengan semangat dan empat orang itu mengangguk bersamaan.
“Kau lebih cocok jadi bidadari daripada arwah..” ucap Yugyeom memandangku kagum sehingga berhasil membuatku tersipu malu.
“Maukah kau berkencan denganku?” kali ini Jackson. Dan dia mendapat pukulan dari Jaebum karena ucapannya.
“Jangan dengarkan dia. Kami adalah pria baik. Mereka hanya terkesima melihat arwah seusiamu, karena biasanya selalu orang-orang berumur yang kami lihat” ucap Jaebum tersenyum.
“Tidak apa-apa. Aku senang berkenalan dengan kalian. Setidaknya aku punya teman setelah ditinggalkan oleh malaikat itu” tiba-tiba aku kesal saat menyebutkan kata ‘malaikat’.
“Malaikat? Siapa malaikat yang menyabut arwahmu?”
“Mark!”
Aura wajah mereka menegang dengan kompak.
“Kau baik-baik saja? Dia adalah malaikat yang paling ditakuti. Berhati-hatilah padanya” akhirnya Youngjae membuka suara.
----
Aku mulai menikmati hidupku sebagai arwah. Bebas kemana saja, minum dan makan gratis, serta bermain sepuasnya. Para laki-laki itu juga sering mengajakku bersenang-senang seperti merasuki manusia contohnya. Yah, terkesan jahat tapi aku menyukainya hahaha. Malam ini aku berniat untuk mendatangi Jinyoung. Aku ingin tahu dia sedang bersama wanita mana malam ini.
Aku menembus pintu kamar milik Jinyoung. Kamarnya kosong. Ini sudah larut tapi kenapa dia belum pulang. Tidak lama dari itu, terdengar suara seseorang masuk. Aku menembus lagi untuk melihat ke ruang tengah. Benar-benar tontonan murahan. Pria itu sedang merangkul seorang wanita dengan pakaian yang sangat minim, kemudian duduk di sofa. Jinyoung masuk ke kamar dan berakhir sendirianlah wanita itu.
Seketika aku memiliki ide cemerlang. Aku berjalan mendekati wanita itu kemudian meniup-niup lehernya. Dia mengusap-ngusap lehernya dan menengok ke belakang. Tentunya tidak ada siapa pun, bodoh. Rencana kedua adalah mengetok-ngetok meja. Dia terlonjak kaget sampai berdiri di atas sofa. Astaga, ini benar-benar lucu. Dan ketiga, aku menjatohkan tasnya walaupun penuh usaha untuk mendorongnya. Kali ini dia benar-benar ketakutan. Wanita itu melihat sekeliling lalu mengambil tasnya untuk bergegas pergi.
“Kau mau kemana?” Jinyoung yang baru saja keluar dari kamar langsung menahannya.
“Jangan pernah bawa aku kesini lagi!!” dan wanita itu pergi.
Bravo!
Aku tertawa sangat kencang sampai perutku terasa sakit. Ini sangat menyenangkan. Sudah puas tertawa, aku langsung keluar dari apartemen Jinyoung untuk segera menceritakan kejadian tadi pada lima laki-laki itu. Mereka akan senang mendengarnya.
“Omo!” aku terhentak ke belakang. Malaikat menyeramkan itu berada persis di depanku. “Kau ini. Tidak bisakah tidak muncul tiba-tiba??”
“Jangan menyetuh benda lagi,” dia melihat arlojinya. “Sepertinya kau sudah membalas dendammu. Ayo kuantarkan ke akhirat.”
Mataku memicing. “Kau ini mau mengusirku, ya? Belum. Aku belum membalas dendamku,” aku mendekat dan memunculkan eye smile-ku. “Ayo bantu aku wujudkan itu.”
“Tidak.”
“Tapi orang itu di dalam. Aku janji, setelah ini aku akan pergi ke akhirat. Ya? Ya? Ya?”
“Tidak.”
“Kali ini saja, ku mohon…”
“Tidak.”
“Kau menyebalkan!” aku berbalik dan meninggalkannya.
“Yaa! Jangan pergi. Aku belum selesai bicara.”
----
Aku meninggalkan malaikat maut itu begitu saja. Aku tidak peduli saat dia memanggilku berkali-kali. Aku kesal bukan main padanya. Dasar nenek sihir!
“Kau tidak takut disini?”
Aku mendongak. Dia. Mark. Aku langsung membuang mukaku dan melanjutkan menikmati pemandangan kota dari atas gedung.
Pria itu duduk disampingku. “Maafkan aku.”
Aku tak berkutik.
“Saera-ssi, lihat aku.”
Aku menengok dan melihatnya sedang tersenyum padaku. Ini bagaikan sihir. Seketika kemarahanku hilang dan berganti dengan jantungku yang berdegup kencang. Dia.. Mark terlihat sangat mempesona. Senyumnya berhasil mengalahkan cahaya bulan malam itu. Pikiranku mulai tak terkontrol. Perasaanku meluap tak karuan. Aku…
“Aku menyukaimu.”
Yah, itu terlontar tanpa kusadari.
----
Setelah kejadian malam itu, aku tidak merasa menyesal atau canggung pada Mark. Dia memang tampak kaget, tapi setelah itu dia tersenyum lalu mengataiku sudah gila. Akhir-akhir ini aku selalu mengikuti Mark kemana pun dia pergi. Kadang dia menghindar, tapi kadang dia muncul secara tiba-tiba. Untuk sikapnya, dia tidak berubah. Tetap dingin, pelit, dan menyeramkan. Dan yang menakjubkan, rasa balas dendamku pada Jinyoung sudah berkurang. Aku tidak pernah menemuinya lagi, bahkan memikirkannya. Sepertinya aku benar-benar menyukai Mark.
Hari ini aku berniat untuk datang ke makamku. Aku ingin melihat seberapa banyak bunga yang bertebaran disana. Aku berjalan dengan riang, namun keberadaan pria itu menghentikkan ativitasku. Jinyoung. Dia terduduk di depan makamku dan menangis. Aku mendekat lalu duduk disampingnya. Dia menunduk, matanya terpejam, dan menangis dalam diam.
“Maafkan aku, Saera-ah. Aku sungguh-sungguh minta maaf,” dia mengelap air matanya kemudian menatap batu nisanku. “Kembalilah hidup. Aku merindukanmu. Maafkan aku karena akhir-akhir ini selalu bersama wanita lain. Aku merasa kesepian tanpamu. Aku.. tidak pernah menyelingkuhimu, Saera-ah. Itu adalah kesalahpahaman. Dia adalah temanku. Wanita murahan itu bukan siapa-siapa. Kembalilah padaku, ku mohon…”
Dan setetes cairan bening keluar dari kelopak mataku. Apa yang kudengar ini benar?
----
Ucapan Jinyoung berputar-putar di pikiranku. Aku merasa bersalah karena telah meninggalkannya. Andai saja aku mau mendengarkan penjelasannya saat itu, mungkin kecelakaan itu tak akan pernah terjadi. Aku membuang nafas lega. Seketika bebanku telah lepas. Dendam itu telah hilang 100% dan kini aku bisa ke akhirat dengan tenang.
Aku berjalan dengan tetap menunduk dan bertemu dengan makhluk menyeramkan di hadapanku. Dia menatapku bengis dan menyeringai. Entah, jenis makhluk apa dia dan aku tak peduli. Aku membungkuk dan bergeser untuk melanjutkan jalanku, namun makhluk itu melemparku hingga terpental ke sebuah dinding toko. Makhluk itu mendekat dan mengangkatku yang terjatuh. Dia menabrakkan tubuhku pada dinding dan mencekikku. Mulutnya terbuka. Dia menyedot energiku. Ini benar-benar menyakitkan. Kulitku tertarik dan seperti terbakar.
“Lepaskan dia!”
Suara itu.
Aku terlepas dan tak sadarkan diri.
----
Mataku berkedip karena sebuah sinar yang terlalu terang. Perlahan-lahan mataku terbuka dan menemukan Mark duduk di pinggir ranjang. Aku melihat sekeliling. Ini sebuah kamar.
“Apa kita sudah di surga?”
Mark tersenyum. “Belum. Kau baik-baik saja?” dan aku mengangguk.
“Minumlah” ucapnya lagi.
Setelah menyeruput teh, aku menarik coat coklat Mark sebelum dia beranjak pergi. “Jangan pergi. Aku takut.”
Dia tersenyum lagi kemudian mengelus rambutku. “Tidak. Aku akan disini. Aku akan menemanimu.”
“Terimakasih” ucapku dengan seulas senyum.
Mark mendekat dan menarikku ke dalam pelukannya. “Jangan membuatku khawatir. Jangan bersikap gegabah. Jangan membuatku takut.”
Mataku membulat. Aku menarik tubuh untuk bisa melihat wajah Mark. “Kau mengkhawatirkanku?” tanyaku tak percaya.
Pria itu mengangguk dengan tetap menunjukkan senyumnya. “Aku selalu memerhatikanmu. Kau itu bodoh, gegabah, tidak bisa diam, jail—“
“Sebutkan saja semua kejelekkanku” selaku sebal.
“Hahahaha... seorang malaikat harus berucap dengan jujur. Jadi hanya itu yang bisa kuucapkan.”
“Terimakasih atas pujiannya,” sarkasku. “Pergilah jika ucapanmu hanya berisi hinaan.”
Mark tertawa lagi. “Kau ini lucu sekali. Saera-ssi, kau itu cantik, periang, dan...... menggemaskan.”
Ucapan Mark berhasil membuatku seperti kepiting rebus saat ini. Aku benar-benar malu dan dia tertawa melihat reaksiku saat ini. Dengan tetap tersenyum, dia mengelus rambutku lagi. Oh Tuhan, apakah aku benar sudah di surga?
----
Seharusnya aku sudah berada di akhirat karena dendamku telah hilang, namun sisi egoisku mengatakan untuk bertahan di alam semesta ini sampai waktu berakhir. Dan disinilah aku sekarang. Di kediaman Mark. Berkat hari itu, hubunganku dan Mark semakin dekat. Walaupun aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku, tapi sikapnya mengatakan bahwa dia juga menyukaiku. Yah, aku tahu, aku terlalu percaya diri, tapi itulah kenyataannya. Sejak hari itu pun, aku tinggal disini bersama Mark. Kami memasak bersama, bermain walau harus kupaksa dulu, menonton film, dan tidur bersama. Intinya, kami melakukan banyak hal yang sangat menyenangkan.
Hari demi hari berlalu. Tanpa terasa satu persatu lima lelaki itu meninggalkanku untuk pergi ke akhirat. Waktuku kini hanya tersisa satu minggu lagi. Jujur saja, aku sangat sedih karena sebentar lagi harus berpisah dengan Mark. Namun, bukannya mamanfaatkan sisa hari yang semakin menipis, Mark malah semakin sibuk dengan urusannya. Aku lebih sering sendirian dirumah serba putih ini. Menyebalkan.
Seperti biasanya, tidak lama dari masakan matang, Mark tiba di rumah. Dia memelukku kemudian membantuku menyajikan makanan itu di meja. Saat makan, suasana sangat hening. Mark tidak berbicara sedikit pun. Jadi, aku berdeham untuk menetralkan suasana.
“Mark-ssi, apa yang kau lakukan hari ini?”
“Seperti biasa. Menyabut nyawa seseorang kemudian mengantarkan mereka ke akhirat.”
“Apa banyak sekali yang meninggal? Kau sangat sibuk akhir-akhir ini.”
Mark mengangkat bahu. “Begitulah,” dia bangkit dari duduk kemudian mengambil jasnya di sandaran sofa. “Aku akan pulang sangat larut. Langsunglah tidur jika mengantuk. Kau tidak perlu menungguku”
“Jangan pergi,” aku mengulum bibir untuk menahan tangisku sebelum keluar. “Waktuku tinggal tiga hari lagi. Apa kau tidak mau merayakan perpisahan sebelum hari itu?”
Pria itu tidak menggubrisku. Dia hanya terdiam sejenak, lalu meninggalkanku lagi. Dan air mataku jatuh tepat saat pintu tertutup.
----
Besoknya, Mark tidak kembali ke rumah. Aku baru sadar kalau dia menjauhiku. Sangat bodoh. Aku menjalankan sisa-sisa hari dengan melihat ayah dan ibu untuk terakhir kalinya. Untunglah, kehidupan mereka sudah kembali normal berkat sepupuku yang tinggal bersama mereka. Orangtuaku sangat menyayangi gadis cantik itu sehingga aku merasa tenang untuk meninggalkan mereka.
“Appa, eomma, aku akan sangat merindukan kalian” ucapku sebelum pergi meninggalkan rumah itu.
Di hari berikutnya, aku tetap menunggu Mark seperti orang bodoh hingga larut malam. Tiba-tiba pintu terbuka dan Mark muncul setelahnya. Aku melihatnya, namun dia seperti menghindari kontak mataku. Aku memanggil Mark saat dia hendak masuk ke kamar. Dia menoleh kemudian berjalan mendekat dan duduk di sampingku.
“Ada yang harus kau ketahui. Ini tentangmu dan juga aku, “ ucapnya dan aku hanya terdiam menunggu ucapan Mark selanjutnya. “Pejamkan matamu.”
Aku memejamkan mata, kemudian merasakan Mark memegang tanganku. Perlahan-lahan muncul sebuah gambar di dalam bayanganku. Gambar itu adalah sebuah rumah sakit. Gambar itu berpindah ke sebuah ruang operasi. Aku bisa melihat ibu dan ayah menggendong seorang bayi... laki-laki? Ibu menangis, begitu pula ayah. Bayi itu tidak bergerak. Bayi itu meninggal. Gambar itu bergerak sangat cepat hingga lahirlah... aku. Mataku terbuka. Aku menatap Mark untuk minta penjelasannya darinya.
“Kau adalah adikku, Saera-ssi,” dia menghela nafas dan melihat tungku penghangat di depan kami. “Saat aku menemanimu ke pemakaman itu. Aku seperti mengenal ibu dan ayahmu. Sejak itu aku mencari tahu tentang mereka. Kupikir, dengan begitu, aku bisa tahu masa laluku. Aku datang ke rumah sakit itu untuk mencari petunjuk. Itulah mengapa akhir-akhir ini aku sering meninggalkanmu. Namun, usahaku tidak sia-sia. Aku mendapatkan informasi itu. Apa yang kau lihat tadi adalah informasi yang kutemukan. Sekarang aku tahu aku siapa. Aku adalah kakakmu, Saera-ah. ”
Cairan bening mulai menggenangi mataku dan menetes sedetik kemudian. Pandanganku mengabur. Dadaku terasa sesak dan sakit. Ini terlalu mengejutkan. Aku mendorong Mark yang mencoba memelukku. Aku mengambil jaket kemudian pergi meninggalkan pria yang tak ingin kulihat itu.
Aku berdiam diri diatas gedung yang waktu itu pernah kudatangi. Hanya dari atas sini, aku bisa menangis dan teriak sekeras mungkin tanpa satu arwah pun tahu. Aku tidak tahu perasaan apa yang tepatnya kurasakan. Aku marah, sedih, kesal, namun aku senang karena mengetahui hal itu sebelum pergi. Pikiranku tak karuan. Terlalu banyak hal yang terlintas dalam otakku dan itu berjalan sangat cepat. Aku benar-benar tidak paham. Yang kuinginkan sekarang adalah menyendiri.
----
Hari itu tiba. Saatnya aku pergi dari dunia ini. Dengan keadaan berantakan, aku mencari Mark yang tidak kuketahui keberadaannya. Langkahku terhenti. Mark berada di depanku beberapa meter. Dia berusaha tersenyum padaku.
“Bawa aku ke tempat itu.”
Dalam sekejap aku dan Mark sampai di ruangan yang sebulan lalu kudatangi. Seperti tata cara sebelumnya, Mark menuntunku ke pintu dan membukakan pintu itu untukku. Aku menghela nafas dan memejamkan mataku sesaat. Kakikku melangkah dengan perlahan, namun seseorang menarikku ke belakang. Dia memelukku erat dan menangis di pundakku.
“Jangan pergi.. kumohon jangan pergi” ucapnya dalam tangisan.
Bendungan air mataku pecah saat itu juga. Usahaku gagal untuk menahannya agar tidak jatuh. Aku memeluk Mark dan terisak di dalam dekapannya. Tidak ada satu kata yang bisa keluar dari bibirku. Air mata terus membanjiri kedua pipiku. Ini terlalu menyakitkan. Aku ingin tetap disini. Aku ingin bersama Mark. Selamanya.
Mark menjauhkan tubuhku agar bisa melihat wajahku. Dia menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya. Dia tersenyum kemudian mencium keningku. Aku ikut tersenyum sebelum membalikkan tubuh dan mulai menjajakan kaki di tangga putih itu.
“Annyeong..”
Itu adalah kata terakhir yang kuucapkan padanya. Perlahan-lahan pintu putih itu tertutup dan bayangan Mark menghilang. Aku tidak boleh jatuh disini. Perjalananku masih panjang untuk menuju akhirat. Mark-ssi, walau susah menerima kenyataan kau adalah kakakku, kini aku bisa menerimanya dengan lapang. Aku bangga mempunyai kakak sepertimu. Ayo lahir kembali menjadi sepasang kekasih. Cintaku tak akan berubah walaupun harus berenkarnasi berkali-kali. Sekarang atau nanti, cinta itu tak akan berubah. Cinta itu akan abadi.
-- THE END --