CHAPTER 1 : Kilat Pertemuan
Saeron POV
Deru angin yang berhembus dengan kencangnya hingga membuat ranting pohon yang rindang bergoyang tak tentu arah, diiringi dengan hujan badai dan petir yang menyambar-nyambar. Aku berteduh di bawah pohon itu karena tak ada lagi tempat yang dapat memayungiku di siang hari yang gulita itu.
Suasana terasa semakin mencekam saat terlihat cahaya kilat yang memecah langit berkali-kali. Justru itu yang berbahaya, bukan suaranya.
Batinku menjerit takut. Kulipat tubuhku rapat, menutup telinga dengan kedua tanganku dan menutup mataku untuk mengaburkan suasana.
"Tolong aku..." aku hanya bisa berteriak dalam hati berharap ada yang membawaku pergi dari tempat ini. Hingga akhirnya ada seseorang yang dengan paksa menarik lenganku.
Di pinggir jalan raya, tak ada satupun tempat yang bisa kujadikan tempat berteduh selain pohon besar yang tampak berumur ratusan tahun itu. Meski kutahu itu bahaya, tapi aku tak punya pilihan lain. Bagiku lebih menyeramkan jika harus memaksakan diri berjalan di bawah sambaran kilat.
Orang yang membawaku lari dari pohon besar itu terlihat seperti namja. Aku yang berlari mengekorinya hanya bisa melihat punggung dengan bahu yang lebar, jelana jeans hitam dan jaket berkupluk biru tua yang dipakainya.
"Siapa dia? Dia mau membawaku kemana?" Benakku. Aku hanya pasrah dan mengikutinya saja. Sesaat aku merasa seperti di cerita drama atau dongeng, saat sang putri diajak berlari oleh sang pangeran demi mempertahankan cinta mereka. Haha, tidak mungkin! Aku pun kembali sadar dalam duniaku.
Kurang lebih 500 meter orang itu membawaku berlari sampai akhirnya kami tiba di sebuah gedung mirip ruko berlantai dua. Kami lantas berteduh di depan toko yang tertutup dengan tirai besi itu.
"Ah... bajuku basah semua. Eottokeyo?" Keluhku bercampur bingung tak tahu apa yang harus kulakukan dengan pakaianku. Bahkan aku tak membawa baju salin di tasku.
"Ya! Apa kau sudah gila?" Teriak namja itu yang akhirnya menarik pandangaku padanya. "Kenapa kau berteduh di bawah pohon tua itu? Apa kau mau mati, eoh?"
Apa yang dikatakannya? Bagaimana bisa dia memarahiku saat ini? Kupikir dia memang berniat menolongku.
"Apa?" Tanyaku heran dengan sikapnya padaku.
"Hah... ternyata kupingmu pun tuli?" Kali ini dia mencibirku? Astaga... siapa dia?
"Yaa! Ada apa denganmu? Kenapa kau memarahiku? Memangnya aku sudah salah apa padamu?"
Mendengar pertanyaanku, namja itu pun berhenti berkata-kata. Sudah kehabisan kata kah? Atau tak punya alasan untuk menjawab?
Setengah gugup, namja itu memutar tubuhnya membelakangiku lalu mengeluarkan sekumpulan kunci yang tersimpul menjadi satu dari saku jaketnya. Ia langsung membuka tirai toko itu. "Rupanya dia pemiliknya." Batinku menyimpulkan.
"Masuklah!" Titahnya padaku. Tentu saja aku tak langsung menurutinya. Bagaimana mungkin aku mau begitu saja menuruti perintah orang yang belum kukenal sama sekali? Terlebih lagi dia adalah seorang namja, lantas memintaku masuk ke dalam tempat asing juga. Pikiranku pun melayang tak karuan. Jangan-jangan dia ingin melakukan hal yang tidak-tidak padaku!
"Shiro!" Sentakku dan menarik langkah mundur menjauhinya. "Kau pikir aku wanita bayaran? Aku tidak akan mau masuk ke dalam. Siapa yang akan menjamin bahwa kau tidak akan melakukan hal yang semena-mena padaku?" Ujarku dengan nada mengancam dan menyeringai.
"Mwo?" Tanyanya. Dia mendengus kesal dan balik mengancamku. "Kau mau masuk atau tetap berada di bawah langit yang terlihat akan runtuh itu?"
Sebuah pilihan yang tak menguntungkan keduanya bagiku di saat seperti ini. Tapi, setidaknya aku butuh seseorang yang bisa kuajak bicara untuk mengalihkan perhatianku dari suasana mencekam di luar sana. Tapi, apakah dia bisa kupercaya?
Aku bahkan belum menentukan pilihanku tentang pertanyaannya barusan, tapi dia sudah meninggalkanku dengan masuk ke dalam. Langkahnya terhenti dan sekali lagi menanyakan padaku, "Kau mau masuk atau tidak?" dengan suara datar. Kali ini aku menurut. Aku pun masuk kedalam toko itu.
Begitu aku melangkah masuk, ruangan tampak gelap hingga akhirnya dia menekan sakelar lampu dan ruangan pun menjadi terang seketika.
"Woah..." seruan takjub terlontar begitu saja dari bibirku. Kulihat sebuah pemandangan luar biasa di sana. Terpampang banyak lukisan di dinding maupun yang berjejer bertumpuk di lantai. Sepertinya itu lukisan yang sudah siap dikirim, batinku.
Tak terasa kakiku melangkah mengikuti mataku yang terhipnotis dengan lukisan-lukisan itu. Berwarna-warni, berpadu menjadi satu. Berbaur satu sama lain. Kudatangi setiap lukisan itu satu-persatu. Ada lukisan pemandangan, bangunan, karikatur bahkan sampai lukisan abstrak pun ada.
"Kau tak mau mandi?" Suara namja yang belum lama ini terekam oleh telingaku membuyarkan semua khayalanku. Kuputar tubuhku ke arah sumber suara. Kulihat wujud asli namja yang sempat membuatku ragu bahwa dia adalah pangeran.
"Ternyata aku tidak salah. Dia sungguh seorang pangeran" desisku.
"Kau bilang apa?" Tanyanya bingung.
Oh Tuhan... mimpikah aku? Kau telah mempertemukanku dengan seorang pangeran dari negeri gingseng ini. Rambutnya yang berwana coklat membentuk motif guratan seperti yang pernah kulihat di manhwa. Matanya yang tajam dan kulitnya yang putih, bahkan lebih pucat dariku. Dan yang terpenting lagi, coba lihat dadanya yang bidang itu. Meski dia memakai baju handuk, tapi di mataku dia seperti sedang bertelanjang dada. Aigoo...
"Ya! Apa yang kau lihat?" Serunya sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya. OMG, jangan-jangan dia pikir kalau aku ini perenpuan berotak mesum? Oh.. tidak!
"Waeyo?~ justru aku yang curiga padamu! Kenapa juga aku harus mandi di sini? Mana tahu ada cctv di kamar mandimu?" Lengosku mengalihkan permbicaraan.
"Tsk, Picheosseo! Apa kau mau mati kedinginan dengan pakaianmu yang basah dari ujung rambut sampai ujung kaki itu?"
Sepertinya aku mulai mengerti dia. Dia mungkin berniat ingin menolongku tadi. Meski dengan nada bicaranya yang dingin dan kasar itu. Kali ini tanpa penolakan aku langsung menyetujuinya dan berjalan menuju ke kamar mandinya setelah mendapatkan aba-aba darinya.
Lima menit kemudian aku keluar dari kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Begitu keluar aku langsung melihatnya yang sedang sibuk meracik sesuatu yang kutahu itu hangat jika dilihat dari uapnya yang mengepul di atas mug yang dia persiapkannya. Ada dua mug di situ. Kuharap yang satunya memang untukku. Hah... aku benar-benar menyedihkan.
"Kau sudah selesai?" Tanyanya, kali ini dengan nada yang terdengar seperti menyapa.
"Eoh!" Jawabku. "Aku tidak mandi. Aku hanya mengeringkan tubuhku saja. Aku masih sanksi dengan orang yang tak kukenal sepertimu. Aku juga memakai pakaian yang sudah kau siapkan untukku. Bukankah begitu? Karena... aku menemukannya terlipat rapi di samping wastafel. Kurego, aku akan mengembalikannya lagi nanti. Jadi... jangan khawatir."
Celotehanku sepertinya tak dihiraukannya. Tak tahukah dia kalau aku ingin berterima kasih? Tapi aku sempat melihat sudut bibirnya meregang. Senyuman macam apa itu? Aku merasa semakin menyedihkan saja. Eomma ~
"Kemarilah!" Lagi-lagi dia menyuruhku. Dengan dua gagang mug yang digenggamnya, ia berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di balik ruang dapur. Diletakkannya mug-mug itu di atas meja kaca yang ada di hadapannya.
"Duduklah!"
Apa? Duduk? Di sofa itu? Bersamanya? Oh Yuri-ah... kau mau duduk di sampingnya? Tapi... tak ada lagi kursi di sini. Dan lagi kepulan asap dari mug itu terbayang olehku seperti tangan yang sedang memanggil-manggilku. Dan lagi-lagi aku menurutinya tanpa penolakan.
"Hahahahaha...."
Tiba-tiba saja namja yang kini duduk di sebelahku tertawa terbahak-bahak hingga menunjukkan gigi kelincinya yang imut itu. Poin plus bertambah lagi!
"Waegure?" Tanyaku heran. Apa yang ia tertawakan dariku? Aku sedang tidak melawak. Lalu apa yang membuatnya selucu itu?
"Mian! Kau imut sekali. Giyeom!"
Apa? Dia bilang aku imut? Eottokaji? Ini pertama kalinya bagiku ada namja yang mengatakan bahwa aku imut!
"Apa kau sedang mengejekku saat ini?"
"Anni. Aku mengatakan yang sebenarnya."
Selorok, jemarinya yang indah itu mulai membantuku melipat lengan bajuku yang lebih panjang dari lenganku sendiri. Wajar saja, ini kan bukan baju dengan ukuran tubuhku. Ini baju untuk ukuran namja. Pantaslah kalau kebesaran di tubuhku. Baju kaos berwarna abu dengan celana panjang training berwarna merah? Daebak! Gaya pakaian macam apa ini? Eomma~ kenapa keadaanku sangat menyedihkan?
"Kau ini siapa?" Tanyaku ragu.
Wajahnya yang tertunduk itu tiba-tiba saja menoleh ke arahku. Dekat, sangat dekat. Kami bertatapan dengan sangat dekat! Bahkan aku bisa melihat dengan jelas iris matanya yang berwarna kecoklatan.
"Wae? Apa kau sudah tidak curiga atau takut lagi padaku, jadi kau ingin berkenalan denganku?" Tanyanya dengan senyum penuh tanda tanya untukku.
"A...anni! Keunyang..." aku memutar bola mataku dari pandangannya.
"Onew. Just call me, Onew!"
*****TBC*****