CHAPTER 2 : Punishment
“YERI-AHHH!!! APA KAU TIDAK SEKOLAH??!!”
Lamunanku terbuyar, mendengar jerita Ibu refleks aku melihat kearah jam. Sudah pukul 06.30 rupanya. Aku mengangguk. Biasanya jam seperti ini gerbang sekolah akan ditutup 10 menit lagi. Dan Shindong songsaenim pasti akan siaga berdiri di depan gerbang dengan kacamata besar yang melorot ditambah tatapan mautnya melihat para murid yang datang terlambat pada apel paginya yang rutin dilakukan setiap pagi…
Eh, tunggu. Apa kataku tadi? Mendadak firasatku tak enak.
MWOOO??!! 06.30??!! ITU ARTINYA AKU AKAN DATANG TERLAMBAT KE SEKOLAH!!
Segera aku beranjak dari lesehanku untuk mengambil handuk dan ke kamar mandi. Kira-kira tak sampai 5 menit aku keluar dan segera memakai seragamku. Ini rekor terbaruku mandi tercepat sepanjang sejarah. Kalau perlu aku harus mencatatnya di Guinness Book World of records. Bisa-bisa aku terkenal dan Ibu tak perlu susah payah lagi bekerja paruh waktu demi menyekolahkanku.
Tetapi, wajahku sudah seperti bebek. Masa mandi juga mau seperti bebek sih? T.T
Aish! Aku bicara apa sih?! Masih sempat saja aku melantur di waktu yang sempit ini. Setelah semuanya kurasa lengkap, aku berlari turun ke bawah melewati tangga. Tanganku sudah gatal tak sabar untuk cepat-cepat membuka kenop pintu depan rumahku.
Saat aku sampai ke lantai bawah, aku melesat untuk mengambil sepatu. Ibu yang melihatku seperti dikejar setan tak kuasa memelototkan matanya. Parahnya lagi, kakakku satu-satunya, Victoria sampai menyemburkan minuman yang sedang diteguknya. Aku yang menyadari itu bersikap masa bodoh. Toh, siapa juga yang tidak membangunkanku untuk kesekolah!
“Ya! Kau tidak memakan sarapanmu?” akhirnya Ibu yang duluan membuka suara.
“Tidak, sudah tidak sempat! Lagian kenapa tidak membangunkan aku!” sungutku sambil memakai sepatu di kaki kananku.
“Aku sudah membangunkanmu, bodoh! Kau saja yang tidur sudah seperti kerbau!” itu tadi kakakku. Maafkan bila bicaranya tidak sopan seperti tadi. Kurasa hanya dia satu-satunya dari keluarga kami yang tidak punya tata karma.
“Sudah tahu aku kerbau, tapi kau membangunkanku seperti kucing saja!”
“Apakah kau beneran tak mau sarapan? Ibu sudah susah-susah membuatkanmu sandwich daging asap. Kalau begini siapa yang mau menghabiskannya?”
“Kalau begitu aku saja yang memakannya.”
Ah sandwich! Sebuah keberuntungan sekali! Aku tersenyum dan dengan gerakan sekali saja aku merebut sandwich itu dari tangan kakakku dan segera memasukkannya ke dalam tasku. Kakakku yang sudah bersiap membuka mulutnya lebar-lebar harus bersikap pasrah dengan kekalahan telaknya. Hahaha, rasakan pembalasan dariku!!
“Aku pergi ya, Bu!”
“Ne, nanti pulang sekolah kakakmu akan menjemputmu!”
Aku hanya mengangguk cepat saja membalas perkataan Ibu. Sayup-sayup aku juga mendengar protes dari kakakku yang tidak mau menjemputku. Aish, ini sudah jam berapa? Jarak dari rumah ke sekolahku kira-kira 1,5 km. Mana mungkin aku bisa jalan kaki kalau waktu sudah mepet seperti ini.
Setelah berpikir sejenak sambil meneruskan jalan, akhirnya aku sampai di depan halte bus. Beruntung saat aku sampai busnya baru saja tiba. Aku masuk ke dalam bus itu dan memilih kursi pojok belakang. Aku menghembuskan nafasku perlahan. Aku baru sadar kalau aku selama berjalan sambil berpikir tadi tidak bernafas. Mungkin hal ini bisa juga dimasukkan ke buku rekor dunia.
Mungkin juga rekor keterlambatanku yang ke 24 kali ini dapat dicantumkan di buku rekor itu.
____________________________________________________________________________________
Akhirnya aku sampai juga di gerbang sekolah. Aku mengerutkan dahiku. Sudah jam 07.10 tapi gerbang sekolah belum ditutup. Bahkan apel pagi saja sudah selesai pukul 07.00 tadi. Mungkin satpam sekolah lupa kalau gerbangnya belum ditutupkan. Atau mungkin Shindong songsaenim memang sengaja membukakan pintu gerbang ini khusus untuk keterlambatanku hari ini.
Memikirkan options yang kedua hatiku serasa berbunga-bunga. Ah, Shindong songsaenim ternyata baik hati. Rupanya aku sudah salah menilainya. Dibalik kacamatanya yang besar dan kumisnya yang sudah seperti gorden, Shindong songsaenim memiliki hati bak Cinderella… Atau mungkin tidak setelah kupingku diangkat keatas dan terasa perih.
“KYAAA SHINDONG SONGSAENIM MIANHAMNIDA”
“KUKIRA AKU AKAN MEMAAFKANMU?! INI SUDAH KETERLAMBATANMU YANG KE-24 KALI, KAU TAHU!!!”
Sontak semua murid yang baru saja masuk ke kelas segera berhamburan dan langsung bersorak heboh mendengar teriakan Shindong songsaenim yang menggelegar. Dengan kupingku yang masih dijewernya sedangkan kakiku berjinjit, aku hanya berharap kalau seniorku Lee Taeyong tidak melihatku dalam keadaan memalukan seperti ini.
Sepertinya iya, dia melihatku dengan tatapan stay cool nya dan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong celananya. Mungkin hal ini sudah lumrah baginya. Terlebih lagi sudah kesekian kalinya aku melapor padanya tentang hukuman apa yang pantas untukku. Walaupun aku gembira kepalang karena setiap pagi selalu melihat wajahnya yang tak membosankan itu. Apalagi ia melirikku dengan ekor matanya saat dia memberikan hukuman yang pantas bagiku.
Tapi sebagai gadis yang normal, aku juga tidak mau kalau gebetanku harus melihat diriku setiap hari dalam keadaan memalukan seperti ini.
Saat dia tertangkap basah karena melihatku, dia langsung memalingkan wajahnya dengan wajah yang memerah. Aaah.. Lee Taeyong, kau menggemaskan sekali! Sepertinya aku lupa kalau aku ini masih dalam kurungan beruang. Benar saja, tatapan Shindong songsaenim lebih tajam lagi dari sebelumnya. Di situasi seperti ini aku hanya bisa memberikan cengiranku saja. Murid-murid lain menyorakiku dengan tanpa dosa.
“Saya tidak akan lagi menyerahkan keputusan hukumanmu kepada Ketua OSIS. Sepertinya dia memberikan hukuman kepadamu yang ringan-ringan saja. Lihat buktinya, Nona Kim MASIH saja datang terlambat.” Tatapan Shindong songsaenim beralih ke Taeyong. Menyadari itu ia hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Ketika dia menekankan kata ‘masih’ tatapannya beralih ke aku. Aku ikut menundukkan kepalaku. Sepertinya amarah Shindong songsaenim sudah mulai mereda. Buktinya ia sudah memanggilku lagi dengan sebutan ‘Nona Kim’.
Akhirnya ia melepas jeweran kupingku. Dan aku pun mulai mengusap kuping yang malang ini dengan penuh kasih sayang. Shindong songsaenim mondar mandir sambil berpikir sejenak untuk memutuskan hukumanku kali ini. Setelah beberapa menit akhirnya ia menatapku dengan tatapan nyalang dan senyum miringnya. Semua murid ikut diam. Lee Taeyong pun mulai memusatkan pandangannya. Sedangkan aku? Hanya bisa berdiam diri dengan keringat dingin yang bercucuran.
“Baiklah, Nona Kim. Sepertinya saya sudah tahu hukuman apa yang pantas untukmu.” Shindong songsaenim sengaja memberi jeda agar semuanya penasaran dengan hukuman apa yang akan diberikannya kepadaku. Dasar Beruang Kutub!
“Hukuman ini cukup mudah dan mungkin terdengar biasa. Saya minta Nona Kim cukup membuat surat perminta maafan atas keterlambatanmu dengan ditanda tangani oleh seluruh guru yang ada di sekolah ini. Saya kasih waktu sampai pergantian jam kedua. Kalau terlambat, Nona Kim pasti tahu apa yang akan saya lakukan.” Tandas Shindong Songsaenim dan langsung masuk ke dalam ruang guru.
Semua murid sontak bersorak dan tertawa sambil kembali masuk kedalam kelas. Saat aku menoleh ke arah Taeyong, ia hanya menatapku datar dan berlalu begitu saja ke kelas. Aku hanya menghembuskan nafas kasar. Kemudian aku membuka tasku dan merobek 2 lembar kertas dan pulpen untuk hukumanku.
Mungkin inilah arti dari mimpiku tadi pagi.
____________________________________________________________________________________
“Kamsahamnida, Dara songsaenim.” Dara songsaenim hanya membalasnya dengan anggukan lalu tersenyum menatapku. Ia memang guru yang paling baik dan wali kelas yang paling paham dengan diriku.
“Lain kali kau harus belajar dari kesalahanmu, Nona Kim. Aku tahu kau pasti punya alasan dibalik semua itu.” Katanya kemudian. Alasan terlambat karena memimpikan Lee Taeyong? Aku mengangguk mantap.
Akhirnya selesai sudah hukumanku ini. Setelah berkeliling sekolah ini yang luasnya 2 kali stadion sepak bola akhirnya aku sudah selesai meminta tanda tangan seluruh guru di sekolah ini. Capek? Sangat. Tetapi aku tidak merasa sama sekali capek. Karena selama perjalanan dari guru 1 ke guru lain, aku selalu memikirkan tentang alasan dibalik 24 kali keterlambatanku ini. Selalu sama, yaitu mimpi.
Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi yang aneh-aneh. Mulai dari jatuh ke lubang, berlari-larian di padang bunga lily, cinta dan pelangi, dan masih banyak lagi. Anehnya, orang yang kuimpikan itu selalu sama, seorang lelaki yang mirip sekali dengan Taeyong, seniorku. Bedanya hanya terletak di postur tubuhnya, dan kadar keimutannya. Taeyong di mimpiku terlihat sangat imut dan seperti anak kecil umur 7 tahun. Dan terlihat sangat ceria dan perhatian. Tidak seperti di dunia nyata yang dingin, cuek, dan amat pendiam. Aku tidak tahu apa arti dari mimpi itu. Apa membawa kesialan atau keberuntungan? Aku tidak tahu pasti.
Tahu-tahu kepalaku seperti membentur sesuatu. Sedikit sakit sih, sepertinya aku terbentur sesuatu yang keras. Aku melihat ke depan dan tampak seperti dasi. Apa aku menabrak Shindong songsaenim? Dengan hati-hati aku menatap ke atas. Ternyata aku bukan menabrak beruang berkumis tebal itu, aku menabrak seorang…. Pangeran. Pangeran yang berperawakan tinggi dengan rambut hitam berponi dan berwangi harum.
Sejenak aku terpana dibuatnya, aku pun menutup mataku dan mulai memfokuskan indera penciumanku pada wangi parfum dari tubuh sang pangeran ini. “Ya.. Mwohaesso? (apa yang sedang kau lakukan?)” Tahu-tahu muncul suara berat nan seksi itu. Suara yang sering kudengar. Suara yang membuatku gila karenanya.
"Oh… Taeyong Oppa.” Aku berusaha untuk bersikap terkejut dan tidak tersenyum tetapi percuma. Yang ada hanya aku terlihat seperti orang yang sedang kebelet pipis. Buktinya Taeyong menatapku dengan ekspresi ‘apa-kau-sedang-muntaber-?’
Oke, itu mungkin tidak ada hubungannya tapi aku tak peduli. Bayangkan saja sekarang aku sedang berdua dengannya di koridor depan kelasku. Bukannya ini seperti adegan dimana seorang lelaki sedang diam-diam menemui pacarnya padahal kelas masih diisi oleh pelajaran? Itu terdengar romantis sekali.
Ah iya, ini kan masih pelajaran jam pertama. Sedangkan bel pergantian jam masih 10 menit lagi. Apa yang dia lakukan disini. Apakah dia sengaja ingin bertemu denganku. Saat aku baru saja ingin tersipu malu ia langsung berkata,
“Kelas Nickhun songsaenim, jadi aku sengaja membolos.” Yah, itu terdengar masuk akal. Seperti botol air mineral yang ada di tangan kanannya. Tetapi, Nickhun songsaenim adalah guru Olahraga kelas 11. Apa mungkin Nickhun songsaenim sedang memberikan teori bukan praktek? Sebab itu dia tidak mau mendengarkan pelajarannya?
“Aku tidak suka Olahraga.”
Oh. OH. OOOHHH.
Jadi dia tidak menyukai olahraga. Satu fakta yang baru kuketahui tentang Lee Taeyong.
“Dan apa yang kau lakukan disini, Oppa? Bukannya kelas kau ada di sayap timur? Sedangkan kantin berada di depan apotek hidup? Bukankah jalan ini berseberangan?” Tanyaku dengan penasaran. Kelihatannya ia terlihat salah tingkah dengan pertanyaanku tadi. Atau mungkin mataku yang rabun? Mungkin matakulah yang salah, buktinya ia menjawab dengan ini,
“Terserahku. Itu bukan urusanmu.” Yang terdengar sedikit sakit. Sepertinya aku harus membiasakan diri dengan jawabannya. Kalau aku tetap bertahan ingin menjadi istri Lee Taeyong.
Lee Taeyong berjalan melewatiku menuju kelasnya tanpa berpamitan denganku. Hah, mana mungkin ia akan seperti itu. Aku saja yang terlalu berlebihan. Tetapi mataku terbelalak melihat ia berbalik lagi ke arahku dan menyodorkan air mineral yang ada di genggamannya tadi. Ia memberikannya padaku tanpa melihat mataku sama sekali.
“Aku tidak haus, dan sepertinya akan sayang jika aku membuangnya di tempat sampah. Dan maafkan aku.” Kali ini mataku lebih terbelalak lagi dari sebelumnya, mungkin bola mataku sebentar lagi akan lepas .-. Dia meminta maaf katanya? Ini sebuah kejadian yang langka, bagaimana mungkin Lee Taeyong meminta maaf kepada orang duluan?
Ia menghela nafas kasar saat melihat ekspresiku yang cengo sebelum berkata,
“Maafkan aku karena tidak berusaha keras untuk berpikir hukuman yang lebih berat lagi agar kau jera.” Seketika ia pergi. Meninggalkanku dalam ekspersi yang masih mencerna ucapannya tadi.
Aku terlalu berharap ia akan baik dan perhatian seperti mimpiku tadi pagi.