CHAPTER 1 : CHAPTER 1
cast : Yang Seungho (Mblaq) as Bae Hyunsoo I Park Gyuri (KARA) I Cheondung (Thunder) as Bae Hyun-sik I Jung Byunghee (G.O Mblaq) I Song Jieun (SECRET) as Bae Hyuna I Mir (Mblaq) as Bae Hyunwoo I CAMEO : Jung Joori as Jang Nana I Kim Taewoo as Park Donghwa
Disclaimer : Tulisan ini murni ide gila dari otakku. Akhir-akhir ini sering nonton film horror+fantasy, entah kenapa tiba-tiba muncul ide buat bikin FF ini J FF ini juga hasil perenungan, setelah berkali-kali mendengar dentingan piano “Sad Memories”. Author penggila Harry Potter, jadi inspirasi terbesar juga muncul dari novel karya J.K Rowling itu J Jangan sekali-kali menjiplak FF ini. If you copy or share my FF, take out with full credit.. FF INI SUDAH PERNAH DIPOSTING DI WP PRIBADI SAYA, https://ffmblaq.wordpress.com/
“Cerita ini hanya fiktif belaka.”
Author POV
Dahulu kala, ketika ilmu sihir masih begitu populer di kalangan manusia, terjadi perselisihan antara sihir putih dan sihir hitam. Pada masa itu, ada dua keluarga besar penyihir yang begitu terpandang di kalangan penyihir. Keluarga Park yang dianugerahi bakat untuk mencipta mantra-mantra kebaikan dan Keluarga Bae yang dianugerahi bakat untuk meracik mantra gelap dan kutukan.
Selayaknya, setiap penyihir dilahirkan dengan bakat-bakat khusus mereka yang turun-menurun dari orangtua mereka. Akan tetapi, hukum alam itu tidak berlaku pada keluarga Park dan Bae. Mereka mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh penyihir pada umumnya. Sihir putih, diciptakan oleh nenek moyang keluarga Park nan bijaksana. Sihir putih itu begitu disegani oleh kalangan penyihir, karena terbukti dengan manfaatnya yang dapat menangkal kutukan dan jampi-jampi gelap. Banyak penyihir dari keluarga lain belajar juga menerapkan sihir putih dalam kehidupan mereka.
Sementara itu, sihir hitam diciptakan oleh keluarga Bae yang terkenal dengan kehidupan mereka yang kelam. Sihir hitam cenderung tidak disukai oleh kalangan penyihir karena ilmu gelap yang melatarbelakangi pembentukannya. Tidak ada satupun keluarga penyihir yang berminat mempelajarinya. Hal itu membuat emosi tetua Keluarga Bae tersulut. Keluarga Bae mulai memberontak tanpa alasan yang jelas. Mereka dengan sengaja menyerang Keluarga Park. Amukan keluarga Bae tidak bisa ditangani, membuat semua penyihir turun tangan untuk menghentikan Keluarga Bae. Akhirnya perangpun tidak bisa dihindari... Peristiwa itu terukir dalam sejarah juga terekam pada benak mayat-mayat yang teronggok di jalanan berlapiskan darah. Ribuan nyawa penyihir yang tidak berdosa melayang.
Kejadian itu lambat laun terkubur, kerusuhan pun mereda. Tidak pernah terjadi perselisihan dan pertumpahan darah lagi. Para penyihir hidup bahagia tanpa memikirkan tentang pemberontakan di masa silam. Semua hidup rukun satu sama lain. Meski begitu, Keluarga Park dan Keluarga Bae tidak bisa sedekat yang mereka dambakan. Tetap ada pilar yang memisahkan mereka, yaitu kenangan masa lalu.
Pada era itu hiduplah seorang yeoja nan cantik jelita. Yeoja itu bernama Gyuri, Park Gyuri. Ia adalah putri tunggal dari Park Donghwa, salah satu petinggi penyihir di Seoul. Ibunya, Jang Nana adalah penyihir dengan bakat musik kental. Ia menjadi penyanyi terkenal di kalangan penyihir-penyihir Seoul. Lagu-lagunya tak elak lagi, menjadi suguhan para penyihir setiap hari. Tak heran, jika Gyuri dilahirkan dengan kemampuan menyihir yang menawan. Ia menguasai sihir putih sampai level paling tinggi. Tidak cukup itu saja, ia mewarisi bakat ibunya, pandai bermain piano. Setiap ia memainkan piano tak ada satupun penyihir yang tidak akan tersihir dengan pesonanya.
Karena itulah, Gyuri begitu populer di kalangan penyihir-penyihir di kota Seoul, terutama di kalangan penyihir namja. Banyak namja yang memuji kecantikannya maupun kemampuan menyihirnya. Lamaran demi lamaran terus membanjiri rumahnya, tapi tak ada satupun yang diterima oleh Gyuri. Semua pelamar pulang dengan raut wajah kecewa. Hal itu meresahkan Park Donghwa, ayahnya.
“Gyuri-yah, kenapa kau tidak mau menerima lamaran-lamaran mereka?” tanya Park Donghwa suatu hari di musim panas, setengah frustasi.
“Aku masih muda, Abonim..” ucap Gyuri, sambil membaca buku-buku tebal yang bertebaran di meja. Lagi-lagi, alasan itu yang diutarakannya untuk menjawab cercaan ayahnya.
Mendengar hal itu, Park Donghwa menghela napas.
“Umurmu sudah duapuluh tahun, Nak. Kau bilang ‘masih muda’? Jinjja!!” sindirnya, sambil melepas kaca matanya lalu duduk di samping Gyuri.
Gyuri melirik sekilas ke arah Ayahnya, hendak mengutarakan sesuatu. Ia mengambil napas.
“Abonim.. Sebenarnya... “ ia berkata sambil memilin-milin roknya yang penuh hiasan renda.
“Mwo?” tanya ayahnya yang sedang membaca buku, menoleh ke arahnya.
Gyuri menggeleng. Ia urung mengatakan sesuatu yang terbersit di kepalanya.
“Ah, aniyo... Aku cuma mau bilang, aku akan pergi dengan Byunghee. Mungkin kami akan pulang terlambat..” dustanya.
“Ah, keuraeyo? Ya sudah, hati-hati di jalan..” Park Donghwa hanya mengangguk, tertipu dengan muslihat anak gadisnya itu.
Gyuri melambaikan tangannya yang dibalas lambaian singkat oleh ayahnya. Ia melengos pergi dengan Byunghee yang kewalahan, membuntutinya.
“Byunghee, kajja..” ajak Gyuri, ceria.
“Kita mau kemana lagi, Agassi?” tanya Byunghee, terdengar lelah.
“Ah, seperti biasanya, Byunghee~” goda Gyuri sambil terkikik.
Jung Byunghee, penyihir dengan bakat transformasi dan hidup abadi, mendengus.
Mereka menjentikkan jari dan menghilang. Tahu-tahu mereka sudah berada di tepi pantai. Tak jauh dari pandangan, ada gua besar yang tertutup karang. Ombak besar berkali-kali menghantam karang itu. Bau asin laut begitu menusuk hidung Gyuri, membuatnya mengernyitkan kening. Angin kencang mengibarkan gaun Gyuri yang menyentuh pasir pantai. Byunghee melangkah maju lalu duduk di atas pasir. Ia menatap hamparan laut yang terlihat berkilauan terkena sinar matahari. Awan saling bergerombol, menyembunyikan sosok matahari yang sinarnya begitu menyengat kulitnya.
“Musim panas yang menyenangkan..” gumam Byunghee kepada dirinya sendiri. “Aku akan menunggu di sini, Agassi..”
Gyuri mengangguk.
“Eoh..”
“Hati-hati...” tutur Byunghee, sambil berbaring di atas pasir pantai.
Gyuri melangkah dengan gesit, menuju gua itu. Gaunnya menyapu pasir pantai. Dari kejauhan, sosok namja jangkung sudah menunggu di mulut gua. Gyuri tersenyum lalu menjentikkan jarinya. Dalam waktu kurang dari dua detik, yeoja itu sudah berada tepat di depan Hyunsoo, namja chingu-nya. Namja itu membentangkan kedua tangannya yang dengan hangat disambut oleh Gyuri. Mereka berpelukan, saling berbagi rasa rindu karena lama sudah tidak bertemu.
“Hyunsoo-yah..” gumam Gyuri.
“Hmm?” Hyunsoo membelai rambut yeoja itu yang panjang terurai.
“Bagaimana pengobatanmu di Jepang? Berjalan lancar?” tanya Gyuri, masih dalam pelukan Hyunsoo.
Hyunsoo terkekeh.
“Eoh, semuanya berjalan lancar. Pengobatan itu tidaklah bisa membuatku hidup selamanya. Tapi, setidaknya aku bisa hidup lebih lama denganmu.” jelasnya, parau.
Gyuri mendongak, menatap wajah Hyunsoo. Ia memerhatikan kantung mata namja itu, yang terhiasi oleh lingkaran hitam. Melihat hal itu, membuat hatinya agak berdesir.
“Wae?” sergah Hyunsoo, menyadari Gyuri tengah menatapnya tanpa berkedip. “Apa aku begitu tampan? Sampai-sampai kau menatapku seperti itu?”
Gyuri mengalihkan pandangannya.
“Ah, aniya..” kilahnya, tersenyum.
Hyunsoo merangkul pundak Gyuri. Ia mengarahkan matanya untuk melihat hamparan karang besar yang ada di hadapannya.
“Hyunsoo-yah?” lirih Gyuri, ikut menatap karang raksasa itu.
“Mmm?” gumam Hyunsoo.
“Kapan kau akan menemui Abonim? Semakin hari, semakin banyak lamaran yang datang. Aku tidak enak dengan Abonim kalau..” tutur Gyuri.
Hyunsoo melepaskan untaian tangannya di pundak Gyuri.
“Arayo.. Bersabarlah sedikit.. Kau tahu ‘kan Hyun-sik..” ujarnya, lalu menggelengkan kepala. “Kalau dia mendapatiku bersamamu, kau juga akan dalam bahaya besar.”
Gyuri mendesah. Ia menoleh ke arah Hyunsoo.
“Keuraeyo? Aku pikir Hyun-sik bukan orang seperti itu. Aku tahu betul tentang hal itu.” bantahnya, keras kepala.
“Ye? Kau sedang membelanya?” tanya Hyunsoo, cemberut.
Gyuri menggeleng pelan.
“Anieyo!! Aku mengatakan apa adanya, Hyunsoo-yah..”
“Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan Hyun-sik kepadamu. Kepada kita. Lagipula, Keluarga Bae terlahir dengan darah panas, mereka bisa sewaktu-waktu menerkammu.”
Gyuri menelan ludah. Ia menatap namja di depannya, tertegun.
“Wae? Kenapa kau melihatku seperti itu lagi?” sergah Hyunsoo, menatap yeoja itu dalam-dalam.
“Berarti kau sewaktu-waktu juga bisa menerkamku?” todong Gyuri, menekankan pada setiap kata-katanya.
Hyunsoo menatap Gyuri, mematung. Ekspresi mukanya tidak dapat digambarkan. Entah marah? Atau kaget? Atau apa? Namja itu tersenyum hangat, melegakan hati yeoja di depannya.
“Anieyo...” bisiknya. Gyuri tersenyum mendengar hal itu. “Tidak akan pernah..”
Bagaimanapun, batin Hyunsoo, aku harus melakukan hal ini.. Walaupun aku harus berbohong kepadamu. Mianhe, Gyuri-yah..
***
Dirumahnya, Bae Hyun-sik memegang tepi meja besar yang ada dihadapannya. Ia sedang menatap baskom berisi cairan kental berwarna putih susu yang berada di atas meja. Ia bisa dengan jelas melihat Gyuri dan Hyunsoo yang tengah berpelukan di permukaan cairan kental itu. Ia mengepalkan tangannya dengan begitu kuat, menancapkan kukunya di permukaan meja. Dengan susah payah ia menahan amarahnya yang sudah siap meledak. Ia benar-benar muntab, disamparnya gelas-gelas yang ada di atas meja di samping baskom itu. Gelas itu berjatuhan, menimbulkan suara gaduh. Pecahan gelas dan arak beras berhamburan di atas karpet lusuh yang melapisi lantai rumahnya.
“Hyunsoo, kau sudah kelewatan.” geramnya. “Kenapa kau tega melakukan ini? WAE??!”
Terdengar suara langkah seseorang berlari menuju ruang tempat Hyun-sik berada. Namja berambut hitam datang tergesa-gesa. Ia begitu kaget melihat gelas-gelas berserakan di atas karpet, pecah.
“Wae?” tanya Hyunwoo, dongsaeng-nya.
Hyun-sik menghela napas. Ia melirik sekilas pada baskom yang masih menayangkan Gyuri dan Hyunsoo yang sedang asyik berceloteh dengan mesra. Hyunwoo mendekati kakaknya, melihat tayangan yang bergejolak di baskom itu.
“Apa karena ini?” tebak Hyunwoo, menatap Hyung-nya.
Hyun-sik tersenyum kecut. Hyunwoo memandang hyung-nya, tidak mengerti.
“Kita harus mengatur strategi untuk membuat Hyunsoo..” desis Hyun-sik, penuh amarah.
“Hyung, apa maksudmu?” tanya Hyunwoo, memotong perkataan Hyung-nya.
Hyun-sik menatap dongsaeng-nya.
“Hyunsoo menghianatiku.. Lebih-lebih.. ” desisnya, lalu membuang muka. Ia tidak mampu meneruskan kata-kata yang sudah terangkai di otaknya.
Hyunwoo mengetahui apa yang dirasakan Hyun-sik. Tapi tetap saja, ia tidak menghalalkan hyung-nya untuk menyakiti Hyunsoo. Bagaimanapun juga, mereka bersaudara.
“Hyung, aku tahu bagaimana perasaanmu..” sergah Hyunwoo, menepuk-nepuk pundak Hyun-sik. “Tapi tetap saja, orang yang salah bukanlah Hyunsoo, tapi..”
Hyun-sik menyambar kerah baju Hyunwoo, menggenggamnya erat-erat. Napas Hyun-sik yang berat mengenai muka Hyunwoo, membuatnya merinding.
“Jangan pernah menyalahkan dia. Andwae!! Yang salah bukanlah dia, tapi Hyunsoo..”
Hyunwoo terlihat frustasi.
“Hyung, sudahlah..” semburnya, air ludahnya berhamburan mengenai muka Hyun-sik. “Sampai kapan kau akan berlari dari kenyataan ini? Jelas-jelas yeoja itu yang salah..”
“Geumanhe..” bisik Hyun-sik, menahan amarah.
Hyunwoo menggelengkan kepalanya.
“Sirheo!!” bantahnya. “Aku tidak terima kalau kau menyalahkan Hyunsoo..”
“Aku bilang cukup!!!” bentak Hyun-sik sambil menonjok muka Hyunwoo. Dongsaeng-nya itu mundur, terhuyung. Ia menyentuh sudut kanan mulutnya yang berdarah.
“Kau salah Hyunwoo.. Hyunsoo lah yang bersalah!! Aku tahu betul mengenai hal itu. Jangan berbicara seolah-olah kau tahu tentang hal itu!!”
Hyunwoo menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan saksama ia mengamati namja dengan rambut pink yang ada di depannya.
Ia bukan Hyun-sik Hyung yang aku kenal, gumamnya dalam hati. Apakah karena yeoja itu, dia menjadi seperti ini? Aish.. Ia meninggalkan Hyun-sik sendirian di ruangan remang-remang itu.
Hyun-sik melangkah ke arah rak buku yang menghiasi dinding rumahnya. Ia membelai buku-buku tebal berwarna cokelat yang mengisi rak-rak itu. Jarinya terus menyusuri buku-buku yang tertata rapi di sepanjang rak. Jarinya berhenti di sebuah buku yang sangat tebal, lalu menariknya ke luar. Ia menaruh buku lusuh itu di atas meja, membuka setiap halaman. Jarinya berjalan mengikuti setiap huruf yang tercetak di atasnya, membacanya secara saksama. Ia berhenti di sebuah paragraf panjang yang berada di halaman 132. Ia mendongak lalu mendengus. Entah apa yang ia pikirkan.
“Haruskah aku melakukan ini?” tanyanya kepada dirinya sendiri.
Terdengar suara tok tok tok menuju ruangan remang-remang itu. Hyun-sik mendongak, menyadari ada seseorang yang datang.
“Noona?” panggilnya, setengah ragu apakah benar orang yang datang itu Noona-nya atau bukan.
Benar saja, tubuh seksi Hyuna muncul dari pintu. Hyun-sik tersenyum melihat Noona-nya datang.
“Ada apa? Tumben sekali kau sempat datang mengunjungiku?” sindir Hyun-sik, yang dibalas pukulan keras di kepalanya, oleh Noona-nya.
“Hyuna Noona!! Apa!!” erang Hyun-sik. Ia mengelus-elus kepalanya yang terhias rambut berwarna pink.
Hyuna hanya tersenyum jahil.
“Apa seperti itu sambutanmu saat Noona-mu datang, hah?” sergahnya, jutek.
Hyun-sik hanya nyengir kuda.
“Yak!!” kata Hyuna, sambil menjambak rambut Hyun-sik. “Kau apakan rambutmu itu? Omo, pink? Pink? Aku tidak habis pikir dengan namja jaman sekarang!! Jinjja!”
Hyun-sik mencoba menyingkirkan tangan Noona-nya yang kurus tapi sangat kuat itu.
“Apa, apa!! Lepaskan!!” tuntutnya.
Hyuna melepaskannya. Ia berkacak pinggang.
“Huh!! Apa tren jaman sekarang memang seperti itu? Jinjja, tadi aku bertemu dengan namja berambut ungu.. Omo!! Ungu? Dan sekarang, kenapa kau membuat rambutmu seperti ini, hah?” omelnya, tidak jelas.
“Kau kenapa, Noona? Namja berambut ungu??” sergah Hyun-sik, heran dengan sikap Noona-nya yang tidak biasa.
Hyuna menggelengkan kepalanya.
“Ah, anieyo.” kilahnya.
“Jeongmal?” Hyun-sik masih terlihat penasaran.
“Justru aku yang bertanya, apa yang terjadi?” sembur Hyuna, mengalihkan pembicaraan. Ia melambaikan tangannya pada gelas-gelas yang berserakan di atas karpet. Gelas-gelas itu melayang dan kembali ke atas meja, dengan wujud utuh.
Hyun-sik takjub melihat kemampuan Noona-nya itu. Dia bertepuk tangan.
Apa ia sudah tidak ingat dengan topik namja berambut ungu? Dalam hati, Hyuna berdebat dengan dirinya sendiri.
“Wah, kemampuan Noona memang tidak pernah luntur. Wah..” pujinya, begitu terpesona.
Hyuna tersenyum congkak, mendengar pujian dari dongsaeng-nya. Nampaknya dia memang sudah lupa, tawanya dalam hati.
“Tapi,“ sela Hyuna, “kenapa Hyunwoo keluar dengan muka bonyok seperti itu?”
Hyun-sik mendengus kesal.
“Sudahlah, Noona.” cuapnya. “Aku tidak mau membicarakan hal itu..”
Hyuna mendekati Hyun-sik. Ia menatap wajah sendu Hyun-sik.
“Hyun-sik ah.. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Dan aku ada di pihakmu.. Kwaehn-chanha ..“ ujarnya, menepuk pundak Hyun-sik.
Hyun-sik, menggeser tubuhnya menghadap Hyuna. Ia memegang pundak Noona-nya, mengguncangnya dengan keras.
“Jinjja? Kau percaya bahwa yang salah bukan aku atau Gyuri?” yakinnya.
“Eoh, aku percaya padamu. Aku ada dipihakmu, Hyun-sik ah.. Aku tahu rencana Hyunsoo.” jelasnya, tersenyum hangat.
Hyun-sik tersenyum. Ia memeluk Hyuna begitu erat.
“Yak!!” sengal Hyuna, susah bernapas.
Hyun-sik melepaskah pelukannya.
“Ah, mianhe..” ucapnya, tersenyum bahagia.
“Eoh.. Tapi bagaimana ini? Aku dengar dia sudah mulai bekerja dengan sebuah lagu. Huh, akan sulit untuk menggagalkan apa yang sudah direncanakannya..” keluh Hyuna.
“Eoh.. Ara..” gumam Hyun-sik. Ia melirik ke arah buku besar yang tadi ia baca. Ia menghampiri meja itu lagi.
“Noona, tapi aku punya rencana.” serunya, penuh kemenangan.
“Mwo? Rencana?” heran Hyuna.
Hyun-sik mengangguk kencang. Hyuna menghampiri dongsaengnya yang menggedikkan kepalanya ke arah buku besar itu. Yeoja itu mencoba membaca paragraf yang ditunjuk Hyun-sik. Ia membacanya dengan ekspresi ngeri. Semakin jarinya bergerak ke bawah, semakin ngeri pula ekspresi yang menghiasi wajah cantiknya.
“Michyeoss-eo?” tanyanya, amarah tergambar jelas di mukanya yang cantik jelita. Ia menatap dongsaeng-nya, meminta penjelasan.
Hyun-sik menghela napas.
“Tidak ada cara lain, Noona..”
“Hajiman..” sela Hyuna.
“Geumanhe..” potong Hyun-sik. ”Apa kau menyuruhku melihat semua ini terjadi begitu saja? Tanpa berbuat apa-apa?”
Hyuna menggeleng.
“Anieyo..” gelegarnya. “Tapi bukan berarti kau harus mengorbankan dirimu sendiri, Hyun-sik-ah..”
Hyun-sik mematung mendengar perkataan Noona-nya itu. Ia memalingkan mukanya, menyembunyikan air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya yang sipit.
“Tapi, tidak ada cara lain untuk menolong Gyuri, Noona..” bisiknya dengan suara parau.
Hyuna memandang dongsaeng-nya yang sekarang terlihat kurus. Ia mengangguk.
“Aku akan membantumu..” lirih Hyuna, sambil menutup matanya. Air mata meluncur menuruni pipi mulusnya.
Aku tak punya pilihan lain selain membantunya, batinnya merana.
***
“Nak, sampai kapan kau akan menolak lamaran mereka?” tuntut Park Donghwa, sambil mondar-mandir di ruang kerjanya. Gyuri melihat tingkah ayahnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Apa aku harus mengatakannya sekarang? Dalam hati, ia bertanya kepada dirinya sendiri.
“Abonim, sebenarnya... A-a-aku sudah punya namja chingu.. “ ucap Gyuri.
Ayahnya kaget.
“Jeongmal?” katanya, dengan mata terbelalak. “Kenapa kau tidak bilang dari dulu? Kenapa pula kau tak membawanya ke sini? Omonim dan Abonim ‘kan juga ingin bertemu dengannya..”
“Hajiman..” potong Gyuri.
“Ye?” sergah Park Donghwa.
“A-aku tidak yakin apakah Abonim akan merestui hubungan kami atau tidak..” ungkap Gyuri, terus terang.
Park Donghwa menatap putrinya penuh selidik.
“Apa maksudmu, Gyuri-yah?” selidiknya.
Gyuri diam seribu bahasa. Ia tidak berani berkata-kata.
“Byunghee-yah..” panggil Park Donghwa, berkacak pinggang.
Byunghee, muridnya juga pengawal setia Gyuri, datang dengan langkah santainya.
“Ne, Sonsengnim?” jawab Byunghee formal.
“Memang siapa pacar Gyuri? Sampai-sampai ia tidak berani mengenalkannya kepadaku?” cerca Park Donghwa, ingin tahu.
Gyuri melotot ke arah Byunghee, menyuruhnya tutup mulut.
“Joesonghamnida..” ujar Byunghee. “Saya juga tidak tahu, Sonsengnim..”
Gyuri tersenyum lega. Ini bukan saat yang tepat untuk memberitahunya..
“Ah, jeongmal?” yakin Park Donghwa, terlihat kecewa.
“Ne...” ucap Byunghee, menunduk.
Park Donghwa menghela napas. Ia pergi meninggalkan Gyuri juga Byunghee di ruang kerjanya.
“Menurutku kau harus segera memberitahunya, Agassi..” saran Byunghee, lagi-lagi dengan ‘suara lelah’nya. “Untuk apa kau menunda-nunda lagi?”
Gyuri berdecak sebal.
“Kenapa kau yang sewot?” celanya, mendelik ke arah Byunghee. “Tunggu saja, kalau waktunya sudah tepat aku akan memberitahunya.”
Byunghee tersenyum kecut.
“Ye, terserah kau saja!!” cerocosnya, lalu pergi.
Gyuri menatap galak pada punggung Byunghee yang berjalan pergi meninggalkannya.
“Aish, jinjja!!” umpatnya, mengekor Byunghee meninggalkan ruang kerja ayahnya.
Setelah itu, Park Donghwa tidak pernah bertanya kepada Gyuri, siapa sebenarnya pacarnya itu. Ia mengerti, suatu saat, pasti Gyuri akan mengenalkan pacarnya itu kepadanya.
***
Hari-hari berlalu, masih saja banyak penyihir namja yang datang ke rumah Park Donghwa untuk menyampaikan lamaran. Lagi dan lagi, lamaran demi lamaran itu Gyuri tolak. Ia agak khawatir dengan ini semua. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk menemui kekasihnya lagi, Bae Hyunsoo.
“Oppa.. eotteohke? Apa aku harus...” tanyanya menggebu-gebu, setelah menceritakan segalanya.
“Ssst..” bisik Hyunsoo, menempelkan jari telunjuknya di bibir Gyuri. “Kwaehn-chanha.. Besok aku akan menemui ayahmu..”
“Jinjja?” Gyuri nampak bahagia.
“Hmm..” jawab Hyunssoo.
Gyuri memeluk Hyunsoo. Akhirnya, ia tidak perlu bertemu dengan Hyunsoo secara sembunyi-sembunyi lagi.
“Gyuri-yah?”
“Hmm?”
“Aku menuliskan lagu untukmu, maukah kau, suatu saat, memainkannya untukku?”
“Jeongmal?” ujar Gyuri, berbinar-binar.
“Eoh...” tutur Hyunsoo. “Igeo...”
Gyuri menerima kertas berwarna krem yang penuh dengan simbol-simbol kecambah itu.
“Sad memories?” Gyuri membaca judul lagu itu.
“Eoh.. Aku menuliskannya, saat aku harus menahan rasa rindu, saat aku harus jauh darimu... Aku berharap kenangan-kenangan itu segera sirna. Hajiman, aku tetap ingin mengukirnya sebagai sejarah cinta kita..” jelas Hyunsoo, menggombal panjang lebar.
“Gomaweo..” gumam Gyuri, memeluknya lagi. “Aku akan memainkannya untukmu, saat hari pernikahan kita berlangsung.. Dengan harapan, kenangan-kenangan suram dan menyedihkan itu tidak akan pernah terjadi lagi..”
Hyunsoo tersenyum.
“Tapi, kenapa tidak ada liriknya?” tuntut Gyuri, membolak-balik kertas yang diterimanya.
Hyunsoo menatap ke arah laut, memerhatikan deburan ombak yang sekali-kali menghantam karang.
“Aku sedang memikirkannya..” ucapnya.
Gyuri memandangi kertas yang dipegangnya. Hyunsoo menyeringai.
Sepertinya semuanya akan berjalan sesuai rencana, batinnya senang.
***
Tibalah dimana orangtua Gyuri akan bertemu dengan Hyunsoo, yang berniat melamarnya. Mereka berkumpul di taman rumah Park Donghwa yang luas. Mereka saling berceloteh, bergurau satu sama lain. Nampaknya, Jang Nana dan Park Donghwa mulai menyukai sosok Hyunsoo yang tampan juga bijaksana.
“Ireumi mwoyeyo??” tanya Park Donghwa, lembut. “Aku lupa, maaf, beginilah kalau sudah tua, hahaha..”
Jang Nana tertawa anggun. Tetapi, Gyuri dan Hyunsoo saling pandang. Gyuri mengangguk kepadanya, meyakinkannya.
“Bae Hyunsoo...”
Park Donghwa dan Jang Nana saling pandang.
“Bae Hyunsoo? Solma.. Kau tidak dari keluarga besar Bae, ‘kan?” tuntut Park Donghwa, dengan nada tidak suka.
Hyunsoo menunduk.
“Itu benar, saya memang dari keluarga Bae..”
Park Donghwa bangkit dari kursinya, begitu juga dengan Jang Nana.
“Gyuri, apa-apaan ini?” murkanya. “Apa tidak ada namja lain di dunia ini? Kenapa kau selalu berhubungan dengan keluarga Bae? Lagipula, dia calon pemimpin keluarga Bae.. Apa kau tidak tahu?”
“Abonim... Dia..” rengek Gyuri.
“Gyuri-yah... Aku tidak mengerti, kenapa kau lebih memilih namja ini daripada Hyun-sik?? Aku tidak suka!!” tambah Jang Nana, ibunya.
Gyuri menggeleng keras. Ia berlutut di kaki ayah dan ibunya.
“Omonim, jebal. Dia sedang sakit.. Aku tidak bisa meninggalkannya...”
“Gyuri-yah, kau tidak perlu berbuat seperti itu..” sergah Hyunsoo, bangkit dari kursinya.
“Omonim, Abonim... butakhalkeyo.. ” isak Gyuri, masih memohon-mohon.
Park Donghwa dan Jang Nana saling pandang, menghela napas. Gyuri adalah putri mereka satu-satunya. Hal paling membahagiakan bagi mereka tentu adalah hal yang membuat Gyuri bahagia. Singkat cerita, akhirnya mereka menyetujui hubungan Gyuri dan Hyunsoo. Rencana pernikahan sudah menguar ke telinga penyihir di seantero kota Seoul.
Bae Hyun-sik, adik Bae Hyunsoo datang ke rumah Park Donghwa. Ia datang untuk menemui Park Gyuri, teman dekatnya sejak masa kanak-kanak.
“Gyuri-yah.. Ada tamu..” katanya, kepada Gyuri yang sedang bermain piano di kamarnya.
Gyuri berhenti bermain piano. Ia menoleh ke arah ayahnya, tampak penasaran.
“Ye? Siapa, Abonim?” tanyanya.
“Kau lihat saja sendiri..” tutur ayahnya lalu melengos pergi.
“Aish..” umpat Gyuri. “Semakin membuatku penasaran saja..”
Gyuri bangkit lalu berjalan ke ruang tamu, hendak menemui tamunya. Langkahnya berhenti ketika ia melihat namja berambut pink, Hyun-sik. Namja itu memandang Gyuri, pilu. Hal itu membuat Gyuri merasa bersalah, membuat hatinya terluka.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Gyuri, kaku.
Hyun-sik tersenyum simpul, melenyapkan tatapan pilu itu.
“Tentu saja aku ingin menemuimu.. Apa tidak boleh?” tantangnya, mencoba bercanda.
Gyuri mundur. Ia membuang muka.
“Aku mohon kau jangan ke sini lagi.. Aku akan segera menikah, Hyun-sik..” jelasnya.
Sekejap senyum Hyun-sik lenyap dari mukanya yang pucat. Ekspresi marah tergambar jelas wajahnya.
“M-m-menikah?” gagapnya.
Gyuri mengangguk.
“Ye.. Jadi, jangan pernah datang kemari lagi.. ” ujarnya, menohok Hyun-sik tepat di jantungnya. Tanpa melihat wajah Hyun-sik, ia berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Kenapa kau melakukan ini kepadaku??!! WAE?” teriak Hyun-sik, membuat langkah Gyuri terhenti.
Gyur berbalik, menatap Hyun-sik dengan tatapan muak.
“Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai dongsaeng-ku. Jadi, jangan berpikiran yang tidak-tidak. Jangan sekali-kali kau salah paham dengan sikapku!!!” semburnya, dengan suara bergetar.
“Mwo? Mworago?” kaget Hyun-sik.
Gyuri tersenyum, mengejek.
“Beginilah kau!!” oloknya. “Begitu kekanak-kanakkan.. ”
Hati Hyun-sik benar-benar hancur. Yeoja yang selama ini ia puji-puji, ia lindungi, beginikah sosok dia yang sebenarnya?? Begitukah arti kehadirannya di mata yeoja yang dicintainya?
“Apa kau tidak tahu apa yang direncanakan Hyunsoo sialan itu?” geram Hyun-sik.
“Apa yang sedang kau bicarakan?” tuntut Gyuri. “Apa kau sedang mempengaruhiku agar membatalkan pernikahanku dengan Hyunsoo, hah?”
Hyun-sik menatap Gyuri tidak percaya.
“Percuma saja aku berkoar-koar di depanmu. Toh, kau tidak akan mempercayai omonganku!!” serunya, lalu menghilang dari hadapan Gyuri.
Gyuri jatuh terduduk. Ia menghela napas.
“Mianhe Hyun-sik ah..” lirihnya, sambil menyeka airmata yang sudah memenuhi pipinya. “Mianhe..”
***
Hyunsoo mengecup kening Gyuri dengan lembut. Mereka sudah resmi menjadi suami-istri. Semua penyihir yang menghadiri pernikahan mereka, tersenyum bahagia.
“Mainkan lagu itu untukku..” pinta Hyunsoo kepada Gyuri.
Gyuri dengan senang hati menuruti permintaan Hyunsoo. Ia berjalan menuju piano. Gaun pengantinnya yang anggun menyapu lantai. Seluruh mata tertuju kepadanya. Ia mulai memainkan not demi not yang Hyunsoo tuliskan untuknya, untuk sejarah cinta mereka. Seluruh penyihir terpana mendengar dentingan piano yang Gyuri mainkan. Saat ia selesai memainkan pianonya, seluruh penyihir bertepuk tangan. Suara sorak-sorai menyelimuti gedung itu.
Gyuri tersenyum bahagia.
Bagus, semua berjalan sesuai rencana.. Hyunsoo berkata dalam hati. Hahaha, aku akan segera...
Tiba-tiba saja, ada cahaya hijau yang mengelilingi Gyuri juga pianonya. Senyumnya luntur. Cahaya hijau itu menjeratnya, hingga ia terjungkal dari bangku. Tubuhnya terjerembab ke lantai marmer yang begitu dingin. Ia bisa melihat pantulan cahaya hijau itu dari permukaan lantai marmer.
“A-a-apa yang terjadi?” lirih Gyuri, tersengal.
TBC
Apa yang terjadi pada Gyuri? Penasaran sama kelanjutan ceritanya? Tunggu next part! Keep waiting! ^^
Eottae? Bagaimana? Menarikkah ceritanya? Author minta maaf, kalau ceritanya kurang menarik plus bahasanya kaku (banget). Hampir dua tahun nih author vakum dalam dunia tulis-menulis, nggak produktif. Jadi mohon maklum, kalau bahasanya acak adul dan kaku. Author sudah berusaha menuliskannya dengan sebaik mungkin. Monggo-monggo dikomen dan dikritik J