CHAPTER 1 : Baby Don't Cry
“Lepaskan aku Lu, kumohon.” Ucapku lirih.
Lelaki itu semakin menguatkan genggamannya ditangan kecilku.
“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu apapun yang terjadi.” Ucapnya mantap.
Mata rusanya menatap mataku tajam. Terlihat jelas kesungguhan dimata indahnya.
“Aku harus pergi Lu. Aku tidak ingin kerja kerasmu hancur hanya karena hubungan kita yang diketahui mereka.” Ucapku frustasi.
“Aku tidak perduli. Kumohon jangan tinggalkan aku.” Ucapnya sendu.
Jujur aku tidak tega. Aku tidak ingin melihat wajah sedihnya seperti ini.
Sakit. Perih. Itu yang kurasakan kini.
“Tapi aku perduli! Aku tidak ingin menjadi penyebab terpuruknya karirmu Xi Luhan.”
Sudah hampir dua minggu scandal percintaan seorang member boyband terkenal yang berasal dari China – Xi Luhan – menjadi headline disetiap pemberitaan yang ada.
Menjadi sorotan dan pembahasan didua Negara yang berbeda, China dan Korea Selatan.
Xi Luhan, kekasihku. Ya, hubungan yang sedang menjadi pembahasan itu adalah hubungan percintaan kami.
Hubungan yang sudah hampir dua tahun kami sembunyikan pada akhirnya harus menjadi bahan perbincangan public karena keteledoran yang kami lakukan. Ketidakhati-hatian kami membuat semua usaha kami sia-sia.
Kalau saja pada hari itu aku tidak mengajak Luhan berjalan-jalan disekitar sungai Han pasti foto-foto kebersamaan dan kemesraan kami tidak akan pernah muncul di internet.
Disetiap foto terlihat jelas wajahku dan wajah Luhan. Karena itulah Luhan ataupun managementnya tidak dapat mengelak. Dan dengan mudah mereka semua mengenali siapa wanita yang bersama dengan Luhan dalam foto itu. Aku, seorang gadis biasa yang berasal dari dunia yang berbeda dengan Luhan.
Didalam foto itu terlihat jelas senyum manis Luhan. Tangannya terus menggenggam tanganku dan merangkulku sesekali. Kami terlihat bahagia difoto-foto itu.
Tapi tidak dengan mereka. Orang-orang yang mengatas namakan diri mereka ‘Fans’ Luhan. Mereka merasa dikhianati oleh kami.
Mereka merasa dibohongi. Mereka marah dan dengan mudahnya melontarkan ucapan-ucapan kasar yang ditujukan kepada Luhan dimanapun mereka berada.
Tidak hanya itu. Mereka juga tidak pernah merasa puas mencaci maki Luhan di media-media social.
Sebenarnya apa salah kami? Apakah salah kalau kami saling mencintai?
“Aku tidak akan membiarkan karirku jatuh begitu saja dan aku juga tidak akan mau melepasmu. Jadi tetaplah disisiku. Percaya padaku semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.” Ucapnya yakin.
Aku tahu akan hal itu. Seorang Xi Luhan tidak akan menyerah pada keadaan. Dia akan terus berusaha mempertahankan semua yang sudah dia miliki. Menjaga dan merawatnya dengan baik.
Aku merasakannya, sampai saat ini aku masih merasakan kesungguhan dan kesetiaan seorang Xi Luhan.
“Aku tidak bisa Lu. Aku percaya pada semua janjimu tapi hatiku terlalu sakit mendengar hinaan yang mereka tujukan kepadamu karena mereka tidak suka aku menjadi kekasihmu. Aku tidak pantas untukmu Lu.”
Hatiku terlalu sakit melihat kenyataan yang ada. Aku tidak pernah sanggup melihat semua komentar negative dan umpatan yang orang-orang itu tujukan kepada Luhan.
“Hanya aku yang boleh menentukan siapa yang pantas berada disisiku. Hanya dirimu. Jangan dengarkan mereka. Dengarkan isi hatimu sendiri dan dengarkan ucapanku.” Pintanya.
Apa aku salah mengambil jalan untuk berpisah dengan Luhan demi untuk meredakan atau bahkan menghilangkan rasa amarah mereka?
“Lu, komohon.” Kutundukan wajahku. Pandangan mata Luhan tak pernah lepas dari mataku. Aku takut pertahananku runtuh.
“Aku tidak bisa chagiya. Aku terlalu mencintaimu.” Ucapnya berbisik tepat ditelingaku.
Kini Luhan memelukku. Menyalurkan kesungguhannya untuk penolakan atas ide gilaku. Berpisah.
“Apa tidak ada cara lain? Aku sangat mencintaimu, sungguh.” Ucapnya meyakinkan.
“Aku jauh lebih mencintaimu Luhan! Karena itu kumohon, lepaskan aku. Lupakan aku.”
“Tidak bisakah mereka hanya menghargai keputusanku? Mendukung dan mendoakan hubungan kita? Kita saling mencintai lalu kenapa harus berpisah?” Suara Luhan bergetar.
Segaris luka lagi-lagi menghiasi hatiku saat kudengar suara Luhan bergetar. Baru kali ini aku menyaksikan sendiri kerapuhan seorang Xi Luhan. Pria yang selalu menjaga dan memanjakanku. Pria dengan pemikiran yang dewasa dan penyayang ini rapuh didalam pelukanku.
“Apa dengan kepergianku sakit itu akan menghilang?”
“Aku yang akan pergi Luhan.” Ralatku.
“Aku yang akan meninggalkanku. Membawa kenangan kita. Lupakan aku, lanjutkan hidupmu disini. Seperti sebelum aku datang mengacaukan hidupmu.” Jelasku.
“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Apa kau menyesal mengenalku?” Luhan sudah melepaskan pelukannya.
Kini dia menatapku dalam. Ucapannya penuh dengan tuntutan.
“Tidak!” Jawabku yakin.
“Apa kau menyesal mencintaiku?” Tangannya mencengkram bahuku pelan. Matanya tak lepas menatap ke mataku.
“Tidak Lu! Demi Tuhan aku tidak pernah menyesal.” Nada bicaraku sedikit meninggi. Menandakan ketidaksukaanku atas pertanyaan Luhan.
“Aku tidak akan mungkin menyesal mengenal dan mencintai seseorang sepertimu, Luhan. Bertemu denganmu, mengenalmu dan dengan lancang mencintaimu. Semuanya, aku tidak pernah menyesali semuanya. Sungguh. Justru aku akan menyesal karena sudah mengambil keputusan untuk meninggalkanmu seperti ini.” Lanjutku dengan nada suara yang melemah diakhir kalimatku.
“Kalau begitu jangan pergi. Jangan tinggalkan aku.” Matanya benar-benar menyiratkan kesedihan.
“Apa aku benar-benar berharga untukmu Lu?” Tanyaku pelan.
“Sangat. Kau oksigen untukku, kau segalanya bagiku saat ini dan selamanya. Aku bisa mati tanpamu disisiku.”
Segaris senyum terbentuk dibibirku saat mendengar ucapannya. Kalimat yang sudah sering kali kudengar tapi kali ini terasa berbeda.
Biasanya Luhan mengucapkannya hanya untuk menggodaku tapi kali ini dia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
“Aku rindu senyumanmu.” Satu kalimat yang diakhiri dengan kecupan singkat dipipiku.
Satu kalimat yang malah membuat pertahananku runtuh. Saat mataku terpejam menikmati hangatnya bibir Luhan, airmataku berlarian bebas dipipiku. Menghapus jejak kecupan singkat Luhan.
“Sssttt, jangan menangis. Kumohon!” Ucap Luhan menenangkan.
Dua minggu pemberitaan tentang hubungan kami menjadi headline, selama itu pula senyumku hilang. Aku lebih sering mengurung diri diapartemen kecilku. Berharap mereka semua berhenti berteriak dan mencaciku ataupun Luhan.
Dua minggu aku tertekan dengan keadaan dan menolak bertemu Luhan bahkan berkomunikasi dengannya pun tidak. Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku mengajak Luhan bertemu hari ini diapartemennya hanya untuk mengajak Luhan berpisah.
“Baby, don’t cry. I beg…” Ucap Luhan. Ibu jari tangan Luhan bergerak menghapus airmata dipipiku. Dia meletakkan keningnya dikeningku. Hangat nafasnya menerpa wajahku.
“Satu hal yang harus kau ketahui, aku tidak merasa terluka atau tersakiti karena mereka tidak suka dengan hubungan kita dan mengucapkan kata-kata yang kasar kepadaku. Justru aku terluka saat melihat kau menangis seperti ini karenaku. Hatiku sakit saat kau menolak bertemu denganku, jauh lebih memilih mengurung diri diapartemenmu dan—“
Hening. Aku sengaja menunggu Luhan mengungkapkan semua isi hatinya sekarang. Hal yang jarang Luhan lakukan. Pria yang biasanya hanya mendengarkan keluh kesahku.
“—hatiku sekarang hancur saat kau mengucapkan perpisahan. Tidak bisakah kau hanya bersabar dan bertahan sebentar lagi? Menunggu aku berusaha meyakinkan mereka bahwa kita saling mencintai? Membantuku berusaha membuktikan kepada mereka bahwa kau adalah yang terbaik untukku, kau berharga untukku, kau adalah satu-satunya wanita yang aku cintai saat ini dan selamanya.” Luhan membuang nafasnya perlahan. Bersiap melanjutkan ucapannya.
“Jangan biarkan mereka menjadi penghalang dalam hubungan kita. Anggap semua ini ujian yang harus kita lalui untuk membuktikan kepada semua orang tentang kekuatan cinta kita—“
“—mereka hanya perlu bukti nyata, lalu dengan sendirinya mereka akan membiarkanku menjalani pilihanku sendiri. Kumohon bertahanlah disisiku sampai saat itu tiba. Mereka seperti itu karena mereka menyayangiku chagiya, bukan karena membencimu.”
Airmataku semakin deras mengalir. Kata-kata Luhan sungguh menyesakkan dadaku. Kenyataan dia yang sangat menyayangiku dan menginginkanku berada disisinya selamanya membuatku merasa aku adalah wanita terjahat didunia. Aku sudah menyakiti dia yang tulus mencintaiku.
Hatiku terus berteriak untuk tetap bertahan disisi Luhan, mengikuti semua ucapan Luhan tapi egoku terus menolak. Mendesakku untuk pergi meninggalkan Luhan. Egoku terus berkata aku hanya akan menyakiti Luhan kalau aku bertahan berada disisinya.
“Tuhan, bantu aku.” Jeritku dalam hati. Luhan terdiam menyaksikan tangisanku.
“Berhentilah menangis, kumohon. Pergilah kalau memang kau ingin pergi dariku tapi kumohon jangan menangis. Pergilah dengan senyumanmu yang kusuka agar aku bisa berusaha melepaskan dirimu. Walaupun aku tidak yakin aku bisa tapi kumohon jangan buat aku merasa bersalah karena melepasmu dalam keadaan menangis.”
Luhan memasangkan syal coklat favoritnya dileherku. Kugigit bibir bawahku, menahan isakan yang kapan saja bisa keluar dari mulutku.
Ucapan Luhan terdengar jauh lebih menyayat hati dibanding sebelumnya.
“Aku akan melepasmu sekarang—“ Luhan mundur satu langkah dari posisinya dihadapanku. Menyisakan jarak diantara kami.
“—tapi ingat, setelah semuanya selesai aku akan mencarimu dan menjadikanmu milikku lagi. Disaat itu tiba aku tidak akan pernah melepasmu lagi, selamanya. Ini satu-satunya kesempatan untukmu melarikan diri sejauh mungkin dari diriku sebelum akhirnya nanti aku akan mencarimu dan menemukanmu kembali—“
“—kau harus ingat itu calon ibu dari anak-anakku. Kau, calon Nyonya Xi pergilah sekarang sebelum aku berubah pikiran dan kembali menggenggam tanganmu yang tidak akan pernah kulepaskan sampai akhir hayat.”
Ucapannya begitu menghipnotisku. Tubuhku dengan sendirinya berputar dan berjalan menuju pintu keluar apartemen Luhan. Kuhentikan pergerakan tanganku didetik-detik terakhir sebelum pintu apartemen Luhan benar-benar kututup. Kuhapus airmataku dan kukuatkan hatiku untuk menatap wajah Luhan.
“Untuk yang terakhir kali.” Ucapku dalam hati.
Kuulaskan senyum terbaikku saat mataku menatap mata Luhan. Dia balas tersenyum kepadaku.
“Terimakasih—Xi Luhan.” Ucapku masih dengan senyum yang menghiasi wajahku. Sesuai permintaan Luhan.
Aku tidak memberi kesempatan untuk Luhan menjawab. Dengan gerakan cepat tanganku menutup pintu apartemen Luhan. Airmataku kembali membasahi wajahku. Kenyataan aku dan Luhan sudah benar-benar berakhir menghapus senyumku dengan sempurna.
“Selamat tinggal, Luhan. Lelaki terbaik yang pernah kumiliki dan posisimu dihatiku tidak akan pernah tergantikan. Jaga dirimu baik-baik. Hiduplah yang dengan bahagia. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Pangeranku. Mungkin kenyataan aku sudah kehilanganmu sangat menyakitkan tapi aku tidak menyesal karena ini semua demi masa depanmu dan masa depan dia, mahluk mungil yang ada didalam rahimku yang akan selalu kujaga dan kucintai seperti aku mencintaimu, Lu. Aku mencintamu Luhan, Ayah dari calon anakku.
- End -