CHAPTER 2 : Our Choise
“Tao, lihat ini!”
Tao yang sedang melihat-lihat ke sekeliling taman bermain menengok ke arah Mimi. Mimi menyuruhnya untuk menghampirinya, sambil menunjuk sebuah stan yang menjual beberapa aksesoris yang lucu. Hmm… mungkin lebih tepatnya… aneh.
Bagaimana tidak aneh? Aku sangat syok ketika melihat sebuah wig yang menggunakan rambut asli! Juga dengan gelang yang terbuat dari bulu kucing itu! Benda apa itu? That’s freak, man. Aku merasa bulu kuduk-ku berdiri.
Aaah, iya. Aku lupa apa tujuanku sebenarnya. Bukan saatnya terkejut karena benda-benda aneh itu. Tujuanku yang sebenarnya adalah mengawasi mereka berdua, kalau-kalau jika sesuatu yang buruk terjadi.
Dengan jarak 5 meter dari mereka, aku terus memantau mereka ke mana-mana. Jujur saja, itu cukup melelahkan. Mereka terlalu aktif berjalan ke sana-sini, membuatku harus berusaha mengejar mereka agar tidak kehilangan jejak mereka.
Tao dan Mimi sedang duduk di kursi panjang untuk pengunjung sambil meminum bubble tea mereka masing-masing. Mereka tampak sangat akrab dan senang. Aku merasa… sakit. Entah apa yang terjadi, aku merasa pemandangan ini seperti menusuk. Kurasakan kemarahan menjalar di tubuhku. Apa aku… cemburu?
Mataku tak henti-hentinya memandangi kedua orang itu. Kulihat Tao mengambil bubble tea milik Mimi, lalu menghabiskannya. Mimi terlihat kesal, lalu akhirnya memukul-mukul Tao yang langsung dibalas rengekan olehnya. Mereka terlihat senang.
Aku sadar. Sepertinya feeling-ku benar-benar salah. Tak akan ada hal buruk yang terjadi di antara mereka. Lagipula mereka telah lama dekat dan akhirnya berpacaran, justru harusnya mereka rukun, kan? Apa yang telah kupikirkan? Sepertinya aku semakin bodoh.
Aku membalikkan badanku, berjalan perlahan untuk menjauhkan pemandangan itu dari mataku. Tapi… aku merasa tak bisa melangkahkan kakiku. Feeling-ku kembali mengatakan bahwa aku harus tetap memata-matai mereka. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi seperti itulah yang kini kurasakan.
Aku menghela nafas, lalu kembali membalikkan badanku. Tapi Tao dan Mimi sudah tidak ada di sana. Aaah, di mana mereka? Aku harus mencari mereka!
Aku segera berlari dari tempatku. Aku berkeliling taman bermain selama setengah jam, tapi tak menemukan mereka. Mengapa akhir-akhir ini aku menjadi begitu ceroboh? Padahal sebelumnya aku adalah orang yang selalu hati-hati mengambil tindakan.
Aku terus berusaha untuk mencari mereka di mana-mana, karena feeling-ku semakin buruk. Dan aku butuh bukti sekarang bahwa semua feeling yang berkecamuk ini tidak benar. Duuh, di mana kau Tao? Di mana kau Mimi.
Aku berdiri di depan pintu gerbang masuk taman bermain itu. Aku menatap jamku sambil menghela nafas berat. Kini jam sudah menunjukkan pukul 03.45 pm., dan Tao serta Mimi belum menunjukkan batang hidung mereka sedikit pun. Aku merasa semakin khawatir dan pikiranku kalut. Aku berjongkok, lalu mengacak rambutku kesal. Sudah sekitar 4 jam aku mencari mereka, tapi aku tetap tak berhasil menemukan mereka.
“Mimi!”
Mataku membulat mendengar suara cempreng yang khas memanggil nama Mimi. Itu adalah suara Tao! Mereka di sini!
Aku menoleh ke kanan, dan menemukan tak jauh dari sini Tao dan Mimi yang sedang berdiri di belakang semak-semak dan pepohonan yang sukses membuatku mereka tidak terlalu terlihat. Aku berdiri dan langsung berlari kecil mendekati mereka.
“Mimi, apa yang terjadi?”
Aku bergeming ketika telah hampir membelah semak-semak itu. Kudengar suara sedih Tao ditelingaku, bertanya kepada Mimi tanpa ada jawaban dari perempuan itu. Kupandangi ekspresi mereka. Terbentuk keseriusan serta kesedihan di raut wajah mereka.
Mimi yang awalnya menunduk, kini mendongak kepada Tao. Ia memandangi mata panda itu dengan serius, lalu menghela nafas perlahan. Mulutnya bergerak-gerak, tapi tak mengeluarkan suara sedikit pun. Kulihat ke arah tangannya yang terkepal kuat. Sedikit bergetar. Dan saat itu, semua terbukti.
“Tao, ayo kita putus.”
Tao terbelalak mendengar permintaan itu, begitu juga aku. Mimi meminta putus? Memangnya apa yang terjadi hingga Mimi berpikiran seperti itu?
Tao menatap tak percaya Mimi yang tertunduk. Aku bisa melihat Tao yang menampakkan wajah terluka. Aku yakin, Tao benar-benar sedih karena ini pertama kalinya ia mempunyai seorang kekasih. Tapi hanya dalam waktu 3 bulan, Mimi telah meminta mengakhiri hubungan mereka.
Tangan Tao perlahan menyentuh bahu Mimi, membuat perempuan itu menoleh. Tao terdiam ketika ia mendapatkan tatapan tajam dari Mimi. Dengan kasar Mimi menepis tangan Tao.
“Jangan menyentuhku! Sudah kubilang kita putus!” bentak Mimi kasar. Tao terkejut. Ini pertama kalinya Mimi membentak Tao.
Tanpa meminta penjelasan, Tao langsung berbalik sambil menatap miris Mimi dan berlari meninggalkannya. Bersamaan dengan itu, aku menampakkan diri. Mata Mimi membulat ketika mengetahui aku telah mendengar pembicaraannya barusan. Ia menatapku sejenak, lalu memalingkan wajahnya.
Aku merasa emosiku sudah naik dan tak bisa ditahan lagi. Kudekati Mimi dan dengan tanganku kutolehkan kepalanya ke arahku. Aku ingin meminta penjelasan untuk semua ini.
Tapi dalam hitungan detik, aku terbelalak. Kulihat mata Mimi telah berkaca-kaca, juga telah memerah. Aku menyerngitkan dahiku.
“Mimi, kau… apa yang terjadi?” tanyaku tak mengerti. Mimi tak menjawab pertanyaanku. Air matanya perlahan mulai turun satu persatu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan tangis. Dan perlahan, kudengar isakan tangisnya. Aku merasa dadaku sakit mendengar isakannya. Terakhir kali aku mendengarnya menangis adalah saat kelas 2 SMP, ketika ada yang menganggunya. Dan kini, aku yang tak tahan mendengar tangisannya harus mendengar ia menangis.
Kutepuk pelan punggungnya, mencoba untuk menenangkannya. Tapi, justru tangisan Mimi makin mengeras. Aku memegang kedua bahunya, lalu mengarahkan mataku kepada mata miliknya yang telah penuh oleh air mata. Kulihat bibirnya mulai bergerak, mungkin ia ingin berbicara sesuatu.
“Kris, aku harus bagaimana? Sebenarnya… aku tak ada perasaan kepada Tao,” ujarnya di sela tangis. Aku berusaha menahan rasa terkejutku, memasang telinga baik-baik untuk mendengar penuturannya. “Saat itu, ia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku tak enak hati menolaknya, jadi aku menerimanya. Kupikir aku bisa mencintai Tao. Tapi…”
Mimi tak meneruskan perkataannya. Aku masih bergeming, menunggunya untuk melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Tapi bibirnya terkatup rapat. Kuraih pipinya dengan lembut, memandangnya dalam-dalam. Kuusap air mata yang terjun dari matanya. Ia menatapku sejenak, lalu menghela nafas berat. Matanya tertutup rapat. Bibirnya kembali bergerak, siap mengatakan apa yang selanjutnya ingin ia katakan.
“Kris, aku menyukaimu.”
Kalimat itu seketika membuatku sangat terkejut. Benar-benar terkejut. Tak pernah terpikir kalimat itu akan keluar dari mulutnya. Ia menatapku pilu. Kurasakan bahunya bergetar ketika ia mengatakan kalimat itu.
“Kris, aku baru sadar bahwa aku menyukaimu. Aku merasa nyaman ketika kau berada di sampingku. Aku bisa leluasa tersenyum dengan ceria karena dirimu. Aku tahu bahwa semua kenyataan ini akan menyakiti Tao. Tapi seperti yang kau bilang, cinta tak bisa berbohong. Oleh karena itu aku membuat Tao membenciku, agar aku menebus dosa karena telah menerima cintanya tanpa ada perasaan padanya.”
Aku merasa hatiku berkecamuk. Aku tak tahu bahwa selama ini Mimi menyukaiku dan aku tak pernah mengatakan bahwa aku juga menyukainya. Aku sangat menyesal. Tapi… andai aku lebih dulu menyatakan perasaanku kepada Mimi, Tao pasti akan tersakiti. Tapi… andai aku lebih dulu, tentu Tao juga tak akan seperti sekarang ini. Otakku penuh dengan kata ‘andai’, dan itu sangat menganggu.
Aku mengacak rambutku dengan kesal. Kutatap kembali Mimi yang tertunduk. Tangisannya mulai mereda, tak sekeras sebelumnya. Tapi aku masih bisa merasakan kesedihan pada diri Mimi.
Mata Mimi membulat seketika, karena tiba-tiba aku memeluknya. Kubenamkan kepalaku di pundaknya, masih bingung dengan semua ini. Dan aku tak merasakan ia memberontak. Aku memeluknya semakin erat.
“Mimi, kau tak bersalah. Maksudmu baik, agar Tao tak sakit hati. Tapi… kejujuran tetap yang paling utama. Lain kali, jangan membohongi dirimu sendiri, karena hatimu tak akan pernah bisa berbohong. Cobalah untuk jujur, meskipun itu menyakitkan. Karena kejujuran itu lebih baik dari kebohongan,” jelasku.
Aku yakin, Mimi mendengar perkataanku. Aku berharap ia akan menjadi lebih jujur di masa yang akan datang, agar ia dan Tao tidak sama-sama tersakiti. Aku tak ingin melihat salah satu dari mereka sangat terluka hanya karena sebuah kebohongan. Air mata mereka lebih berharga dari itu.
Aku melepas pelukanku, lalu menepuk lembut bahunya. Kulihat Mimi sudah berhenti menangis, berarti aku sekarang bisa meninggalkannya. Ada hal yang lain yang harus kukerjakan.
Aku berjalan meninggalkan dirinya yang masih terpaku. Setelah beberapa langkah, aku mendengar suara lembutnya memanggilku.
“Galaxy!”
Aku menoleh, mendapati dirinya kini tersenyum lembut. Senyum yang selalu berhasil membuatku terlena.
“Terima kasih!”
Aku mengangguk setelah ia mengatakan kalimat yang ingin ia katakan kepadaku. Aku melanjutkan langkahku, pergi ke tempat di mana sosok laki-laki bermata panda itu ada.
.
.
.
.
.
.
“Tao, apa yang kau lakukan di sini?”
Tao menoleh, lalu menatapku yang berdiri di sampingnya dengan matanya yang basah.
Kini, kami sedang berada di salah satu tempat favorit kami bertiga. Di atas gedung sekolah kami saat SMP dulu, tempat di mana terdapat 3 patung dengan nama kami terukir di masing-masing patung itu.
Tao yang berdiri di samping patungnya, melangkah ke patung yang berada di sebelah patungnya. Patung Mimi. Ia menyentuh patung itu, lalu menunduk.
“Tao, kau tak apa?” Aku berjalan mendekatinya dan menyentuh pelan bahunya. Ketika aku membalikkan tubuhnya, ia memasang mata yang tak aku suka. Mata yang memancarkan perasaan terluka dan terkhianati.
“Galaxy Hyung, apa salahku? Aku… apa yang sudah kuperbuat kepadanya hingga ia berkata seperti itu? Aku sangat membencinya. Jika seperti ini, mengapa ia menerimaku?” Tao mengeluh sambil menyeka air matanya.
Aku menepuk bahunya, lalu melempar senyum. Ini pertama kalinya aku melihat Tao seperti ini. Ia akhirnya mengerti bagaimana rasanya mencintai dan disakiti. Mungkin saat ini ia butuh nasihat kecil.
“Tao, seperti inilah rasanya cinta. Ada saatnya kita merasakan senang, ada saatnya kita merasa sedih. Tapi percayalah kepadaku, masih banyak cinta yang lebih menyenangkan daripada cintamu sekarang. Jadi tak usah mempermasalahkan mengapa ia mengakhirinya denganmu. Mungkin kau akan mendapatkan cinta yang lebih baik suatu saat nanti.”
Tao terdiam sejenak. Aku rasa ia sudah mengerti dan akan baik-baik saja. Kulihat ia menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum. Ia sepertinya senang karena mengetahui bahwa akan ada cinta yang lebih baik untuknya. Kepolosannya memang baik untuknya.
Tiba-tiba, ia langsung memelukku erat. Aku terkejut karena tiba-tiba saja ia memelukku dengan kuat, membuatku sedikit sesak. Tapi kulihat ia tersenyum bahagia. Yaaa, Tao si polos akhirnya telah senang.
“Terima kasih Galaxy Hyung.”
“Tao! Kris!”
Kami berdua menoleh, mendapati bahwa kini Mimi berdiri tak jaug dari kami dengan keringat yang mengucur dan ngos-ngosan.
Aku menatap Tao, memintanya untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Ia terpaku sejenak dengan wajahnya yang agak canggung. Tiba-tiba tangannya terangkat, terulur kepada Mimi yang sedikit terkejut. Tao memberikan senyuman canggungnya.
“Mimi, ayo ke sini.”
Mimi tersenyum bahagia mendengar ajakan Tao. Ia berlari menghampiri kami dan memeluk kami berdua. Kebahagian menyelimuti kami bertiga.
.
.
.
.
.
.
“Pengantin wanita akan masuk ke dalam ruangan.”
Seorang perempuan berjalan masuk dengan berbalut gaun penganti berwarna putih. Ia hanya mengoleskan sedikit make up di wajahnya, tapi mampu membuat semua para hadirin terpesona, termasuk aku.
Aku tersenyum ketika ia berjalan semakin dekat ke arahku. Ia menatapku, lalu tersenyum kecil. Ia berjalan semakin dekat denganku. Langkah kakinya perlahan semakin terasa tak ada jarak.
“Mimi, selamat.”
Itu yang kukatakan ketika ia telah berada di dekatku. Ia sedikit terpaku, lalu tersenyum manis. Mimi berjalan melewatiku yang terus mengekori langkahnya.
Aku menatap Mimi yang kini telah berada di altar, bersama dengan seorang pria berbadan tinggi yang memakai tuxedo berwarna putih. Pria itu berwajah manis, namun sangat tampan. Sangat cocok dengan Mimi.
“Luhan, apa kau bersedia untuk hidup bersama dengan Xiao Mimi, serta selalu menjaganya dan setia kepadanya?”
Luhan, pria yang kini berada di hadapan Mimi tersenyum malu, lalu mengangguk.
“Ya, aku bersedia.”
“Xiao Mimi, apa kau bersedia untuk hidup bersama dengan Luhan, serta selalu menjaganya dan setia kepadanya?”
Mimi menatapku dan Tao yang duduk di kursi hadirin. Aku menyambut tatapannya dengan senyum kecil. Ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Luhan, lalu mengangguk.
“Ya, aku bersedia.”
.
.
.
.
.
.
“Haaaah, lelahnya!”
Aku menggelengkan kepalaku sambil berdecak ketika Mimi berteriak dengan kencang di dalam ruangan yang hanya terdapat aku, Mimi, Luhan, Tao, dan pacarnya. Kujitak pelan kepalanya, yang langsung disambut tatapan tajam khas Mimi.
“Kris, sakit! Kau tak bolek melakukan itu kepada pengantin baru. Lihat Luhan, ia menyakitiku!” keluh Mimi sambil mengelus kepalanya.
Luhan tertawa menanggapi keluhan Mimi, lalu merangkulnya. Kulihat mereka berdua tertawa dengan bahagia. Aku menatap mereka dengan senyuman terlukis di wajahku.
“Galaxy Hyung, bagaimana bisa kau belum mempunyai kekasih, hah?” Tao bertanya sambil bergandengan tangan dengan kekasih barunya, Hana. Hana adalah orang berkebangsaan Jepang namun pintar berbahasa China yang berhasil merebut hati Tao.
Aku tertawa. Kurangkul Tao sambil mengacak rambutnya gemas.
“Berani sekali kau bertanya seperti itu, ya? Padahal kau selalu meminta saran kepadaku jika mengenai hal-hal tentang cinta!” Aku terkekeh pelan. Tao melotot, lalu meletakkan telunjuknya di bibirnya. Ia lalu menoleh kepada Hana yang kini tertawa kecil. Kulihat Tao tersenyum malu.
Kulepas rangkulanku, lalu tersenyum sambil menghela nafas. Kutatap keempat orang yang terlihat bahagia itu. Kurenungkan pertanyaan Tao barusan. Galaxy Hyung, bagaimana bisa kau belum mempunyai kekasih, hah?
Alasanku adalah… karena aku belum menemukan orang yang tepat. Orang yang bisa merebut hatiku, seperti Mimi yang pernah berhasil merebutnya. Mungkin aku terlihat seperti orang yang pintar mencari seorang wanita yang dapat menggantikan Mimi di hatiku. Tapi jujur, aku tak pernah berhasil.
Kutatap kembali Mimi yang kini sedang memeluk Luhan. Luhan mengusap kepala Mimi dengan sayang. Hatiku merasa sakit, tapi aku tak memberitahu siapa pun. Kini Mimi sudah bersama Luhan, aku tak bisa berbuat apa-apa.
.
.
.
.
.
.
Aku menghela nafas berat. Kini aku berada di tepi pantai, memandangi pemandangan sore hari yang begitu indah. Desiran ombak menenangkan pikiranku yang kalut. Aku masih merasa sedih melihat Mimi hari ini menikah.
Di atas pasir-pasir putih itu, kutulisakan namanya menggunakan jariku. ‘Xiao Mimi’. Aku menatap tulisan namanya dengan sedih. Aku… tak menyangka ia akan menikah dengan orang lain. Saat itu, 2 tahun setelah Tao dan Mimi putus, ia dekat dengan Luhan. Dan akhirnya mengatakan bahwa mereka telah berpacaran. Lalu setelah 4 tahun berpacaran, mereka menikah. Menghadapi semua ini, membuat aku menjadi depresi. Aku menyesal karena tetap tak bisa menyatakan perasaanku kepadanya.
Buuuk!
Sebuah bola voli mengenai kepalaku. Rasanya cukup menyakitkan, membuatku sukses berteriak. Aku menoleh ke belakang dengan kesal. Siapa yang berani melempariku bola, hah?
Aku terpaku ketika mendapati orang yang melempariku dengan bola voli adalah Kim Nara, teman satu kuliahku yang berasal dari Korea.
Ia berlari kecil ke arahku dengan wajah khawatirnya. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang-goyang mengikuti irama langkahnya. Kutatap wajahnya yang sudah 6 tahun tak aku jumpai. Wajahnya semakin… cantik.
“Maafkan aku!” Ia membungkuk berkali-kali dengan rasa bersalah. Aku langsung menyadarkan diriku dari perasaan terkejutku. Ia kemudian menatapku, lalu membulatkan matanya. Jarinya menunjuk ke arahku.
“K… Kris?” tebaknya dengan sedikit ragu. Aku langsung berdiri dan membungkuk kepadanya. Sambil memegang tengkukku, aku tersenyum kikuk.
“Aah, iya. Sudah lama tak berjumpa denganmu Kim Nara.” Aku berbasa-basi. Sebenarnya sedikit kikuk bertemu lagi dengannya. Bagaimana tidak? Ia adalah temanku yang pernah kutolak dulu. Aku ingat sekali ketika ia mengatakan bahwa ia menyukaiku. Tapi aku menolaknya, membuatnya menjauhiku.
“Tak kusangka bisa bertemu lagi denganmu setelah 6 tahun!” Ia berteriak girang. Matanya memandangiku dari bawah hingga atas. Ia melipat kedua tangannya di dadanya, lalu tersenyum nakal.
“Dan tak kusangka kau semakin dewasa, ya. Seingatku saat itu kau orang yang masih terbilang aneh dan menggemaskan. Sekarang kau sudah menjadi laki-laki!” Ia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum manis.
Senyuman itu, senyuman khas Nara. Jujur, menurutku senyumannya semanis senyuman Mimi. Ia juga mempunyai senyuman yang selalu membuat hatiku luluh. Ya, ia sangat mirip dengan Mimi. Juga matanya yang cukup tajam, meski tak setajam mata Mimi.
Nara mengambil bolanya, lalu menarik tanganku. Aku sedikit terkejut. Ia melempar senyum.
“Ayo, kita bermain bersama!” Ia mengajakku bermain bersamanya. Awalnya aku sedikit ragu. Meskipun aku menyukai permainan voli, tapi sudah cukup lama aku tak menyentuh bola voli. Aku lebih sibuk dengan persiapanku untuk menjadi penyanyi terkenal nanti.
Namun ia menunjukkan senyuman itu. Senyuman yang tak akan pernah bisa kutolak. Senyuman yang selalu membuat hatiku bisa bergetar.
Aku menggidikkan bahu sambil tersenyum, lalu mengikuti langkahnya.
.
.
.
.
.
.
Cinta? Akan kuperjelas apa arti cinta menurutku. Cinta menurut definisiku.
Cinta itu adalah di mana kita merasakan kebahagiaan bersama orang yang kita sayangi. Di mana kita merasakan aman dan nyaman. Kita akan merasakan cinta jika berada di dekat orang yang kita sayangi.
Terkadang, cinta itu mendatangkan kebahagian, terkadang mendatangkan kesedihan. Tapi justru karena itu, kita akan mendapatkan cinta yang kuat. Cinta yang memang benar-benar untuk kita. Karena dari kedua pengalaman itu, kita belajar bahwa cinta itu menmbuatku kita mengerti arti kebahagiaan dan kesedihan.
Cinta juga tak dapat berbohong. Kita tak bisa membohongi hati kita. Jika kita menyayangi seseorang, rasa itu tak bisa dipungkiri. Kita tak akan pernah bisa mengelak dari itu. Pasti hati kita akan menunjukkan kejujuran apa yang kita rasakan.
Tapi, cinta tak hanya muncul dari jodoh kita. Kita bisa mendapatkannya dari banyak hal. Dari persahabatan, juga keluarga. Jadi, kita punya banyak cinta. Jangan khawatir jika kita kehilangan satu cinta, karena kita masih punya banyak cinta di dunia.
Itu lah cinta menurut beberapa pandanganku. Untukmu, apa itu cinta?
The End.