CHAPTER 1 : Tao And Mimi...
Aku mendengarkan musik di ponselku menggunakan headset yang kini terpasang di telinga. Aku memutar lagu tak terlalu keras, karena pasti ia ingin berbicara denganku. Sambil menunggu ia berbicara, aku yang berada di kasurku menggerak-gerakkan kepalaku mengikuti alunan musik yang nge-beat itu.
“Galaxy Hyung.”
Aku menoleh ke bawah, mendapati bahwa kini si pria bermata panda itu, Tao tengah menatapku seakan meminta belas kasihan sambil berjongkok di samping kasurku. Aku menegakkan badanku, lalu memposisikan diriku duduk di pinggir ranjang.
“Ada apa?” tanyaku sambil tanganku melepaskan sebelah headset yang terpasang di telinga kananku. Ia menoleh ke kanan yaitu ke arahku sejenak, lalu ikut duduk di atas kasur. Aku bisa mendengarkan helaan nafas beratnya. Ia menopang dagunya sambil meletakkan sikunya di atas pahanya yang tertutupi oleh celana panjang hitam kesayangannya.
“Aku akan mengajak Mimi kencan minggu depan, tapi aku tak tahu harus pergi ke mana bersamanya.” Ia bercerita dengan nada gelisah, sedangkan aku menanggapinya dengan ‘o’.
Tao dan Mimi telah berpacaran selama 3 bulan ini. Kami bertiga adalah teman satu sekolah sejak SMP, dan selalu bersama hingga kami kini masuk ke dunia perkuliahan dengan mata kuliah yang sama, yaitu musik. Sejak SMA, Tao mulai menyadari perasaannya dan akhirnya mampu menyatakan cintanya kepada Mimi dan diterima oleh perempuan itu. Aku merasa sakit.
Sebenarnya aku mempunyai perasaan terhadap Mimi juga sejak SMP, lebih lama dari Tao. Meskipun aku adalah orang yang cool dan manly, tapi aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku kepadanya. Jadi kini aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa Tao lebih dulu mendapatkan Mimi daripada diriku yang bodoh ini.
“Apa kau punya pendapat, Galaxy Hyung?” tanya Tao dengan tatapan memohonnya yang selalu berhasil membuatku menjadi merasa harus membantu. Padahal aku sebenarnya malas membantunya jika menyangkut masalah ‘Mimi’. Tapi kali ini sepertinya Tao telah putus asa. Aku bisa melihatnya dari Tao yang kini memeluk bantalku dengan wajah sedih.
Aku bangkit dari tempat tidurku menuju ke rak buku yang penuh dengan komik dan majalah. Aku tidak punya hobi mengoleksi benda-benda itu, tapi salah seorang sepupuku menitipkan benda-benda ini karena Ibunya tengah mengancam akan membakar komik dan majalahnya jika tidak segera dilenyapkan dari rumahnya. Sepupuku itu memang orang yang nakal dan santai, padahal ia juga akan mengejarku menuju pendidikan kuliah dengan jurusan yang sama denganku.
Aku melihat-lihat majalah untuk mencari benda yang aku butuhkan. Dan tak butuh waktu yang lama, aku langsung menemukan majalah yang tengah kucari. Aku memberikan majalah itu kepada Tao. Tao membaca judul majalah itu dengan mata yang membulat. ‘Panduan Kencan’.
“Galaxy Hyung, kau memintaku untuk membaca ini?” tanya Tao tak percaya. Aku duduk kembali di atas kasur sambil menganggukkan kepalaku. Ia terdiam karena ia tahu aku tak berbohong dengan satu anggukkan.
Tao kembali menatap majalah itu lekat-lekat. Aku yakin, ini pertama kalinya ia membaca majalah seperti itu. Yang biasanya ia baca hanyalah komik. Ia tak pernah menyentuh majalah ataupun novel, apalagi yang berhubungan dengan hal-hal seperti itu.
Aku kembali mendengarkan musik sambil menatap Tao yang mulai membuka halaman majalah itu. Ia memperhatikan setiap saran-saran kencan yang diberikan. Sesekali ia akan membulatkan mulutnya sambil mengatakan ‘o’ dengan panjang. Kadang ia akan mengangguk-anggukkan kepalanya, pura-pura mengerti. Aku yakin, ia sebenarnya tak mengerti. Tapi karena malu, akhirnya ia hanya bisa berpura-pura.
Aku tertawa kecil ketika Tao menutup majalah itu dengan wajah kebingungan. Aaah, ia sepertinya tak akan pernah mengerti hal-hal yang seperti ini. Bagaimana bisa Mimi mau berpacaran dengannya?
“Galaxy Hyung, aku tak mengerti dengan majalah ini. Majalah ini bilang bahwa perempuan itu senang dengan tempat-tempat romantis, tapi aku tak tahu di mana aku bisa menemukan tempat itu. Majalah ini juga memberiku saran fashion, tapi aku tak suka dengan gaya yang seperti ini.” Tao menepuk-nepuk majalah itu.
Aku menghela nafas sambil bertopang dagu. Tao benar-benar belum berpengalaman dengan hal-hal yang seperti ini. Sepertinya aku harus mengajarinya secara langsung, bukan dengan buku yang tentu tak akan sampai ke otaknya.
Aku berdeham, siap memberikan beberapa saran kepada Tao. Aku berharap apa yang aku beritahu akan masuk ke dalam otaknya. Tao menatapku dengan antusias, siap mendengarkanku.
“Kalau masalah penampilan, itu terserah kau. Lebih baik menggunakan gaya yang ciri khasmu. Tapi ingat, jangan terlalu norak. Kau bisa-bisa mempermalukan Mimi.” Tao terlihat mulai paham. Aku menarik nafas, lalu membuangnya perlahan, “Dan juga untuk tempat kencanmu. Kau ini sudah beberapa tahun dekat dengannya, harusnya kau tahu tempat kesukaannya. Cari tempat yang tidak membosankan untuknya, tapi juga tak membosankan untukmu. Contoh, taman bermain yang biasa kita datangi. Karena aku tak ikut, tentu akan lebih spesial untuk kalian datang ke sana meskipun sudah terlalu sering datang ke sana.”
“Aaah, ternyata seperti itu. Terima kasih Galaxy Hyung!” Tao segera berdiri dan langsung berlari meninggalkan kamarku. Aku melongo. Padahal aku belum selesai memberikannya saran. Masih banyak saran yang akan aku berikan kepadanya agar kencan itu sukses dan tidak rusak karena kepolosannya. Tapi Tao sepertinya sudah paham dan tak akan merusak kencannya sendiri. Aku menggidikkan bahu, lalu kembali mendengarkan lagu dengan konsentrasi.
Aku menguap dan merasa mengantuk, mungkin karena lagu ini. Lagu yang kini terdengar di telingaku adalah lagu favorit Mimi yang tak pernah berubah. Lagu milik Lee Seung Gi dengan judul Return. Dengan mata yang terasa mulai berat, aku menikmati lagu itu dengan tenang.
The mysterious end of that season
I think, did I really love you?
Somewhere, all those times that we were together
I look back to those time
As if I could touch it
As if it was yesterday
“Kris, lihat ini!
Aku menoleh kepada Mimi yang kini sedang berada di atas pohon dengan seragam SMP yang telah kotor. Saat ini kami sedang menunggu Tao yang sedang mengambil tasnya di kelas. Kami baru saja bermain kejar-kejaran bertiga dan Mimi terjatuh beberapa kali, sehingga seragamnya kotor.
Mimi mengayun-ayunkan tangannya, mengajakku untuk ikut naik ke atas pohon. Aku menatapnya tak percaya. Pohon itu adalah pohon yang cukup tinggi. Bagaimana jika aku jatuh? Mimi sepertinya mau membunuhku.
Aku menolak naik ke atas. Aku tak ingin ambil resiko jika tanganku atau kakiku patah. Aku yang senang rap tak akan bisa tampil di farewell party sekolahku jika itu terjadi dan aku tak akan membiarkan itu benar-benar terjadi.
Mimi kelihatan kesal karena aku menolaknya. Ia memberikanku tatapan yang selalu berhasil membuatku takut, yaitu tatapan khasnya. Tatapan lakukan-atau-kau-mati. Keluarganya memang terkenal mempunyai mata yang mengerikan sejak dulu, dan Mimi termasuk salah satu keturunan yang mempunyai bakat itu.
Aku menelan ludah. Dengan setengah hati, akhirnya aku bersedia. Ia yang awalnya kesal, kini tersenyum. Aku mencoba untuk memberanikan diri naik ke atas sana. Semoga aku tak apa-apa.
Aku mulai memanjat pohon itu. Sesekali aku terkejut karena hampir terjatuh. Cukup sulit untuk bisa naik ke atas sana menyusul Mimi. Haaah, harusnya aku tetap menolaknya dan langsung kabur meninggalkannya.
“Kris!” Aku mendongak. Mimi mengulurkan tangannya kepadaku sambil tersenyum manis. Seketika perasaan takut pun menghilang. Dengan cepat kuraih tangannya yang berjari ramping itu. Dengan segera ia menarikku dan aku kini berada di sampingnya.
“Fyuuuh, untung aku selamat,” gumamku sambil melirik ke bawah. Mimi terkekeh mendengar gumamanku. Ide nakal muncul dari kepalanya. Ia meletakkan tangannya perlahan ke bahuku, lalu tiba-tiba mendorong bahuku pelan. Refleks aku terkejut dan langsung memegang erat dahan-dahan besar pohon itu. Aku menghela nafas. Untung saja aku tak jatuh karena ulahnya.
“Kris, kau begitu takutnya? Santai saja. Aku jamin jika kau bersamaku, kau tak akan terjatuh,” ujar Mimi sambil menepuk dadanya. Aku terpana mendengar kata-katanya. Entah mengapa, jantungku terasa berdetak lebih cepat. Hanya dengan mengingat kata-katanya tadi, aku merasa senang. Apa aku… aah, tidak mungkin.
Aku membuang pikiran yang tak mungkin terjadi itu dengan menggeleng-gelengkan kepalaku. Kurasakan tangan Mimi menarik ujung lengan seragamku yang sebatas siku. Jari telunjuknya menunjuk sesuatu. Aku melihat ke arah yang ditunjuk olehnya.
Aku terpana dengan apa yang kulihat. Dari pohon ini, kami bisa melihat ke atas gedung sekolah lebih dekat meskipun tidak terlalu dekat. Tapi bukan itu yang membuatku takjub. Tapi terdapat 3 patung di sana dengan di masing-masing di bawah patung terukir nama. Kris Wu, Xiao Mimi, dan Huangzi Tao.
Aku menoleh kepadanya untuk meminta penjelasan. Dan aku bergeming ketika melihat ia tersenyum lembut menatap ketiga patung indah itu. Jujur, aku belum pernah melihatnya tersenyum seperti. Kurasakan jantungku kembali berdetak cepat. Hatiku… merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan yang belum pernah kurasakan. Dan hanya dengan senyuman itu, ia membuat perasaan itu muncul.
Mimi menolehkan kepalanya kepadaku, dan saat itu juga aku langsung tersadar. Tapi wajahku sudah terlanjur mulai memerah. Aku langsung memalingkan wajahku. Aku tak berani menatap matanya sekarang. Jika aku menatap matanya, mungkin wajahku akan bertambah merah. Ia tersenyum kecil, lalu kembali mengalihkan pandangannya kepada patung-patung itu.
“Kau tahu bahwa Adik Ayahku adalah pemilik sekolah ini, kan? Mungkin ini terdengar egois, tapi aku meminta beliau yang memang hobi memahat patung untuk membuatkan patung kita dan meletakkannya di atas gedung sekolah ini. Untung saja dengan senang hati ia bersedia.” Aku mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Ia terdiam. Aku menunggunya untuk melanjutkan bicaranya. Aku bisa mendengarkan helaan nafasnya.
“Sekolah ini adalah tempat di mana aku bertemu kau dan Tao. Aku berpikir bahwa ini semua adalah keajaiban untuk bisa berteman dan dekat dengan kalian. Sebelumnya aku selalu sendirian dan kesepian. Banyak yang enggan berteman denganku karena mataku ini. Mereka beranggapan bahwa aku adalah orang yang jahat dan hanya berteman dengan orang pilihan. Tapi pikiran mereka yang kekanak-kanakan salah. Aku sangat ingin berteman dengan mereka. Aku juga bukan orang jahat, tapi hanya anak perempuan yang pemalu. Dan kini, kalian berdua adalah pembuktiannya. Terima kasih karena kalian tak seperti mereka yang menjauhiku.”
Curhatannya membuatku merasa iba dengannya. Sebenarnya aku dan Tao awalnya bertaruh siapa yang dapat dekat dengan anak perempuan yang ditakuti para siswa ini. Tapi setelah kami dekat dengannya, dugaan kami salah. Ternyata ia adalah anak perempuan yang baik dan asyik. Sejak itulah kami bertiga dekat.
Mimi seketika terkejut karena tiba-tiba tanganku menyentuh punggung tangannya, lalu menggenggamnya erat. Ia menatapku sedikit bingung. Aku sadar dengan perbuatanku, tapi aku terlalu salah tingkah dan justru tak melepas tangannya. Aku memegang tengkuk leherku sambil tertunduk.
“Aku dan Tao akan selalu bersamamu. Kami memang ingin dekat denganmu, jadi kau tak perlu berterima kasih,” ucapku dengan salah tingkah. Ia yang awalnya terpaku, kini tersenyum hangat. Aaah, jangan tersenyum seperti itu. Kau bisa-bisa membuat hatiku meledak.
“Kris! Mimi!”
Kami berdua menoleh. Tao kini menatap kami kesal sambil melipat kedua tangannya di dadanya. Ia menggerutu, berkata bahwa sejak tadi ia telah mencari-cari kami. Aku dan Mimi saling berpandangan, lalu tertawa.
“Kris? Kris, bangun… Hei Galaxy, cepat bangun!”
Seketika mataku terbuka lebar. Seseorang berteriak di telingaku, membuatku terkejut dan langsung terbangun. Aku langsung menegapkan badanku, lalu menoleh kepada orang yang sudah berhasil menyiksa telingaku. Aku terperanjat ketika mengetahui orang yang kini berdiri di depanku adalah Mimi.
Mimi tersenyum sambil melambaikan tangannya, lalu memberikanku sebuah bungkusan. Ia kemudian duduk di pinggir tempat tidurku. Aku menatap bungkusan yang kini berada di pangkuanku. Bungkusan apa ini? Apa yang membuat Mimi membangunkanku dan tiba-tiba memberikan bungkusan ini?
Aku hanya terus menatap bungkusan itu tanpa menyentuhnya sedikit pun. Karena tak ada reaksi dariku, Mimi menghela nafas. Ia menyambar bungkusan itu dan mengeluarkan sesuatu. Dan sebuah jaket berwarna hitam polos muncul dari bungkusan itu. Aku menatap jaket itu dengan terheran-heran.
“Yaaaah, sebulan yang lalu kau ulang tahun dan belum memberikan apa pun kepadamu. Tao mengatakan kepadaku untuk tak repot-repot memberikanmu hadiah. Tapi… aku merasa tak enak hati jika tak memberikan apa-apa. Jadi aku membelikanmu jaket ini. Maaf baru memberikannya sekarang. Happy Birthday Kris Wu.”
Mimi memberikan jaket itu dan aku menerima jaket tersebut. Kutatap jaket itu dengan lama. Aku sangat senang bisa mendapatkan hadiah darinya. Sebenarnya bulan lalu aku sedikit kecewa karena ia tak memberiku apa-apa, meskipun aku bukan tipe orang yang mengarapkan hadiah. Tapi kini perasaan kecewaku terobati dengan jaket ini.
Aku mengenakan jaket itu di depannya. Ketika jaket itu menyelimuti tubuhku, aku merasakan kehangatan menjalar di tubuhku. Hanya dengan jaket ini, aku bisa merasakan kehangatan Mimi ada di jaket ini. Membuat perasaanku menjadi tenang.
“Terima kasih,” kataku dengan mata yang masih terpaku kepada jaket pemberian Mimi. Perempuan itu mengangguk, lalu tampak memikirkan sesuatu. Aku memperhatikannya. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang tak terjawab.
Ia kemudian melirikku dengan ragu. Aku merasa bahwa ia ingin menanyakan sesuatu kepadaku, tapi merasa ragu. Mungkin pertanyaan yang memang benar susah, karena aku tak pernah mendengar ia tak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya.
“Kau mau bertanya sesuatu?” tanyaku memecah keheningan. Ia tampak terkejut, mungkin kaget aku mengetahui apa yang ada di pikirannya sekarang. Ia menatapku sejenak, lalu mengangguk pelan. Aku sedikit menunduk, siap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mimi. Ia mendekatkan dirinya ke telingaku, membuatku sedikit gugup. Tapi aku menahannya karena sekarang aku harus menjawab pertanyaan Mimi.
“Kris, kau tahu arti… cinta?” Aku membulatkan mataku ketika mendengar pertanyaan itu dari mulutnya. Aku menatapnya yang memasang wajah kebingungan miliknya yang lucu. Aku menatap ke langit-langit atap kamarku, mencari jawaban yang pas untuk diberikan kepadanya. Jika masalah cinta, sepertinya Mimi memang tipe orang yang tak mengerti hal-hal seperti itu. mirip dengan Tao.
“Menurutku, cinta itu… adalah di mana kita merasa nyaman dan bahagia bersama orang lain. Perasaan di mana kita berpikir bahwa orang yang bersama kita adalah orang yang terbaik. Jadi, cinta itu tak pintar berbohong. Kita akan tahu cinta datang atau tidak kepada kita jika kita berada di dekat orang yang kita pikir kita cintai.”
Mimi tampak merenungkan kata-kataku. Aku menunggu reaksi yang ia berikan kepada ucapanku barusan. Tapi, kupikir ia masih tak mengerti dengan penjelasanku barusan. Sudahlah, yang penting aku sudah berbaik hati mau memberitahunya arti cinta menurutku.
Aku menepuk puncak kepalanya dengan pelan, tapi ia tak beraksi sedikit pun. Mungkin ia masih mencoba mencerna perkataanku. Begitu sulit kah untuknya mengerti arti cinta? Kapan kedua orang sahabatku bisa mengerti cinta? Aku terkekeh pelan. Tiba-tiba, senyumanku pudar.
Tunggu dulu. Apa ini ada hubungannya dengan Tao?
Aku membulatkan mataku. Aku menarik pergelangan tangannya, membuatnya menoleh. Aku memberikannya tatapan terkejutku. Feeling-ku mengatakan bahwa ini berhubungan dengan Tao.
“Mimi, apa ini ada hubungannya dengan… Tao?” tanyaku pelan. Mimi terkejut mendengar pertanyaanku. Aku melihatnya berusaha untuk menjelaskan sesuatu kepadaku. Tapi tak satu pun kalimat penjelasan keluar dari bibirnya. Sepertinya ia tak tahu harus mengatakan apa kepadaku.
Mata tajam milik Mimi menatapku sejenak, lalu Mimi menepis tanganku. Ia langsung beranjak dan pergi meninggalkan kamarku. Aku jelas saja terkejut. Padahal ia dengan mudah bisa menjelaskan maksudnya karena ia adalah tipe orang yang pintar berbicara, tapi kali ini berbeda. Ia tak bisa menjawab pertanyaanku. Berarti feeling-ku tak berbohong. Ini pasti ada hubungannya dengan status berpacaran Mimi dengan Tao.
Aku mulai merasa tak enak. Kurasa saat mereka berkencan nanti sesuatu akan terjadi. Aku harus… mengawasi mereka nanti. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada mereka berdua. Aaah, semoga saja feeling-ku yang selalu tepat kali ini akan salah.