CHAPTER 1 : Tracking, How Can I Be This Careless?
Aku selalu suka caranya tersenyum, aku selalu suka caranya tertawa, aku selalu suka caranya berbicara. Aku selalu suka.
Pikiran itu datang lagi menghampiriku malam ini. Lagu Jump Then Fall milik Taylor Swift mengalun perlahan lewat earphoneku. I love the way I can’t keep my focus, I watch you talk you didn’t notice...
Kris. Aku mengenalnya sejak setahun yang lalu, dan sejak awal aku mengenalnya aku sudah mengaguminya. Gaya rambutnya, senyumannya...
Aku pikir mungkin ini yang mereka namakan dengan love at the first sight. Dan aku tahu, orang-orang bilang love at the first sight itu rasa suka yang hanya memandang fisik saja. Iya aku akui memang iya awalnya. Tapi semakin aku mengenalnya, rasanya aku semakin suka. Sikapnya, pembawaannya, tidak ada yang salah.
Tidak bisa dibilang kenal sebenarnya, aku hanya mengetahuinya. Sebatas tahu, dia adalah seniorku di sekolah. Masih teringat jelas di kepalaku, aku melihatnya pertama kali saat dia sedang berlatih bersama teman-temannya, tim pecinta alam, sedangkan aku sedang duduk di pinggir lapangan tempat mereka berlatih, sambil membaca novel sepulang sekolah. Dan yang paling aku ingat adalah saat dia beristirahat dari latihan, duduk persis di sampingku, melemparkan senyuman ramah itu menyapaku. Mengisyaratkan kalimat “boleh aku duduk di sini?”. Senyuman pertama yang aku dapat darinya, dan senyuman yang aku suka.
Perlahan-lahan aku terlelap. Lagu Jump Then Fall menemaniku semalaman.
...
“Sarah bangun!” suara Ibu membangunkanku sama seperti pagi-pagi biasanya.
“Lima menit lagi Bu, Sarah masih ngantuk, ini kan hari Minggu,” ucapku sambil menarik lagi selimutku.
“Yoo Sarah!” suara Ibu terdengar semakin keras memaksaku untuk membuka mata, “hari ini kamu tracking! Kamu harus siap-siap ini sudah jam delapan!”
Aku baru ingat, dan aku menyesal kenapa harus ingat. Hari ini ada event tracking di sekolahku. Acara tahunan wajib yang diadakan oleh tim pecinta alam. Sebenarnya aku sangat malas untuk ikut, tapi apa daya, ada ancaman bagi yang tidak ikut event sekolah tidak bisa mengikuti ujian. Aaaah sial! gerutuku dalam hati, siapa coba yang mau menyesatkan diri di alam liar? Harus rela gatal-gatal kena serangga? Kenapa harus ada tracking?
...
“Perhatikan jalan utama, disini banyak cabang jalan. Kalian harus memperhatikan jalan yang utama. Jalan utama selalu lebih lebar dibanding jalan cabang. Fokus, perhatikan sekelilingmu. Perjalanan bisa ditempuh selama lima jam, dan akan ada beberapa pos peristirahatan” penjelasan dari senior pecinta alam masuk lewat telinga kananku dan keluar dengan lancarnya lewat telinga kiriku. Aku tidak peduli sama sekali. Aku pasang earphoneku dan mulai berjalan mengikuti teman-temanku. Siapa juga yang bakal tersesat kalau tracking rame-rame gini? Lagian ini kan cuman hutan kecil, tersesat dikit gampang lah keluarnya, pikirku enteng.
Aku benar-benar berjalan dengan santai. Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat. Mungkin aku beristirahat terlalu sering sampai teman-teman lain berjalan jauh di depanku. Aku tidak peduli walaupun mereka sudah tidak terlihat. Tinggal ikuti jalan utama, batinku. Aku terus berjalan dan berjalan.
“Mereka kemana sih? Lari atau gimana sih? Cepet banget” ujarku sambil menyibak-nyibakkan daun yang menghalangi jalan. Aku melirik jam di hapeku, 18:00. “Oke bagus, ini udah sore dan nggak ada sinyal. Aku udah jalan lebih dari lima jam, dan pos terakhir belum kelihatan juga?” gerutuku. Sebenarnya aku merasa mulai panik. Hari sudah mulai gelap. Aku takut dan yang paling penting aku capek. Aku putuskan untuk berhenti sebentar, kakiku sudah terasa benar-benar panas dan pegal. Aku sandarkan punggungku di pohon besar untuk melepas lelah. Dua menit tiga menit empat menit, dan tanpa sadar aku tertidur.
...
“Hey...”
Aku merasa seseorang menepuk pundakku. Aku baru sadar kalau sekarang sudah benar-benar gelap saat aku buka mataku. Aku edarkan pandangan ke sekelilingku.
“Aaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakku kaget saat aku benar-benar sudah tersadar, dan melihat ada tangan tepat di pundakku. Aku segera berdiri dan siap berlari.
“Hey, ya! Yaa! Tunggu!”
Aku kenal suara itu. Sambil menenangkan diri, aku tatap orang itu. Iya aku pastikan kalau itu orang. Dia berdiri, lalu membersihkan daun-daun kering dan tanah yang menempel di celanannya. Aku tersentak kaget namun tidak bisa berkata apa-apa. Itu Kris.
Kris menghampiriku, menyorotkan senter yang dia bawa ke arahku. Kris menatapku tajam, setengah khawatir.
“Kenapa kamu bisa sampai disini? Kamu tau kami mencarimu susah sekali? Anak-anak lain sudah sampai di pos terakhir sejak tadi, dan tinggal kamu. Kami menunggumu lama sekali, dan anak-anak tidak ada yang melihatmu tadi,” ucap Kris dengan nada sedikit keras.
“A... itu...” aku merasa gugup. Ini benar-benar Kris yang sedang berdiri di depanku. Bukan waktunya untuk gugup, Sarah, batinku.
“Bukannya tadi sudah dibilang kamu harus mengikuti jalan utama?” tanyanya.
“Iya... aku pikir ini jalan utama?”
“Sudahlah, yang penting kamu sudah aku temukan. Sekarang tinggal menghubungi yang lain” ucapnya sambil mengeluarkan handphonenya.
“Emm... tidak ada sinyal,” kataku sambil menunjuk ke arah hapenya, “sebenarnya aku tahu kalau aku tersesat... tapi... aku tidak bisa menghubungi siapapun,”
Kris menatapku lagi, lalu menatap layar hapenya, “Sial” gerutunya.
“Apa pos terakhir masih jauh?” tanyaku.
Lagi-lagi Kris menatapku. Deg!
“Bahkan kau tidak menyadari kalau kau tersesat sejauh ini? Kau bukannya berjalan menuju pos melainkan menjauhinya! Kami mencarimu saja sudah kesusahan, kami menyebar!”
“Miane... A... aku... ah, lalu?” tanyaku ragu.
Kris melihat jam. Pukul sepuluh tepat. “Emm, terlalu malam, pos terakhir masih sangat jauh,”
“Kita harus berjalan lagi? Tapi... kakiku masih sakit, capek... Tidak bisakah kita menunggu di sini saja sampai besok pagi?” pintaku, kakiku benar-benar terasa pegal. Rasanya tidak akan kuat untuk berjalan terlalu jauh.
“Tapi aku harus menghubungi tim kalau aku sudah menemukanmu. Kita berjalan sebentar saja, mencari sinyal, bagaimana?”
Aku benar-benar capek, kakiku pegal, batinku. “Oke...”
Kris menggerak-gerakkan senternya untuk menyinari daerah sekeliling kami. Tangan Kris terhenti ketika lampu senternya mengenai sesuatu, “Lihat!” Kris menyibakkan daun tepat di sampingku dan menyorot sesuatu.
Aku segera melihat ke arah yang dituju Kris. Gemerlap lampu rumah, jaraknya lumayan dekat sepertinya. Tadi aku tidak menyadari dan melihatnya karena terhalau daun-daun hutan ini.
“Sepertinya aku tahu... Emm, kalau tidak salah itu desa wisata, dekat sini ada danau. Ooooh, aku ingat tempat ini!” ucapnya bersemangat.
“Kau tahu?”
“Iya, tim kami kan sering berlatih disini. Aaah, kami pernah lewat daerah ini. Kajja! Kita kesana, jaraknya hanya sekitar satu setengah kilo, tidak terlalu jauh dibanding harus ke pos”
Aku hanya mengangguk. Tanganku terasa dingin, percampuran dari dinginnya udara malam ini dan rasa gugup.
“Kajja!” tiba-tiba Kris meraih tanganku, tampak bersemangat.
Deg! Aku kaget setengah mati.
“Ah, miane. Aku terlalu bersemangat...” ucapnya sambil melepas tanganku perlahan.
Lagi-lagi aku hanya terdiam. Kris berjalan di depanku, aku memegangi tas punggungnya. Aku tidak mau tersesat lagi. Kami berjalan cukup lama. Sangat lama bahkan. Satu setengah kilo itu bagiku sangat amat jauh, apalagi dengan kondisi kakiku yang pegal ini. Aku memperhatikan Kris dari belakang. Ini Kris, ini nyata, bukan mimpi. Ini Kris, dia berjalan di depanku.
“Emm... masih jauh?” tanyaku memecah keheningan selama berjalan.
“Sampai!”
“Jinjja?” aku segera memiringkan badanku untuk melihat kedepan. Sejak tadi aku sama sekali tidak melihat jalan di depan, yang aku lihat hanya tas dan punggung Kris yang menutupi pandangan di depanku.
“Jinjja! Di sana, di sana! Aku ingat ada penginapan! Kajja!” ucapnya bersemangat sambil tersenyum.
“Penginapan?” tanyaku.
“Mau ke mana lagi kita? Kau butuh istirahat, aku juga. Kau lelah bukan? Kajja!” ucapnya tanpa ragu.
Kami segera berjalan ke arah penginapan yang Kris maksud. Bentuknya seperti rumah-rumah kecil, dengan hiasan lampion-lampion warna-warni di bagian depannya. Indahnya, gumamku.
...
“Ahjussi, masihkah ada dua kamar kosong?” tanya Kris pada Ahjussi yang memiliki penginapan ini.
“Oh, ada... Ini harganya,” jawab Ahjussi itu sambil menunjukkan pilihan paket-paket kamar yang ada disini.
“Mwo?!” mataku membelak. Harga yang sangat tinggi. Apalagi jika harus menyewa dua kamar.
“Kau ada uang?” tanyaku pada Kris.
Ia menggelengkan kepalanya. Kemudian aku mengecek tasku. Ada uang, namun hanya cukup untuk menyewa satu kamar saja.
“Ottoke?” tanyaku lirih. Ottoke ottoke ottoke? Bagaimana ini? Satu kamar?! “Atau tidak jadi saja?”
“Aniya... Mmm, tak apa kau sewa satu kamar saja. Aku bisa tidur di luar,” ucapnya. “Baik Ahjussi, kami ambil satu kamar saja,” ucapnya tanpa ragu dan tanpa meminta persetujuanku. Aku hanya terdiam. Shock. Ahjussi itu memberikan sebuah kunci lalu menunjukkan letak kamarnya.
“Gamsahamnida,” ucap Kris pada Ahjussi itu. Kemudian Ahjussi itu meninggalkan kami berdua yang berdiri di depan pintu. Kris membukakan pintu kamar itu kemudian menyalakan lampunya.
“Masuklah, aku akan di luar,”
“Emm, tidakkah sebaiknya kita tidur di rumah penduduk saja? Setidaknya kau bisa tetap berada di dalam ruangan, tidak diluar. Di luar dingin...” pintaku.
“Kita sudah membayarnya,” jawabnya enteng, “Sudahlah, kau masuk saja,”
Jelas saja aku tidak akan membiarkan Kris tidur di luar. Dia yang sudah menemukanku tadi, dan menemukan tempat ini. Bisa dibilang dia yang menyelamatkan aku malam ini. Dan walaupun misal dia tidak melakukan itu pun aku tidak akan tega membiarkannya tidur di luar, udara terlalu dingin malam ini.
“Kau masuklah juga,” ucapku ragu. “Aku tak apa, kau bisa menggunakan sofa nanti kalau akan tidur, udara di luar dingin,”
“Jinjja?”
Aku mengangguk.
“Geure, kalau kau memaksa”
Mataku membelalak. “Aku tidak memaksa,” protesku.
“Tapi kau tak ingin aku kedinginan kan?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya menatapnya, setengah tidak percaya aku melihat senyum itu lagi, senyum yang aku lihat pertama dulu. Senyum yang dilemparkan khusus untukku. Kris melangkahkan kakinya masuk kamar.
“Woah, lumayan luas! Suasananya alami sekali, pantas kalau harga sewanya mahal,” ucapnya sambil melemparkan diri di sofa. “Kau tidak mau masuk? Kau sudah membayar mahal untuk kamar ini dan kau hanya berdiri di sana?” tanya Kris mengagetkanku yang masih melamun di depan pintu masuk.
“Ah, ani...” aku segera masuk dan menutup pintu agar udara malam yang dingin tidak masuk. Setelah menghidupkan penghangat ruangan, aku duduk di atas kasur sambil meluruskan kakiku yang terasa begitu pegal. Akhirnya, setelah berjam-jam jalan... ucapku pelan sambil mengurut kakiku.
“Namaku Kris,” ucapnya tiba-tiba. Bahkan aku lupa kalau kita belum saling memperkenalkan diri.
“Oh, iya... Aku sudah ta...” hampir saja aku keceplosan. Aku menganggap telah mengenalnya. “Aku... Sarah, Yoo Sarah. Junior dari kelas IPA”
“Arra,”
“Arra?” aku kaget bukan main. Kris mengenalku? Rasanya aku mau berteriak.
“Arra, aku baca nametagmu ucapnya sambil menunjuk nametag yang tertempel di jaketku”
“Aaah...” jelas saja dia tahu namaku, ada nametag ini. Jangan berharap yang tidak-tidak Sarah, batinku. “Emm... sudahkah kau menghubungi tim?”
“Oh iya lupa! Sebentar-sebentar, semoga ada sinyal. Aku harus segera menghubungi mereka!”
Disini sinyal lumayan baik, Kris segera menghubungi timnya. Aku sengaja tidak menghubungi Ibu karena aku tidak mau Ibu panik kalau tahu aku tersesat dan terpisah dengan rombongan.
“Aku akan mandi dulu,” ucapku.
“Baiklah, aku akan tiduran di sini. Tenang saja, tim sudah tahu keberadaan kita dan besok mereka akan kemari,” Kris merebahkan diri di sofa.
“Gomawo...”
Aku segera menuju kamar mandi. Badanku sudah sangat lengket. Sepuluh menit di kamar mandi, mandi dengan air hangat benar-benar membuatku merasa jauh lebih segar, dan rasa capek menghilang sedikit. Saat hendak mengeringkan badanku, tiba-tiba pet! Lampu kamar mandi mati.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAH!” teriakku histeris.
“Wae wae wae? Gwenchana? Wae?” suara Kris terdengar dari luar. Dia menggedor-gedor kamar mandi.
“Wae? Bicaralah! Kau kenapa? Kau tak apa? Gwenchana?” Kris terdengar panik. Di dalam pun aku juga panik sehingga tak sempat mengucapkan apapun. Aku berusaha menenangkan diriku.
“Bicaralah, jawab aku! Tenang! Mundurlah! Akan aku akan mendobrak pintu ini!”
“Aniyaaaa!” Aku teriak lebih histeris dari yang sebelumnya. Jangan sampai Kris mendobrak pintu ini, aku masih belum memakai pakaianku, masih berbalut handuk. “Nan gwenchana, jinjja! Hanya mati lampu, dan aku kaget,” terangku sambil buru-buru meraih pakaianku dan mengenakannya.
“Hah,” aku segera keluar dari kamar mandi setelah memakai pakaianku.
“Gwenchana?” tanya Kris yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi, mukanya terlihat panik. Dan hal itu membuatku merasa benar-benar canggung.
“Mian... Nan gwenchana, hanya mati lampu...”
“Aku kira ada apa, suaramu keras sekali, hahaha” ucapnya lega. Ia kembali duduk di sofa.
Tawanya. Sekali lagi aku merasa ini mimpi.
“Mmm... kau lapar? Aku masih ada ini,” aku menyodorkan roti bekalku yang masih tersisa dua bungkus.
“Gomawo! Kau tahu sekali kalau aku lapar. Kau tak makan?”
“Kenyang,” jawabku. Aku mengambil novel beserta buku diaryku dari dalam tas. Aku putuskan untuk melanjutkan membaca novel yang rencananya akan aku selesaikan hari ini, namun tertunda gara-gara acara tracking ini.
Aku mulai untuk membaca novel yang ku bawa ini, sementara Kris sedang menghabiskan roti yang aku berikan. Dari sudut mataku aku melihat Kris berdiri setelah menyelesaikan makannya. Ia mengangkat kaos yang dikenakannya, seperti hendak melepaskannya.
“Ya!” teriakku spontan. “Apa yang akan kau lakukan?”
Kris menurunkan kembali kaosnya, lalu berjalan menghampiriku.
Deg! Ottoke? Apa yang akan dia lakukan? batinku sangat gugup.
“Yaaa! Wae geurae?” teriakku lagi.
Kris mendekatiku. Ia memegang kepalaku dengan kedua tangannya.
“Yaaaa!” teriakku lagi, aku merasa sedikit ketakutan dan mulai berpikiran yang tidak-tidak.
Kris menggerakkan kepalaku, “Yaa, fokus saja dengan novelmu,” ucapnya sambil mengarahkan kepalaku agar pandanganku lurus ke novel yang aku pegang.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Ganti baju,” jawabnya singkat.
“Kenapa tidak di kamar mandi? Jangan lakukan di sini!”
“Shiro. Gelap, lampunya mati,” jawabnya.
Aku terdiam, kehabisan kata-kata saat ingat kalau lampu kamar mandi mati.
“Sudahlah, kau fokus saja dengan novelmu. Aku akan ganti baju di ujung sini,” ucapnya sambil berjalan ke ujung kamar dekat dengan sofa.
Bagaimana aku bisa fokus kalau Kris ganti baju di sampingku? batinku. Aku berusaha memfokuskan pandanganku ke novel yang aku pegang tanpa berbicara lagi, namun tentu saja aku tidak bisa terfokus karena di sudut mataku aku melihatnya mulai mengganti baju yang dikenakannya. Aku bisa merasakan jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Fokus, fokus... Jangan lihat ke arah sana... Jangan... batinku.
“Jangan terus menatap ke arahku seperti itu, atau kau akan terpesona,” ucapnya menangkap basah tatapanku.
“Mwo?!” tanyaku kaget.
“Hahaha. Sudahlah, kau tidur saja. Berjalan seharian pasti melelahkan...”
...
“Ottoke?”
Itu pertanyaan yang aku dengar pertama kali saat aku membuka mata setelah tidur semalaman.
“Mwo?” aku balik bertanya sambil mengumpulkan nyawa yang masih tercecer. Badanku terasa jauh lebih pegal dan sakit dari kemarin. Samar-samar aku melihat ke arah Kris yang sedang duduk di atas sofa. Sepertinya ia sudah terbangun dari tadi.
“Ottoke? Bagaimana kau bisa mengenalku sebelum ini?”
Mendadak nyawaku terkumpul sempurna. “Apa yang kau maksud?” tanyaku bingung sekaligus kaget.
“Aku melihatnya, itu di bawah,” jawabnya sambil menunjuk ke arah lantai di samping tempat tidurku.
“Mwo?” aku segera melihat ke arah yang ditunjuknya. “Diaryku! Ottoke? Bagaimana bisa ada di sini?” Aku benar-benar panik. What a perfect page! Halaman yang terbuka pada diary itu adalah halaman dimana aku dengan bodohnya menggambar wajah Kris, lengkap dengan tulisan ‘Kris’ di bawahnya, dan tanda tanganku. “OMOOOOO!” ucapku panik sambil memungut diary itu dan mendekapnya. Aku tidak berani menatap mata Kris saat ini.
“Bagaimana kau bisa mengenalku sebelum ini?” Kris mengulang pertanyaannya dengan nada penasaran, seperti menuntut jawaban dariku.
Babo! Babo! Gerutuku pada diriku sendiri. Aku benar-benar merasa malu, gugup, canggung, dan perasaan yang entah aku tidak bisa mendefinisikannya dengan kata-kata. Babo..
“Kau tak mau menjawab pertanyaanku?” tanyanya lagi. Aku melirik ke arahnya, tidak berani memandangnya langsung. Dia tersenyum kecil. Mungkin ia geli melihat tingkahku. Aku semakin merasa gugup sekaligus malu.
“Aaah... ini... em... Temanku memintaku untuk menggambar wajahmu, karena dia menyukaimu,” jawabku ngawur. Satu detik kemudian aku langsung merasa menyesal telah menjawabnya dengan jawaban sebodoh ini. “Kau... kau tidak membuka halaman lain kan? Kau tidak membacanya kan?” tanyaku panik.
“Siapa teman yang menyukaiku? Kenapa kau menggambarnya di buku diarymu?” Kris justru bertanya hal lain tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aaah... itu, aku tidak bisa memberi tahumu... Kau tidak membaca halaman lain kan? Kau tidak melihatnya kan?” tanyaku lagi. Jangan sampai ia mengetahui kalau hampir keseluruhan isi dari buku ini adalah mengenai dirinya. Aaah kenapa aku bisa seceroboh ini menjatuhkan diaryku.
“Ani, aku hanya melihat tepat di halaman itu saja. Sepertinya kau menjatuhkannya saat tertidur,” ucapnya. “Emm, gambarmu bagus juga. Aku terlihat tampan,” ucapnya lalu tertawa. Aku yakin mukaku saat ini sudah benar-benar merah. Aku malu sekali.
“Jinjja? Kau tak membacanya? Jinjja? Kau tidak membuka-bukanya?” ulangku untuk meyakinkan. Aku masih belum berani menatapnya.
“Ya. Tapi pertanyaanmu seperti itu justru membuatku penasaran,” ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya. Aku benar-benar merasa suasana menjadi sangat awkward.
“Tim mungkin akan sampai di sini dua puluh menit lagi, sebaiknya kau siap-siap,”
Aku hanya bisa mengangguk tanpa berani melihat langsung ke arahnya. Aku segera mengemasi barang-barangku. Beberapa kali aku mencoba melirik ke arahnya. Dan setiap kali aku melihatnya, sepertinya dia sedang memperhatikanku dengan pandangan penuh rasa penasaran yang membuatku benar-benar merasa mati gaya. Rasanya apapun yang aku lakukan adalah salah dan merupakan hal bodoh.
“Kajja! Aku sudah menerima sms, tim sudah menunggu di depan,” ucapnya setelah aku selesai berkemas.
Aku segera berjalan mendahuluinya keluar dari kamar. Jantungku terus berdegup kencang sejak tadi. Aku segera mempercepat langkah kakiku agar tidak berjalan bersamanya. Aku takut Kris bertanya-tanya lebih jauh tentang ini.
“Yaaa, tingkahmu seperti itu justru membuatku semakin penasaran!”
...