CHAPTER 1 : #1: His Promise
#1: His Promise
Malam bertambah tua, namun kerumunan itu bertambah meriah saat pakaian-pakaian berwarna terang dan penuh warna yang melekat pada dua puluh tiga perempuan tinggi dan cantik itu muncul satu persatu di panggung panjang di malam akhir musim panas. Udara yang berangin dan gerimis yang turun sebelumnya tidak menjadi halangan bagi acara itu untuk menjadi sempurna. Alam bukan lagi masalah besar. 79 E’s yang profesional lebih dari mampu untuk mengatasinya.
Kedua puluh tiga model itu kini mengambil posisi di ujung panggung yang menyerupai semenanjung berbentuk punggung bulan. Di tiap pasang tangan mereka terdapat lentera yang menyala dan mulai merindukan langit. Si perancang keluar dari belakang panggung, berjalan penuh percaya diri untuk bergabung dengan anak-anaknya.
Seseorang memperhatikan tiap langkahnya. “Oke, semuanya,” ia memberi aba-aba, ”kirim cahaya ke langit malam,” ia memperhatikan si perancang yang telah sampai di posisinya, “buat malam ini jadi malam yang sempurna. Go.”
Dengan itu lentera-lentera itu bebas mengambang menuju langit dan tepuk tangan menyempurnakan peragaan di malam akhir musim panas itu.
Park Chanyeol menghentikan langkahnya di atas rumput yang basah. Ia menengadah, mengagumi puluhan cahaya tambahan yang segera bergabung dengan bintang. Event yang keren dengan penutup yang luar biasa. Sempurna, pikirnya. Dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menginginkan kesempurnaan itu tercipta di salah satu hari besarnya.
Chanyeol mengalihkan pandangannya pada tempat lentera-lentera itu berasal, menemukan sebuah panggung yang bersinar di tengah taman yang basah, pusat dari segala acara ini. Orang-orang tampak berdiri dan saling menyalami. Beberapa sibuk memberi selamat. Sebagian lagi sibuk diberi selamat. Salah satunya, seseorang berfigur mini yang kewalahan setelah dipeluk sana-sini, disalami sana-sini, ditepuk pundaknya, diacak-acak rambutnya, atau dicium pipinya setelah berhasil menampilkan satu lagi kesempurnaan dari hasil kerjanya. Chanyeol tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat pemandangan itu.
Lalu seorang wanita di hadapannya menyadari senyum Chanyeol, wajahnya making terang saat ia bertemu mata dan memberi tahu sesuatu pada sosok itu, sosok itu melipat tangannya lalu wanita di hadapannya tertawa dan berjalan meninggalkan sosok itu. Sosok itu berbalik untuk menyambut lambaian singkat Chanyeol.
“Stop that creepy smile, Park Chanyeol,” katanya sambil mendekat.
“Kukira setelah bertahun-tahun berteman denganku kau sudah menerima dengan lapang dada kalau aku punya senyum yang lebih indah daripada milikmu.“
“Ya, ya, terserah kau saja. Asal kau tahu, gara-gara senyum anehmu, wanita yang tadi mengira kau ini pacarku. Demi tuhan. Kau? Pacarku? Yang benar saja.” Katanya sambil melipat tangan.
“Hei, hei, kau pikir aku berminat pada cewek pendek sepertimu?“ Chenyeol nyengir.
“Yah! Kau sendiri tahu aku nggak pendek-pendek amat. Kau-“ ia mengarahkan jari telunjuknya ke dada Chanyeol, “-yang terlalu tinggi, Giant!“
Yang dipanggil Giant hanya tertawa. Mereka sudah bersahabat selama lebih dari sepuluh tahun tapi pekerjaan perempuan di hadapannya ini terus-menerus mempertemukannya dengan orang baru. Dan secara otomatis mempertemukannya dengan kesalahpahaman yang lain. Mereka berdua tahu masing-masing tidak akan pernah kekurangan kata umpatan jika perdebatan ini diteruskan, jadi kali ini Chanyeol membiarkan dirinya mengalah.
“Oh, whatever, Sena-shi. Kau nggak lelah? Aku yang baru datang di saat-saat terakhir saja pegal. Ayo kita makan.”
“Baiklah, beri aku sepuluh menit. Aku masih harus koordinasi dengan petugas kebersihannya,“ teriak Sena itu sembari menjauh. Ia nyaris berlari namun segera teringat dengan gaun yang melekat pada tubuhnya. Akhirnya ia justru berjalan cepat. Ia mendengar Chanyeol berteriak di kejauhan. “Jangan lama.”
Waktu sudah terlewat dua puluh menit ketika akhirnya Sena menemukan mobil Chanyeol. Perempuan itu mengetuk kaca mobilnya. Ketika pintu sebelah terbuka, ia disapa oleh wajah cemberut laki-laki dua puluh tujuh tahun itu. Dewasa sekali.
“Kau lama.”
Sena masuk ke dalam mobil dan pintu mobil itu tertutup otomatis secara perlahan. “Maaf, terjadi sedikit keributan tadi. Sangat disayangkan, padahal kupikir semuanya akan berjalan sempurna.”
Chanyeol menangkap hela napasnya. Ia segera mengesampingkan rasa kesalnya. “Kurasa semuanya sudah berjalan sempurna. Aku datang di saat-saat terakhir dan pertunjukan lentera itu menakjubkan. Sungguh,“ Chanyeol tersenyum.
“Ya, tapi keributan tadi merusak kesempurnaan malam ini.“
“Sudahlah, lagian acaranya sudah selesai, para tamu terlihat terpesona, perancangnya terlihat bangga, dan kau juga banyak diberi selamat tadi.” Chanyeol menyalakan mesin mobilnya.
“Ya,” katanya mengambang. Yang sahabatnya katakan adalah benar, tapi sifat prefeksionis Sena tetap menyayangkan munculnya keributan kecil itu. Ia menghargai usaha sahabatnya untuk menghiburnya, jadi ia segera menyingkirkan pikiran itu. “Omong-omong terima kasih.”
“Yap, anytime,” katanya sambil menyetir.
Detik berikutnya diisi keheningan yang menyenangkan yang terpecah karena suara ringtone ponsel Sena.“Ya, hai, Kris.”
Chanyeol masih fokus menyetir. Sena mengalihkan pandangannya ke deretan toko di sampingnya.
“Mm, aku baru saja selesai, aku akan makan dengan Chanyeol,” Sena melirik sahabatnya yang sibuk menyetir. Situasi seperti ini bukan yang pertama. Sejujurnya ia sedikit merasa tidak enak mengobrol dengan pacarnya ketika ia duduk semobil dengan sahabatnya. Sena tau Kris tidak akan marah jika ia menghabiskan waktu dengan Chanyeol dan Chanyeol mungkin sudah terbiasa mendengar Sena menerima telepon dari pacarnya yang sibuk saat mereka sedang bersama. Tapi rasanya tetap saja tidak enak. Dan Aneh.
“Ya~ ada sedikit keributan tadi tapi aku banyak diberi selamat,” Sena tertawa, “Ah ya, tentu saja … kau juga harus jaga diri, hmmm, aku tahu, cepatlah kembali,” Sena tersenyum . “Mmm, Aku tahu, Aku juga.”
Dan telepon ditutup tepat saat Chanyeol membelokkan mobilnya memasuki tempat parkir yang tidak familiar.
“Kita tidak makan di tempat biasa?” Sena memandang sahabatnya sambil mengerutkan kening. Seperti mainan, seolah-olah perkataan Sena tadi menekan sebuah tombol di suatu tempat dalam diri Chanyeol yang membuatnya kembali menyala. Chanyeol kembali ke dunia nyata.“Ya, tentu saja.”
“Kenapa?” tanya Sena ketika Chanyeol selesai memarkir mobilnya. Chanyeol mengernyit memandang sahabatnya.
“Kau tidak sadar kau pakai apa?” tanyanya skeptis. Matanya menunjuk ke gaun hitam yang melekat di tubuh Sena. Bagian bawahnya jatuh agak jauh dari lutut.
“Oh.“ Sena mengangguk paham. Senyum tengil segera muncul di wajahnya. “Ah manisnya Park Chanyeol.”
“Diamlah, atau kita makan di tempat biasa.”
“Yah!”
“Tidak mau, kan? Jadi ayo keluar,“ katanya sambil membuka pintu mobil. Sena mengikutinya. Ia melepas dan melemparkan blazernya pada Sena.
“Tapi bajumu-“ Sena menyela sambil menunjuk kaus abu-abu tipis sederhana yang sebelumnya tersembunyi di balik blazer di tangan Sena, “-jadi tidak cocok untuk makan di sini.”Sena tertawa. “Nih,” kata Sena kemudian, “kukembalikan deh. Kalau kita jadi makan di sini sepertinya aku tidak perlu-perlu amat.”
“Bilang saja kau ingin makan enak. Kali ini kan giliranku membayar.“ Chanyeol mendengus. Sena tertawa lagi.
“Okeeee, terserah kau saja.“
Sena mengikuti Chanyeol yang berjalan sambil memakai blazernya kembali. Ketika mereka sudah duduk dan menunggu pesanan, Chanyeol kembali bertanya.
“Memangnya kau kenapa sih? Hari ini sepertinya kau berdandan habis-habisan begitu. Sangat bukan Sena, tau.”
“Memangnya kau tidak lihat acara apa yang kutangani tadi? Fashion show, Park Chanyeol, fashion show! Acara itu dipenuhi fashionista, memangnya salah kalau aku ingin tampil lebih fashionable?”
“Memangnya yang selama ini yang kau pakai tidak bagus?”
“Tidak tahu. Mungkin. Kau kan laki-laki, memangnya yang biasa bagaimana? Hei, apa aku kelihatan cantik sekarang?” Entah mengapa Chanyeol memerlukan waktu sedikit lebih banyak untuk menjawabnya. Sena keburu melanjutkan, “Oh, lupakan. Aku tau seumur hidup kau nggak akan memujiku.”
Obrolan mereka disela oleh pelayan yang megantarkan pesanan mereka. Langsung hidangan utama, karena mereka sudah terlalu banyak menghabiskan energi untuk berdebat. Ketika pelayan itu mengundurkan diri, Chanyeol nyengir dan menemukan jawabannya, “Kau tetap pendek di mataku, Jung Sena”
Dua puluh menit setelah berkutat dengan piring, garpu, sepotong daging dan beberapa potong hidangan pelengkap, Chanyeol mengambil serbet untuk mengelap mulutnya yang ternodai saus lemon. Mereka baru saja menyelesaikan hidangan utama dan sedang menunggu dessert.
“Omong-omong, terima kasih untuk makanannya. Tapi ada apa denganmu?” Sena memulai bicara.
Chanyeol menghentikan gerakannya dan menaruh kain yang baru ia gunakan. “Ada noda di bibirku.”
“Jangan pura-pura bodoh, Yeol. Aku membicarakan makan malam ini. Kau baru naik jabatan ya?“ Sena melipat tangannya.
“Tentu saja tidak. Aku hanya ingin merayakan kesuksesan malam ini,” Chanyeol tersenyum lebar. Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka membawa sepiring pudding dan segelas es krim.
“Oh ya? Terima kasih banyak,” jawab Sena sinis. “Kau baik sekali.“
“Yah! Tidak bisakah kau percaya padaku?“ senyum Chanyeol menghilang.
“Tentu saja tidak kalau kau terus tersenyum seperti idiot. Kau pikir aku bodoh?“ Sena berkata sambil memicing melihat Chanyeol yang terfokus pada es krimnya. “Yah, berapa sih umurnmu, kenapa kau suka sekali es krim?“
Chanyeol menyeringai. “Jangan mengataiku hanya karena kali ini kau memesan pudding, Sena-ya,“ Ia berhenti sejenak, “kau lebih parah dariku.“
“Jangan mengalihkan pembicaraan hanya karena moodmu sedang bagus, Park Chanyeol. Katakan sejujur-jujurnya alasan kita ada di sini sekarang atau kumakan es krimmu.“
“Yah!“
“Apa? Aku serius,“ kata Sena lagi. Tangannya merajalela berusaha menyendok es krim milik Chanyeol sedangkan pemiliknya berusaha keras menghentikan kelakuan ajaib sahabatnya itu. Tidak tahan dengan kegilaan sahabatnya, Chanyeol menyerah. Ia menghela napas, “Baiklah, tutup matamu.“
Sena menghentikan usahanya dan mengangguk, ia menutup matanya dengan patuh, terlalu penasaran dengan alasan Chanyeol untuk protes karena sudah disuruh-suruh seperti biasa.
“Kau seharusnya memesan es krim juga kalau kau memang ingin, Sena-ya.“ Sena mengabaikannya. Chanyeol melanjutkan, “Aku terkejut aku bisa bertahan denganmu selama ini.“
Sena membuka matanya tidak sabar. Matanya menemukan sahabatnya yang berdiri dan sibuk mengaduk-aduk saku blazernya. Ia tidak menyadari Sena yang membuka matanya. “Yah, aku tidak menutup mataku supaya kau bisa mengomeliku, Park Chanyeol.”
Chanyeol menoleh gusar pada sahabatnya. “Yah, kenapa kau membuka matamu? Cepat tutup lagi.”
Sena tidak menurutinya. “Memangnya apa sih yang kau cari? Tiket? Cek? Kupon gratisan?“
Chanyeol merogoh saku jinsnya.“Ya ampun, kau cerewet sekali sih. Aku tidak akan menunjukkannya padamu kalau kau tidak menutup matamu.“ Sena menggumamkan sesuatu yang tidak jelas tapi segera menutup matanya. “Dan bersabarlah. Ya ampun, aku simpati pada Kris-hyung.” Sena baru saja akan meledak lagi ketika Chanyeol menyuruhnya mengulurkan tangannya. “Sekarang buka matamu.”
Sena membuka matanya dan terperangah. Sebuah cincin berwarna perak dalam kotak kristal tergeletak manis di telapak tangannya. Ia mengalihkan pandangannya pada sahabatnya yang wajahnya dihiasi senyum penuh kebanggaan. Sena menarik napas. “Park Chanyeol,” serunya, “kau tidak sedang melamarku kan?”
Senyum Chanyeol menghilang. Ia menjentikkan jarinya ke dahi sahabatnya. “Sadarlah, Jung Sena. Kau pikir aku serendah itu?“
Sena menghentikan kekagetannya. Ia meledak lagi. “Yah kau pikir aku juga setidak layak itu untuk diberi cincin seperti ini?“
Chanyeol terperangah. “Aku baru saja mau bilang aku tidak serendah itu untuk merebutmu dari Kris-hyung, bodoh. Kau sudah punya cincinmu sendiri,“ ia melirik jari manis Sena. “Dan cincin ini memang bukan untukmu.“
“Oh.“
Sena meletakkan kotak kristal itu di meja. Ia berusaha mengais harga dirinya yang berserakan.
“Jadi bagaimana?“Chanyeol bertanya tidak sabar.
“Apa?”
“Cincinnya, Jung Sena.”
“Bagus.”
“Kau terlihat tidak rela.”
“Enak saja.” Sena melipat tangannya. “Aku bersungguh-sungguh,“ Sena berkata meyakinkan. “Dan beraninya kau memanggilku bodoh.“
Chanyeol tidak menanggapinya. Ia sibuk memandangi cincin yang kini ada di tangannya dan tersenyum seperti idiot.
“Jadi kau akan melamar seseorang,” Sena memecah keheningan.
“Yap, pacarku.“
“Minji?“
Chanyeol mengalihkan pandangannya pada sahabatnya. Ia mengerutkan kening. “Park Minyoung, Jung Sena. Kenapa kau gampang sekali melupakannya.“
“Namanya mirip.“
Chanyeol tidak membalas. Ia menutup kotak kristalnya dan memasukkannya ke saku bagian dalam blazernya lalu melanjutkan menghabiskan esnya.
“Jadi kau akan bertunangan dengan Minyoung.”
“Kami akan menikah.“
“APAAAAA?“
Chanyeol menatap Sena tajam. “Yah, bisakah kau bicara lebih keras dari itu?“ Sena melirik orang-orang sekeliling mereka yang berbisik-bisik.
“Maaf,“ Sena memungut sisa harga dirinya yang tinggal sedikit malam ini, “tapi bukankah kalian baru jadian?”
Chanyeol menelan es krimnya yang terakhir. “10 bulan, Sena-ya. Bisakah kau sedikit lebih perhatian padaku?“
“Tetap saja, Yeol, tidakkah masih terlalu cepat untuk melamarnya? Aku dan Kris sudah dua tahun jadian dan kami belum berpikir untuk menikah.”
“Kurasa masalahnya bukan seberapa lama kami pacaran, Sena-ya, menikah atau tunangan, semuanya lebih bergantung pada seberapa yakin kami pada satu sama lain dan pada hubungan ini,“ Chanyeol mengelap tangannya yang terkena sedikit noda.
Sena termenung. “Bagaimana kau begitu yakin Minyoung akan setuju dengan rencanamu?“
Chanyeol menatap Sena. “Dia mencintaiku. Kami saling mencintai, Minyoung tidak akan menolak.“
“Bagaimana jika ia belum siap?” Sena bertanya lirih.
“Aku mencintainya jadi aku akan menunggu,” katanya mantap.
“Apakah itu adalah sebuah janji?”
“Ya, kurasa aku menganggapnya begitu.”
Sena tidak membalas. Chanyeol berkata lagi, “Kau sudah selesai kan? Aku akan mengantarmu pulang.”
Sena mengangguk. Chanyeol membayar makanan mereka dan mengantarkan Sena pulang. Perjalanan mereka diramaikan oleh sepi. Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di gedung apartemen Sena. Sena tidak langsung keluar. Ia menggumamkan terima kasih pada Chanyeol yang dibalas dengan anggukan dan senyum cerah. Ketika Sena mengulurkan tangannya untuk membuka pintu mobil, Chanyeol menggapainya tangannya yang lain. Sena menatap Chanyeol dengan pandangan bertanya. “Apa menurutmu dia akan menyukainya?” Chanyeol bicara soal cincinnya.
“Err, ya?”
“Kenapa kau terdengar tidak yakin begitu?”
“Well, walaupun cincin itu kubilang bagus, aku tidak yakin selera Minyoung sama dengaku. Aku hanya bertemu dengannya dua kali. Kau lebih mengenalnya kan? Chanyeol tampak berpikir.Sena menunggu.
“Sebagai wanita, apa menurutmu cincin itu bagus?“
“Ya.”
“Jujur?”
Sena melipat tangannya. “Ya Tuhan, haruskah kubilang luar biasa dulu baru kau percaya?“ Sena menguap dan mengerjapkan matanya.
Chanyeol tersenyum. “Baiklah, aku percaya.“ Ia mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Sena. “Terima kasih, Sena. Sekarang pulang dan tidurlah. Maaf sudah menahanmu terlalu lama.“
Sena menguap lagi. Ia bergumam, “Ya, Ayah,” dan membuka pintu mobil. Ia melambai sekilas dan baru saja mau berjalan menuju apartemennya ketika Chanyeol berseru memanggilnya lagi. Kali ini ia turun dari mobilnya dan menghampiri Sena yang menunggu. Ia melepas blazernya dan menaruhnya di pundak perempuan itu.
“Apartemenku cuma sepuluh langkah.“
“Dingin.“
Sena ingin protes lagi tapi Chanyeol memutar bahu Sena dan mendorongnya pelan. Sena berjalan terseok-seok menuju apartemennya. Chanyeol memastikan perempuan itu menghilang di balik tangga di dalam gedung sebelum kembali masuk ke mobilnya dan menyetir pulang.
Writer's note:
Hi, this is my first published fic in dreamersradio. Fyi, i spent an entire night to made thirteen -iya tiga belas- versions of the poster before finally decided to choose that one, jadi please, kasih tau gimana pendapat kalian soal fanfic ini. Saya nggak nggigit kok. (^^,)7