CHAPTER 1 : TRUE LOVE (PART 1)
Ji Sun merayakan kedatangan musim semi dengan melaksanakan Darye: Kebudayaan minum teh dihari-hari tertentu yang sudah dilakukan sejak turun-temurun, kebudayaan yang diawali oleh bangsa Tiongkok.
“Sudah ada kabar dari Kris?” Tanya Sang Hyun.
“Aku sudah kirim pesan, namun belum dibalas, Appa” Jawab Ji Sun.
Sang Hyun melirik ke arah jam dinding, tepat jam 7 malam. Pandangan matanya tajam dan tenang, kulit wajahnya tak mengkerut sedikit pun, padahal usianya sudah dibilang tidak muda, tetapi sebagian rambutnya sudah memutih. Ia seorang pengacara handal di kota ini, setiap kasus yang ditanganinya selalu diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Karena itulah, dia menjadi salah satu orang yang banyak dikenal diseluruh bagian Korea Selatan. Tetapi, dibalik itu semua, ia seorang ayah yang sangat penyayang, romantis, bertanggung jawab dan sederhana.
“Memangnya Kris akan datang jam berapa?” Tanya No Yoo Jin.
“Jam 7, mungkin terkena macet. Ini musim semi bukan? Dan seluruh kota merayakannya.” Jawab Ji Sun, Wajahnya gusar, hatinya berdebar-debar.
“Kita tunggu saja, Yeobo.” Ucap No Yoo Jin.
“Tak masalah, asal dia datang memenuhi janjinya.” Sang Hyun berkata.
No Yoo Jin menambahkan teh hangat ke dalam cangkir Sang Hyun kemudian menambahkan gula, Ia terlihat anggun memakai Hanbok dengan Otgereum merah, tidak hanya No Yoo Jin, seluruh keluarga malam ini memakai Hanbok, pakaian adat yang selalu dipakai oleh keluarganya ketika ada hal khusus. No Yoo Jin, tersenyum kepada Ji Sun. Perasaannya mengerti akan kegelisahan putrinya itu, ia memang wanita yang lembut dan memiliki naruli seorang ibu yang sangat kuat. Mungkin karena ia adalah seorang dokter sehingga dapat mengetahui sisi psikologi pada seseorang. Seoul Medical Centre adalah tempat ia bekerja, setiap hari selalu disibukkan dengan berbagai macam penyakit dan pasien, mungkin sifat sabarnya dibentuk dari profesinya itu.
Ji Sun mengambil telepon genggam kemudian menekan nomor Kris, suara nada sambung dalam telinga berbarengan dengan bel rumah. No Yoo Jin menuju pintu, kemudian kembali lagi bersama seorang pria. Wajah campuran Korea Cina Kanada dengan tinggi 188cm tentu saja sangatlah tampan, dia adalah Kris. Seluruh anggota keluarga menyambut, Ji Sun menunduk malu.
“Festival kali ini memadati seluruh kota.” Ucap Kris.
“Kami selalu menunggu. Bagaimana kabar ayahmu?” Sang Hyun tersenyum.
“Baik, mereka sedang menuju kemari. Kami terpisah dalam kemacetan.”
“Tak masalah, ini memang musim semi yang indah.” No Yoo Jin berkata sambil menuangkan teh.
“Apa kabar Ji Sun?” Kris melirik ke pada Ji Sun.
Ji Sun tersenyum. Guratan bibirnya sangat ranum, dipoles oleh lipstik berwarna natural. Ia memang tampil memesona malam ini. Kulitnya yang putih menjadi daya tarik tersendiri, wajahnya seperti boneka porselin, alisnya dibentuk lurus dengan sedikit eyeshadow dan memakai circle lens sehingga matanya terlihat bulat. Mereka berpandangan, menandakan ada getaran yang berbeda dalam diri masing-masing. Mungkin Cinta? Entahlah, getaran itu berbeda dengan getaran-getaran lainnya.
“Ah, Noona menjadi wanita yang gugup malam ini.” Sehun menyela, mengejutkan mereka berdua.
“ya Sehun-a kau masih kecil mana tahu perasaan wanita.” Ji Sun berkata dengan lirikan mata tajam.
Sehun tertawa, ia menuangkan cangkir tehnya kemudian. Lelaki itu memang terlihat sangat cuek, mungkin karena usianya yang masih muda. Ia baru saja masuk di sebuah universitas di Seoul, Seoul National University adalah tempat para pemuda Korea menyelesaikan belajarnya. Kampus yang memiliki kualitas pendidikan tinggi tentu akan menghasilkan lulusan-lulusan terbaik. Sehun adalah anggota keluarga paling muda, ia hidup seperti anak muda Korea pada umumnya; bermain musik, game, berpacaran dan bekerja paruh waktu saat liburan tiba untuk mengisi waktu luang.
“Bagaimana kuliahmu ?” Tanya Kris.
“Lebih baik, mungkin karena Choi Hyun Jae masih menjadi menteri pendidikan.” Jawabnya penuh keyakinan.
“Sepakat, tapi apakah nama seorang menteri menjadi penting?” Kris meledek.
“Penting dan memang kenyataannya seperti itu Kris, Kami semua merasakan pendidikan mulai berkembang lebih baik semenjak dia menjadi menteri.” Sela Sang Hyun.
“Setiap orang akan maju atas usahanya sendiri, bukan?” Kata Kris.
“Mmm… tidak juga, sistem dan fasilitas juga akan menggerakan hati seseorang untuk mengubah hidupnya. Korea sudah modern, tetapi masyarakat akan tetap kuno jika hanya diam tidak mau bergerak ke arah pembaharuan.” Sang Hyun tersenyum kemudian meneguk tehnya.
Ji Sun menunduk, hatinya semakin berdebar-debar. Ia mengenal siapa nama yang ada dalam percakapan mereka.
***
Bukan tanpa alasan kedua keluarga itu berkumpul. Mereka memiliki rencana di masa depan, yaitu pernikahan. Kris yang berprofesi sebagai dosen muda telah mempersiapkan pernikahan dengan So Yeon, pertemuan mereka sungguh singkat, hanya tiga bulan. Mungkin usia mereka juga tidak bisa dibilang masih ingusan, keduanya telah memutuskan untuk menikah diusia muda. Ji Sun sudah berusia dua puluh dua tahun sedangkan Kris menginjak dua puluh empat tahun, dalam hal penghasilan juga tidak diragukan lagi . Kris seorang dosen muda yang berbakat dan berprestasi dalam karya ilmiah, Ji Sun memiliki salon dan butik di kawasan myeongdong.
Ramah-tamah dua keluarga itu sangat akrab, mereka berbincang tentang apa saja; musim semi, festival, undangan pernikahan dan tempat pesta yang akan dilaksanakan dua minggu ke depan. Sementara langit Korea semakin bercahaya oleh kembang api, sorak-sorai penduduk terdengar hingga ke dalam rumah.
Di luar, langit korea ditaburi bintang. Bulan hanya separuh bersinar, sementara angin semilir berhembus menggoyangkan daun-daun di taman. Suara air pancuran gemiricik menembus telinga, dari kejauhan musik perayaan bergema. Orang-orang hilir mudik di jalan dengan tawa dan ucapan penyambutan musim semi. Ji Sun duduk anggun, seolah putri yang tengah menanti pangeran di balkon kerajaan sedangkan Kris tepat di depannya memandang penuh takjub akan kecantikan calon pengantinnya.
“Ini semua berkat Joo Yeon. Ah, apa kabarnya sahabatmu itu?” Kris memulai pecakapan.
“Joo Yeon?” Ji Sun tersenyum pahit.
“Iya, pertemuan kita memang karena dia bukan?”
“Aku rasa ini takdir.”
“Mungkin, tapi aku lebih percaya sains dibanding takdir. Menurut ilmu pengetahuan seseorang akan mengenal seseorang lainnya jika adanya pertemuan, dan Joo Yeon mempertemukan kita hingga terjadinya hubungan.”
“Ya… itu ilmu pengetahuan. Tapi apakah ilmu pengetahuan juga bisa membuktikan isi hati seseorang?”
“Maksudmu?”
“Misalnya, tentang perasaan cinta kau dan aku.”
“Mmm… bisa saja. Nyatanya kita akan menikah, dan pernikahan akan terjadi jika ada cinta bukan.”
“Apa benar kau memang mencintaiku?”
“Maksudmu?”
“Aku ragu.”
“Waeyo? saranghaeyo chagiya…”
“Lalu mengapa kau menanyakan tentang Joo Yeon?”
“Ah… kau cemburu? Tenanglah, aku tak akan berpaling. Lagi pula Joo Yeon adalah sahabatmu, tentu akan menjadi sahabatku juga.”
“Iya.. semoga saja begitu. Oh ya, kapan cincin pernikahan kita akan selesai?”
“Aku sudah menanyakan ke toko itu, sekitar empat hari lagi.”
“Aku takut. Akhir-akhir ini aku merasakan keanehan dan sering bermimpi buruk.”
“Itu pasti hanya terbawa suasana gelisah akibat kau terlalu berat memikirkan pernikahan kita. Tenanglah…”
Kris memegang tangan So Yeon kemudian mengecupnya. Terasa dingin , kemudian Kris mengusap beberapa kali telapak tangan Ji Sun. Mereka tersenyum, dan saling berpelukan. Malam musim semi semakin indah, letusan-letusan kembang api semakin ramai. Langit berwarna-warni oleh kilatan cahaya kembang api .
***
SATU menit, dua menit dan….Ji Sun terbangun. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak dekat dengan telinganya kemudian mematikan alarm dengan lagu yang terus saja berbunyi, rasa kantuknya masih menyergap. Ia memicingkan matanya, satu-persatu.
“Omo..!!” Pekiknya.
Ji Sun loncat dari kasur setelah melihat jam dinding menunjukan pukul 06.00 pagi. Tidurnya tadi malam sangat nyenyak hingga posisi nungging dan tengkurap tak dirasakan. Ia bercermin sebelum keluar ruangan, wajahnya sembab. Kemudian membuka jendela-jendela kamar, ia sangat senang bangun pagi dan menatap matahari pagi. Setelah dibuka, cahaya matahari menyerbu masuk ke dalam kamar dan menyinari tubuhnya. Ruang tidurnya berada di atas sehingga harus menuruni tangga untuk menuju ke ruang utama keluarga. Ayahnya tengah meminum secangkir kopi sambil menonton TV.
"Ji Sun-ah ! Lihatlah Menteri Pendidikan eksentrik itu telah muncul di TV. Ia menghujat anggota dewan yang memotong anggaran pendidikan bagi masyarakat yang berprestasi. Ia memang gila.” Sang Hyun tertawa puas. Ji Sun hanya tersenyum—ia tak begitu berminat dengan berita-berita pemerintah.
Seluruh anggota keluarga kini tengah berada di meja makan menyantap makanan mereka.
“Noona… seperti apa nanti keponakanku lahir? Pasti akan cerdas seperti aku.” Ucap Sehun.
“yaaaa!!... kau meledek lagi, aku belum menikah.”
“Ah… tak bisa dibayangkan jika kau hamil. Perutmu pasti sangat besar, dan makanmu juga pasti sangat banyak.”
Sang Hyun dan Yoo Jin hanya saling menggeleng melihat kedua buah hati mereka.
“ Ji Sun-a ,Appa tidak harus memaksamu menikah cepat hanya gara-gara anak Menteri pendidikan itu” Sang Hyun mengawali percakapan, sementara yang lain santai melahap Bibimbapdiam. terkejut dengan ucapan Sang Hyun tiba-tiba
“Lupakan appa…. Aku tidak sakit hati.” Kata Ji Sun. Ia berhenti menyendok Bibimbap.
“Iya… tapi mengapa kau memilih cepat menikah.”
“Aku bukan remaja lagi bukan? Jadi… tak ada salahnya menikah.”
“Yeobo… yang sudah biarlah berlalu.” Yoo Jin menyela.
“Betul itu eomma, Kris tak kalah keren.” Seru Sehun.
“Lebih baik kita teruskan makan…” Yoo Jin berkata lembut, hingga semuanya menurut.
***
Jam 9 tepat. Kesibukan di butik P.J.S Style dimulai, para pegawai membuka butik. Kemudian merapikan pakaian-pakaian, sepatu dan sandal dengan berbagai model, patung model dan menambahkan koleksi pakaian baru. Mereka meletakkan papan informasi: new arrival, discount 25%. Kebersihan rupanya bagian peraturan dari butik itu, hingga satu-persatu tempat dibersihkan. Hanya beberapa menit saja keadaan butik menjadi cerah dan rapi, dan tak lupa membalikan papan informasi yang menempel di kaca: Open.
Ji Sun membantingkan tubuhnya ke sofa. Sejak berangkat dari rumah, hatinya dilanda keributan. Ia memijat dahinya, kepalanya terasa pusing akibat terlalu lelah berpikir. Mungkin persiapan pernikahan yang memang mengganggu hatinya, atau pekerjaannya yang menumpuk di butik ini? Ia menatap sejumlah dokumen pengiriman barang yang menumpuk di atas meja, beberapa hari ini ia memang mangkir ke butik. Terlalu menguras hati dan tenaga persiapan pernikahanya itu. JiSun memejamkan mata.
“Apa aku ini hantu hingga kau tak menyadari aku dihadapanmu?”
“Joo Yeon~ah….?” Ji Sun terperanjat.
Mereka berpelukan. Ji Sun tak menyangka sahabatnya tiba-tiba berada di hadapannya, seorang sahabat yang memang ia rindukan.
“Kemana kau selama ini? Ah, kau terlihat semakin cantik.”
“New York. Kota seribu impian.”
“Oh, God… pantas kau semakin modis. Apa yang kau bawa dari New York untukku?”
“Banyak sekali, keindahannya, kepadatannnya dan kemegahannya.”
“Ceritakanlah sedikit tentang kota itu!”
“Tidakkah kau tanyakan tentang pekerjaanku?”
“Joo Yeon~ah… aku ingin tahu New York. Pasti akan sangat bahagia berkeliling di sana pada malam hari.”
Ji Sun dan n Joo Yeon duduk di sofa. Dari mata mereka masih terpancar rasa gembira—mereka memang bersahabat sejak di masa sekolah. Suka dan duka selalu mereka hadapi bersama, bahkan tak jarang mereka juga berkelahi untuk memperebutkan laki-laki. Satu tahun terakhir, mereka berselisih masalah cinta, dan perselisihan itu adalah keributan yang terbesar selama mereka bersahabat.
“Ji Sun-a, ada yang lebih hebat daripada kabar tentang New York. Kau tahu apa? Luhan akan kembali.” Joo Yeon berkata dengan bersungut-sungut. Ia sangat begitu senang dengan kabar yang dibawanya.
Ji Sun membantingkan punggungnya ke dinding sofa. Napasnya terengah-engah, seperti udara diruangan itu tiba-tiba hilang. Luhan adalah masa lalunya, lelaki yang harus ia lupakan dan kenangan-kenagan bersamanya harus segera ia buang jauh-jauh.
“Ia menghilang darimu, tapi tidak dariku Ji Sun.” Joo Yeon meneruskan perkataannya, nada terasa kasar dan sinis. Penuh kemenangan.
“Bisakah kita tidak membicarakan dia. Luhan sudah mati bagiku, dan jangan kau ungkit lagi permasalahan itu.” Ji Sun kesal.
“Tapi… kau bohong pada dirimu sendiri bukan? Kau masih mencintainya…. Dan aku yakin kau gembira dengan kabar ini. Semalam dia menelpon ku, dan ia menanyakan kabarmu. Aku rasa dia juga masih mencintaimu.”
“Bukankah kau juga mencintainya dan selalu berusaha mendapatkannya?”
“Itu dulu… Ji Sun. Aku sudah tak berminat, karena aku sudah ada penggantinya.”
“Mengapa kau menyerah?”
“Aku tidak menyerah, hanya kasihan terhadapmu saja.”
“Sekali lagi, aku telah melupakannya. Bisakah kita cari pembicaraan yang lain, New York dan pekerjaanmu?”
“Ah, aku sedang tak berminat menceritakan tentang diri sendiri. Luhan juga bertanya…”
“Cukup! Aku mau menikah, jangan kau ucapkan lagi nama Luhan.”
“Menikah? Ji Sun~ah… jangan bercanda!”
Ji Sun menarik napas dalam-dalam, sahabatnya memang belum tahu akan keputusannya untuk menikah. terlebih mereke sudah hampir setahun tak pernah berhubungan lagi. baru sebulan lalu Joo Yeon meminta maaf atas kesalahanya silam. Tetapi, ia bermaksud untuk tidak memberitahukannya sebab tunangannya itu adalah teman Joo Yeon, bahkan pertemuan denganya disebabkan oleh Joo Yeon ketika mereka bertemu di acara pesta ulang tahun Joo Yeon. Hanya saja, Joo Yeon tidak menyadarinya pertemuan itu berlanjut menjadi pernikahan.
“Aku akan menikah dengan Kris”
Wajah Joo Yeon tiba-tiba pucat—telinganya berdengung seperti ada petir yang menyambar genderang telinganya, keringat dingin bercucuran. Ia diam—matanya menutup sejenak kemudian berkaca-kaca ketika membukanya.
“Sejak pertemuan itu, kami selalu berhubungan. Ini pasti mengejutkan untukmu, kami sendiri berencana memberitahumu nanti jika sudah dekat di hari pernikahan. Yaa… sebagai kejutan untukmu.”
“Ji Sun… tidakkah kau…” Joo Yeon menghentikan ucapannya.
“Hey.. ada apa? Apakah kau baik-baik saja?”
Joo Yeon mengusap air matanya yang meleleh kemudian tersenyum. Ada yang lain memang yang terjadi pada Joo Yeon ketika mendengar kabar itu—sebuah rahasia yang masih disimpan sangat sembunyi.
“Ah, ani. Tiba-tiba aku teringat rekan kerjaku yang akan menikah juga, aku terharu banyak teman-temanku menikah. Selamat atas pernikahanmu, aku masih ada keperluan di kantor. Selamat tinggal!”
Joo Yeon meninggalkan ruangan, tanpa menoleh sedikitpun. Ji Sun merasakan keganjilan pada diri Joo Yeon, tidak mungkin sahabatnya yang ia kenal sejak lama berprilaku seperti itu jika tak ada sebabnya. Ia pasti sedang dihadapkan dengan masalah paling besar,Ji Sun berniat menyusulnya.. Walaupun hatinya sendiri masih saja belum tenang, keributan-keributan berkecamuk tentang pernikahannya, Joo Yeon dan Luhan. Ia merapikan ruang kerjanya, sementara hari sudah panas diluar.
TO BE CONTINUE .........