CHAPTER 1 : Verschijnsel (Phenomenon)
Sial, aku ketiduran.
Pria tersebut mengangkat kepalanya yang semula ia tenggelamkan di atas lipatan tangan. Matanya sayunya mengedar memerhatikan kamarnya sendiri. Ia mengacak rambutnya sebentar lalu menguap. Matanya terbelalak saat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Ia mengacak rambutnya lagi. Biasanya, ia tak pernah tertidur di meja belajarnya. Terima kasih kepada tugas memuakkan yang diberikan oleh guru fisikanya.
Pria tersebut—Taeyong, terduduk tegak kemudian mulai merapikan meja belajarnya sambil sesekali menguap. Saat akan menutup laptop, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Taeyong berpikir sebentar. Haruskah aku melakukannya? Pikirnya. Mengingatnya, membuat Taeyong malah semakin penasaran dan siap meledek Johnny—teman sebangkunya—saat di kelas esok.
“Kujamin, pernyataan yang dibuat Johnny itu hanyalah sekadar lelucon . Kita lihat saja sebentar lagi.” Gumamnya lalu terkekeh pelan. Ia mulai meluncur ke aplikasi khusus untuk membuka bagian internet yang terdalam—deep web. Semudah ini. Taeyong berhasil membuka deep web tanpa persiapan dan kendala apa pun. Taeyong hanya tertawa dalam hati karena seringkali ia mendengar atau membaca komentar warganet ataupun teman-temannya yang berkata, jika membuka deep web harus benar-benar kuatkan tekad serta mental. Lucu sekali, pikirnya. Untuk bisa mengakses deep web, ia diharuskan untuk terhubung dengan email. Setelah itu, ia pun langsung terhubung dengan beranda utama.
‘Jangan pedulikan gambar ataupun video pada beranda utama. Kau hanya perlu mengetik di kolom pencarian yang berada di pojok kanan atas dengan kata ‘Verbotene Walder’. Kuyakini ini fakta karena situs tersebut sudah banyak menelan ratusan korban beberapa tahun silam. Sebaiknya kau jangan lakukan kalau kau tidak ingin mati muda.’
.
Taeyong membuka matanya perlahan.
Gelap
Di mana aku?
Taeyong menyadari bahwa ia sedang berada di hutan. Ia pun mencoba duduk dan bersandar pada pohon. Ia seperti baru saja melintasi ruang dan waktu karena ia merasa terombang-ambing dan kecepatannya sangat kilat. Punggungnya nyeri. Ia memerhatikan sekeliling dan matanya hanya menangkap pohon-pohon besar yang menjulang. Aura di tempat ini pun terbilang mencekam. Ia pun perlahan bangkit dan mulai berjalan menyusuri hutan ini dengan perlahan.
Ini hampir gelap total. Cahaya rembulan hanya samar-samar terpancar melalui sela-sela pepohonan. Taeyong berjalan bermodalkan insting.
Sekiranya sudah satu jam Taeyong menyusuri hutan ini, namun ia tak juga menemukan tanda-tanda keberadaan manusia lain selain dirinya.
Srrt
Srrt
Taeyong segera mengedarkan pandangannya mendengar suara seperti gesekan semak-semak. Siapa itu? Apakah ada manusia lain? Pikirnya. Ia pun memutar balik tubuhnya.
“AAAAA!”
Taeyong memegang dadanya sendiri mencoba mengatur pernapasannya karena tiba-tiba saja terdapat manusia lain di hadapannya dengan senter yang disorotkan di bawah dagunya sehingga tampak seram.
“M-maafkan aku. Apa aku membuatmu terkejut?”
Taeyong menatapnya tajam. Senter tak lagi menghiasi wajahnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui siapa orang ini.
“J-Jaehyun?”
Orang itu—Jaehyun, terlihat berpikir kemudian memerhatikan rupa Taeyong dengan mimik serius. Tak lama kemudian ia pun menjentikkan jari heboh.
“Taeyong?! Ah. Lama tidak berjumpa!”
Jaehyun mendekap Taeyong erat dan Taeyong pun membalasnya sambil menepuk-nepuk punggung sahabat kecilnya itu.
“Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan bertemu denganmu. Apa kau utusan Tuhan? Malaikat yang akan menyelamatkan kami dari tempat ini? Oh, Tuhan. Aku sangat bersyukur.”
Jaehyun melepas dekapannya dan tersenyum lebar. Taeyong membalas senyumannya lalu merespons, “Aku bukan malaikat, Jaehyun. Aku juga tersasar ke tempat ini.”
Jaehyun mengembuskan napas dramatis. “Sayang sekali kau bukan malaikat,” ia terkekeh kemudian kembali melanjutkan, “Ah, Taeyong. Kenalkan, ini temanku. Namanya Sehun.”
Sehun yang sedari tadi hanya diam dan berada di belakang Jaehyun pun maju beberapa langkah untuk berjabat tangan dengan Taeyong.
“Aku Sehun.” Taeyong pun menjabat balik tangannya, “Taeyong.” Mereka tersenyum kemudian melepas jabatannya.
“Oke. Mari kita cari cara kembali agar bisa keluar dari sini.” Ucap Jaehyun.
.
“Apa saja yang sudah kalian lakukan agar keluar dari tempat ini?”
Jaehyun menatap Taeyong kemudian menjawab, “Banyak. Kami terus menyusuri hutan ini, namun tak juga menemukan titik ujung. Aku rasa hutan ini didesain seperti labirin.”
Taeyong menganggukkan kepalanya pelan. Mereka tengah duduk bersila membentuk lingkaran dengan pencahayaan yang hanya dari rembulan. Taeyong menggaruk tengkuknya ragu kemudian kembali bertanya, “Apa…yang menyebabkan kalian bisa berada di sini?”
Jaehyun berdeham kemudian menjawab, “Kami tidak tahu. Awalnya, kami sedang mengikuti kegiatan pelantikan OSIS di hutan sekitar Busan, namun saat malam hari, tiba-tiba saja aku merasa seperti terbang terombang-ambing seperti mengarungi ruang dan waktu. Dan, ya. Berakhir di sini. Aku terkejut begitu mengetahui bahwa Sehun juga berada di sini. Aku bahkan tidak tahu apa dan di mana tempat ini.”
“Kurasa kita sedang berada di dimensi lain.” Ujar Sehun. Jaehyun menoleh dan menatap Sehun tak percaya. Sehun menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa? Bukan tidak mungkin, kan?”
Jaehyun menatap Taeyong. Taeyong mengedikkan bahunya lemas.
“Mungkin saja? Jujur saja, aku berakhir terdampar di sini karena alasan tidak logis. Ini konyol. Semua ini, tidak masuk akal.”
Jaehyun mengangkat sebelah alisnya, bermaksud meminta penjelasan lebih. Taeyong mengembuskan napas berat lalu ia pun mulai menceritakan kejadiannya.
.
“Kira-kira, sudah berapa lama kita berada di sini, Jaehyun?”
Jaehyun menoleh sembari masih mengunyah. “Tidak tahu. Mungkin satu hari? Atau satu bulan?” ia mengedikkan bahunya tak acuh lalu sibuk mencerna daun-daun yang baru saja ia petik bersama Taeyong. Sehun mendengus mendengar jawaban Jaehyun.
Taeyong menatap Jaehyun ngeri. Sadar diperhatikan, Jaehyun pun menoleh. “Kenapa?”
Taeyong menggaruk tengkuknya kikuk, “A-anu. Makan seperti itu. Apa enak? Bagaimana rasanya?”
Jaehyun terkekeh mendengar pertanyaan Taeyong. “Tidak ada pilihan lain. Aku juga terpaksa. Kalau Taeyong ingin bertahan hidup, harus makan. Apa saja, termasuk daun karena kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan bebas dari tempat ini.”
Taeyong mengangguk ragu kemudian mulai mengikuti Jaehyun, mengunyah daun-daun tersebut.
Nikmati saja, Taeyong. Kau harus makan kalau tidak ingin mati di sini.
.
“Ah! Sial! Baterai senterku habis.” Jaehyun mengumpat kesal. Kini, mereka tak punya penerangan apa pun untuk menyusuri hutan. Mereka berhenti berjalan kemudian terdiam. Cahaya rembulan hanya terpancar setitik, entah mengapa semakin lama semakin meredup saja.
“Sial. Oke, lebih baik kita berjalan membentuk barisan dengan memegang bahu satu lain.” Usul Sehun dan yang lain mengangguk.
Jaehyun berinisiatif menempatkan diri di barisan depan yang kemudian diikuti Taeyong lalu Sehun. Mereka terus berjalan dengan penuh kewaspadaan. Entah kenapa cahaya rembulan semakin meredup. Ini hampir gelap total. Mereka berjalan menggunakan perasaan. Sudah banyak suara-suara aneh yang mereka dengar, namun mereka berusaha sebisa mungkin bersikap tak acuh.
“Eum. Apa kita akan melalui malam yang panjang? Sebaiknya di pagi hari, kita mencari sumber makanan. Bagaimana?”
“Aku dan Jaehyun belum pernah merasakan matahari di sini, Taeyong. Di sini bagaikan malam tak berujung.”
Taeyong hendak menoleh, namun suara Sehun menghentikannya. “Jangan sesekali menoleh kalau kau tidak ingin melihat penampakan mengerikan di sini. Mereka ada, Taeyong. Mereka mengawasi. Lebih baik kita tenang dan terus berjalan.”
Taeyong menelan ludahnya gugup. Jujur, ia takut. Sesekali ia meremas bahu Jaehyun karena bulu kuduknya meremang tiap kali mendengar suara-suara aneh, terutama suara jeritan wanita.
Hening kembali menyelimuti. Suara-suara tersebut perlahan sirna dan mereka hanya ditemani suara gesekan langkah kaki mereka pada bebatuan serta dedaunan saja.
“Hey, bisakah kita berhenti dahulu? Aku ingin memetik daun dahulu. Aku sangat lapa—”
Ucapan Sehun terhenti karena tiba-tiba saja ia merasakan tengkuknya dingin. Seperti dilingkupi oleh es. Semakin lama semakin dingin dan kini lingkupan tersebut sudah memenuhi lehernya. Sehun membeku. Ia menyadari sesuatu hal, bahwa saat ini, ia lehernya tengah dicekik oleh sepasang tangan hitam yang melepuh dengan kuku yang beraroma busuk. Sehun menatap Taeyong dan Jaehyun bergantian bermaksud meminta pertolongan.
Leher Sehun tertahan. Matanya terbelalak merah karena cekikannya semakin menjadi. Pemandangan yang sangat mengerikan sedang dilihat oleh Jaehyun dan Taeyong. Bagaimana mungkin bisa tangan sepanjang itu sedangkan tubuh sang pencekik berada di atas pohon. Rambutnya menjuntai panjang hingga menyentuh tanah dengan wajah yang tertutup rambut. Taeyong menjerit karena tiba-tiba saja terdapat banyak tangan yang berusaha meraih Sehun. Sehun menjerit meminta pertolongan.
“Tolong aku! Jaehyun! Taeyong! Argh!”
Sehun memberontak karena tubuhnya seperti dikekang kuat. Taeyong ingin melangkah maju guna menyelamatkan Sehun, namun entah mengapa seperti ada medan magnet yang menahannya. Taeyong mencoba menggapai Sehun yang nampak semakin menjauh. Ia sama sekali tertahan. Jaehyun pun mencobanya dan ternyata memang benar. Mereka seakan dibatasi.
“Sehun! Bertahanlah!”
Taeyong berteriak kemudian berusaha keras berlari menuju Sehun walau hasilnya ia tetap tertahan. Jaehyun membelalakkan matanya ketika melihat bahwa ada banyak pasang tangan yang berlomba-lomba muncul dari tanah. Tangan-tangan yang sama dengan tangan yang tengah menjerat Sehun. Semakin meninggi, berusaha meraih Taeyong dan Jaehyun.
“S-Sehun! Bertahanlah—”
“Sehun?!”
Sehun sudah tidak ada di hadapan mereka. Taeyong menjambak rambutnya frustrasi kemudian menjerit.
“Sehun! Kau di mana?!”
Jaehyun menarik Taeyong dan menggenggamnya erat karena situasi semakin parah. Tangan-tangan tersebut terus tumbuh dan meninggi dari segala sisi. Bawah, atas, dan depan. Jaehyun berbisik panik, “Kita harus segera pergi dari tempat ini, Taeyong!”
“T-tapi, Sehun bagaima—”
“Kita selamatkan diri kita terlebih dahulu! Kita harus pergi dari sini!”
Jaehyun pun mempererat genggamannya kemudian berlari sekencang mungkin. Taeyong berusaha menyeimbangi kecepatan Jaehyun. Tangan-tangan hitam tersebut masih terus mencuat dari tanah, mengikuti mereka dari belakang.
.
“Aku lelah.”
Jaehyun menoleh dan mendapati Taeyong yang terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Ia memegang bahu kanannya.
“Apa kau baik-baik saja?” Taeyong tersenyum tipis mendengarnya. “Berusaha untuk baik-baik saja.”
Taeyong pun berjalan menghampiri salah satu pohon besar kemudian menyandarkan dirinya di sana. Ia menguap dan melakukan peregangan kecil pada tubuhnya. Kakinya sangat pegal karena habis berlari ekstrem. Tak lama kemudian Jaehyun pun menghampirinya dan menempatkan diri di sisi kanannya.
“Maaf. Kau jadi kelelahan karena aku.”
Taeyong menoleh lalu meninju pelan bahu Jaehyun kemudian ia terkekeh, “Tidak perlu minta maaf. Aku justru sangat berterima kasih padamu dan yang tadi itu memang lari terekstrem yang pernah kulakukan.”
Jaehyun tersenyum mendengarnya kemudian berujar, “Syukurlah kalau begitu. Lebih baik kita tidur dahulu. Kuharap setelah aku membuka mata, aku dapat merasakan matahari.”
“Ya, semoga saja. Selamat tidur, Jaehyun.”
.
Taeyong terbangun. Ia mengucek matanya perlahan lalu sadar bahwa Jaehyun telah lebih dahulu bangun. Taeyong menguap dan menyadari bahwa ini masih gelap. Ia memerhatikan Jaehyun yang sedang memunggunginya dengan kepala yang tertunduk. Ia duduk tegak kemudian mengulurkan tangan guna menyentuh bahu Jaehyun.
“Jaehyun? Kau kenapa?”
Tak dapat respons, Taeyong dengan cekatan memosisikan diri agar duduk di sebelah Jaehyun. Ia menyenggol pelan pria tersebut. Jaehyun menghela napas berat. Alis Taeyong terangkat satu.
“Ada apa, Jaehyun? Kau terlihat sangat frustrasi.”
Jaehyun mengusap wajahnya kasar kemudian menoleh dan melempar senyum tipis.
“Ya, aku sangat frustrasi.”
Taeyong merangkul Jaehyun akrab sambil sesekali mengelus bahunya guna menenangkan.
“Kau bisa menceritakannya padaku jika tidak keberatan.”
Jaehyun mengedikkan bahunya lemah kemudian menatap Taeyong dengan tatapan rapuh. Taeyong semakin khawatir dibuatnya.
“Ini semua salahku.” Ujarnya pelan. Taeyong mengangkat sebelah alisnya, “Salahmu bagaimana?”
“Aku memang pengecut, Taeyong. Aku tidak berani bilang pada Sehun bahwa akulah yang menyebabkan semua ini.
Taeyong mendengarkannya dengan saksama. “Aku sama sepertimu. Aku membuka deep web. Aku melakukannya karena penasaran dengan mitos atau faktanya sebuah situs bernama Verbotene Walder yang berarti Hutan Terlarang. Desas-desus mengatakan, bahwa jika ada orang yang membuka situs tersebut pada pukul dua dini hari, kemungkinan besar orang itu akan melakukan perjalanan spiritual menuju alam ilusi tempat hutan tersebut berada. Aku tidak tahu mengapa Sehun juga ikut terperangkap. Mitos yang beredar juga mengatakan bahwa jika kau berhasil melakukan perjalanan spiritual ke hutan tersebut, kau tidak akan mungkin bisa kembali ke dunia nyata.”
Taeyong membeku mendengar penuturan Jaehyun.
.
Taeyong terbangun kala itu. Ia menguap sekali lalu menyadari bahwa bahu kanannya terasa berat. Ia menoleh dan mendapati Jaehyun yang tengah tertidur pulas. Taeyong tersenyum tipis melihat wajah damai sahabat kecilnya itu. Ia kemudian teringat dengan kejadian beberapa saat yang lalu. Jaehyun sangat kehausan. Ia sangat frustrasi karena dehidrasi, sama seperti dirinya, namun Jaehyun sudah tak kuasa lagi. Jaehyun berusaha menggali tanah sedalam mungkin dengan tangan kosong yang mana tidak pernah ia temukan eksistensi oasis. Jaehyun menggila, ia berdelusi dan tiba-tiba saja kalap memakan tanah. Taeyong berusaha menghentikannya, namun Jaehyun memberontak. Tak lama setelah itu, ia sadar kemudian langsung memuntahkan tanahnya. Jaehyun menyesal karena telah terlalu banyak membuang liurnya.
Taeyong menengadahkan kepalanya ke atas. Ia bisa gila jika terus terperangkap di sini.
.
“Taeyong? Kau sudah bangun?”
Taeyong mengucek matanya dan menoleh. Didapatinya wajah pucat dan suara parau Jaehyun. Refleks, Taeyong mendekat. Ia memegang dahi Jaehyun.
“Kau kenapa? Apa kau sakit? Wajah dan suaramu sungguh tidak baik.”
Bibir kering Jaehyun memulas kurva tipis kemudian ia berbisik, “Bisa tolong carikan aku serpihan kayu? Atau apa pun itu, asal tajam.”
Taeyong mengangkat sebelah alisnya, “Untuk apa?”
Jaehyun memasang wajah memelas yang membuat Taeyong tak tega. Ia pun mengangguk lalu bangkit dan mulai mencari apa yang Jaehyun minta.
.
“Apa yang ingin kaulakukan?” tanya Taeyong, penuh antisipasi. Jaehyun melempar senyum tipis setelah itu kembali memerhatikan ranting berujung runcing yang baru saja Taeyong temukan. Taeyong menghampiri Jaehyun kemudian duduk kembali di sisinya. Tak lama setelah itu, Jaehyun tiba-tiba saja menusuk lalu mengoyak tangan kirinya hingga akhirnya sang merah menampakkan diri. Taeyong membelalakkan matanya melihat aksi Jaehyun.
“JAEHYUN! HENTIKAN!”
Taeyong berusaha menahan tangan kanan Jaehyun, namun tenaga Jaehyun jauh lebih kuat ketimbang dirinya. Ia malah semakin brutal mengoyak tangannya sendiri. Taeyong frustrasi. Tak lama kemudian, Jaehyun menghentikan aksinya lalu melempar ranting tersebut saat darahnya sudah berlomba-lomba mengalir deras. Taeyong tidak sanggup berkata-kata saat Jaehyun dengan cekatan mengisapi darahnya sendiri dengan rakus. Ia terus menjilat dan menyeruput darahnya. Taeyong membekap mulutnya sendiri. Jaehyun benar-benar sudah seperti orang gila.
Jaehyun terus mengonsumsi darahnya sendiri bahkan ia meletakkan tangannya di atas lalu ia mendongak hingga tetesan-tetesan darah tersebut menghujani mulutnya. Saat dirasa darahnya sudah mulai menipis, Jaehyun tiba-tiba saja menoleh dan menatap Taeyong. Taeyong sedikit bergidik melihat area sekitar mulut Jaehyun yang dipenuhi oleh merah. Ia tersenyum lebar lalu menampakkan deretan giginya yang dipenuhi oleh lumuran darah.
“Ini enak, Taeyong. Rasa hausku terbayarkan. Apa kau ingin juga? Aku tahu kau juga haus.”
Taeyong menggelengkan kepalanya keras. Ia beringsut menjauh dari Jaehyun kemudian memegang sisi masing-masing kepalanya sambil terus menggeleng.
“Kau gila, Jaehyun! Kau gila!”
Jaehyun tertawa mendengarnya. Ia menyeka mulutnya menggunakan tangan kanannya lalu mendekat ke arah Taeyong kemudian berbisik, “Akal sehat tidak dibutuhkan lagi di saat seperti ini, Taeyong.”
.
Jaehyun dan Taeyong kembali melanjutkan perjalanan mereka. Jaehyun memimpin sedangkan Taeyong memegang bahunya. Jaehyun sudah kembali seperti sebelumnya dan Taeyong mensyukuri hal tersebut. Jaehyun baru merasakan bahwa tangannya sakit dan perih karena memang luka koyakannya lumayan lebar dan dalam. Untuk menghentikan aliran darahnya, Taeyong merobek lengan kemejanya untuk tangan Jaehyun. Taeyong sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya, Jaehyun pun. Taeyong juga bersyukur karena Jaehyun sudah tidak mengeluh haus lagi. Jujur saja, Taeyong sangat haus. Ia hanya mengonsumsi air liurnya sendiri untuk sekadar membasahi tenggorokan. Sejak kemarin, ia dan Jaehyun sepakat untuk tidak banyak bicara dan jika ingin berkata sesuatu, cukup berbisik atau menggunakan bahasa isyarat guna menyimpan air liur mereka.
Mereka terus berjalan lurus ke depan. Cahaya rembulan semakin meredup. Ini semakin suram. Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang terseok. Taeyong menguatkan pegangannya pada bahu Jaehyun karena tidak mungkin Jaehyun menoleh. Jaehyun jadi lebih waspada dari sebelumnya. Jantung Taeyong berdegup karena tiba-tiba saja teringat kejadian beberapa waktu silam yang terjadi. Saat Sehun dibawa oleh sekawanan tangan. Ia tidak mau kejadian mengerikan tersebut terulang lagi. Ia harus selamat, bersama Jaehyun.
Exitus
Mereka menghentikan langkah. Taeyong semakin mempererat genggamannya. Taeyong meneguk ludahnya. Bisikan tersebut terdengar sangat rendah dan penuh penekanan.
“J-Jaehyun.” Bisik Taeyong. Jaehyun balas berbisik, “Aku dengar. Kira-kira, apa maksudnya?”
Taeyong meneguk ludahnya lagi. “A-aku belajar bahasa Latin. Bisikan tersebut berarti keluar.”
Jaehyun memikirkan apa makna dari kata tersebut. Taeyong menggigit bibir bawahnya. Rasa takut kembali melandanya.
Oblationes
Kali ini bisikannya terdengar lebih mencekam dan tersirat nada emosi di dalamnya. Keduanya menghela napas gugup.
“Apa artinya, Taeyong?”
Taeyong kalut. Ia khawatir setengah mati. “Bisikan tersebut berarti sesaji.”
“Sesaji? Makanan?”
Taeyong frustrasi. Ia takut jika kekhawatirannya benar terjadi.
“Ya, makanan mereka. Sesaji, Jaehyun. Kau tahu.” Balas Taeyong dengan suara yang bergetar.
Jaehyun membelalakkan matanya ketika menyadari makna tersirat tersebut.
Ieiunium
“Dia berkata cepat.”
Taeyong sudah berkaca-kaca sekarang. Degup jantungnya semakin terpompa dengan cepat dan keras karena memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi sebentar lagi. Tiba-tiba saja Jaehyun menoleh dan memegang bahu Taeyong erat. Wajahnya menyiratkan kekuatan penuh tekad.
“Persetan dengan bisikan konyol itu! Kita harus selamat! Tidak ada yang boleh mati untuk dijadikan tumbal untuk mereka! Kita harus segera keluar dari hutan in—”
Hush
Tiba-tiba saja angin berembus dengan sangat kencang. Pepohonan bergoyang, daun-daun yang berserakan terbawa arus angin. Angin yang maha dahsyat. Jaehyun memegang kedua tangan Taeyong kuat-kuat agar mereka tidak terpisah. Taeyong berusaha melepas tautan salah satu tangan mereka guna berpegangan pada pohon. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk berjongkok dan memegang badan pohon.
Tak lama setelah itu, mereka merasa bahwa hutan ini bergetar hebat. Kini, sang angin turut ditemani oleh pergerakan lempeng. Mereka semakin mempererat rengkuhan pada pohon dan jemari satu sama lain.
“TAEYONG! KITA HARUS SELAMAT! BERTAHANLAH!”
Taeyong mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar suara-suara geraman seperti lantunan mantra yang bersahut-sahutan. Suaranya sungguh membuat telinga sakit dan berdenging. Taeyong berusaha menajamkan pendengarannya untuk mendengar geraman mantra-mantra tersebut. Mantra tersebut memang bukan bahasa Latin, tapi Taeyong merasa bahwa salah satu dari sekian banyak mantra yang sedang berkumandang saat ini terasa tak asing. Ia seperti mengetahuinya. Ia berusaha mengingatnya dengan keras. Ini benar-benar tak asing. Ia seperti pernah membaca mantra tersebut.
Mantra ini....