CHAPTER 1 : Kau Selama Ramadhan
There you are again. Duduk di kursi yang sama, sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti biasa, tampak cukup pucat. Oh tidak, aku salah, biar kuperbaiki kata-kataku, kau bukan pucat, kau memang terlahir berkulit putih cerah, sedangkan aku berkulit sawo matang.
Dan lagi, seperti hari-hari sebelumnya, kau juga tidak memperhatikanku. Well, why would you? Sesungguhnya jika dipikir-pikir aku tidak memiliki secuil hak untuk menerima tatapan bahkan perhatian darimu. Aku hanyalah gadis biasa -dan mungkin lebih tepatnya tak terlihat- yang hanya melakukan pekerjaannya, menyapu halaman depan cafe yang berada tepat di samping cafe tempatmu biasa menghabiskan waktu, yang secara kebetulan, pada waktu yang sama, tepat saat kau duduk dikursimu dan mulai memasang headphone.
Apakah tadi aku mengatakan kebetulan? Ups, maaf, biar kuperbaiki lagi. Bukanlah kebetulan kalau aku memang merencanakannya kan?
Ya, aku merencanakannya. Aku sudah mengamatimu sejak beberapa hari, awalnya saat aku melayani pelanggan-pelanggan yang duduk di halaman depan di cafe tempatku bekerja. Kau selalu datang pada jam yang sama pukul 4 sore, duduk di tempat yang sama -pada sudut kanan cafe, tepat disamping pagar sepinggul yang membatasi cafe-ku dan cafe-mu-, dan melakukan aktivitas yang sama. Setelah beberapa hari itu, sejak 3 hari yang lalu, aku juga mulai melakukan -lebih tepatnya aku meminta pada bossku- untuk melakukan pekerjaan yang sama pada waktu yang sama: membersihkan halaman depan cafe. Jadi dengan begitu aku bisa melihatmu. Jadi setidaknya aku bisa mengagumimu sambil merusak konsentrasiku untuk membuat lantai bersih.
Aku tidak tau apa yang membuatmu menjadi magnet dan membuatku menjadi benda dengan bahan dasar logam. Membuatku tertarik. Aku bahkan tidak mengenalmu. Wajahmu? Aku bahkan tidak pernah melihatnya secara total. Kau selalu datang dengan topi yang bertengger diatas kepalamu, dengan mata yang selalu tertutup kacamata hitam, dan dengan masker hitam yang meskipun tidak menutupi hidung dan mulutmu tetap kau sampirkan melorot di dagu. Perawakanmu yang terbilang tidak setinggi pria korea pada umumnya, yang aku perkirakan hanya sekitar 170cm, sangat berbeda dengan tipe idealku. Namun kau memiliki bentuk badan yang bagus, tidak gemuk dan tidak kurus. Kau juga memiliki selera fashion yang bagus, caramu memadupadakan pakaian meskipun sangat simpel tapi sangat menarik dilihat. Apakah karena itu aku tertarik? Entahlah.
"Hana! Kau sedang apa?" seruan yang datang dari Lee Dong Wook, boss-ku, seketika menghentikan lamunanku. Aku berbalik dan mendapati dirinya kini sudah berdiri di hadapanku.
"Aku? Aku sedang menyapu. Ada apa, oppa?" jawabku setelah beberapa detik terdiam berusaha menenangkan diri dari kekagetanku melihatnya. Aku merasa dipergoki, tapi semoga dia tidak menyadari apa-apa.
Bisa kulihat alisnya menyatu sehingga membentuk kerutan di dahinya. Matanya yang awalnya melihat ke mataku kini bergerak turun menyusuri sapu yang kupegang. "Sudah 5 menit kau hanya menyapu daerah yang sama, dan yang kau sapu itu adalah kaki meja. Apa perlu kau menyapu kaki meja selama itu?" kini ia menyilangkan tangannya di depan dada sambil melontarkan tatapan menyelidik.
Aku menunduk dan menyadari apa yang dikatakan Dong Wook oppa memang benar. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri, apa yang kulakukan, bisa-bisanya aku terlalu serius memperhatikan lelaki itu sampai membuat konsentrasiku buyar sepenuhnya. Tidak ada yang bisa kukatakan untuk membalas ucapan Dong Wook oppa. Bibirku hanya menggumamkan "Ng..." yang menggantung.
"Apa kau sudah lapar? Apa kau perlu istirahat?" tanya Dong Wook oppa akhirnya setelah sepersekian menit tidak mendengar jawaban apa-apa. Wajahnya terlihat khawatir, dan dia berjalan mendekat untuk merebut sapu dari tanganku.
"Ah, aku tidak apa-apa, oppa, aku hanya sedikit mengantuk saja. Dan cuacanya cukup panas, jadi aku mengantuk... ya, hanya mengantuk," dalihku sambil merebut sapu itu kembali darinya.
Perebutan sapu pun terjadi. "Kalau begitu kau istirahat saja dulu di dalam. Kau bisa lanjut menyapu lagi setelah istirahat,"
Otakku bekerja membuat perhitungan. Lelaki magnet itu sudah duduk sejak 15 menit yang lalu. Biasanya ia akan tinggal selama kurang lebih 2 jam. Biasanya aku akan melakukan pekerjaan menyapu selama 15 menit, mengepel 15 menit, kemudian melap meja-meja yang ada di depan 15 menit, lalu menyiram tanaman 15 menit, jadi total aku bisa melihatnya selama 60 menit. Dan sisanya aku hanya akan berusaha bergerak cepat mendahului pekerja lainnya untuk melayani pelanggan yang duduk di halaman depan cafe. Kesimpulannya, kalau aku beristirahat sekarang, waktuku untuk melihatnya akan terpotong. Dan entah mengapa aku tak rela.
"Tidak apa-apa, oppa, aku bisa istirahat nanti. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu," ujarku akhirnya. Bisa kulihat wajah Dong Wook oppa tampak tidak rela. Aku tau dia mengkhawatirkanku. Aku selalu berterima kasih padanya akan hal itu. Sejak aku pindah ke Seoul tahun lalu untuk berkuliah, kedua orangtuaku mempercayakan hidupku padanya, karena hanya ialah satu-satunya keluarga yang tinggal di Seoul. Dong Wook oppa membantuku untuk mengurus segala hal mulai dari kepentingan kuliah hingga kehidupanku di kota besar ini. Bahkan ia memberikanku pekerjaan sampingan di cafe miliknya.
"Kalau begitu kau lakukan pekerjaan yang di dalam saja. Di luar panas, tenagamu akan lebih cepat terkuras," tawar Dong Wook oppa untuk menghilangkan secuil kekhawatirannya.
Di dalam? Kalau aku bekerja di dalam sama saja aku tidak bisa melihat lelaki magnet itu. Tentu saja lebih baik aku menerima tawaran untuk istirahat dibandingkan bekerja di dalam. Tawaran yang hampir sama namun satu sisi lebih menguntungkan.
Aku menggeleng dengan wajah meyakinkan. "Aku benar-benar tidak apa-apa, oppa. Lagi pula aku juga sudah berbagi tugas dengan Sun Hee dan Dong Wan," Sun Hee dan Dong Wan adalah pekerja paruh waktu lain yang memiliki shift yang sama denganku.
Untuk beberapa saat ia tidak berkata apa-apa. Mungkin ia masih berusaha memikirkan kata-kata untuk membujukku. Kemudian kulihat Dong Wook oppa melirik jamnya sekilas. "Masih kurang lebih 3 setengah jam lagi loh," ujarnya berusaha mengingatkan.
Aku mendesah pelan. "Oppa, ini bukan kali pertama aku berpuasa di negara ini. Ini sudah hari ke 10! Dan lagi ini bukan kali pertama aku berpuasa sambil bekerja. Tenanglah, oppa, aku sungguh baik-baik saja. Jadi masuklah, oke?" seruku frustasi sambil membalikkan badannya dan mendorongnya masuk kembali ke dalam cafe.
Mau tak mau Dong Wook oppa pasrah dan menyeret kakinya dalam doronganku. Sesaat sebelum pintu cafe tertutup dan akhirnya membebaskanku untuk kembali menatap lelaki magnet, Dong Wook oppa kembali berbalik dan menahan pintu untuk memberikanku wejangan terakhir. "Tapi kalau kau lelah kau harus segera masuk untuk istirahat! Arasseo?" pesannya dengan jari telunjuk mengarah padaku.
Aku mengangguk sambil mengibaskan tangan mengusirnya masuk. Tik tok... tik tok... tidakkah kau tau oppa, setiap detiknya akan sangat kuperhitungkan pada masa ini.
x-x-x
Dua hari pun terlewati...
Pukul 4.45 sore, seperti hari-hari sebelumnya selama lebih seminggu ini, aku melakukan rutinitasku di halaman depan cafe. Jadwalnya untuk jam ini adalah menyiram tanaman. Jadi disinilah aku, menyirami tanaman-tanaman kesayangan Dong Wook oppa sembari melakukakan rutinitas tambahanku, menatapmu. Sembunyi-sembunyi. Dalam diam. Berusaha tidak terlihat jelas jika sedang mengagumi, namun terlihat sangat jelas. Namun yah apa peduliku? Kau juga sepertinya tidak memperdulikanku. Yang aku khawatirkan, akankah puasaku rusak karena ini? Apakah puasaku menjadi makruh? Apa aku harus berhenti menjadi penggemar rahasianya?
"Kau tau kan kalau bunga itu akan cepat mati jika terlalu banyak kau siram?" aku terlonjak kaget dan hampir menjatuhkan gembor yang kugunakan untuk menyiram tanaman dari tanganku. Dong Wook oppa sudah berdiri di sampingku dengan tangan menyilang dan wajah yang kurang bersahabat. Ya, bisa kutebak ia pasti kesal melihatku memperlakukan tanamannya dengan ceroboh.
Tidak berani menjawab, aku hanya menunduk merasa bersalah. Kulihat dari sudut mata ia kini tidak melihatku. Pandangannya terbentang jauh melewatiku, ke arah cafe sebelah. "Pasti orang itu penyebabnya kan?"
"Hah?" aku berpura-pura tidak mengerti apa yang ia maksud sambing memasang wajah sepolos mungkin. Tapi aku sudah bisa menangkap apa yang ia maksud. Ia pasti sudah melihatnya, dan ia sudah menyimpulkan dengan tepat.
Dong Wook oppa kini memandangku dengan mata menyipit membuatku jadi keringat dingin. "Hahaha... apa yang kau bicarakan, oppa?" tawaku terdengar hambar dan tidak mendukung akting burukku.
Dong Wook oppa mengibaskan tangan tidak memperdulikan kata-kataku. "Aku mengenalnya," ujarnya membuat mataku membulat sempurna. Belum sempat aku bereaksi apa-apa, ia berjalan melewatiku sambil berseru, "Lee Min Woo-ssi!" tangannya melambai saat kepala lelaki itu terangkat dan berbalik ke asal suara.
Senyum mengembang di wajahnya dan dengan sopan ia melepaskan kacamata hitamnya untuk menyambut Dong Wook oppa yang berjalan ke arahnya. Terungkaplah mata sipitnya yang membentuk garis saat ia mengembangkan senyum lebarnya. Kurasakan dadaku berdetak kencang melihatnya. "What a charming eye smile!" rutukku dalam hati.
Dong Wook oppa kini menyalami kemudian memberikan pelukan sekilas layaknya teman lama. Mereka berdua berbincang-bincang beberapa saat dan untungnya dapat samar-samar kudengar. Setelah bertanya kabar satu sama lain, Dong Wook oppa berseru memanggilku membuatku mau tidak mau harus berjalan mendekat.
"Kenalkan, ini sepupuku, Hana. Dia datang dari Indonesia untuk kuliah disini," Dong Wook oppa memperkenalkanku padanya. Tangan kami berjabatan membuat seluruh darah serasa bergerak menuju pipiku dan dapat kurasakan pipiku memanas. Entah aku harus merasa kesal atau berterima kasih pada oppa akan hal ini.
Pembicaraan kami pun berlanjut. Kini aku sudah mengetahui beberapa fakta mengenai dirinya. Lelaki magnet ini bernama Lee Min Woo. Umurnya 26 tahun, setahun lebih tua dari Dong Wook oppa. Pekerjaannya adalah musisi, penulis lagu. Saat kuliah dulu ia pernah mengikuti ajang pencarian bakat, dan disanalah ia bertemu Dong Wook oppa. Berbeda dengan oppa yang tereliminasi di babak penyisihan, Min Woo oppa ternyata berhasil menjadi juara kedua. Tapi saat ini ia lebih memilih untuk fokus menciptakannya dibanding menyanyikannya. Mungkin karena itulah aku tak pernah melihatnya di layar kaca.
x-x-x
Sepertinya aku harus benar-benar berterima kasih pada Dong Wook oppa. Setelah perbincangan kecil kemarin, hari ini hal yang membahagiakan kembali terjadi. Aku bahkan sampai lupa kalau hari ini aku tidak sahur karena ketiduran.
Hari ini aku tidak perlu jauh-jauh melihat ke cafe sebelah. Pada jam yang sama, Min Woo oppa sudah tidak duduk di tempat yang sama lagi. Ia kini berpindah ke cafe kami. Duduk di halaman depan cafe, di meja sudut kiri.
Bibirku bersenandung sembari menunggu pesanannya dibuat oleh Dong Wan. Dua Iced Americano dan 2 waffle dengan sirup maple kini siap diantarkan. Aku mengambil nampan yang memuat pesanan itu dengan wajah bahagia berlebihan yang berusaha kusembunyikan. Namun, sesungguhnya dalam hati aku tetap bertanya-tanya, kenapa ia memesan 2? Apa dia selapar itu?
"Duduklah," pintanya saat aku meletakkan pesanannya di atas meja.
Apakah aku salah dengar? "Hah?"
"Duduklah," ia mengulang kata-katanya. "Aku sengaja memesankan untukmu satu," ujarnya sambil memisahkan makanan dan minuman tadi, satu kehadapannya dan satu lagi ke seberangnya.
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal mendengar tawarannya. Aku tersenyum melihat tatapan polosnya memintaku untuk segera duduk. Kepalanya bergerak miring sekilas, mengisyaratkan tempat duduk di seberang kursinya.
Aku tetap memasang senyumku saat hendak menjawab. "Maaf, oppa, tapi aku sedang berpuasa,"
"Puasa? Dalam rangka apa?" tanyanya dengan gurat bingung yang terlihat jelas di wajahnya.
Mulailah aku menjelaskan tentang aku yang muslim, tentang ramadhan, tentang kewajiban untuk berpuasa, tentang bagaimana aku berpuasa. Percakapan kami mengalir membuatku akhirnya memilih untuk duduk di hadapannya setelah sebelumnya menggesser makanan dan minuman agar tidak tepat berada di hadapanku, menghindarkanku dari hawa nafsu untuk memakannya.
Meskipun tidak lama karena aku harus kembali bekerja dan ia juga harus kembali melakukan apa yang biasa ia lakukan, tapi percakapan kecil kami dan saat-saat aku bisa melihat eye smile-nya saat kami berbincang membuat hariku dipenuhi kupu-kupu dan bunga-bunga yang bermekaran.
x-x-x
Aku tidak mengerti, kenapa hari yang membahagiakan sangat cepat berakhir?
Kembali pukul 4 sore, tapi aku tidak melihat Min Woo oppa dimana-mana. Tidak di cafe ini, tidak juga di cafe sebelah. Apa dia molor dari waktu biasanya? Tapi ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Setiap lonceng di pintu masuk bersuara, aku akan berbalik secepat kilat. Setiap ada pelanggan yang duduk diluar, aku akan segera bergerak untuk melihat. Tapi bukan dia yang datang sejauh ini. Kemana kau Min Woo oppa?
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.15 saat Dong Wook oppa membantuku menyiapkan takjil. Aku memanaskan kolak dan membuat makanan kesukaanku, wafle dengan sirup maple. Setelah semua selesai, aku mengangkutnya ke halaman depan, bersiap untuk berbuka. Dong Wook oppa sendiri lebih memilih untuk berbuka di ruangannya, karena katanya ada pekerjaan yang ingin ia selesaikan.
Langkahku terhenti sesaat saat melewati pintu masuk. Diantara meja-meja kosong di halaman depan, lelaki itu duduk di sudut kiri, minus topi yang selalu bertengger di kepalanya, dan minus masker hitam yang tidak pernah ia gunakan dengan benar. Kali ini ia berpakaian normal, dengan kemeja dan celana jeans, serta kacamata hitam yang ia letakkan di atas meja, di samping makanannya yang sudah siap namun belum tersentuh.
Ia awalnya melihat ke arah jalanan, namun tidak butuh waktu lama ia menyadari kehadiranku. Eye smile-nya kembali terkembang, ia menegakkan duduknya, melambaikan tangan, kemudian menunjuk kursi kosong di hadapannya.
"Aku pikir oppa tidak datang hari ini," sapaku sambil meletakkan makananku diatas meja.
"Aku menunggu waktu berbuka," balasnya sambil menopangkan dagu.
Aku mengernyit bingung. "Kenapa?"
"Agar aku bisa makan bersamamu. Dan aku tau pasti pada waktu ini adalah jam istirahatmu," kata-katanya membuatku bingung akan menunjukkan ekspresi apa. Sesungguhnya aku senang, tapi aku juga sangat kaget, aku ingin berteriak gembira, tapi aku juga ingin menjaga image.
"Makanlah. Sudah waktunya kau berbuka kan?" ia berusaha memastikan saat mendengar adzan maghrib berkumandang dari masjid. Cafe ini memang terletak dekat dengan satu-satunya masjid di Seoul, yaitu di Itaewon.
Aku mengangguk dengan senyum yang berusaha kutahan. Dan begitulah aku menghabiskan hari-hariku selama ramadhan. Meskipun tetap tidak bisa lama, karena aku harus shalat maghrib, kemudian shalat Isya dan tarawih setelahnya, tapi aku tetap bisa berbincang dengannya di antara jeda itu.
x-x-x
Tanpa terasa sudah mendekati penghujung ramdhan. Aku sedih bulan ini sudah berakhir. Meskipun aku harus berpuasa selama kurang lebih 17 jam sehari, namun aku senang karena itu artinya aku diberi yang ujian yang berbeda. Aku senang karena saat shalat tarawih, aku bisa bertemu dan berkenalan dengan muslim-muslim yang juga tinggal di Seoul. Aku juga senang akhirnya bisa belajar mandiri, berusaha untuk bangun dan memasak sahur untuk diriku sendiri. Dan tentu saja satu lagi, di bulan ramadhan ini aku bertemu denganmu.
Waktu menunjukkan pukul 19.40 saat aku keluar membawa nampan berisi takjil ku. Namun aku tak melihatmu di tempat biasa. Di meja sudut kiri tidak ada siapa-siapa. Aku mengedarkan pandangan, termasuk ke arah cafe sebelah mencari tanda-tanda kehadiranmu, namun tidak ada.
Dengan kecewa aku duduk di meja tempat kita biasa duduk, tempat kau biasa duduk. Aku memandang kosong ke arah jalan, mungkin berharap kau tiba-tiba lewat. Tapi pupus harapanku saat Dong Wook oppa duduk di hadapanku dan meletakkan makanannya di atas meja.
Meskipun dengan suara pelan, tapi aku bisa mendengar dengan jelas apa yang Dong Wook oppa katakan saat ia bergerak untuk duduk. "Kau harus segera melupakannya,"
Aku menunggunya memberi lanjutan dari kata-katanya. Ia hanya menatapku dalam diam selama beberapa saat hingga akhirnya melanjutkan, "Kau pasti kenapa aku melakukan ini," ujarnya dengan wajah yang menunjukkan perasaan bersalah.
Aku mengangguk pelan. Aku tidak tau apa pasti yang Dong Wook oppa lakukan, atau katakan padanya, tapi aku bisa mengerti kenapa ia melakukan itu. Sebagai seorang kakak ia memang tidak pernah luput dari rasa khawatirnya.
"Tapi ia ingin kau tau satu hal," lanjut Dong Wook oppa lagi. Mataku menatapnya dengan penuh tanya, menerka-nerka apa pesan yang ingin ia sampaikan.
"Sama halnya seperti Rapunzel, kau sedang tidak memperhatikannya saat ia melihat ke arahmu,"
Dengan begini, kau adalah memori di ramadhan-ku.
x-x-x