CHAPTER 1 : Antara Aku, Puasa, Dan Beasiswa Dalam Perantauan
Park Din Je, perempuan berusia 20 tahun yang sedang berperang dengan kehidupan rantau merantau. Din Je memilih merantau agar demi bisa hidup mandiri.
Tetapi semua tidak semudah seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya. Ia benar-benar rindu kepada tempat di mana ia di lahirkan.
Apalagi itu semua bertambah berat disaat seperti sekarang ini.
Di hari-hari yang seharusnya dihabiskan dan dinikmati bersama keluarga. Hari-hari yang mampu memberikan keluarga lebih banyak waktu untuk berkumpul. Hari-hari yang hanya dapat dirasakan dalam satu tahun sekali. Hari-hari saat bulan Ramadhan.
Yup, Din Je harus menjalankan Ramadhannya jauh dari keluarga dan orang terdekatnya. Ini adalah kali kedua Park Din Je menjalankan bulan Ramadhannya di Seoul, setelah ia mendapatkan beasiswa setahun lalu.
Tetapi kali ini berbeda dengan Ramadhan sebelumnya. Ramadhannya kali ini benar-benar harus ia jalani sendiri, karena teman sekamarnya yang berasal dari Indonesia sudah kembali sekitar dua bulan lalu. Dan kini Din Je benar-benar harus melalui Ramadhannya di Seoul seorang diri.
***
"Assalamualaikum"
"Hmm.. kenapa Mah?"
"Udah solat subuh?"
"Iya.. nanti abis sahur"
"Abis sahur? Sekarang disana jam berapa memang?"
"Hhh? Jam.. sebentar.."
"Jam.."
"Jam 3 lewat 58, Mah""Loh? Biasanya jam segini kamu udah mau tidur lagi abis solat"
"Iya Mah"
"ASTAGFIRULLAH!! JE KESIANGAN, MAH!! JE GA SAHUR LAGI...""Lagi?!"
"Iyaa Mah.. Aku udah tiga hari telat bangun sahur"
"Loh? Bukannya dua hari lalu Mamah telpon kamu jam segini kamunya udah mau tidur lagi katanya habis solat?! Kamu bohongin Mamah ya?! Awas kamu ya!! Mamah gamau denger kamu ga puasa hanya karena kesiangan!"
"Mah nyebut Mah ini bulan puasa.. Ga baik ngomel-ngomel.. ayo sekarang nyebut dulu.. Astag.."
"Ngajarin pula!! Biar aja Mamah ngomel! Disini belum Imsak!"
"...."
"Jadi kamu udah tiga hari ga puasa?!"
"Puasa Mah.."
"Kamu bilang sama Mamah latihan!"
"Iyaa latihan.. puasa juga tapi.. lagipula pas Mamah telpon kemarin itu aku beneran lagi mau tidur ko abis selesai solat tapi kan aku disitu ga bilang sahur.. toh Mamah juga ga nanya"
"hmm.. Hari ini gimana?
"Insya Allah puasa.."
"Ujiannya jadi?"
"Jadi ko Mah.. Nanti sekitar jam 2 siang-an.. makanya di doain Mah jangan malah akunya diomelin"
"Yaudah.. sekarang kamu solat.. terus minta kelancaran buat nanti.. Nanti juga sebelum ujian jangan lupa doa.. ada apa-apa kabari Mamah yaa"
"Iyaa Mah"
"Yaudah yaa Mamah mau sahur dulu.. Assalam.."
"E..e..eh Mah tunggu.."
"Hmm..?"
"...."
"Apa dek?"
"E..e..engga.. aku cuma mau nanya Mamah masak apa buat sahur?"
"Ohh..itu ada telor balado sama mie goreng"
"Ada lumpia juga..tadi si Papah beli yang mentah pas pulang kantor..karna takut basi jadi Mamah goreng sekarang""...."
"Kenapa sayang?"
"Enak ya Mah?"
"Enak.."
"Eh! Hush!! Kamu nih.. Kamu kan udah mulai puasa.. nanti batal loh..""Eheh.."
"Yaudah sana solat..habis waktu nanti"
"Iyaa Mah.."
"Hmm..Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Din Je langsung mematikan telponnya setelah mengucapkan salam. Tidak lama setelah itu meteslah air mata dari pipinya. Ia beranjak dan mencoba tersenyum menguatkan diri setelah mendengar suara Ibunya di ujung sana.
Din Je merasa dirinya harus kuat karena hari ini adalah hari penting untuknya.
***
Ujian beasiswa kali ini datang dari cabang olahraga atletik yang menurut Din Je memungkinkan untuk ia ikuti. Dan benar saja, setelah seleksi tiga bulan lalu, Din Je berhasil mewakili kampusnya dan maju sampai 20 besar melawan mahasiswa dari universitas lainnya.
Sebenarnya Din Je tidak memiliki masalah dengan beasiswa yang sudah ia miliki sebelumnya. Hanya saja beasiswa yang kali ini ia incar memiliki nominal yang lebih besar dan dapat menjamin uang sakunya sekaligus. Din Je ingin membuat keluarganya tidak lagi mengirimkannya uang setiap bulan.
Hal ini membuat Din Je terlalu bersemangat sampai pada akhirnya ia tidak menyadari bahwa hari dilangsungkannya ujian akhir beasiswa ini jatuh di saat bulan Ramadhan.
***
"Annyeong Wook-ie" Din Je langsung menghampiri teman satu kampusnya yang juga masuk dalam ujian akhir .
"Ya..ya..ya..Annyeong" Lee Dong Wook hanya sekilas membalas sapaan Din Je sambil terus memandangi wanita yang tampak sedang pamanasan di pinggir lapangan.
Din Je yang merasa diacuhkan langsung mengikuti arah pandang Dong Wook. Dan lantas saja Din Je menggoda Dong Wook yang sudah ia kenal sejak awal masuk dunia perkuliahan.
"Ahhh.. aku kan sudah bilang berkali-kali bahwa dia terlalu bagus untukmu, Wook" goda Din Je.
"Ya!!" Dong Wook benar-benar mudah digoda dan langsung saja ia menoleh ke arah Din Je.
"Waeyoo?" Din Je memandang Dong Wook dengan santai.
"Ah sudahlah.. Kamu memang tidak mengerti.." Dong Wook kembali melihat ke arah wanita yang sekarang sudah mulai berlari mengelilingi lapangan.
"Hmm... Aku mengerti.. Kau menyesal mencampakkannya bukan? Dan sekarang kau yang malah tidak berani untuk mendekatinya bahkan menyapa karena rasa bersalah.. benar begitu?" Din Je menjelaskan sambil mengeluarkan kaus kaki dan sepatu larinya dari dalam tas dan perlahan menggunakannya.
"Bahkan rasanya aku ingin menyerah saja kali ini, agar Ia bisa mendapatkan beasiswa itu dengan mudah" balas Dong Wook lemas.
"Silahkan saja..Bahkan terakhir kali Ia berada di bawah catatan waktu ku" jawab Din Je santai.
"A..ah.. Din Je" Dong Wook mulai melirik ke arah Din Je.
"Wae?" balas Din Je singkat sambil terus fokus pada sepatunya.
"Kamu mau membantuku?" tanya Dong Wook penuh harap.
"Aku tidak mau" Din Je berdiri membenarkan sepatu dikakinya.
"Ya!!" Wook ikut berdiri.
"Aku belum menyebutkan permintaanku!""Kau ingin meminta ku untuk mengalah darinya kan?" Din Je menatap Dong Wook serius yang membuatnya duduk kembali.
"Aku tidak mungkin sejahat itu kepadamu.. Aku tahu kamu butuh beasiswa itu" jawab Dong Wook.
"Lantas apa permintaanmu?" lanjut Din Je.
"Aku hanya ingin memintamu berlari lebih pelan sedikit" kini Dong Wook menjawab tanpa melihat ke arah Din Je.
"Ya!!"
Saat Din Je akan menyentil dahi Dong Wook, terdengar suara yang cukup besar keluar dari perut Din Je. Lantas saja itu membuat Din Je menekan perutnya.
"Din Je-ya! Kamu tidak makan lagi?" tanya Dong Wook.
"Eumm. Kan aku sudah jelaskan kemarin. Aku harus berpuasa dalam sebulan ini" Din Je kemudian duduk sambil terus menahan perutnya.
"Iya aku mengerti tentang itu.. maksud ku kamu tidak bangun di pagi hari lagi untuk makan seperti yang kamu ceritakan kemarin?" Dong Wook terlihat cemas melihat temannya memegang perut seperti itu.
"Hmm.. Aku terlambat bangun lagi" angguk Din Je lemas.
"Huah...Kamu yakin bisa mengikuti ujian ini? Kemarin saja kau hampir muntah karena berlatih" Dong Wook terlihat sudah tidak memperdulikan wanita yang sedang berlari di lapangan.
"Eumm. Karena itu aku tidak akan berlatih sekarang ini. Aku hanya akan pemanasan saja untuk ujian" jawab Din Je
"Kau yakin? Itu akan sangat berbahaya untuk otot mu" Dong Wook mengangkat alisnya.
"Mmm!" angguk Din Je pasti.
Dong Wook pun yang bertekad mengalah demi kembalinya mantan kekasihnya, memutuskan untuk tidak latihan terakhir kali dan menemani Din Je dipinggir lapangan. Mereka terus berbincang dengan pembahasan puasa di bulan Ramadhan. Dong Wook yang notabennya bukan seorang muslim, sangat tertarik mendengar cerita Din Je tentang Ramadhan. Sampai akhirnya perbincangan mereka terhenti sejenak karena kedatangan pelatih mereka, Mr. Choi.
Mereka sudah tahu apa yang akan Mr.Choi lakukan dan benar saja Mr. Choi yang baru sampai langsung menyodorkan sebotol minuman menambah tenaga yang setiap latihan juga diberikannya untuk Din Je dan Dong Wook.
Dong Wook dan Din Je sangat enggan melawan Mr.Choi, karena Mr.Choi lah yang telah membuat mereka berdiri sampai ujian akhir tersebut. Dong Wook lantas saja meminum dan minuman yang diberikan kepadanya dan bersiap untuk latihan terakhir setelah terkena teguran Mr.Choi. Tetapi tidak dengan Din Je.
"Maaf Mr.Choi.. saya masih menjalankan.."
Ucapan Din Je yang belum selesai langsung dipotong oleh Mr.Choi yang memperlihatkan wajah dinginnya.
"Saya hanya meminta kamu meminum ini. Saya tidak meminta kamu untuk makan" jawab Mr. Choi tegas.
"Mr.Choi.."
Dong Wook pun yang berniat membela Din Je tidak mampu berkata-kata lagi karena wajah Mr.Choi yang saat itu terkesan dapat memakan Dong Wook bila ia melanjutkan kata-katanya lagi. Dan Dong Wook pun bergegas lari untuk latihan setelah diperintahkan oleh Mr.Choi.
Dong Wook yang sudah mulai masuk lapangan dan melakukan pemanasan terus melihat ke arah Din Je. Dong Wook benar-benar tahu bagaimana perasaan dilema yang Din Je alami sekarang.
"Saya akan menunggu kamu untuk meminum ini dan saya mengizinkan kamu untuk tidak latihan terakhir ini" nada bicara Mr.Choi lebih terdengar dingin dari biasanya.
"Mr.Choi saya tidak bisa meminum ini. Saya yakin saya bisa berlari tanpa minuman ini" Din Je menjawab perlahan
"Tidak. Kamu harus meminum itu agar tidak jatuh tersungkur karena kelelahan seperti kemarin.."
"Kau yang bilang sendiri kan ingin membuat keluarga mu tidak mengirimkan uang lagi?" Mr.Choi mulai memelankan suaranya.
"Apa yang akan terjadi jika kamu terjatuh seperti kemarin?"
Din Je pun yang sedari Subuh merasa sangat rindu dengan keluarganya lantas menoleh ke arah pelatihnya setelah disebutnya alasan ada dirinya pada hari itu.
Din Je mulai berpikir tentang beasiswa tersebut dan keluarganya sambil terus memegangi botol berwarna kecoklatan itu.
"Din Je-Ya.." sapa Mr.Choi memecahkan lamunan Din Je
"A..ah.. Ne.." Din Je yang lepas dari lamunannya langsung membuka botol minuman yang diberikan kepadanya dan meminumnya dengan hati yang yakin atas kemenangan nantinya.
Din Je merasa hari itu ia harus menang demi membanggakan orangtuanya. Din Je tidak mau mengecewakan mereka hanya karna keteledoran dirinya yang terlambat bangun untuk sahur.
Mr.Choi terlihat tenang dan mengambil botol kosong dari tangan Din Je. Setelah memberi nasihat serta semangat Mr.Choi langsung pergi menghilang dari tempat dimana Din Je berada.
Din Je mengeluarkan handphonenya dari saku nya dan memandang wallpaper yang terlihat di layar menunjukkan sosok kedua orangtuanya.
"Mah..Pah.. Din Je akan buktikan kalau Din Je bisa!" yakin Din Je dalam hati.
Selama waktu latihan terakhir Din Je hanya memperhatikan Dong Wook yang berlatih dengan tidak semangat dan sesekali melihat kearahnya. Entah karena Dong Wook memang berencana untuk kalah atau Dong Wook merasa bersalah karena tidak dapat membantu Din Je saat Mr.Choi tiba.
Dan waktu ujian terakhir pun tiba...
***
"Assalamualaikum dek"
"Waalaikumsalam"
"Gimana ujiannya? Ko ga kasih kabar?"
"Iya maaf Mah"
"Kamu baik-baik aja kan?"
"Maaf Mah"
"Iya gapapa, Mamah maafin.. kalah menang kan hal biasa"
"Maafin yaa Mah"
"Iya..Udah ah..Lain kali kan kamu bisa ikut lagi.."
"Kamu tadi buka puasa pake apa?""...."
"dek.."
"Maah.. Maafin Je Mah.. Je udah bikin Mamah Papah kecewa"
"Engga sayang Mamah sama Papah tetep bangga sama kamu.."
Din Je yang mendengar ucapan Ibunya saat itu, tidak mampu lagi menahan air matanya. Kram otot di kakinya karena tidak melakukan pemanasan dengan benar serta latihan terakhir, membawanya pada urutan terakhir dan gagal mendapatkan beasiswa yang ia inginkan.
"Je nangis ya? hayoo anak Mamah ga boleh lemah ah..katanya mau dapet pacar orang Korea tapi lemah gini hanya karna kalah lomba lari, siapa yang suka sama cewe lemah nih kalo gini.."
"Mah..maafin Je Mah.."
"Sayang..udah ah jangan nangis..nanti Mamah ikut sedih nih"
"Je ga pantes Mamah Papah banggain.. Je cuma bisa ngabisin uang kalian"
"Adek..ko ngomongnya gitu"
"Iya Mah.. Je ga patut Mamah banggain! Je udah bohong sama Mamah! Je bohong tentang Je pasang alarm tiap pagi Mah..Je ga pasang Mah karena Je ngerasa capek dan butuh tidur.. Je bahkan bohong soal Je udah solat Subuh Mah.. Je malah tidur lagi Mah bukannya solat.. Bahkan hari ini Je batal Mah puasanya cuma karna sebotol minuman penambah energi biar bisa menang Mah.. Je udah bohongin Mamah Je jahat Mah! Jahat!"
Ibunda Din Je sengaja tidak menjawab apapun demi membiarkan anaknya tenang dan meluapkan semua emosinya sekarang. Dalam beberapa saat sambungan telpon itu hanya menyambungkan suara tangis dan keheningan.
"Mah.."
"Iya sayang"
"Je gamau kaya gini Mah.."
"Je mau puasa bareng-bareng sama Mamah sama Papah sama Kaka di rumah"
"Je mau Mamah bangunin Mah tiap mau sahur.."
"Din Je mau duduk bareng kalian nunggu adzan magrib tiap hari.."
"Pergi tarawih bareng Mamah sama Kaka ke masjid dekat rumah.."
"Je mau main dulu-duluan sampe rumah habis tarawih sama Kaka demi bisa nonton sinetron Ramadhan"
"Mau bantu Mamah bikin menu buka puasaa.."
"Mau ngabuburit tiap sore cari takjil sama Kaka sambil macet-macetan..Ga mikirin makanan mana yang halal dan yang engga.."
"Mau jailin bangunin Kaka bilang udah mau Imsak.."
"Mau pasang petasan banting di kaki Kaka pas jalan tarawih.."
"Mah Je kangen Mah.."
"Je mau Ramadhan kaya dulu Mah.. Ini bukan Ramadhannya Je"
"Je gamau sendirian kaya gini Mah"
Din Je terus berbincang dengan Ibunya membicarakan kerinduannya terhadap keluarga serta Ramadhannya di Indonesia sampai akhirnya ia tertidur dengan mata yang sembab dan handphone menempel diantara telinganya dan bantalnya.
***
(Seminggu Kemudian)
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam Mah..bentar ya Mah..Je mau balik telor dulu, takut gosong"
"Je.. Je.."
"...."
"Park Din Je.."
"......"
"okeeyy sudah.. Mamah baru bangun ya?""Kamu nih Mamah panggilin ga jawab.."
"Maaf Mah, Je lagi balik telor, kan mau sahur"
"Yaudah ini cepet bukain..Kasian Papah tuh udah pegel bantuin bawa koper Kakak.. Kami juga mau sahur nanti keburu Imsak"
"Haa?"
"Duh ini anak! Bukain pintunya cepet"
"Ha? Apasih Mah? Pintu apa?"
"Pintu kost kamu iniiii! Mamah Papah sama Kaka di depan"
"Loh? Kalian ke sini? Ngapain?"
"Katanya kamu mau puasa bareng Mamah Papah dan Kakak.. Gimana sih kamu nih"
"Katanya kalian ga ada uang kalo nyamperin aku"
"Park Din Je! Kamu mau bikin kita bertiga ga sahur ya?"
"Oh iya..iya.. tapi aku angkat telor dulu ya"
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang sangat keras diiringi teriakan.
"PARK DIN JE!! 10 MENIT LAGI IMSAK!!!"
******