CHAPTER 1 : My Sweetest Mistake
Pertemuanku dengannya bisa dibilang tidak cepat, dan tidak terlalu lama juga.
Kadang, bentuk cinta tak selalu melingkar di atas logika yang ada, dan aku juga tak tahu, apakah pantas aku menyebutnya itu cinta? Atau hanya perasaan sesaat saja.
Gadis pemimpi sepertiku dengan mudahnya jatuh ke dalam mimpinya sendiri, iya, benar.
Itu semua karena dia.
Im Jaebum-sshi.
~~~
Ini benar-benar tidak seperti yang aku harapkan. Aku belum siap menerima semua ini, di rumah sakit malam itu, untuk terakhir kalinya aku mendengar pesan terakhir ibuku sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku untuk selamanya.
“Jaeya, jangan patah semangat apapun yang terjadi padamu karena itu semua merupakan ujian dari Yang Maha Kuasa, berbuat baik lah kepada siapapun, jangan kau nodai dirimu dengan rasa iri dan dengki, ibu tak melarangmu berkencan dengan lelaki manapun yang menurutmu baik, asalkan ia tetap menghargaimu dan menjaga kesucianmu, rajinlah belajar agar bisa sekolah tinggi, maafkan ibu karena harus meninggalkanmu sendiri untuk sementara, ibu sayang padamu…”
Begitulah pesan ibuku, aku hanya bisa memeluknya dan meneteskan airmata, entah berapa banyak airmata yang menetes, di usia yang masih belia ini, aku harus kehilangan satu-satunya orang yang paling aku sayangi dan juga satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa. Melihat ibuku yang kemudian memejamkan mata selama-lamanya, hatiku bagai teriris belati, rasanya perih, sesak, sakit, dadaku seperti terhimpit hingga sulit menghirup oksigen. Badan ibuku sudah dingin membeku.
Pagi ini ibu dimakamkan, aku ditemani oleh beberapa kerabat ibu yang masih berhubungan baik dengan beliau, dan juga teman-teman dekatku di kampus, mereka setia mendampingiku, sahabat- sahabat baikku seperti Bambam, Yugyeom, dan Youngjae, berusaha menenangkanku yang sejak kemarin menangisi kepergian ibu. Setelah jasad beliau dikuburkan, aku menaruh bunga mawar putih di atas makam beliau, mawar putih adalah bunga kesukaan beliau. Aku pun berdoa agar arwah ibu diterima di sisi-Nya, semoga surga terbuka luas untuk ibuku tercinta. Para kerabat lainnya juga mendoakan ibu.
Tidak lama setelah itu, perhatianku teralihkan pada satu sosok pria bertubuh tinggi, berkacamata hitam, rambutnya cukup keren layaknya aktor film laga, ia memakai jas hitam, celana hitam, jangan bilang ia agen mata-mata, harus kuakui bahwa hidungnya mancung, bibirnya… ya pria ini sungguh gagah perkasa dan menawan, tanpa cacat sedikit pun, apa dia malaikat? Hmm, kurasa tidak, ia manusia. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, bukan berarti aku langsung terpikat padanya, hanya saja… ia nampak asing bagiku. Sepertinya ia akan berjalan mendekati makam ibuku, apakah ia mengenali ibuku? Benar saja, ia pun mendekat ke arahku, lalu melirik ke arahku sekilas, aku tersenyum tipis. Kemudian, ia berdoa di dekat makam ibuku, sudah dipastikan ia kenalan ibuku, tetapi, siapa pria misterius ini?
Usai berdoa, pria itu membuka kacamata hitamnya, demi Tuhan, tatapannya sungguh tajam. Ia menatapku dalam-dalam dan memicingkan alisnya yang tebal. Pria ini sangat tampan….
“Maaf, sebelumnya aku tidak pernah cerita kalau aku kenal ibumu semasa SMA dahulu, kami cukup dekat” ujarnya sambil menjabat tanganku, lantas aku terkejut. Aku tak percaya usianya sudah menginjak kepala empat, tetapi jujur, tadinya aku mengira ia mahasiswa 20 tahunan, wajahnya sungguh menipu.
Tak kusangka aku bahkan sudah mengenalinya terlebih dahulu.
Aku tersadar dalam lamunanku.
Dia adalah…
“Gyosu-nim…” lirihku setengah tak percaya.
Dosen yang menjadi pembimbing utama untuk tugas akhir di kampus.
“Sebelum ibumu pergi, ia menitipkan pesan padaku untuk menjagamu”
Ini benar-benar tak logis, ada pria asing yang kemudian mengaku teman lama ibuku dan ia akan menjagaku bedasarkan amanah ibuku, apa yang sebenarnya terjadi?
“Maksudnya?”
“Iya, bisa dibilang kita senasib, aku ditinggalkan kedua orangtuaku, keluargaku ya.. bagaimana menjelaskannya ya? Hmm, aku tinggal sendiri di Seoul, sanak saudaraku entah kemana, rumahku luas jadi, mulai sekarang kau harus ikut tinggal denganku”
Masalahnya ibuku bahkan tak pernah cerita kalau ia memiliki sahabat yaitu dosen pembimbingku sendiri. Entah mimpi apa aku semalam, aku menelan ludah, takut, aku takut pria ini mencoba berbuat yang tidak baik kepadaku. Pria yang mengaku kenalan ibuku ini tiba-tiba seenaknya menarik paksa lenganku dan membawaku menuju mobilnya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan kekarnya dari lenganku.
“Apa-apaan ini? Jangan pikir aku lebih muda darimu dan kau bisa memaksaku ikut denganmu, apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?” ujarku dengan penuh emosi menatapnya.
“Aku hanya menjalankan amanah dari almarhumah ibumu, mau tidak mau, kau harus ikut denganku”
“Oh ya? Kau mencoba menipuku ya? Aku tahu, jelas dari pakaianmu kalau kau ini agen rahasia dari organisasi jahat yang punya misi menculik wanita cantik seperti diriku ini”
“Apa katamu anak kecil? Kau terlalu banyak menonton film, cepat masuk atau kau kutinggal sendirian menginap disini”
“Biar saja, lebih baik aku tidur disini daripada dengan pria mesum sepertimu”
“Masuk sekarang!!”
Dan dimulailah kehidupanku yang baru bersama Im Jaebum, seorang dosen sekaligus pria penuh sejuta tanya misterius dengan tubuh jangkung layaknya tiang listrik, baiklah, aku pasrah.
Aku jadi teringat bagaimana pertemuan pertamaku dengannya...
*flashback
Tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya kalau dosen yang terkenal angkuh, killer, jarang memberikan nilai yang tinggi, dan tak begitu banyak bicara itu adalah dosen pembimbing tugas akhirku.
Dan tak pernah terbayangkan olehku juga, dia lah sumber kekacauan segalanya.
Mr. Im, begitulah orang-orang memanggilnya. Nama aslinya Im Jaebum. Dosen tetap untuk mata kuliah Preservasi Media Digital. Usianya terpaut 18 tahun di atas usiaku sekarang. And he hasn't been married anyway.
Banyak rumor yang mengatakan bahwa beberapa mahasiswa bimbingannya menyerah dan memilih untuk mengganti pembimbingnya. Mr. Im tergolong dosen yang keras dan jarang tersenyum, para mahasiswa yang dibimbing olehnya harus mengalami beberapa kali revisi yang berkepanjangan, di matanya semua skripsi mahasiswanya sama jeleknya.
"Sekalinya kau dipuji olehnya, berarti kau berhasil memperbaiki moodnya. Seterusnya kau akan dimudahkan dalam sidang, minimal ada satu kali ia memujimu, setelah itu kau bisa tenang" ujar salah satu seniorku yang pernah menjadi mahasiswa bimbingannya.
Sebenarnya, aku tak terlalu mengenal dekat Mr.Im. Hanya beberapa kali berpapasan di ruang dosen, itu pun hanya melihatnya sekilas karena harus menemani temanku yang mengumpulkan tugas di mejanya. Sedangkan aku sendiri belum pernah diajar oleh Mr.Im sebelumnya.
Aku menelan ludah kasar setelah melihat daftar dosen pembimbing di ruang sekretariat.
Tertulis "Lee Jaeya - Im Jaebum"
Okay. Damn. What should I do?
Beberapa temanku seperti Bambam, Yugyeom, dan Youngjae menepuk-nepuk pundakku, mereka berusaha memberiku semangat.
"Wow, semangat Jaeya, dosen pembimbingmu luar biasa!!" seru Bambam.
"Congrats, aku turut berduka... eh senang maksudnya hehehe" timpal Yugyeom, membuatku semakin gelisah, menyebalkan.
"Semoga harimu menyenangkan, I'll support you no matter what" Youngjae juga menambahkan. Okay. Aku harus siap mental apapun yang terjadi demi mendapat gelar sarjanaku.
Dan dimulai lah hari-hariku bersama Mr.Im.
~~~
TOK TOK TOK
Aku memberanikan diri menemui Mr.Im untuk bimbingan skripsi di hari pertama. Sejak tadi malam aku sudah berusaha keras membuat Judul dan latar belakang penelitianku.
Aku sudah pasrah dengan kata-kata yang nantinya terlontar dari mulutnya.
Take a deep breathe.
"A..annyeong haseyo Gyosu-nim" sapaku pada Mr.Im yang tengah duduk di meja ruangannya.
"Hmm, duduklah" ujarnya singkat. Nampaknya ia sedang asyik dengan laptopnya, entah apa itu.
Meski usianya hampir memasuki kepala empat, harus kuakui ia lumayan tampan. Sepasang mata elang, alisnya cukup tebal, hidung mancung, bibir tipis, tak lupa dada beserta bahunya termasuk bidang dan lebar. Aku yakin dia sering melakukan olahraga gym, fitness, atau semacamnya.
Ah, aku harus lebih fokus lagi.
"Be..begini, saya ingin bimbingan mengenai skripsi saya" ujarku gugup. Detak jantungku tak karuan.
"Okay, apa judul penelitianmu?"
"Representasi Etika Jurnalistik dalam Drama Televisi Pinocchio menggunakan teori John Fiske"
Aku pun menyerahkan lembar berisi judul dan latar belakang penelitianku padanya.
Sambil menjelaskan maksud penelitianku, ia membacanya lembaranku sebentar.
Dan benar saja.
Aku belum selesai menjelaskan, ia sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar.
"Cari topik yang lain, representasi suda banyak diambil mahasiswa lain" ujarnya ketus.
"Mwo?.. ta..tapi.. gyosu-nim"
"Aku tidak mau tahu, cari topik yang lain, topik seperti ini membosankan tahu tidak?"
Rasanya aku ingin menangis, karena aku sudah bingung topik mana yang sebaiknya kupilih. Kapasitas berfikir dalam otakku hampir buntu, eotteoke?
Tanpa sadar mataku berkaca-kaca di hadapannya.
"Ba..baik gyosu-nim, aku mengerti, kalau begitu nanti aku hubungi lagi kalau sudah menemukan topik yang tepat, aku permisi dulu"
Aku pun beranjak dari kursi tempat dudukku, namun, ia memanggilku lagi.
"Chakaman!" serunya.
Aku menoleh ke arahnya, apa masih ada kekurangan?
"Kau belum menyebutkan namamu"
"Ah, namaku Lee Jaeya"
"Hmm Jaeya, kau tinggal dimana?"
Mr. Im menanyakan tempat tinggalku, hmm, aku jadi semakin penasaran.
"Aku tinggal di rumah susun dekat kampus"
"Sendiri?"
"Dengan ibuku... wae gyosu-nim?"
"Tidak apa-apa hanya sekadar bertanya, jadi kau tinggal berdua dengan ibumu?"
Tidak biasanya seorang dosen yang kukenal menanyakan keberadaan orangtuaku. Bukankah, ini lebih kepada pertanyaan pribadi?
“Ya begitulah, ibuku sedang sakit, biasanya beliau pergi bekerja, tapi sekarang lebih banyak mengahabiskan waktu di rumah. Ayahku sudah lama meninggal. Jadi, sebagai gantinya, aku kerja paruh waktu jadi barista kopi dan penyanyi café, untung tempat kerjaku tak terlalu jauh” balasku.
Dia bahkan menjadi dosen yang pertama kalinya mendengar cerita hidupku selengkapnya. Sebelumnya aku tak pernah menceritakan hal ini pada dosen mana pun di kampusku. Jaebum menjadi orang yang pertama.
“Oh begitu ya…. Maaf pertanyaanku tadi aku sungguh tidak tahu”
“Tidak masalah gyosu-nim”
Bukankah dia seharusnya menjadi dosen killer? Tapi…. mengapa jadinya seperti ini?
*end of flashback
"Kita sudah sampai, selamat datang di rumah" ujar Jaebum begitu melihatku terbangun dari tidurnya di mobil. Tak terasa mobil telah sampai di depan gerbang rumah.
Aku masih berusaha mengumpulkan nyawa dan mengucek-ucek kedua mataku supaya tidak mengantuk lagi.
"Jadi ini rumahmu?" tanyaku.
"Tidak, sekarang, ini adalah rumah kita" tegas Jaebum.
Begitu turun dari mobil, seorang pelayan laki-laki berseragam lengkap sudah menyambut kedatangan mereka. Dia lah yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Pelayan itu yang membawakan barang-barangku dan Jaebum.
Ternyata dia adalah orang yang berkecukupan.
Jaebum lalu menggenggam tanganku, menuntunku masuk ke dalam rumah. Jantungku berdegup kencang kala Jaebum menggenggamku. Besarnya pintu rumah Jaebum yang terbuat dari kayu jati kemudian secara otomatis terbuka dengan sendirinya usai Jaebum menekan tombol password yang terpasang di tembok. Setelah pintu terbuka, mereka pun masuk ke dalam. Aku cukup takjub melihat isi rumah Jaebum secara keseluruhan.Saking kaya nya, rumah Jaebum terdiri dari 3 lantai, dan 1 basement. Di dalam terdapat lift dan tangga. Rumahnya sungguh besar dan luas, dihuni oleh 10 orang lebih pun masih cukup sebenarnya. Aku tak henti-hentinya berdecak kagum melihat betapa mewahnya rumah Jaebum.
Mereka pun naik ke lantai paling atas menggunakan lift.
"Akan kutunjukkan kamarmu" ujar Jaebum dengan wajah berseri-seri.
Sesampainya di lantai paling atas, Jaebum membukakan pintu kamarku dan mempersilakanku masuk.
"Nah, inilah kamarmu, kau menyukainya?" tanya Jaebum padaku yang masih terpaku memasuki kamar baruku. Aku tak menyangka akan menghuni kamar yang luasnya berkali-kali lipat dari kamar terdahuluku.
Pintu kamarku bahkan bisa terbuka dan tertutup secara otomatis karena mesin sensor yang canggih. Sebuah kamar bergaya klasik modern dengan dominan cat putih abu-abu, benar-benar elegan, jendelanya menghadap ke halaman belakang rumah. Jaebum lah yang mendesain semuanya.
"Jaeya?"
"Ah... nde?"
"Apa kau menyukai kamar barumu?"
"Hmm, biasa saja"
Aku berbohong, dalam hati, aku sangat menyukainya. Apalagi kamarku kini terdapat kamar mandi mewah, dan sebuah pintu menuju studio musik, tempat diriku bebas berekspresi. Di dalam studio itu tidak hanya ada alat-alat musik seperti drum, gitar, piano, keyboard, dan saxophone, tentunya juga dilengkapi dengan home recording. Sempat terpikir di benakku bahwa suatu hari nanti aku bisa menjadi penyanyi dan pencipta lagu terkenal. Ya, di rumahku dulu, aku suka bermain gitar sambil bernyanyi di waktu senggang. Jaebum benar-benar tahu apa yang dibutuhkan olehku. Ingin rasanya mengucapkan terimakasih, hanya saja mulutku masih berat untuk yang kesekian kalinya.
"Baiklah, aku tinggal sebentar ya, selamat bersenang-senang dengan kamar barumu, kau boleh mandi dulu, setelah itu turun lah ke bawah, pelayanku sudah membuat masakan enak untuk makan malam kita" perintah Jaebum.
~~~
Sesuai perintah Jaebum, aku turun ke bawah menuju ruang makan setelah selesai mandi. Disana sudah ada Jaebum yang sejak tadi menungguku dan seorang wanita yang tidak aku kenal. Wanita itu sepertinya lebih muda darinya dan usianya lebih tua dariku. Wanita itu kelihatan akrab dengan Jaebum, siapa dia?
"Nah itu dia anaknya, oh iya Jaeya, kenalkan ini tunanganku, Sooyoung"
Tunangan?! Jadi, dosen killer ini sudah punya tunangan. Aku tercekat begitu mendengar bahwa wanita bernama Sooyoung itu adalah tunangannya.
Untuk pertama kalinya, aku berjabat tangan dengan tunangannya Jaebum.
“Annyeong haseyo eonnie” sapaku pada wanita itu.
Ia balas ramah menyapaku, “wahh jadi ini anak temanmu yang sering kau ceritakan,manis ya”
“Iya, ini Jaeya yang tempo hari aku ceritakan, mahasiswi bimbinganku juga, nah ayo kita makan sekarang” sambung Jaebum.
“Jaeya, jangan kaget ya, aku sudah lama tinggal disini bersamanya” lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk.
Mereka berdua terlihat serasi seperti pasangan suami istri, apa gaya hidupnya bebas seperti ini, tinggal bersama seorang wanita yang belum resmi menjadi istrinya.
Entahlah yang jelas aku harus terbiasa hidup dengannya selama beberapa tahun ke depan. Entah itu sebagai dosen pembimbing atau orangtua angkat?
Tak bisa dibohongi bahwa aku sangat lapar , terbukti hidangan yang disediakan di atas meja habis disantap olehku, tak tersisa. Jaebum dan Sooyoung menggeleng-gelengkan kepalanya melihat porsi makanku yang ternyata melebihi mereka. Wajar saja, aku jarang menikmati makanan mewah seperti ini, tak heran jika aku makan layaknya orang kelaparan. Dimulai dari pasta sebagai makanan pembuka, diakhiri dengan macaron sebagai makanan penutup.
Dan aku sangat berterimakasih atas hidangan malam itu.
~~~
Hubungan ini terus berlanjut layaknya mahasiswa dengan dosen pembimbingnya. Jaebum membimbingku dengan caranya sendiri. Terkadang, ada perasaan ingin melawan agar tidak menuruti apa yang ia suruh terhadapku. Tetap saja aku tidak bisa.
Sihir apa yang ia gunakan sampai aku tak pernah bisa berkutik di hadapannya.
Harus kuakui berada di dekatnya semakin lama, semakin menimbulkan perasaan nyaman dan ada rasa ingin selalu dilindungi olehnya, meski cara yang dipakainya cukup keras. Begitu sampai di rumah aku harus menahan diri melihatnya bermesraan dengan wanita lain. Apa secepat itu?
Sepulangnya kuliah, tidak biasanya Jaebum mengajakku karaoke. Kami benar-benar menikmati waktu berdua kami. Kebetulan, ketika itu Sooyoung eonnie sedang tidak ada di rumah. Karaoke berdua menyanyikan lagu yang dimana generasi lagunya dan laguku berbeda jauh. Lucunya kita punya selera musik yang tidak jauh berbeda. Pertama kalinya aku mendengar suara merdunya. Sampai-sampai aku merekamnya diam-diam. Mungkin benar selama ini aku terlalu sering bermimpi akan pangeran dari negeri dongeng yang sebenarnya memang tidak ada untukku. Hanya ini yang bisa kulakukan.
Setelah puas mengajakku karaoke, kami pun duduk berdua di kursi taman sambil menikmati pemandangan kota Seoul di malam hari.
Jaebum kemudian melepas jaketnya dan memakaikan jaket itu di tubuhku.
Jantungku berdegup tak karuan.
Ditambah kedua pasang mata itu mulai membius seluruh penglihatanku.
"Aku tidak ingin malam ini berakhir begitu cepat, andai saja aku ingin waktu berhenti, berhentinya cukup di kau saja, Jaeya"
Bukankah dia seorang dosen? Perkataan macam apa itu? selama ini aku berusaha sabar menghadapinya, menerima semua perintahnya yang terkadang tidak masuk akal hingga akhirnya aku terjebak dalam jurang hati yang secara tak sadar aku justru makin memperdalam jurangnya. Bertahan dalam satu kekhilafan. Bilur yang jadi saksinya...
Bulir airmata pun tak mampu lagi dibendung, seketika memecah keheningan.
Jaebum mendongak, ia menatapku lagi. Mau membiusku dengan pesonamu? Aku rasa kali ini tidak mempan.
"sshh.. shhh.. jangan menangis seperti ini..." ia bahkan masih sempat menempelkan kedua ibu jarinya untuk menghapus airmataku.
"jangan lakukan ini padaku... aku makin tersiksa kalau kita terus menerus... "
Oh no.
Such a bad feeling.
Bibir tipis itu seakan menjadi senjata ampuhnya dalam melenyapkan semua gundah lara di hatiku.
Mengunci semua pergerakkanku.
Jaebum meraih tengkukku, tangan satunya membelai punggungku dengan lembut sehingga ia dapat merasakan lekuk tubuhku di tubuhnya... aku merasa sangat berdosa sekarang terutama pada tunangannya yang sudah kuanggap sebagai kakak perempuan dan ibuku.
"kau masih tidak yakin padaku?" tanyanya di sela ciuman kami.
Aku balas menatapnya lekat-lekat.
"a...aku..."
"mencintai bukan berarti harus diucapkan setiap harinya"
Jaebum berucap sembari melepaskan ciumannya, kemudian jari jemarinya bergerak perlahan merapikan rambutku yang berantakan karena tertiup angin malam. Disisipkannya rambutku ke belakang telinga. Sungguh, dia memang jahat, membiarkanku agar aku tak pernah bisa lepas dari jebakannya.
"Setiap hari, waktu, tempat, yang kulalui bersamamu... aku sangat bahagia bisa menghabiskannya hanya denganmu seorang, mungkin, aku tidak tahu caranya mencintai seorang gadis dengan benar seperti yang kau impikan dalam cerita romansa kebanyakan, percayalah... aku melakukannya dengan caraku sendiri"
Aku mendengarkannya sambil berusaha memaknai intinya.
"Dengan caramu seperti itu..."
"Ya, seperti itu, aku takut jika suatu saat nanti aku tak mampu memenuhi janjiku..."
"janji apa? maksudmu?"
"janji bahwa aku akan menjadi pendamping hidupmu selamanya"
"gyosunim…"
Cup.
Jaebum mencium keningku, sangat lembut, seperti kapas.
“Berhenti memanggilku gyosunim, sudah kukatakan berapa kali untuk memanggilku oppa”
“oppa…”
Perasaan ini ibarat kuncup bunga yang kemudian mendadak mekar menghiasi relung hati yang kosong.
"Sejak awal masuk menjadi mahasiswa, aku sudah memperhatikanmu, kau mungkin tidak menyadarinya. Semakin lama, rasa penasaranku terhadapmu membuatku frustasi dan terjebak dalam obsesi aneh. Aku sadar, di usia ku yang tidak bisa dibilang muda lagi. Sejak ayahmu meninggal, ibumu sering bertukar cerita padaku. Aku kasihan padanya yang kini menjanda lalu banting tulang sendirian demi menghidupi anak gadisnya semata wayang. Sampai akhirnya aku tahu bahwa ia memiliki seorang gadis yang cantik, pintar, lugu, menarik, lucu, ya kadang-kadang memang ceroboh... dan aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya waktu ospek berlangsung, dunia memang sempit. Ternyata kau benar-benar anaknya. Sesungguhnya ibumu tak pernah memaksaku agar kau tinggal di rumahku"
Kini, aku mengerti.
"cukup oppa, aku jadi paham sekarang"
Jaebum is the most charming liar I've ever met.
"kalau kau marah padaku, itu adalah hakmu, bahkan jika kau ingin membenciku, tidak masalah..."
"aku justru ingin mengucapkan terimakasih"
"hmm? wae?"
"terimakasih karena kau telah melakukan semua ini demi mendapatkanku, caranya memang konyol tapi aku suka.... dan aku menghargai usahamu"
Cup.
Aku mengecup pipinya hingga membuatnya bersemu kemerahan, merona karenanya.
"terimakasih karena kau satu-satunya pria yang mau menerima segala kekurangan dan kelebihanku apa adanya, aku yakin, kau tulus melakukan ini semua, lalu bagaimana dengan eonnie?”
“Jangan mengungkit orang lain di saat kita sedang berdua”
Kami kembali berciuman dibawah terangnya sinar bulan purnama yang menghiasi gelapnya awan malam kala itu.
Im Jaebum adalah kesalahan termanis yang aku dapatkan. Tidak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku.
"Aku tak peduli dengan latar belakangmu, siapa dirimu, kenapa kau lakukan itu. Bahagia bersamamu itu sudah menjadi hal paling indah dalam hidupku, oppa, I love you"
"Me too"
Meski dengan cara seperti ini, toh kami bahagia menikmatinya.
-END-