CHAPTER 1 : I GOT Proposed To
A l’occasion de la F ête Nationale
Auguste Mas
Ambassadeur de France en Corée du Sud
prie Mademoiselle Jeon Yoonji
de lui faire l’honneur d’assister à une réception
à l’Hôtel Park Hyatt – Grand Ballroom
le jeudi 14 juillet 2016 de 19h00 à 21h00
Kubaca undangan sederhana namun elegan dengan tema putih emas itu dengan suara lantang dan bersemangat, « Im Jaebum ! I’m invited par monsieur l’ambassadeur to la Fête Nationale!”
Jaebum yang sedang membersihkan kameranya di sampingku hanya mengangguk tanpa sedikit pun memperlihatkan antusiasme. “Hm… bicaralah dengan bahasa yang kumengerti.”
Aku menyeringai, “Aku mendapatkan undangan dari kedutaan untuk acara kemerdekaan Perancis. Keren bukan?”
“Kau bekerja di sana bukankah hal seperti itu sudah biasa?” lagi-lagi Jaebum mematikan semangatku.
“Well… jangan salahkan aku karena ini adalah tahun pertamaku bekerja di sana dan aku baru mendapatkan undangan ini pertama kali.”
“Hm…” Jawab Jaebum tanpa memalingkan pandangan dari lensa yang sedang dia usap hati-hati.
Duh! Daripada memperhatikan reaksi Jaebum lebih baik aku memikirkan pakaian apa yang akan kukenakan pada acara nanti. Meskipun tidak terlalu memperhatikan fashion, namun untuk acara yang satu ini tentu aku tidak boleh memakai sembarang pakaian. Kubayangkan isi lemariku dan sepertinya tidak ada satu gaun pun yang cocok untuk dikenakan. Gaun-gaunku sudah berumur terlalu lama untuk kukenakan dalam gala kali ini.
« Jaebum… » kupanggil dia dengan penuh pertimbangan. Aku tahu dia akan menolak mentah-mentah atas apa yang akan kuminta, tapi tak ada salahnya mencoba kan ?
« Hm… »
« Aku butuh sebuah gaun baru. »
« Kau butuh uang ? » tanya Jaebum. Aku menggeleng tepat di depan wajahnya karena kamera itu seolah jauh lebih indah dibanding apa pun hingga aku harus berusaha mengalihkan perhatian dia.
“Nope. Temani aku belanja.” Pintaku sambil memasang senyum paling imut yang bisa kupasang, meski pun aku tak yakin akan berhasil. Paling tidak dia sedang memandangiku sekarang.
“No.”
“Im Jaebum….” Aku merengek.
“Kau tahu aku tak suka belanja. Tidak jika bersama seorang wanita.” Tolaknya lagi.
“Kau kan tahu aku juga tidak suka belanja. Well, tidak separah wanita lain. Hanya satu jam! Kujanji kita akan pergi hanya dalam satu jam!” aku meyakinkan.
“Jangan mengucapkan janji yang belum tentu kau tepati.”
Aku mengerucutkan bibir, “Baiklah, tapi kujanji kita tak akan menghabiskan waktu lama. Ayolah, kita keluar untuk makan malam juga. Eung?”
“Berjanjilah untuk tidak mencari satu gaun dari ratusan butik. Langsung beli ketika ada yang kau suka.”
Aku menganggukkan kepala, “Let’s get ready!”
***
Mataku berkeliaran memperhatikan setiap stall makeup yang berjejer cantik di dalam mall sambil mempertimbangkan apakah aku membutuhkan eye liner atau eye shadow baru. Berbicara mengenai eye liner, aku melihat sebuah iklan cetak yang terpampang di samping stall makeup dengan beberapa gaya sesuai dengan bentuk mata: round, almond, hooded, upturned, downturned eyes ………… aku penasaran apa bentuk mataku.
“Jaebum?” kutarik lengan baju Jaebum pelan karena tak ingin dia pergi tanpa mengetahui aku berhenti di sini.
“Hm?” empat tahun berpacaran dengan photographer sebuah majalah musik itu, aku sudah hafal bahwa ‘Hm’ yang keluar dari mulutnya bisa berarti ‘ya’, ‘apa’, ‘tidak’, ‘sudah’, dan lain sebagainya. Meski sudah biasa tetap saja aku masih sebal dengan jawaban terlampau singkat itu.
“Menurutmu bentuk mataku yang mana?” tanyaku, berharap dia membalikkan badan dan melihat apa yang kulihat sekarang.
“Mata yang cantik.” Jawab Jaebum datar. Dia bahkan tak memasang senyum terbaik dan hanya menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada romantisnya sama sekali, tapi kenapa wajahku tetap panas mendengar jawaban itu?
“Eiy! Mwoya!” aku berjalan terseret ketika Jaebum menarik tanganku untuk berjalan menuju butik tempat gaun. Tipikal Im Jaebum. Aku tak akan bisa melirik barang apa pun di mall selain keperluanku membeli gaun. Meski aku sempat mengernyitkan kening heran kenapa dia terus menggenggam tanganku ketika kami memasuki sebuah store tempat pakaian-pakaian cantik berjejeran. Padahal kami bukanlah penggemar skinship di muka umum.
Setelah mendapatkan gaun berenda selutut berwarna biru gelap, aku dan Jaebum kembali menyusuri mall untuk mencari tempat makan malam setelah Jaebum bersikeras tak memerlukan setelan jas baru untuk mendampingiku di pesta nanti dan hanya akan mengenakan setelan jas hitam yang dia miliki di rumah.
“Im Jaebum…” panggilku kebingungan ketika Jaebum menyampirkan kemeja flannel miliknya di bahuku sementara dia kini hanya mengenakan kaos hitam yang menjadi dalaman. “It’s summer, and it’s hot. Just hold it if you don’t want to wear it.” Ucapku kesal. Aku baru akan melepaskan kemeja milik Jaebum ketika tangannya menahan tanganku di atas bahu.
“Is it because it’s summer you wear this?” aku bahkan tak perlu menoleh ke belakang untuk mengetahui wajah sinis Jaebum ketika mencibir blouse putih yang kukenakan.
“Of course! It’s 30 degrees outside, what do you expect me to wear? A coat?”
Jaebum mengerang mendengarkan jawabanku sementara aku hanya mendengus kesal. Apa yang salah dengan hanya mengenakan blouse di siang hari di musim panas?
“Don’t. Wear. This. Extra. Thin. Blouse. Ever. Again.” Bisik Jaebum tepat di telingaku.
Wajahku memanas akibat peringatan Jaebum di antara gertakan giginya.
“I have a hard time resisting myself not to punch fake noses of those guys for staring at you.” Jantungku semakin berdebar ketika Jaebum menurunkan tangannya dan menarik pinggangku mendekati tubuhnya dengan begitu protektif.
“E... ehm…Is it that obvious?” tanyaku gugup. Aku sudah mengetahui jelas jawabannya hanya saja saat ini aku tak tahu harus berkata apa lagi. Kenapa aku begitu gugup? Jelas bukan karena sekedar blouse putih tipis yang kukenakan namun Jaebum yang diam-diam begitu protektif lah yang membuat debar jantungku memburu.
“Very much.”
Dengan ucapan terakhir Jaebum, aku merekatkan kemeja flannel miliknya untuk menutupi blouse putihku yang menerawang. Seolah untuk meyakinkan Jaebum bahwa aku tak ingin membagi diriku dengan yang lain. Bahwa aku hanyalah miliknya.
Ada banyak alasan sekaligus tak ada alasan sama sekali mengapa aku semakin jatuh cinta pada Jaebum setiap hari. Hubungan kami tak selalu diisi oleh kata-kata manis yang keluar melalui ucapan meski seringkali aku terbuai oleh lirik-lirik lagu yang diam-diam dia buat dan tersimpan rapi di sebuah note dalam laci miliknya. Namun tindakan-tindakan kecil seperti genggaman tangan yang dia lakukan untuk mengklaim diriku yang menjadi miliknya di tempat umum hanya satu dari sekian hal yang selalu membuat hatiku berdebar melebihi kata-kata manis itu.
Kau tahu apa yang dia ungkapkan di malam pesta yang kami hadiri? Dengan segelas red wine di tangan, wajah Jaebum mendekat dan bisikannya menggelitik telingaku, “I’d be lying if I told you, you are always perfect just the way you are. Not with those sleeping habits of yours, not with your disheveled hair every time you wake up, not with your temper.” Jaebum mendengus dan aku merasakan senyum menyeringai melalui ujung bibirnya yang sekilas menyapu daun telingaku. “But strangely enough, I fall for your every single antic, in every single second in my life.” Aku tetap terdiam untuk menunggu kemana arah pembicaraan ini. Sambil diam-diam menikmati aroma tubuh Jaebum yang dibalut parfum kesukaanku.
“Will you do me the honor of being the man whom you’ll draw out your future like we always dreamed?” sebelah tangan Jaebum menelusup menggenggam tangan kiriku lalu diam-diam menyelinapkan sebuah cincin silver sederhana dengan hiasan berlian kecil di tengahnya ke jari manisku. Kau tahu apa yang dia maksud dengan memasangkan cincin itu tanpa sepengetahuanku? Im Jaebum tidak menerima kata ‘tidak’ sebagai jawaban.
Bohong jika aku tidak tergetar oleh rangkaian kata sebagai lamaran Jaebum. Aku sampai harus menyandarkan tubuhku lebih dekat pada Jaebum agar tak terjatuh mengingat betapa lemasnya kakiku. “Do I have a choice?” tanyaku bergurau. Meski jantungku seperti berhenti berdetak untuk sejenak namun kupakasakan diri untuk menatap mata Jaebum sesaat.
“No. You’ll be trapped with me for the rest of our life.”
Aku memukul dadanya pelan, “Are you that broke that you need to propose to me at someone else’s party? At Independence day of France on top of that.” Godaku.
“Nah, you wanna know the reason why?” Jaebum menundukkan kepalanya untuk menatap wajahku agar aku juga menatap kedua mata tajamnya.
Aku mengangguk.
“Because I want you to know that in this world of lies where everybody does the fake smiles to fawn over each other, I’ll always be true to you.”
Help. Just help. I don’t think I can stand him any longer.
“Such sweet words for a proposal.” Singgungku sarkastik. Aku menyembunyikan wajah di dadanya karena rona dari blush on telah terkalahkan oleh rona asli dari wajahku yang memanas.
“And…it’ll never be a trap for me, by the way. It’s our dream, our future, our life.” Ungkapku pada akhirnya. Kupejamkan mata ketika Jaebum mengecup puncak kepalaku lama, tanpa mempedulikan undangan di sekitar kami yang datang untuk menikmati hidangan perancis gratis yang telah disediakan.
*P.S. Nama Kedutaan Perancis bukan yang sebenarnya