CHAPTER 2 : Perpisahan Itu Seharusnya Tidak Pernah Terjadi
Bandara Incheon, 4 Agustus 2010
“Kamu yakin akan pergi?” tanya pria berambut lurus tersebut di hadapan Dani. Poni helmnya yang menutup kening mulai terlihat basah dan lepek karena keringat. Namun pria tersebut lebih memilih menggenggam kedua tangan Dani, alih-alih mengelap keringatnya sendiri.
“Kamu akan merindukan Korea. Merindukan tteokbokki buatan Paman Park. Merindukan indahnya bunga sakura di taman dekat rumah. Merindukan siaran paman-paman Cultwo. Merindukan…” lanjut pria tersebut sebelum menggantungkan kalimatnya.
“Merindukan-mu?” tanya Dani, melanjutkan kalimat pria di hadapannya.
Jeon Jungkook mengangkat kepalanya, menatap Dani nanar. Ia tak ingin gadis tersebut pergi ke Amerika. Ia ingin Dani tetap berada di sampingnya.
“Hey, Jeon Jungkook! Kau kenapa? Kau tidak akan menangis kan?” tanya Dani lagi.
“Kalau aku menangis apakah kau akan tetap tinggal disini?”
Dani berdecak tak percaya mendengar pertanyaan pria di hadapannya.
“Kau ini bicara apa? Kurasa otak-mu sekarang sedikit kacau karena terlalu banyak berlatih dan menonton drama. Sudahlah. Aku akan terlambat naik pesawat kalau kau menahanku terus seperti ini,” ucap Dani sambil mencoba melepaskan genggaman Jungkook. Namun pria itu masih tetap enggan melepaskan genggamannya.
“Dani…apakah kau benar-benar harus pergi?” tanyanya sekali lagi.
“Ya, aku harus pergi. Kau tahu sendiri sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi disini,” balas Dani. Bibirnya tersenyum sedih.
“Kau masih punya aku.”
Jungkook mengangkat kepalanya, matanya yang lurus menatap Dani menyiratkan keseriusan dalam kalimat yang dikatakannya barusan.
Dani sempat terdiam sesaat, menatap tulus wajah pria di depannya sebelum berkata, “Jeon Jungkook, kau ini hanya bocah berumur 13 tahun. Apakah aku bisa menggantungkan hidupku sepenuhnya padamu?”
“Ya. Kau bisa menggantungkan hidupmu padaku. Aku akan bekerja keras dan debut menjadi idola yang sukses. Aku akan menghasilkan banyak uang dan membelikanmu apa saja yang kau inginkan.”
Dani menghela nafas sebentar sebelum mengatakan, “Itu membutuhkan waktu lama.”
Dengan berat hati, Dani melepas genggaman tangan Jungkook dan menepuk pundak pria itu dengan tegas sambil mengatakan, “Semangat Jeonn Jungkook! Aku yakin kau pasti akan menjadi idola yang hebat. Aku juga pasti akan menjadi seorang pelukis yang hebat. Nanti kita akan kembali bertemu setelah kita sama-sama sukses.”
Jungkook menggelengkan kepalanya, “Tidak. Jangan pergi,” rengeknya.
“Hey! Aku sudah membiarkanmu mencium keningku semalam. Katamu kalau kau boleh mencium keningku maka kau akan membiarkanku pergi dengan tenang? Kenapa sekarang kau meminta lebih? Sudahlah, aku harus pergi.” Ucap Dani seraya siap membalikkan badan.
“Tidak!” teriak Jungkook sambil memeluk badan Dani dari belakang, mencegahnya untuk pergi.
“Hey! Apa-apaan kau?” ucap Dani sambil berusaha melepaskan pelukan Jungkook. Orang-orang yang berjalan lalu lalang di sekitar mulai memerhatikan mereka berdua.
“Hey, Jeon Jungkook! Lepaskan aku! Kau ini mau meniru adegan drama atau apa?” ucap Dani lagi sambil mencoba menutup wajahnya dengan rambut.
Jungkook tetap tidak melonggarkan pelukannya, sementara Dani tetap berusaha melepaskan pelukan Jungkook.
“Dani! Ternyata kau disitu? Ayo cepat!” teriak seorang wanita dari kejauhan. Ia adalah bibi tetangga yang akan mengantar Dani ke Amerika.
Mendengar suara bibi tetangga, Jungkook langsung refleks melepaskan pelukannya. Wajahnya masih enggan membiarkan Dani pergi.
“Tuh kan, aku sudah disuruh pergi. Sudah ya. Jangan lupa kirimkan surat pada alamat email yang kuberi semalam.” Ucap Dani sambil melambaikan tangannya, meninggalkan Jungkook sendirian di tengah kumpulan orang yang berlalu-lalang di bandara siang itu.