CHAPTER 1 : The Big Day
Jimin menarik nafas dalam-dalam. Berkali-kali dia membetulkan kerah yang dia pakai. Dia memandang ke arah cermin sejak setengah jam yang lalu. Dia menarik nafas lagi dan menghembuskannya perlahan. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Park Jimin,” dia tersenyum pada dirinya sendiri, mencoba menghilangkan rasa nervous-nya mungkin.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Berkali-kali aku membetulkan gaun selurut yang kupakai. Aku memandang ke arah cermin sejak setengah jam yang lalu. Aku menarik nafas lagi dan menghembuskannya perlahan. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Im Nani,” aku tersenyum pada diriku, mencoba menghilangkan rasa nervous-ku mungkin.
***
Beberapa saat berlalu dan aku sudah sampai di gereja. Berjalan menaiki tangga, aku lihat Jungkook dan Namjoon sudah ada di sana, menungguku barangkali. “Selamat pagi,” aku menyapa mereka.
“Selamat pagi,” Namjoon menyapa sembari memegang tanganku dan memutarku, lalu meng-operku pada Jungkook.
“Selamat pagi,” Jungkook, yang kini memegang tanganku, tersenyum padaku.
“Kalian terlihat tampan pagi ini,” aku memuji penampilan mereka yang pagi ini memakai kemeja putih dan dasi hitam serta blazer berwarna senada yang elegant.
“Kamu juga terlihat cantik pagi ini!” Namjoon berujar. “Jimin pasti senang melihatnya!”
“Kamu yang membuat gaun ini?” Jungkook bertanya.
“Iya, kau tahu, kan, aku desainer meski masih pemula,” ujarku tertawa.
“Kamu memilih warna yang bagus! Aku suka warna biru!” Namjoon menyentuh gaunku.
“Well, awalnya warnanya putih, tapi aku ganti,” jawabku.
“Kenapa?” Jungkook bertanya.
Aku mengangkat bahu. “Entah, tanpa alasan sebenarnya. Aku… aku cuma ingin menggantinya.”
Mereka berujar dengan berkata, “Oh…” kemudian tersenyum. “Cocok denganmu, kok. Tenang saja,” Namjoon berujar.
Kami bertiga asyik mengobrol sampai dua orang laki-laki keluar dari dalam mobil lalu berjalan menaiki tangga. Mereka memakai pakaian yang sama seperti Namjoon dan Jungkook. Laki-laki yang pertama, dia berbadan tinggi, berambut cokelat dan bahunya benar-benar lebar dan menakjubkan. Laki-laki yang ada di sebelahnya, rambutnya abu-abu, ekspresinya dingin namun hatinya jauh lebih hangat dari yang kita semua bayangkan.
“Selamat pagi, Sora,” si Wajah Dingin, Yoongi, menyapaku. Dia tersenyum tipis ke arahku.
Aku tersenyum ke arahnya. “Selamat pagi, Oppa.”
“Gaun yang bagus,” laki-laki satunya, si Bahu Indah, Seokjin, berujar.
Aku tersenyum pula ke arahnya. “Terima kasih.”
“Kau membuatnya?” Jin bertanya.
Aku mengangguk. “Iya.”
“Warnanya bukan pink?”
“Tidak. Aku tidak mau mengambil warna favoritmu,” godaku dan dia tersenyum lebar mendengarnya, sadar bahwa aku baru saja menyebutkan warna kesukaannya.
“Aku tidak menyangka, Jimin akan menikah mendahului kita semua,” ujar Yoongi dengan senyum tipis di bibirnya, senyum yang menunjukkan dia benar-benar mendukung dan bahagia apapun tentang Jimin sekarang.
Ucapaannya disambut dengan anggukan dari ketiga laki-laki lainnya yang ada di sini.
“Kau benar,” Jin menyahut.
Tiba-tiba namja yang memakai kemeja putih yang sama muncul dari dalam gereja dan berjalan ke arah kami. Namanya Kim Taehyung, anggota ‘keluarga’ kami yang lainnya. “Nani, Jimin ingin bertemu denganmu,” ujarnya ketika berdiri di sampingku.
“Oh, oke,” jawabku merangkul tangannya, kemudian menggiringku masuk ke dalam gereja, menuju kamar Jimin, kamar mempelai pria. Jantungku berdegup begitu kencang tiap kali kami melangkah. Bagaimana penampilan Jimin dengan wedding outfit-nya? Astaga… dia pasti sangat tampan!
“Jimin?” Taehyung memanggil sambil mengetuk pintu.
“Masuk!” Jimin menjawab dari dalam dan Taehyung membuka pintu.
Aku terkejut dan berteriak histeris dalam hati ketika melihat Jimin berdiri tepat di hadapan kami. Dia terlihat sangat tampan dan berbeda dengan jas pengantinnya. Dia terlihat lebih manly dari yang kubayangkan, dan aku berusaha keras untuk tidak pingsan akibat pesonanya.
“Halo, semuanya!” Jimin tersenyum ke arah kami.
Jimin berjalan menghampiriku. “Wow! Cantik sekali kamu!” dia berseru. “Kamu yang membuat gaun ini, kan?”
Aku terkekeh. “Ne.”
“Tapi, kenapa warnanya biru?” tanya Jimin.
“Hanya ada satu orang yang diperbolehkan memakai warna putih, Chim Chim.”
“Ah!” dia berseru sambil menepuk dahinya dan tertawa setelah sadar akan sesuatu. “Iya, calon istriku!”
Aku merasa sedikit sakit hati mendengarnya, tapi aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum ke arahnya, memberinya dukungan di hari besar dan bersejarah baginya. Aku tidak sadar jika Taehyung sejak tadi memandangku.
“Taetae?” Jimin memanggil Taehyung.
“Ya?”
“Aku mau bicara penting dengan Nani. Bisa keluar sebentar?”
“Oh! Tentu saja!” Taehyung berujar dan berjalan menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, tangannya menyentuh pundakku dan mengelusnya selama beberapa kali. Ketika aku menatapnya, dia sudah terlebih dulu tersenyum ke arahku, seolah tahu apa yang kurasakan. Aku membalas senyumnya dan dia keluar dari kamar.
“Aku sangat nervous!” Jimin berseru sambil memegang bahuku. “Aku kelihatan sangat jelek!”
“Aisssh… kamu tampan! You’re handsome as hell, Jimin,” ujarku membetulkan kerahnya.
Jimin tertawa, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Aku menyentuh dadanya dan aku merasakan detak jantungnya berdegup sangat kencang.
“Nani?” dia memanggilku.
Aku menatapnya. “Ya?”
“Apa kamu pikir…” dia terhenti selama beberapa detik. “Apa kamu pikir aku akan menjadi penamping hidup yang hebat? Apakah menurutmu aku membuat keputusan yang paling tepat?”
Aku memegang pipinya dan tersenyum. “Tentu saja!” aku berseru dan dia tersenyum lebar. “Kamu akan jadi pria dan pendamping hidup yang hebat!”
“Kau… yakin?”
Aku tersenyum dan memegang bahunya. “Ayolah, aku sahabatmu! Aku tahu kamu,” aku tertawa sambil mengelus bahunya.
Jimin tersenyum dan memelukku. “Gomawo,” ucapnya. “Terima kasih untuk selalu ada untukku. Terima kasih karena sudah mau menjadi sahabat baikku.”
Ya, hanya sahabat, aku mengakuinya. Aku menahan air mata yang akan menetes dan memeluknya.
Aku keluar dari kamarnya dan menutupnya perlahan. Aku mengeluh sambil menempelkan dahi di pintu kamar dan mencoba tetap tenang. Perlahan, air mata menetes ketika sosok gadis yang akan menjadi calon istri Jimin terpampang jelas dalam pandanganku. Dia sangat beruntung, dia bisa mendapatkan Jimin dengan mudah, dia mencuri hati Jimin dan menggantikan tempatku. Dan sekarang aku tidak bisa merebut Jimin kembali.
“Nani?” suara yang familiar terdengar di belakangku.
Aku mengusap air mata dan untungnya aku memakai make up yang tidak terlalu tebal sehingg tidak menunjukkan bahwa aku menangis. Aku berbalik dan melihat Jin sudah ada di hadapanku.
Dia menunduk sedikit dan menatapku. “Nani? Gwaenchana?”
Aku tersenyum dan mengangguk. “Ne. Neomu gwaenchana.”
“Kamu menangis?” dia tetap bertanya.
“Iya, karena ada sesuatu di mataku. Astaga, mataku terlalu besar,” jawabku berbohong.
Jin terdiam selama beberapa saat dan menggenggam lenganku. “Ayo, acara sebentar lagi dimulai,” ujarnya membawaku pergi. “Tapi kamu harus bilang alasan kenapa kamu menangis, oke?”
Aku hanya diam.
“Nani?” dia menaikkan nadanya dan membuatku takut. “I… Iya.”