CHAPTER 2 : Unspoken Love
Aku sedang sibuk menulis sebuah artikel di kamarku sore ini sampai ponselku berdering. Aku mengambil ponsel dan mengangkat telepon dari pacarku. “Yeobseo?”
“Kamu di mana?” dia bertanya.
“Sedang di rumah, menulis artikel.”
“Dengan siapa?”
“Aku sendiri, tidak dengan siapa-siapa?”
“Benarkah?”
“Aku tidak pernah bohong.”
“Entah kenapa aku tidak yakin.”
“Sudah berapa kali kubilang, hilangkan sifat cemburuanmu, aku tidak pernah bermain di belakangmu,” aku sedikit menaikkan nadaku.
“Yah~ kau berani membentakku?” dia juga menaikkan nadanya.
“Aku tidak ingin bertengkar, oke?” aku berkata.
Dia diam selama beberapa detik. “Apa benar kamu sendirian?”
“Iya! Aku bersumpah!”
Dan tiba-tiba panggilan terputus. Aku mendengus keras, merasa kesal dengan sifat kekanak-kanakannya. Dia selalu seperti ini, mudah curiga dan tipe pencemburu. Sudah hampir satu tahun kami berpacaran tapi sifatnya selalu sama, dia pernah meminta maaf tentang sikapnya namun beberapa waktu ini sifat buruknya muncul kembali.
“Gara-gara dia, ide artikelku hilang!” aku menggerutu.
Aku memejamkan mata dan terdiam selama beberapa menit, kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang. “Halo?”
“Hai,” Jin menyapaku setelah aku menunggu kedatangannya di kafe tempat kami berdelapan biasanya berkumpul.
Aku tersenyum ke arahnya. “Hai.”
“Yang lainnya mana? Kenapa cuma kamu?”
“Mereka sibuk main game dan Yoongi tertidur,” jawab Jin. “Kurasa hanya aku yang bisa kemari.”
“Oh,” aku menganggukkan kepala berulang kali.
“Jadi,” Jin berujar. “Ada apa?”
“Aku… aku hanya ingin mengobrol saja dengan kalian bertujuh, tapi kurasa Tuhan merencanakannya hanya denganmu saja,” aku tersenyum.
Jin tertawa singkat. “Kurasa begitu. Ummm… Biar kutebak, kamu masih harus menulis artikel, kan?”
“Eh? Kamu tahu?”
“Ini, kan hari Rabu, dan biasanya hari Kamis artikelmu akan muncul di koran. Aku selalu membaca artikelmu.”
Jujur, aku sedikit tersipu dan tersanjung saat tahu bahwa Jin hafal benar dengan kegiatanku. Aku memang membawa laptopku dan berencana akan menulisnya nanti setelah Jin pulang, hitung-hitung aku mencari inspirasi di sini.
“Kamu lanjutkan artikelmu, aku akan menemani,” ujar Jin.
“Eh? Nanti kamu sendirian,” aku berkata.
“Tenang saja, aku bawa novel, kok,” jawabnya menunjukkan novel yang dia maksud. “Cepat, lanjutkan pekerjaanmu, aku akan temani kamu sampai artikelmu selesai.”
Aku tersenyum lega mendengarnya. “Terima kasih, Oppa.”
Dia mengangguk dan aku mengeluarkan laptop lalu meletakkannya di meja, melanjutkan tulisanku. Kurasa ide Jin menemaniku selama aku menulis artikel adalah ide yang buruk, aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan tujuan penulisanku karena sosoknya yang duduk tepat di hadapanku. He distracted me! Dia menggangguku! Tapi kurasa ini adalah gangguan termanis yang pernah aku rasakan.
Sambil mencuri lirikan ke arah Jin yang sedang sibuk membaca novel, jemariku bergerak lincah, memencet keyboard dan menorehkan tulisan-tulisan di layar laptopku. Ide-ide yang tertampung dalam otakku mengalir begitu saja melalui jemariku hanya karena memandang dia.
“Kau sudah makan?” tanya Jin tiba-tiba.
Aku menatapnya dan menggelengkan kepala. “Belum. Jujur, uangku pas untuk membeli secangkir kopi.”
“Aku akan pesankan makanan untukmu,” dia berkata sambil membuka buku menu.
“Tidak usah, Oppa,” jawabku.
“Kau mau makan apa?” dia sama sekali tidak mendengarkanku.
“Opp-”
“Dengar, aku tidak ingin kamu sakit, mengerti?” dia memotong tegas. “Menulis artikel juga butuh tenaga dan aku tidak ingin kamu pingsan seperti dulu gara-gara menulis banyak artikel dalam kondisi perut kosong.”
Astaga, dia masih mengingat kejadian dua bulan lalu yang bahkan aku sudah lupa?
“Hyun Ra, kamu mau makan apa?” dia mengulang, kini nadanya kembali halus.
Aku menghembuskan nafas pasrah. “Terserah kau saja.”
Jin tersenyum, dia selalu senang jika aku membiarkan dia yang memutuskan sesuatu. Dia bangkit dan berjalan menuju kasir.
“Hyun Ra?” Jin memanggilku, setelah pesanananku datang beberapa menit kemudian.
“Ng?” aku masih memusatkan pandangan ke layar laptop.
“Hyun Ra?” dia memanggilku lagi.
“Ya?” aku menoleh ke arahnya yang sudah menyodorkan sendok berisi nasi dan daging.
“Aaaaa~” dia memintaku membuka mulut.
Aku tertawa malu dibuatnya. “Jinjjayeo?” aku bertanya dan dia mengangguk. Aku pun memakan makanan di sendok yang ada di tangannya.
“Otte? (Bagaimana (rasanya)?” dia tersenyum.
Aku tersenyum sambil mengunyah. “Enak.”
“Sekarang, kamu tetap menulis sementara aku menyuapimu. Arraseo?”
“Bukankan itu sedikit berlebihan?” tanyaku.
“Tidak sama sekali,” dia menjawab tegas.
Aku pun melanjutkan tulisanku dengan Jin yang selalu siap menyuapiku. Tanpa malu dia membersihkan sisa nasi yang menempel di bibirku dengan tangannya, memberitahuku untuk mengunyah dengan pelan dan dia melakukan semua yang pacarku bahkan tidak lakukan.
“Terima kasih sudah menemani,” aku berkata saat kami keluar dari kafe beberapa jam kemudian.
Jin, yang berdiri di sampingku sambil menunduk untuk bisa menatapku, tersenyum. “Terima kasih kembali.”
“Oke, aku harus pulang sekarang.”
“Ummm.. aku antar, oke?”
Aku menggeleng. “Tidak usah, tidak perlu.”
“Kumohon, sekali ini saja. Aku…” dia terhenti. “…khawatir.”
Aku menghela nafas, paham dengan maksudnya. “Oke, tapi sampai depan gang saja, ya, jangan sampai di rumah. Aku tidak ingin kamu dapat masalah.”
Jin sedikit bingung dengan ucapanku namun aku mengabaikannya sambil mulai melangkah.
Perjalanan menuju rumah tidak pernah se-aman dan senyaman ini dengan Jin di dekatku. Sepanjang perjalanan kami terus mengobrol dan bercanda, sampai tak terasa kami sampai di depan gang yang tak jauh dari rumahku.
“Hati-hati,” aku berujar.
“Tidak, kamu yang berhati-hati,” Jin menyahut dan aku tahu maksudnya.
Jin menatapku untuk waktu yang cukup lama dan aku membiarkannya. Kemudian dia memegang bahuku. “Jika kamu mau, kami selalu ada untukmu, terutama aku,” dia berkata.
“Aku harap aku bisa, tapi…” aku terhenti lalu menghembuskan nafas. Aku mendongak dan tersenyum ke arahnya. “Selamat malam, Jin.”
Dia perlahan tersenyum. “Selamat malam.”
Dia mencium telunjuknya dan menempelkannya di bibirku. Aku tersenyum dan berjalan masuk gang, berjalan menuju rumahku. Jin tidak akan pergi sebelum melihatku benar-benar masuk ke rumah. Ketika sampai di rumah dan hendak membuka pintu, aku menoleh ke belakang dan melambaikan tanganku padanya dan dari kejauhan dia membalas lambaianku. Aku membuka kunci dan masuk ke dalam.