CHAPTER 1 : The Man Who Never Know About Women
The Man Who Never Know About Women
-
Sepintas, jika melihat lebih dekat dandanan nyentrik yang tengah diusung Duksun hari ini mungkin akan membuat beberapa orang terkikik geli. Rambut lurus sepundak dengan poni mengembang layaknya roti penuh ragi, dihias bando putih yang tampak manis melengkapi dandanan menornya kali ini.
Tatapan aneh Junghwan yang setia menemani perjalanan mereka seakan tidak mengganggu Duksun sama sekali untuk tetap berjalan dengan bahagia sampai halte bus. Biar saja mata Junghwan sampai berair atau bahkan sampai keluar dari kelopaknya, karena sesungguhnya tidak ada lelaki yang tahu betapa pentingnya bedak juga eyeshadow yang terpoles indah di wajah wanita.
"Junghwan-ah! Jalan sama-sama dong!"
Pekikan lantang Duksun nyatanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap laju derap langkah Junghwan yang semakin jauh di depannya. Dikarenakan rasa malu yang teramat sangat, Junghwan tidak mau orang-orang mengira dia berteman dengan badut kota atau semacamnya. Jadi, menjaga jarak sejauh mungkin dari Duksun merupakan cara satu-satunya-
'Ah..nomu kiyowo'
-atau mungkin karena alasan yang berbeda.
-Reply 1988 side story-
“Mau ketemu siapa, sih?” tatapan sebal Junghwan yang sama sekali tidak bisa dihindari Duksun akhirnya membuat gadis itu menyerah. Segala umpatan sumpah serapah yang sejak tadi tertimbun di balik bibir dengan terpaksa ditelan kembali. Bukanlah ide yang baik jika Duksun mengabaikan pertanyaan lelaki bermata sipit itu terlalu lama. Toh, Junghwan sudah berbaik hati menemaninya pergi hari ini. Jadi, menahan sedikit emosi sepertinya harus dicoba demi kelangsungan hidup Duksun selanjutnya.
Omong-omong, Duksun juga lupa membawa dompetnya.
“Mau ketemu temen. Dia itu anaknya fashionista banget. Jadi aku harus dandan begini biar gak malu-maluin.” jawab Duksun penuh penghayatan.
Untuk kesekian kalinya, Junghwan kembali menatap Duksun lekat-lekat. Menelaah penampilan gadis itu dari ujung sepatu hingga kepala. “Apa gak lebih malu-maluin kalau dandanan kamu begitu?” tanya Junghwan menampakkan wajah tercela. Memang, penampilan Duksun tidak mengandung unsur fasionista sama sekali.
“Aduh Jungpal. Gak bisa banget sih lihat aku dandan sedikit? Ini tuh cantik tahu! Kamu sih gak tahu apa-apa tentang cewek.” Setelah beberapa jam yang lalu bersikap manis dan menyebutkan nama ‘Junghwan’ di segala perkataannya, akhirnya terlontar sudah nama kecil Junghwan saking sebalnya dengan ejekan sang pemuda. Tapi tak apa, Junghwan tidak akan sebal dengan nama panggilan Jungpal. Malah menurutnya nama panggilan itu terdengar cukup keren.
“Masa gak cantik, sih?” tanya Duksun setelah menerima pengabaian Junghwan atas aksi protesnya barusan.
“Sama sekali.”
“Tapi rambut aku udah kubikin mirip artis.”
“Artis siapa? Yoo Jae Suk?”
“Aishh! Jinjja!”
Tak mau berlama-lama berdebat dengan Junghwan, Duksun memilih bungkam. Junghwan memang selalu menyebalkan disetiap kesempatan. Orang yang paling menyebalkan setelah Dongryong –karena memang Dongryong masih memegang posisi pertama untuk spesies paling menyebalkan versi on the spot– dan orang yang paling jago berargumen setelah Sinwoo. Huh! Duksun benar-benar kalah. Sepertinya ia merasa lebih baik mengajak Choi Taek saja hari ini.
“Jungpal-ah….,”
“Hmm..,”
“Aku ngantuk.” sembari menguap lebar, Duksun menatap Junghwan penuh harap. Posisi duduk Junghwan yang lebih nyaman ketimbang Duksun mau tidak mau membuat gadis itu harus mengiba untuk menukar tempat mereka. Duduk di samping jendela sesungguhnya adalah hal yang luar biasa menyenangkan bagi penumpang bus yang sedang mengantuk layaknya dia.
“Ya, tidur aja.”
Sepersekian detik kemudian Duksun baru tersadar, jika memberi kode semacam itu pada Junghwan nyatanya sama sekali tidak berguna.
-Reply 1988 Side Story-