CHAPTER 2 : Our Flash Back
Yoohei terperanjak, dengan rambut berantakan dan muka sembab karena kebanyakan tidur, ia dibangunkan oleh alarm emergency. Yoohei tak percaya, dia sudah menghabiskan 12 jam untuk tidur. Dengan asal, ia segera menguncir kuda rambut yang sebelumnya tergerai. Memakai dengan asal sendal platik--yang biasa digunakan saat operasi--untuk berjalan cepat menuju ER.
“Dok!” panggil Ain saat melihat Yoohei mendekat ke ruang ER. “Ini sepertinya salah pasien, tapi tidak tahu kenapa, alarmnya tersambung padamu," Yoohei bingung, sambil terus berjalan menuju si pasien, Yoohei mengambil tab berukuran 10 inchi dari tangan Ain, menampilkan dokumen si pasien yang kini menjadi perhatiannya.
“Seharusnya kan ini...,” Yoohei tak percaya, ia memandang Ain bingung dengan kesalahan yang terjadi. “Bagaimana bis...,” Yoohei terdiam saat tirai yang menutup ranjang si pasien mulai dibuka oleh Ain, menampakkan sosok yang ia benci kini tengah rapuh dengan nafas tersengal.
“Chanyeol odi? Panggilkan dia sekarang,” ucap Yoohei meminta tolong kepada Ain, yang langsung ditanggapi dengan anggukan. “Wae? Apa yang terjadi?” tanya Yoohei cepat sambil memeriksakan keadaan pasien yang tengah berjuang dengan selang oksigen di hidungnya.
“Nan molla,” seorang pria bertubuh tambun menggeleng dengan mimik cemas. “Selesai perform, ia langsung begini,” tambahnya dengan nada panik.
“O. Jung...Yoohei,” sapa seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke dalam tirain yang sengaja ditutup demi privasi si pasien.
“Josunghamnida. Pasien ini perlu ruang gerak yang lebih luas. Bisakah kalian menunggu di ruang tunggu?” pinta Yoohei mengarahkan tangannya ke sebuah pintu yang langsung tersambung ke ruang tunggu.
“Ya! Jung Yoohei. Kau tak mengenalku? Aku Park Kyung!” lelaki yang jelas dikenal Yoohei itu seakan memaksa agar Yoohei ingat. Namun Yoohei terlampau sibuk dengan satu orang yang berbaring tepat dihadapannya.
“O. Park Kyung-ssi, silakan tunggu di sana ne,” Yoohei mendorong pelan Kyung dan menutup tirai berwarna biru langit itu dengan cepat. “Odi?” Yoohei memandang Ain yang sudah kembali dengan mimik cemas sambil menggigit jarinya. “Park Chanyeol odi?” tanya Yoohei lagi, tapi Ain justru menggeleng.
“Maaf dok. Ternyata dokter Chanyeol sudah pulang dan ponselnya tidak bisa dihubungi,” jelas Ain, berhasil membuat Yoohei kesal setengah mati.
“Arraseo,” Yoohei menahan kesal, hampir saja dia mengeluarkan kata-kata kasar di tengah ruang ER. Bagaimanapun ia harus menangani mantan pasiennya. Tidak mungkin ia terus berlaku egois karena soal perasaan.
Tanpa melihat riwayatnya pun Yoohei sudah mengenal lelaki ini. Ya, hampir tiga tahu bersama, ia sudah hafal kehidupan lelaki yang kini makin tenar. Tapi, ia tidak menyangka bahwa penyakit yang ia kira sudah menghilang sejak lama, ternyata akan kembali muncul bahkan disaat lelaki ini berada dipuncak ketenarannya.
...Hello Again...
"Jung Yoohei...," panggil Jiho saat mendapati sosok Yoohei di pelupuk matanya. Perempuan itu kedapatan tengan memeriksa keadaan Jiho sebelum kembali ke rumah.
"Ne. Woo Jiho-ssi," sahut Yoohei secara profesional layaknya dokter dan pasien. "Bagaimana keadaanmu, sudah merasa lebih baik?" Yoohei menggerakkan tubuh menghadap Jiho sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saju jas dokter yang masih ia kenakan. "Aku hanya mengecek keadaanmu sebelum aku pulang. Nanti, akan ada suster yang terus , memantau perkembangam kesehatanmu," tambah Yoohei mencoba mengalihkan hal lain di luar konteks pembahasan antara dokter dan pasien.
Jiho mengangguk dengan wajah lesu dan pucat pasi. "Jjosunghaeyo," ucap Jiho berhasil menahan langkah Yoohei yang akan bergegas keluar dari ruang inap tempat Jiho dirawat. "Atas apa yang telah aku lakukan padamu saat kita pacaran dulu," tambah Jihoo saat tak ada reaksi dari Yoohei, perempuan yang sudah menggerai rambutnya itu masih terdiam. "Jinjja, mianhayeo," ucap Jiho lagi, masih mencari cara menahan langkah Yoohei.
"Setelah lima tahun?" Yoohei tersenyum kecut, meski tak dapat dilihat Jiho karena membelakanginya. "Dweseo," Yoonhei tak ingin memperpanjang percakapamnya, itu akan sia-sia menurutnya. "Jaga kesehatanmu, Woo Jiho-ssi. Mulai besok kau akan ditangani dokter Park Chanyeol," jelas Yoohei masih tanpa melihat Jiho dan akhirnya berhasil meninggalkan ruang tersebut.
Yoohei menutup pintu bernomor 77 itu, helaan nafas berat ia keluarkan, entah sudah berapa kali ia melakukan hal tersebut lebih sering dari biasanya sejak bertemu dengan Jiho. "Dok...," Yoohei kembali ke alam sadar saat Ain memandangnya yang tengah menunduk sambil membelakangi pintu. "O. Ain-ni... kau belum pulang?" Yoohei mengusap wajahnya kasar, seakan mengganti topeng di wajahnya yang tadi tampak kusut.
"Aku bertugas malam ini, dok...," jawab Ain yang tengah membawa tablet di tangan kirinya. "Ah!" Ain menjentikkan jari, ia mengingat sesuatu yang baru saja datang beberapa menit lalu. "Mobilmu sudah datang," Ain terlihat sumringah, namun ia buru-buru menggigit bibir bawahnya. "Sepertinya cukup parah dok...," Yoohei membulatkan matanya, seakan bertanya 'Apanya yang cukup parah?'. "Itu... penyok di bagian belakang," Ain menggeleng. "Bempernya lepas dan lampu belakang sebelah kanan hancur," Ain meringis memberitau keadaan mobil Yoohei.
"Geuraeyo?" Yoohei menahan nada suaran yang akan meledek, ia sudah terlalu banyak mengeluh sejak kemarin. "Arrase. Gomawo ne sudah memberitauku" ia menepuk bahu kanan Ain dengan segurat senyum tipis. "Na kkalkae Ain-ni," Yoohei melambaikan tangan kepada Ain yang terus memandang Yoohei iba. Ain hanya bisa membalas lambaian tangan Yoohei dengan bungkukan kecil sembari Yoohei berjalan meninggalkannya.
Yoohei terkenal sebagai sosok yang sangat cekatan, bahkan cara berjalannya sudah seperti lelaki, meski memakai hak setinggi 7 cm saat bekerja, ia bisa berlari kapanpun dia mau. Namun, beda dengan hari ini, bahkan di atas sendal plastik yang kebesaran, Yoohei memilih memelankan jalannya sambil memijat ringan tengkuk lehernya yang terasa berat.
Dari arah berlawanan seorang dokter magang berjalan cepat ke arahnya, perempuan itu tampak cemas dan matanya seakan memindai setiap nomor yang ada di lorong tempat Yoohei berjalan. “Anyeonghasaeyo sunbae..." Yoohei menatapnya heran, dia tak ingat siapa yang menyapanya kali ini. "Nan...Choi Jinri. Kau lupa? Na...," belum sempat perempuan yang sudah mengenakan baju bebas itu memperkenalkan diri, Yoohei memotong ucapannya.
"Aahh... neo," Yoohei sok tahu, padahal ingatannya samar-samar. Ia tak mau dianggap sebagai senior yang sombong. "Kau mencari sesuatu? Mungkin bisa aku bantu," Yoohei menawarkan jasa, padahal ia sudah sangat ingin pulang dan merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk.
"Aku mencari kamar pasien nomor 77. Kau tau dimana?" Yoohei sedikit terperanjat, kedua tangan yang tadi ia sembunyikan di kedua kantung jas dokternya ia keluarkan. Badan Yoohei memutar, dan tangan kiri berhias cincin emas putih di jari manis itu menunjuk sebuah pintu yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Itu," jawab Yoohei tanpa basa-basi, dan perempuan yang sudah Yoohei ingat itu tersenyum, mengembangkan pipinya yang berisi.
"Kamsahamnida sunbae," ia tersenyum girang dengan bungkukan formal sekitar 75 derajat. Mendapat sinyal sebuah anggukan dari Yoohei, Jinri berjalan dengan langkah ringan dan masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Isanghae..," Yoohei menatap punggung Jinri yang menghilang di balik pintu tempat Jiho menetap. Ia tidak menyadari bahwa nomor 77 adalah tempat Jiho dirawat. Tak mau larut dalam imaji yang aneh, Yoohei segera membalikkan tubuh dan kembali melanjutkan perjalanan menuju ruangannya untuk mengambil barang-barang.
Senyum Yoohei mengembang saat melihat sudah ada sepotong roti isi bungkusan dan susu kotak di atas meja kerja yang tampak lebih rapih. ‘Mani mokgo dok!’ kata-kata itu tertulis di secarik kertas yang menempel di susu kotak rasa vanilla kesukaannya. “Eeyy. Anak itu benar-benar berusaha agar aku menjodohkannya dengan Chanyeol?” goda Yoohei memandangi kertas berwarna kuning terang.
Tanpa membukanya, Yoohei bermaksud ingin langsung memasukkan ke dalam tas yang ia taruh di kursi kerjanya. Namun mata Yoohei membulat, tepat di samping wristlet bag berwarna putih susu, sudah berdiri manis se-bucket bunga mawar putih. “Mwoya?” Yoohei mengambil cepat secarik kertas yang menjadi keterangan. ‘From the past. I’m sorry’. Yoohei menggeleng, tanpa ragu ia langsung melempar bunga tersebut ke dalam tempat sampah yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Sudah kubilang. Korea bukan tempat terbaik untukku,” gerutu Yoohei sembari menghempaskan diri ke kursi kerja yang hanya dihuni tas kecil miliknya. “Ini gara-gara Chanyeol yang memaksaku ke Korea. Ark! Jinjja!” kesalnya tak terbendung, Yoohei benar-benar berteriak di dalam ruangangannya.
Flashback
“Anyeonghasaeyo. Ada yang bisa aku bantu?” seorang wanita mendekat ke arah pria yang tengah sibuk memindahkan barang. Tak lama terdengar nyaring suara gadis dari dalam rumah sambil melambai.
“Appa! Ppali... aku sudah selesai membawanya ke lantai dua,” teriak seorang gadis berumur 16 tahun. “Eeyy appa. Bagaimana aku tega meninggalkanmu di asrama saat kau belum bisa mengurus dirimu dengan baik,” gadis bernama Jung Yoohei itu akhirnya mendekat ke appanya yang sedang tersenyum canggung ke wanita tetangga yang tengah tersenyum ramah mendengar celotehan sang gadis. “Omo! Jjeosunghamnida,” Yoohei segera membungkukkan badan sembari memberi salam. “Choneun...,” Yoohei mengulurkan tangan, namun ia tarik kembali dan mengelap telapak tangannya pada baju. “Jung Yoohei imnida,” ia kembali mengulurkan tangannya dengan senyuman teramah, membuat seorang wanita yang ia ajak bicara gagap melihat tingkah Yoohei layaknya perempuan dewasa.
“Aigoya... Neo jinjja kwiyowo,” wanita berbalut baju terusan selutut itu berser-seri, ia bak melihat wanita dewasa yang sedang mengurus appanya. “Nan Lee Geumhee imnida. Aku tetangga kalian. Itu rumahku, tepat disamping rumah kalian,” jelas Geumhee sambil menunjuk sebuah rumah tepat di samping rumah keluarga Jung setelah berjabat tangan dengan Yoohei
“Jjosunghaeyo. Nan Jung Seungwon imnida,” Seungwon mengulurkan tangannya setelah meletakkan satu kardus besar yang ia angkat seorang diri. Geumhee segera menyambut uluran tangan tersebut dan menjabatnya ringan.
“Otthayeo? Ada yang bisa aku bantu?” Geumhee menelisik barang-barang yang masih berserakan di halaman. Matanya seakan ingin segera mengambil salah satu kardus untuk dibawa masuk ke dalam rumah.
“Gwenchana,” Yoohei appa menahan langkah Geumhee. “Aku dan putriku sudah hampir menyelesaikannya. Kamsahamnida, atas perhatiannya,” Yoohei appa membungkuk sambil melempar senyum canggung.
Belum sempat Geumhee membujuk Yoohei appa untuk menerima bantuannya, suara seorang lelaki yang umurnya sama dengan Yoohei berhasil membuat ketiga orang tersebut menoleh ke sumber suara. “Imo! Sarapanku mana? Aku lapar!” teriaknya terdengar seperti suara rengekan, namun mata sipit yang terlihat seperti baru bangun tidur itu segera membulat saat sadar bahwa imonya tengah berbincang dengan seseorang yang baru ia lihat. “Aigo... Jjeosunghamnida,” lelaki itu berjalan cepat mendekat ke arah sang imo sambil membungkukkan badan beberapa kali.
"Choneun Woo Jiho imnida" lelaki dengan muka bantal sehabis bangun tidur itu membungkukkan tubuhnya sambil menyelipkan senyum canggung kepada Yoohei dan appanya. "O. Kalian baru pindah?" Jiho menatap tumpukan kardus yang masih tergeletak. "Mau aku bantu?" Jiho menawarkan diri dengan wajah antusias.
"Gwenchaseubnida adeul...," tolak Yoohei appa dengan ramah. "A, Yoohei-ya. Ajak Jiho makan, kau kan juga belum makan. Pas sekali appa membuatkan sandwich, masih ada dua" jelasnya sambil menyenggol lengan Yoohei untuk mengajak Jiho sarapan di dalam rumah mereka yang akan mereka tempati sejak kepindahan dari Korea.
"Ne appa," Yoohei mengangguk. Menelengkan kepalanya ke arah pintu dengan maksud mengajak Jiho untuk masuk bersamanya. "Kkaja...," ajak Yoohei sambil berjalan masuk ke dalam rumah yang masih tercium aroma segar khas dari cat. "Mau minum apa? Susu atau air mineral?" tanya Yoohei ketika mereka sudah sampai di dapur, namun sejenak setelah ia melontarkan pertanyaan tidak ada suara dari lawan bicaranya. "Eeyy... Kemana dia?" saat Yoohei menoleh, sosok berkaos putih polos dan celana pendek rumahan itu tidak terlihat di pelupuk matanya.
"Wooow...," jiho terperangah mengamati setiap sudut rumah yang memang baru saja di renovasi. Rumah tua yang sengaja dibeli keluarga Yoohei untuk tempat mereka menetap selama di Amerika. "Ya... Jinjja daebkkiya," decak Jiho saat melihat Yoohei yang mendekat. "Aku tak mrnyangka rumah ini ternyata dalamnya sangat bagus. Aku selalu penasaran dengan rumah ini semenjak kepindahanku ke sini," jelas Jiho, masih sibuk dengan petualangannya di rumah yang memiliki dua lantai itu. "Eeyy.. Siapa namamu? Kita belum berkenalan?" Jiho mengulurkan tangannya kepada Yoohei yang pagi itu memilih untuk menguncir cepol rambutnya yang panjang sepunggang.
"Yoohei. Jung Yoohei," Yoohei menjabat cepat tangan Jiho. "Kajja. Apa rasa laparmu sudah hilang?" Yoohei kembali mengajak Jiho untuk kembali berjalan menuju dapur yang memang belum rapih.
"Chamkan," Jiho menahan langkah Yooheo yang akab meninggalkannya. "Boleh aku lihat lantai dua?" Jiho mengarahkan telunjuknya ke atas, berharap mendapat izin dari tuan rumah untuk menjelajahi rumah yang bahkan belum sempat ditiduri Yoohei dan appanya.
"Hmmm..." Yoohei berbalik sempurna menghadap Jiho. "Geuromyo. Kajja...," berbalut kaos putih kebesaran yang menutupi setengah pahanya dan celana pendeknyang bahkan tertutup kaos puih tersebut, Yoohei mengiyakan keinginan Jiho. Ia berjalan menaiki tangga tepat di sebelah Jiho, diikuti jiho yang mengekor dibelakangnya.
"Ini kamar siapa?" Jiho mrnunjuk sebuah kamar berdominan putih. Sudah ada beberapa barang di dalamnya, namun belum tertata rapih. Yoohei berbalik, mendekat ke arah Jiho yang sudah masuk ke dalam kamar tersebut.
"Eeyy....," Yoohei langsung menarik kerah belakang jiho untuk segera keluar. "Anak lelaki dilarang masuk ke dalam sini," kata Yoohei sambil memaksa Jiho keluar dari kamar yang ternyata adalah milik Yoohei. "Itu kamarku. Jadi jangan coba-coba masuk ke kamar perawan. Itu dilarang," tambah Yoohei menjawab keigintahuan Jiho yang belum terjawab.
"O. Arraseo," jiho mengangguk setelah kerah belakang bajunya sudah terlepas dari jeratan Yoohei. "Kkaja. Aku lapar," Jiho akhirnya selesai memindai rumah baru yang terletak persisi di sebelah rumah imonya. Jiho dan dan Yoohei kembali ke lantai dasar, namun seseorang yang baru ditemui Yoohei sudah menyapa mereka di ujung tangga dengan senyum penuh makna memandang keduanya yang sudah berad bdi tengah-tengah tangga setinggi kurang lebih 2.5 meter.
"Eeyy... Kalian sedang apa hanya berduaan di lantai atas. Huh?" sapa lelaki yang sepertinya sudah mengenal dekat Jiho, tentu saja. Mana mungkin Yoohei mengenal lelaki ini disaat dia sendiri baru pindah sekitar dua hari lalu.
“Ya! Park Kyung jangan asal bicara,” sahut Jiho menuruni cepat tangga kayu berwarna cokelat pekat itu dan mendaratkan pukulan yang lumayan kencang di kepala Kyung. “Ini kenalkan, Park Kyung,” Jiho menatap Yoohei yang kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Yoohei tersenyum ramah dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Yoohei. Jung Yoohei,” uluran tangan Yoohei langsung disambut Park Kyung. Bocah itu memang lebih nekat dan percaya diri dibanding Jiho, meski ini pertemuan pertama mereka, Kyung dengan seenaknya mencium tangan Yoohei yang berhasil membuat Yoohei meringis canggung ke arah Jiho yang juga melihatnya.
“Ey... ya ya ya! Neo jinjja Park Kyung,” Jiho langsung menarik tangan Kyung agar terlepas dari tangan Yoohei. “Mian. Dia memang begitu. Tidak tahu malu,” Jiho menggaruk belakang kapalanya yang tidak gatal dan tersenyum canggung kepada Yoohei.
“Gwenchana,” diluar perkiraan Jiho, reaksi Yoohei justru biasa saja dan tidak bersikap meledak-ledak seperti banyaknya perempuan yang diperlakukan agak tidak biasa di pertemuan biasa. “Kajja. Aku lapar. Kau juga lapar Kyung?” Yoohei berjalan menuju dapur, menyiapkan satu gelas lagi untuk Kyung. “Kau mau minum apa? Susu atau air mineral?” tanya Yoohei kepada dua lelaki yang duduk di bangku meja makan.
“Aku susu!” jawab kyung cepat sambil mengangkat tangannya seperti memesan kepada seorang pelayan. Melihat tingkah Kyung yang seenaknya membuat Jiho hanya mendelik dan memberikan death glare kepada Kyung. Tanpa rasa bersalah, justru Kyung hanya mengangkat bahu seakan bertanya, ‘Kenapa? Ada yang salah?’
“Aku air mineral saja,” jawab Jiho kemudian membuat Yoohei mengangguk dan menuangkan masing-masing dua gelas susu dan air mineral. Dengan satu nampan besar, Yoohei membawa tiga gelas bening dan dua potong sandwich seperti yang tadi appanya katakan.
“Makanlah...,” Yoohei meletakkan masing-masing satu minuan dan sandwich kepada Jiho dan Kyung. Lalu ia duduk di sebelah Jiho yang kini melihatnya heran.
“Punyamu?” Jiho mengurungkan niat untuk memakan sandwich berisi daging asap itu. Sedangkan Kyung sudah menggigit hampir setengah sandwich miliknya. Yoohei menggeleng sambil tersenyu ramah. “Jangan begitu...,” Jiho dengan cekatan memotong roti lapis yang diberikan Yoohei dengan tangannya dan memberikan bagian terbesar untuk Yoohei. “Aku akan makan lagi di rumah nanti” kata Jiho menatap Yoohei yang juga menatapnya dan potongan sandwich di tangan Jiho. “Mokgo...,” Jiho menodong mulut Yoohei dengan sandwich yang tak kunjung ia ambil. “Say A...,” kata Jiho seakan menyuruhnya untuk membuka mulut. Yoohei melirik Kyung yang memandang keduanya dengan seksama seakan menonton drama remaja. Kemudian Yoohei menggigit cepat sodoran sandwich tersebut dan mengambilnya dari tangan Jiho. “Ggeuretcci...,” Jiho tersenyum simpul dan tanpa sadar memberantak pucuk kepala Yoohei cepat.
“Ey... apa perlu diresmikan sekarang? Kalian cocok berdua,” ucap Kyung asal sambil mengunyah gigitan terakhir sandwich miliknya.
“Ya!” teriak Yoohei dan Jiho bersamaan menatap Kyung dengan tampang innocent-nya.
End of Flasback
Yoohei tersenyum kecut mengingat pertemuan pertamanya dengan Jiho dan Kyung. Dari sanalah Jiho tau bahwa Yoohei sangat menyukai warna putih, dan ia sangat tahu bahwa bunga mawar yang sudah ada di tempat sampah itu adalah pemberian Jiho.
...Hello Again...
Di atas sepatu berhak 7 cm, Yoohei melalui lobby rumah sakit yang sudah lebih sepi. Dari kejauhan, Yoohei sudah bisa melihat gerombolan orang yang tengah duduk di pelataran rumah sakit, beberapa di antara mereka memegang kertas bertuliskan, ‘Jiho oppa cepat sembuh. Saranghae’. Yoohei terus melanjutkan langkahnya melewati gerombolan orang yang terbagi menjadi dua di masing-masing sisi sebelah pintu masuk.
"Aigoooo...," Yoohei tidak bisa menahan, ia sibuk menggertu melihat keadaan mobilnya yang sudah terparkir manis di halaman rumah sakit. "Mwoya ige...," ia meruntuk sendiri sampai-sampai dia tak sadar bahwa sudah terududuk di lahan parkir menatap sendu keadaan mobil yang dibeli dari uang appanya.
"Neo gwenchana aggassi?" suara lembut seseorang yang bisa dipastikan Yoohei bukan suara anak muda itu membuyarkan titik terendah Yoohei dalam ratapannya pada mobil bercat putih.
"O. Ye, na gwenchanseubnida," Yoohei membalas tanpa menoleh. Ia bangkit dari duduknya dan berbalik, berusaha menguatkan diri untuk menyambut perempuan di belakangnya dengan maksud agar wanita tersebut tidak tersinggung karena dijawab sekadarnya. "Kam...," Yoohei terdiam, perempuan di depannya juga terdiam. Yoohei segera membungkukan badan sambil merapikan poni yang menutupi wajah. "Anyeonghasaeyo Jiho omoni...," Yoohei tersenyum canggung, ini bukanlah pertemuan yang Yoohei inginkan, dia belum siap untuk kembali ke masa lalu.