CHAPTER 1 : Oh, It's You!
Suara ketukan terdengar di balik papan pintu bertuliskan Jung Yoohei. Si pemilik ruangan mengerjap, menarik nafas dalam-dalam setelah sejenak memejamkan mata hazelnya. Bersama dengan kursi yang ia duduki, tubuhnya berbalik, menghadap ke arah pintu yang tadi sempat ia belakangi. “Ne!” sahut Yoohei menanggapi ketukan pintu yang sudah terdengar sekitar setengah menit lalu. “Dok, pasien terakhir sudah sampai,” kata perempuan yang biasa disebut asisten.
Yoohei mengangguk, kembali mengenakan kacamata yang sempat ia sampirkan di atas meja. Tangan kanannya meraih berkas pasien terakhir, mengamati dengan seksama riwayat si pasien yang baru saja ia tangani untuk pertama kalinya. Perempuan berkuncir kuda itu tak sadar dengan siapa ia berhadapan kali ini, matanya tak menggubris nama si pasien yang tertulis di baris paling atas kertas A4. Ia hanya bisa menghirup segarnya aroma parfume dari seorang lelaki yang kini sudah duduk berseberangan dengannya.
“Woo...,” Yoohei terdiam sejenak, ia mengintip penampakan lelaki yang berada di hadapannya melalui sela-sela poni yang menutupi penglihatan. “...Jiho-ssi,” lanjut Yoohei setelah memastikan nama yang ia sebutkan tak salah, sama dengan ingatan yang ia miliki tentang lelaki didepannya.
Yoohei menarik ujung bibir kanannya, seakan ingin memberikan senyum ramah namun bukan itu tujuannya. Lelaki yang Yoohei kenal bernama Jiho menatap Yoohei tak percaya, tanpa menggubris reaksi Jiho, Yoohei bangkit dari singgahsananya, “Silakan, kau bisa berbaring di sini” pinta Yoohei mempersilakan Jiho membaringkan tubuhnya di atas ranjang berlapis seprai putih.
Yoohei kembali menatap punggung yang kini tampak lelah. Punggung yang mendapat pelukan mesra dari seorang perempuan tak dikenal, punggung yang membalas pelukan tersebut dan membalas pelukannya dengan mesra. Yoohei masih hafal semua memori yang ia ingat dari masa lalu, dari punggung yang kini sudah berbaring di atas kasur.
Nafas Yoohei terengah, ia seakan mendapat serangan tremor dadakan setelah mendapati kembali semua memoar itu. Tangannya bergetar, ia tak mampu meraih stetoskop yang sudah menggantung di lehernya sedari tadi. “Jjosunghamnida, aku permisi sebentar,” Yoohei bergegas pergi, tanpa penjelasan apapun kepada pasien yang sudah terlambat 30 menit dari perjanjian.
“Dok. Apakah anda baik-baik saja,” asisten yang biasa dipanggil Ain itu mengetuk pelan pintu toilet yang menjadi tempat persembunyian sang dokter. Yoohei baru sadar, ia sudah ‘bermain petak umpet’ selama 30 menit. Yoohei menghapus kasar air mata yang bahkan sudah tak mampu lagi mengalir, ia hanya merasa menangis, padahal tak ada satupun air mata yang membasahi pipinya.
“O. Gwenchaseubnida,” jawab Yoohei, sambil membuka pintu. Ia tersenyum seperti biasa, seakan tak ada yang terjadi pada dirinya kini. “Pasiennya masih ada? Mian, perutku terasa tak enak tadi,” Yoohei berusaha mencari alasan logis agar tak mendapat pandangan curiga dari asisten yang sudah menemaninya hampir satu tahun.
Sang asisten mengangguk, namun jawabannya segera terbantah saat Jiho melintas di hadapan mereka sesaat keluar dari toilet. “Neo gwenchana?” Jiho menahan langkahnya melihat Yoohei yang keluar dari pintu toilet bersama Ain. “Jjosunghamnida karena aku datang telat di pemeriksaan pertamaku. Aku akan mengatur ulang jadwalku. Bagaimana?” Yoohei menggelengkan kepalanya.
“Silakan, aku akan memeriksamu sekarang,” pinta Yoohei. Ia segera berjalan cepat di depan Jiho. Ia tak mau lagi menatap punggung yang seakan menceritakan pengkhianatan di masa lalu.
Jiho kembali berbaring di ranjang yang berada di ruang kerja Yoohei, untuk beberapa detik mata mereka bertemu, namun tak ada satupun kata yang terdengar dari kedua mulut manusia itu.
“Kau bisa tarik nafas sedalam-dalamnya sekarang,” pinta Yoohei yang langsung ia tanggapi dengan mengarahkan stetoskop pada dada yang berlapis kaos putih polos. Yoohei kehilangan akal, ia tak mampu merespon dengan baik detakan jantung yang kini menjadi lagu di pendengarannya. Ia hanya mampu mengingat memori bagaimana memeluk lelaki ini dan mendengarkan detak jantung langsung dari telinganya, tanpa bantuan satu alat apapun. “Bisa lakukan itu sekali lagi,” pinta Yoohei, ia yakin kali ini harus lebih fokus dan tak teralihkan apapun. Namun nihil, ia merasa putus asa dengan percobaan kedua. “Mian,” Yoohei menyerah, dengan kasar ia melepas stetoskop yang menggantung ditelinganya dan berjalan menuju meja kerja. “Aku akan membuat rujukan untuk pindah dokter. Mian, aku tidak bisa menghadapimu,” Yoohei mengambil acak kertas yang biasanya tertata rapih, dengan cepat ia menuliskan surat rekomendasi untuk memindahkan Jiho kepada dokter lain.
Yoohei menulis dengan cepat nama seorang dokter laki-laki yang merupakan temannya sendiri. Tanpa menatap Jiho yang merasa tak nyaman dengan tingkah laku Yoohei yang aneh, ia segera menyerahkan amplop putih berisi surat rujukan dokter lain. "Dokter ini lebih pintar dariku, aku yakin kau mendapatkan perawatan terbaik darinya," tutur Yoohei, namun amplop yang ia sodorkan belum juga diraih oleh Jiho. "Cepat ambil," rutuk Yoohei tak sabar, ia benar-benar ingin segera berlari dan menghindari Jiho secepatnya.
"Geurae. Arraseo...," kata Jiho santai, justru itu yang membuat hati Yoohei seakan remuk (kembali). Jemari yang mengapit amplop itu meregang saat melepaskannya ke tangan orang lain. "Gomawo...," Jiho mengangkat singkat amplop tersebut, kemudian menentengnya keluar bersamaan dengan bayang-bayangnya yang juga menghilang dari ruangan Yoohei.
Bersamaan dengan suara pintu yang tertutup, Yoohei seketika terduduk lemas di kursinya. "Huuuuh...,"helaan nafas berat keluar dari bibir tipis berlapis lipstick merah muda. "Wae? Nomu hindeuro. Wae?" Yoohei masih tak percaya dengan apa yang ia rasakan. Dari banyaknya waktu yang sudah berlalu, seharusnya ia sudah mampu mengatasi rasa kecewanya sejak lima tahun lalu.
...Hello Again...
Kaki kanannya dengan cekatan menekan rem mobil saat lampu lalu lintas berubah merah. Yoohei sudah merasa baik, berkat jalanan kota Seoul yang tidak memberikannya banyak kesulitan karena tidak macet. Masih menunggu lampur merah, sisi kiri jalan yang awalnya kosong mulai diisi sebuah mobil sedan putih, tak bermaksud ingin tahu, namun kepala Yoohei otomatis menengok dan mendapati siapa orang di dalamnya. “Noe sekiya,” umpat Yoohei yang tak tahu mengapa mengatakan kalimat kasar seperti itu hanya karena melihat sepasang manusia saling berciuman di dalam mobil tersebut.
Yoohei mendengus kesal, kepalanya menatap lurus jalan yang hanya berisi beberapa mobil. Sedangkan tangan kanannya memutar volume radio tiga kali lipat dari awalnya. Namun apa yang sedang ia dengar dan apa yang ada dikepalanya seakan berseberangan.
Flash Back
Yoohei berlari kencang, menabrak beberapa orang yang melintas di depannya. Yoohei tak peduli meski mendapat banyak umpatan, yang jelas ia bisa tiba tepat waktu. “Haah...,” nafasnya tersengal, ia seperti bisa merasakan paru-parunya yang kembang-kembis dengan hebat karena berlari tanpa henti sekitar 400 meter.
Di tengah usahanya mengatur nafas, ia masih bisa tersenyum bangga. “Pas!” pekikknya melihat segerombolan anak berseragam yang baru saja keluar dari sekolah.
Ini hari spesial bagi Yoohei, selain bertepatan dengan white day, Yoohei juga akan merayakan 1000 hari bersama kekasihnya, Woo Jiho. Tanpa merasa resah menunggu di sekolah yang bahkan tak seorangpun ia kenal, Yoohei setia menunggu di depan gerbang sekolah.
Satu jam berlalu, hampir seluruh siswa nampaknya sudah keluar dari sekolah, namun kekasih yang ia tunggu tak kunjung muncul. Yoohei menahan tangannya yang akan menghubungi Jiho melalui telepon genggam, ia berniat memberikan kejutan bagi Jiho. Bagaimana tidak, dua perayaan spesial dalam satu hari, tentu saja Yoohei akan menahan diri agar kejutannya tidak sia-sia.
Dua jam berlalu, sudah tak ada lagi siswa yang keluar sekolah, bahkan pintu gerbang sudah menutup setengah. Yoohei menghela nafas panjang, ia baru ingat bahwa kue yang ada dikedua genggaman tangannya bisa meleleh dalam waktu tiga jam.
"Chogiyo, kau menunggu siapa? Semua siswa sudah pulang" tanya seorang penjaga sekolah yang mendapati Yoohei sudah berdiri di samping gebang selama dua jam.
Yoohei sedikit terperanjak, dia baru sadar dari lamunan sesaat. "Anyeonghasaeyo," sapa Yoohei sambil membungkukan badan. "Aku ingin bertemu temanku, tapi sepertinya dia sudah pulang," Yoohei menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sambil memberikan senyum canggung.
"Geurae? Tapi sepertinya sudah tidak ada siswa lagi di dalam, mungkin kau bisa menghubunginya," usul si penjaga sekolah yang pastinya akan ditolak mentah-mentah oleh Yoohei.
"Ne. Kamsahamnida," Yoohei membungkuk, memberi tanda terima kasih atas informasi singkat yang diberikan oleh si penjaga sekolah. Yoohei berbalik, ia merasa sudah saatnya menyerah, berharap mungkin Jiho yang akan memberikannya kejutan, meski pada kenyataannya hubungan mereka sedang break sejak Jiho fokus training.
Yoohei berjalan pelan, meski ia sudah merasa kedua tangannya basah karena ice cream cake yang ia bawa sepertinya mulai meleleh. Bukan mempercepat langkah, Yoohei memilih berhenti di tempat, satu pemandangan yang bukan menjadi harapannya di hari spesial terlihat makin jelas diikuti langkah dua pasang manusia yang mendekat ke arahnya.
Tanpa Yoohei sadari, kedua tangannya melemah, melepaskan kue yang sedari tadi ia pegang dengan setia. Hancur, begitulah yang terjadi saat kue yang terbungkus kotak berwarna tosca itu jatuh mengenai trotoar jalan. "O. Neo gwenchana?" tanya seorang perempuan yang tengah merangkul mesra lengan lelaki yang harusnya bersama ia sekarang.
"O...," suara Yoohei bergetar, matanya beralih menatap lelaki yang dianggapnya kekasih kini sedang bersama perempuan lain. "Nan gwenchanna," Yoohei berusaha memungut kotak kue tersebut, namun tangannya begetar hebat, bahkan air matanya sudah mengalir.
Tangan lelaki yang ia kenal bernama Jiho itu ikut meraih kotak yang sudah terbuka, menunjukkan sebuah tulisan 'Happy 1000 days! 사랑해요 – 우지호 ❤ 중유헤이'. "Ahaha,” Yoohei mengeluarkan tawa yang terdengar sangat menusuk hati. “Bahkan kekasihku sudah tidak membutuhkannya,” ucap Yoohei seakan mengejek Jiho yang ada di hadapannya.
"Chagiya, kajja," kalimat iu seakan menusuk gendang telinga Yoohei. Yoohei segera menepis mata Jiho yang seakan memberi iba. Air matanya makin deras saat akhirnya Jiho dan perempuan yang entah bernama siapa pergi meninggalkannya.
Ia tak ingin menoleh, namun kepalanya seakan otomatis membalik dan mendapati punggung lelaki yang sudah ia pacari selama tiga tahun itu tengah dipeluk mesra oleh perempuan lain. Tanpa peduli dengan bungkusan kue yang tergeletak di jalan, Yoohei berlari kencang, tak tentu arah, menjauh dari apa yang baru saja ia temui
End of Flash Back
Dengan tersadarnya Yoohei dari lamunan, saat itu juga hantaman kencang menbarak belakang mobilnya, membuat Yoohei yang sudah mengenakan sitbelt terbentur kemudinya sendiri.
“Jung Yoohei. Jung Yoohei, neo gwenchana?” suara parau seorang lelaki berhasil membangunkan Yoohei dari pingsannya. “Neo gwenchana?” tanya lelaki itu lagi, Yoohei sadar bahwa sekarang ia berada di rumah sakit tempatnya bekerja.
“Ah...,” Yoohei meringis memegang dahinya yang terasa pusing. “Wae? Kenapa aku bisa di sini?” Yoohei memandang koleganya yang bernama Park Chanyeol.
“Kau hilang ingatan?” Chanyeol tampak khawatir, namun ia sadar bahwa tidak ada laporan serius tentang kondisi Yoohei. “Kau kecelakaan semalam, mobilmu ditabrak dari belakang dan kau terbentur kemudimu sendiri. Kau lupa?” jelas Chanyeol sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jas putih yang ia kenakan. Yoohei mengangguk, sepertinya ia mulai teringat kepingan memori sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit.
“Aku dengar dari Ain, kau agak aneh sejak kemarin malam. Kau ada masalah?” Chanyeol mengecilkan suara dan menyondongkan diri ke arah Yoohei. “Malhae... kita kan sudah berteman sejak kuliah,” rengek Chanyeol penasaran. Yoohei hanya menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang sangat digandrungi satu rumah sakit.
“Ah!” Yoohei menjentikkan jari. “Aku mengirim satu pasien untukmu. Aku tidak bisa menanganinya, jadi mohon bantu aku,” Yoohei mengatup kedua telapak tangan seraya memohon. Chanyeol memicing, sekitar setengah detik kemudian mengangguk.
“Aku sudah menemuinya. Lebih tepatnya dia yang menemuiku. Baru saja,” kata Chanyeol enteng, namun justru membuat jantung Yoohei berdetak hebat. “Tulisanmu jelek sekali, aku hampir tidak bisa membacanya,” keluh Chanyeol, Yoohei sangat ingat, dia menulis surat tersebut dengan tangan yang bergetar.
“Harusnya kau berikan aku pasien perempuan. Kau malah mengirimku pasien laki-laki, idol pula,” Chanyeol mendengus. “Kau tau seberapa ramai ruanganku tadi karena banyak yang ingin melihatnya. Aigo...,” kepala Chanyeol menggeleng, mengingat pagi hari yang melelahkan. “Lalu setelah itu, mengetahui bahwa sahabatku masuk ER? Ada apa dengan pagi ini, huh!” Chanyeol mengumpat, tapi seakan-akan mengomel pada Yoohei yanng terbaring di ranjang.
Chanyeol terdiam saat tak mendapat tanggapan dari Yoohei, ia justru melihat Yoohei kembali menutup kedua matanya. “Masih tak ada yang mengunjungimu? Ya, Jung Yoohei, kau seharusnya mencari kekasih. Kau tidak kesepian terus bekerja, bekerja, dan bekerja,” Chanyeol mencoba memberi ceramah, namun mulutnya segera ditutup rapat oleh Yoohei yang tiba-tiba terbangun dan membekap mulut Chanyeol.
“Kau berisik! Ini ER, neo jinjja molla?” Yoohei menggeleng kesal. Kemudian turun dari ranjang tempatnya beristirahat semalaman. “Siapa dokter yang menanganiku, akan aku tanya langsung kondisiku padanya,” tanya Yoohei sambil berjalan keluar dari ER.
“Lukamu tidak parah, kau hanya dapat penanganan dari dokter magang,” jawab Chanyeol sambil menyamakan posisi dengan Yoohei. “Itu dia orangnya,” Chanyeol menunjuk seorang perempuan yang mengenakan seragam lebih muda dibanding mereka.
“Nugu?” Yoohei memicingkan mata tak mengerti maksud Chanyeol dengan menunjuk salah seorang dokter magang yang tengah berbincang dengan dokter magang lainnya.
“Itu, dokter magang yang menanganimu,” ucap Chanyeol dengan sigap menanggapi pertanyaan Yoohei. “Kau mau bertemu dengannya? Kita kan belum berkenalan sebagai dokter senior,” tambah Chanyeol dengan pedenya. Lagi-lagi Yoohei menghela nafas berat, ia memang tak cukup sabar untuk menangani orang yang sudah ia kenal sejak perguruan tinggi ini.
“Anyeonghasaeyo,” sapa Chanyeol ramah kepada tiga orang dokter magang yang tengah santai di dekat meja administrasi. Yoohei tak ambil suara, ia hanya tersenyum ramah kemudian membungkuk kecil ke arah mereka.
“Sunbaenim, neo gwenchanna?” tanya perempuan yang Chanyeol bilang telah merawat luka Yoohei. Yoohei ingin tersenyum, namun ujung bibirya tertahan, ia seakan pernah mendengar suara yang sama, tapi entah dimana. “Sunbae?” sahutnya lagi, memastikan apakah sang sunbaenim benar-benar tidak apa-apa.
“O. Mian, aku harus pergi,” Yoohei mungkin tampak arogan di depan para dokter magang, namun ia hanya merasa limbung karena kembali mendengar suara yang memiliki memori kuat.
“Ya! Jung Yoohei. Aish!” gerutu Chanyeol sambil berjalan cepat mengejar Yoohei yang pergi tanpa permisi, membuatnya harus meminta maaf dan pamit kepada para doketer magang mewakili Yoohei dan dirinya.
“Katakan pada Ain. Tolong batalkan semua janji konsultasi hari ini. Aku butuh istirahat,” Yoohei bicara tanpa memandang Chanyeol yang keduanya sudah berada di depan sebuah pintu. “Jebal, hmmm,” kemudian mengatup kedua tangannya seraya memohon. “Anyoeng!” entah bagaimana, Yoohei sudah melambai ke arah Chanyeol dari dalam ruangan yang disediakan untuk para dokter menginap, mengunci pintu dari dalam agar tak ada yang bisa masuk, bahkan Chanyeol sekalipun.
“Ya! Jung Yoohei. Noe jinjja!” gerutu Chanyeol tak habis pikir dengan perempuan yang mau-maunya ia ajak berteman.
...Hello Again...
Yoohei terperanjak, dengan rambut berantakan dan muka sembab karena kebanyakan tidur, ia dibangunkan oleh alat yang membunyikan alarm emergency. Yoohei tak percaya, dia sudah menghabiskan 12 jam untuk tidur. Dengan asal, ia segera menguncir kuda rambut yang sebelumnya tergerai. Memakai dengan asal sendal platik--yang biasa digunakan saat operasi--untuk berjalan cepat menuju ER.
“Dok!” panggil Ain saat melihat Yoohei mendekat ke ruang ER. “Ini sepertinya salah pasien, tapi tidak tahu kenapa, alarmnya tersambung padamu," Yoohei bingung, sambil terus berjalan menuju si pasien, Yoohei mengambil tab berukuran 10 inchi dari tangan Ain, menampilkan dokumen si pasien yang kini menjadi perhatiannya.
“Seharusnya kan ini...,” Yoohei tak percaya, ia memandang Ain yang juga bingung dengan kesalahan yang terjadi. “Bagaimana bis...,” Yoohei terdiam saat tirai yang menutup si pasien mulai dibuka oleh Ain, menampakkan sosok yang ia benci kini tengah rapuh di ranjang dengan nafas tersengal.