CHAPTER 2 : THE RICH AND THE LIFE
“Apa yang kalian lakukan disini?” tanyaku pada teman-temanku.
“Kami hanya kebetulan lewat dan merasa kelaparan, kami memutuskan untuk mampir. Oh ya, aku tidak tahu kalau ayahmu pemilik tempat ini? Seingatku sekitar satu tahun yang lalu aku dan ayahku datang kemari dan bertemu sang pemilik. Aku tidak tahu kalau dia ayahmu. Kenapa kau tidak bilang?” tanya Hae.
“Oh, aku.. aku hanya tidak ingin menyombongkan diri,” jawabku berusaha tetap tenang.
“Kalian ingin memesan apa?” akhirnya pertanyaan Minzy mengalihkan perhatian kami.
Aku kembali menceritakan kebohongan demi kebohongan pada teman-temanku. Termasuk tentang tempat ini yang sedang kekurangan pekerja sehingga aku memutuskan untuk bekerja disini. Mereka tampak memercayai cerita yang kubuat. Hingga aku menyadari ada orang lain yang mendengarkan ceritaku, rekanku malam ini, Minzy.
“Apa ayahmu benar-benar pemilik tempat ini? Lalu apa yang kau lakukan? Kenapa kau bekerja sebagai pelayan disini?” tanya gadis itu penasaran.
“Iya.. iya benar.. ayahku pemilik tempat ini. Aku bekerja disini karena keinginanku sendiri, dan kebetulan shift malam sedang kekurangan pelayan.”
“Apa mereka mengenalimu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah para pekerja lainnya di dapur.
“Tidak, tidak, dan kau tidak boleh menceritakannya pada siapapun,” aku buru-buru menyela.
Gadis itu memandangku seolah-olah mengerti, sementara aku menatapnya bingung. Kami meneruskan pekerjaan kami hingga malam semakin larut.
Keesokan paginya aku terbangun dengan tubuh yang terasa sangat lelah. Sebelum tidur semalam aku bertengkar dengan orangtuaku karena pulang terlalu larut. Mungkin aku harus mencari alasan lain agar dapat tetap bekerja seperti ini. Siang ini seperti biasanya aku bertemu teman-temanku. Mereka sedang serius melihat papan pengumuman.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku penasaran.
“Kami sedang mencari lowongan pekerjaan. Kami ingin bekerja sepertimu. Tampaknya sangat menyenangkan,” jawab Jo, salah seorang temanku. Jo adalah seorang anak konglomerat di Korea Selatan. Ayahnya memiliki beberapa bisnis di berbagai bidang yang menjanjikan, mulai dari bisnis kedai makanan sampai bisnis oil and gas. Uang jajannya dalam seminggu setara dengan penghasilanku dari kerja part time selama dua bulan.
“Ya, memang sangat menyenangkan,” aku berbohong lagi, “Tapi kenapa kalian tidak bekerja pada orang tua kalian saja?” Sambungku masih tak mengerti.
“Ayahku tidak akan mengijinkan, karena itu aku ingin melakukannya secara diam-diam,” sahut Jo.
“Oh iya, gadis yang semalam bekerja bersamamu, kurasa aku pernah melihatnya,” kata Hae tiba-tiba mengejutkanku.
“Benarkah? Dimana kau melihatnya?” sahutku.
“Mungkin di sebuah pesta. Saat itu ayah mengajakku bertemu beberapa kliennya, aku sendiri tidak terlalu ingat, tetapi aku rasa itu benar dia,” jawaban Hae membuatku semakin yakin kalau gadis yang kulihat satu bulan yang lalu juga benar dia. Tetapi kalau ia benar dari kalangan keluarga berada, mengapa ia mau bekerja hingga larut malam sepertiku?
Malam itu seperti biasa aku bekerja hingga larut malam. Aku menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Minzy hingga waktu kerja kami berakhir.
“Dimana rumahmu? Sudah larut malam, apa kau mau kuantar pulang?” aku menawarkan untuk mengantarnya pulang walaupun sebenarnya rumahku hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat ini.
“Tidak, aku bisa pulang sendiri. Lagipula apa yang akan ayahmu katakan kalau dia tahu anaknya mengantarkan seorang pelayan pulang ke rumah,” katanya berusaha menghindari tawaranku.
“Tenang saja, dia tidak akan tahu,” aku memaksa. Lagipula ayahku memang bukan pemilik tempat ini. Tidak akan ada masalah kalau dia tahu aku mengantarkan seorang pelayan pulang ke rumahnya, kataku dalam hati. Ini sudah sangat larut malam.
Sebuah taksi lewat di depan kami dan kami segera naik. Aku berharap-harap cemas kalau-kalau rumahnya ternyata jauh dan uangku tidak cukup untuk membayar taksi ini. Namun kecemasanku pudar saat aku melihatnya memasang raut wajah bingung sekaligus gugup.
“Dimana rumahmu?” Tanyaku lagi. Gadis itu akhirnya memberi sebuah alamat rumah yang untungnya tidak terlalu jauh dari sini.
“Kenapa kau gugup? Apakah orangtuamu akan memarahimu bila kau pulang diantar seorang laki-laki?”
“Oh tidak, bukan begitu.. aku hanya..,” kata-katanya terhenti dan kami tenggelam dalam diam.
“Apa pekerjaan orangtuamu?” Aku berusaha membuka kembali percakapan.
“Kedua orangtuaku tidak bekerja. Aku membiayai mereka dan juga seorang adik,” akhirnya ia mulai bercerita.
“Berapa umurmu? Apa kau seorang mahasiswa?” akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya sejak tadi.
“Ternyata kau ini berisik sekali,” sahutnya ketus. “Aku seorang mahasiswa yang membiayai kuliahku sendiri. Itulah mengapa aku hanya dapat bekerja pada malam hari,” lanjutnya.
Ternyata kehidupannya tidak jauh berbeda denganku. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Sama seperti ibuku yang harus membiayai keluarga kami, ia juga harus membiayai keluarganya.
“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Tapi asal kau tahu aku sangat mengerti dan aku senang kau mau menceritakan tentang keluargamu,” kataku mengakhiri percakapan kami. Gadis itu menatapku bingung.
Akhirnya kami tiba di sebuah kawasan kumuh dengan jalan-jalan kecil di kanan kiri. Kami berhenti tepat di depan jalan kecil menuju ke rumahnya. Taksi yang kami tumpangi masih terlalu besar untuk melewati jalan ini. Sebelum aku sempat turun dan menemani Minzy berjalan kaki, ia melarangku dan menyuruhku untuk langsung pulang. Ia khawatir ayahnya akan marah melihat putrinya pulang larut malam bersama seorang laki-laki. Entahlah, tetapi aku merasa dia hanya beralasan, atau mungkin dia malu menunjukkan rumahnya kepadaku. Kalau aku jadi dia, aku pun akan malu menerima tamu di rumahku.
***
Setelah malam itu kami menjadi semakin akrab. Meskipun kami jarang berbicara tetapi aku merasa terkadang dia memperhatikanku. Akupun merasa senang karena memiliki teman senasib yang mengerti susahnya bekerja mencari uang.