CHAPTER 1 : THE POOR AND THE LIE
Apa kau pernah membaca dongeng tentang seorang pangeran dengan segala kesempurnaan yang ia miliki? Tinggal di sebuah kastil mewah dengan tumpukan harta berlimpah, kekuasaan serta ketampanan yang membuat para putri tak kuasa menolak. Sayangnya bagiku kesempurnaan itu hanya ada dalam mimpi.
Matahari pagi memaksaku terbangun dari mimpiku. Aku memandang ke sekeliling kamarku, bukan, lebih tepatnya kamar kami. Kamar ini berukuran kira-kira 4 x 4 meter persegi. Rumah kami hanya memiliki dua kamar. Satu kamar untuk ayah, ibu, dan adikku yang masih bayi, dan satu kamar lagi untukku beserta kedua adikku yang lain. Kau dapat membayangkan bagaimana sesaknya tiap malam yang kami jalani.
Aku melangkah dengan malas menuju dapur. Ibuku sedang membuatkan sarapan untuk kami, nasi dengan lauk pauk seadanya. Kondisi ekonomi keluarga kami memang buruk. Sejak aku kecil ayah sering berganti pekerjaan, sementara ibu hanyalah seorang penjahit dengan penghasilan yang tidak menentu. Keluarga kami selalu hidup berkekurangan. Dua orang adikku masih duduk di bangku sekolah menengah, sementara aku sedang menyelesaikan pendidikanku di salah satu universitas ternama di Seoul dengan beasiswa yang kuperoleh.
Sejak kecil aku selalu bermimpi menjadi seorang pangeran dalam buku dongeng. Dongeng yang selalu ibu bacakan untukku sebelum aku tertidur. Aku bermimpi suatu saat aku tidak perlu lagi bersusah payah untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, aku ingin menjalani hidup tanpa memikirkan harga, membeli barang-barang yang kusuka tanpa memikirkan tagihan-tagihan yang akan datang, makan makanan enak tanpa khawatir tak mampu membayar. Begitu kataku dalam hati.
Demi mewujudkan mimpiku, secara diam-diam aku bekerja part time disela-sela waktu kuliahku. Aku memilih pekerjaan yang tidak mencolok dan waktu kerja pada malam hari. Selain karena bayaran yang lebih besar, aku tidak memiliki waktu lagi di siang hari. Sepulang kuliah aku dan teman-temanku biasa menghabiskan waktu menghambur-hamburkan uang yang kuperoleh. Ya, aku tidak memberikannya untuk orang tuaku, tetapi aku menggunakannya sendiri. Saat orang tuaku bertanya kemana aku pergi hampir setiap malam hari, aku berbohong dengan berkata akan pergi mengerjakan tugas bersama teman-temanku. Pada kenyataannya aku sedang berusaha mengumpulkan uang untuk memenuhi gaya hidup mewahku.
Aku bukanlah anak orang miskin dihadapan teman-temanku. Mereka berpikir ayah dan ibuku memiliki beberapa usaha yang cukup sukses. Aku selalu tampil modis, aku makan makanan berkelas, dan bergaul dengan anak-anak dari keluarga kaya. Ironis memang, tetapi beginilah caraku mendapatkan teman. Mereka menganggapku pangeran, dan aku menyukainya. Entah apa saat mereka tahu yang sebenarnya mereka akan tetap menjadi temanku, tetapi untuk saat ini aku tidak ingin memikirkannya.
“Kang Seungyoon! Apa kau sudah selesai mencuci piring? Kau bisa terlambat kalau tidak berangkat sekarang,” seruan ibuku berhasil membuyarkan lamunanku dan membuat jantungku berdetak cepat. Aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku dan buru-buru pergi.
Jarak rumah dengan kampusku tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh melalui sebuah jalan kecil dengan menggunakan sepeda selama lima belas menit. Namun demikian, aku lebih memilih menumpang angkutan umum yang memutar cukup jauh untuk menghindari teman-temanku melihatku menaiki sebuah sepeda tua yang dulunya merupakan kebanggaan ayahku.
Aku turun agak jauh dari pintu gerbang kampus dan memutuskan berjalan kaki sebelum teman-temanku melihat. Aku tiba tepat lima menit sebelum kelas dimulai. Seperti hari-hari biasanya teman-temanku telah menungguku. Aku menghapus keringat yang mengalir di dahiku karena berlari terburu-buru.
“Seungyoon-a, kau ada acara malam ini? Sebuah bar baru dibuka hari ini. Kami akan kesana, apa kau mau ikut?” Tanya Hae, salah seorang temanku.
“Bukankah kita akan pergi besok?” Aku balik bertanya.
“Besok kita akan pergi menonton pertunjukan musikal. Apa kau lupa?” Sahutnya.
“Oh, tidak, tentu saja aku tidak lupa. Kau telah memesankan tempat untukku?”
“Tentu. Cukup dua ratus ribu won dan kita akan mendapat tempat terbaik di pertunjukan itu.”
Kepalaku tiba-tiba pening. Kemudian aku menolak ajakan ke bar malam itu.
“Sepertinya aku tidak ikut kalian malam ini. Aku sedang tidak enak badan,” sahutku beralasan.
“Baiklah, kami tidak akan memaksa.”
Sejak kelas dimulai sampai berakhir aku masih memikirkan uang dua ratus ribu won yang akan kukeluarkan esok hari. Untuk orang-orang berkecukupan, uang sejumlah itu mungkin sedikit artinya, namun bagiku uang sejumlah itu dapat membiayai makan ayah, ibu dan ketiga adikku selama seminggu kedepan. Perasaan bersalah seringkali melandaku seperti ini, namun pada akhirnya aku selalu tetap pada pendirianku.
Malam ini aku berencana mencari pekerjaan lain yang lebih menjajikan. Seingatku ada sebuah restaurant yang buka hingga larut malam disudut jalan menuju ke rumahku. Aku akan mencoba peruntunganku, siapa tahu mereka sedang membuka lowongan pekerjaan untuk shift malam.
Setelah cukup lama mencari, aku melihat sebuah tempat di ujung jalan ini. Lebih mirip sebuah kafe dengan tema vintage daripada sebuah restaurant. Cukup ramai namun tetap nyaman, pikirku dalam hati. Entah bagaimana tempat ini memang terkenal ramai sepanjang waktu. Aku langsung menemui sang manager dan menyerahkan surat lamaran kerjaku. Selanjutnya aku hanya tinggal menunggu.
Keesokan paginya aku mendapatkan sebuah telepon. Ternyata tempat aku melamar pekerjaan semalam sedang sangat membutuhkan orang. Aku diterima bekerja dan dapat memulainya malam ini. Tapi karena aku ada janji dengan teman-temanku, aku akan mulai bekerja keesokan harinya.
“Kau kemana saja? Kenapa lama sekali? Kami sudah lama menunggumu. Pertunjukannya hampir dimulai,” seru Hae diikuti dengan tatapan kesal teman-temanku yang lain.
“Maafkan aku. Ayo kita masuk. Ini uang tiketku,” aku menjawab.
Aku bukan dengan sengaja terlambat. Sekitar satu jam yang lalu aku dilanda kepanikan. Aku mengira ibu menemukan uang simpananku dan menggunakannya untuk berbelanja. Untunglah ternyata aku hanya salah meletakkan diantara tumpukan buku-bukuku. Kalau tidak ada uang itu aku tidak dapat menonton pertunjukan ini.
“Kau ingin membeli sesuatu? Makanan?”
“Tidak, tidak, aku baru saja makan,” aku menolak karena menyadari isi kantongku hanya cukup untuk biaya pulang ke rumah. Tiba-tiba seorang gadis menabrakku dari belakang.
“Oh, maafkan aku,” kata gadis itu sambil menatapku kemudian berlalu begitu saja. Aku memandangnya cukup lama.
“Apa menurutmu dia baru saja menangis? Wajahnya terlihat sangat sedih,” tanyaku pada Hae disambut pukulan di lenganku.
“Menangis? Kau sudah gila? Untuk apa dia melakukan itu?”
“Kau tidak melihatnya?..”
“Ah, sudahlah, ayo kita masuk.”
Aku mengikuti langkah teman-temanku. Pertunjukan ini berlangsung sekitar dua jam. Kalau ayahku tahu aku menghamburkan dua ratus ribu won hanya untuk duduk dan menatap orang-orang berlarian di atas panggung, menyanyi dan menari, dia pasti akan memarahiku. Setidaknya aku tidak menggunakan uangnya, pikirku membela diri.
Keesokan harinya aku memulai pekerjaan baruku. Aku bekerja mulai pukul empat sore hingga tengah malam setiap hari kecuali hari selasa dan sabtu. Melelahkan? Tentu saja. Namun ini pilihanku, dan aku akan menjalaninya.
***
Satu bulan kemudian..
“Perkenalkan namaku Minzy. Aku akan bekerja bersama kalian mulai hari ini,” pelayan baru itu memperkenalkan diri kepada kami.
Aku merasa pernah melihatnya, namun aku tidak terlalu yakin. Perawakannya ramping, tingginya semampai, rambut berwarna cokelat terang, dengan wajah yang tampak sangat terawat. Aku berusaha mengingat-ingat dimana aku pernah bertemu dengannya. Ah, satu bulan yang lalu di pertunjukan musikal yang kutonton. Aku ingat sekarang. Saat itu penampilannya agak berbeda. Ia mengenakan pakaian bermerek dan tas mahal. Tunggu, aku yakin aku tidak salah ingat. Lalu apa yang dia lakukan di tempat ini?
“Hai, aku akan menjadi teman satu shiftmu malam ini dan malam-malam seterusnya,” kataku ragu-ragu. Aku tidak yakin menggunakan kalimat ini untuk menyapanya.
Gadis itu hanya menatapku dan tidak menjawab.
“Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya. Pertunjukan musikal satu bulan yang lalu? Kau gadis yang menabrakku dengan tidak sengaja?” tanyaku memastikan.
Gadis itu tampak terkejut lalu buru-buru menjawab,”Tidak, kau pasti salah orang. Aku tidak mungkin punya cukup uang untuk menonton pertunjukan semacam itu.”
Aku ingin menyanggah saat tiba-tiba beberapa orang pelanggan masuk. Aku mengenali wajah mereka. Hae dan teman-temanku. Apa yang mereka lakukan disini? Apa yang harus kulakukan? Tubuhku kaku, keringat dingin membasahiku. Mereka menatapku kebingungan.
“Seungyoon-a! Apa yang kau lakukan disini? Kau bekerja di tempat ini?”
“Tidak, tidak, Aku.. Aku.. Ayahku pemilik tempat ini,” aku berbohong tanpa berpikir panjang. Aku takut mereka mengetahui identitasku yang sebenarnya. Teman-temanku mengangguk-anggukkan kepala tampak tidak terkejut, sementara gadis yang baru kukenal ini menatapku kebingungan. Apa yang harus kulakukan, pikirku dalam hati.