CHAPTER 1 : Because He Is My Brother
è Author POV
Angin malam pun berhembus, menyapa puncak pohon natal yang telah dipenuhi kerlap-kerlip hiasan bintang. Hiasan yang mempertandakan bahwa malam ini adalah malam, dimana semua orang akan berkumpul demi saling berbagi kasih sayang dengan orang yang dikasihinya.
Salju yang sebelumnya datang menyapa, berjatuhan sambil melambaikan tetesan-tetesan air mata kedinginan. Tapi, kini terinjak-injak bagaikan barang yang sudah tak indah lagi. Bagaikan barang yang hanya indah diawal, dan diakhir, hanya akan menjadi barang tak berguna yang memenuhi seluruh jalanan malam. Setiap orang pun akan menggerutu, salju yang telah mengganggu, mengganggu mereka dalam perjalanan pulang mereka, egois.
Pohon natal yang sebelumnya hanyalah pohon besar, tua, tak berguna. Kini telah berubah menjadi pohon yang sangat indah, laksana Cinderella yang telah diubah oleh sang bidadari. Seolah-olah, sang bidadari sudi mengubah barang jelek tak berguna itu. Sang bidadari berhati murni yang akan mengabulkan seluruh permintaanmu, menghapus deritamu.
Apakah hanya seperti inilah kehidupanku? Meratapi kesepian dibalik keindahan sang malam? Berulang kali, Eunji mengumpat di dalam hati kecilnya. Hanya bisa mengumpat, tanpa bisa ia keluarkan. Tanpa bisa ia rasakan lagi, derita yang benar-benar sudah mendarah daging di dalam dirinya.
Dipandangnya seorang lelaki di hadapannya. Wajah yang indah, badan yang tegap, mata yang mengeluarkan pancaran sinar yang berbeda. Lelaki yang benar-benar berbeda, berbeda di dalam sudut pandang manapun. Setiap orang akan berharap munculnya kehangatan di samping lelaki bagai lukisan ini.
Tapi, hanya dingin, benar-benar hanya dingin yang bisa dirasakan. Badan itu seolah tak hidup, seolah tak sepucuk nyawa terpendam di dalamnya, bagaikan manekin yang hanya bisa diam tak bergerak. Manekin yang butuh manusia untuk mengendalikannya, rapuh, lemah, tak berdaya.
Meskipun angin yang dingin menyelimutinya, menerpa sepucuk rambut di bagian kepalanya, ia hanya bisa diam tak bergerak. Apa dia tak bisa merasakan dingin? Apa dia mati rasa? Apa dia benar-benar manusia? Apa benar-benar ada nyawa yang hinggap di dalamnya? Apakah Tuhan benar-benar tidak lupa akan tertinggalnya satu nyawa?
Eunji beranjak dari tempatnya. Kesal, benci, ringkih, itulah yang hanya bisa ia rasakan, beban terberat dalam hidupnya kini hanya bisa membuatnya kesal. Tetapi, kenapa kesal itu tak bisa ia keluarkan? Kenapa benar-benar terpendam? Kenapa dia hanya bisa terdiam tak berdaya? Tidak ada yang bisa ia ungkapkan.
è Author POV END
è Eunji POV
Kenapa aku hanya bisa memandanginya? Apa yang harus kulakukan di hadapannya? Aku kesal, aku lelah, aku ringkih melihatmu, aku tak mau terus-terusan termenung memandangmu yang hanya bisa terdiam. Ku ingin beranjak dari tempat ini, tempat dimana kuselalu menghabiskan waktu yang benar-benar terbuang sia-sia, bersamamu, bersama raga bagai tak bernyawa.
Dingin, tangan dingin itu mencengkram lenganku. Ku hanya bisa terdiam, menatapnya, berharap ia akan mengatakan sesuatu, sesuatu yang akan keluar dari mulutnya, mulut yang selalu terkunci rapat, benar-benar rapat hingga sudah tidak dapat terbuka lagi. Semakin lama cengkraman itu semakin kuat, semakin membuatku tak bisa melakukan apapun, kecuali terdiam, benar-benar hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tak dapat meninggalkan sebuah manusia seperti ini, sebuah benda hidup tapi serapuh benda mati hingga aku ingin selalu menjaganya, selalu ada disampingnya, tak ingin menghancurkannya.
Kembali ku terduduk di hadapannya, berharap tangannya akan melepaskan cengkraman kuat di lenganku, berharap ia akan melakukan hal yang lain, hal yang bisa membuat hatiku lega. Hal yang bisa membuatku berpikir bahwa kau memang masih hidup, masih bisa memikirkan hal lain selain dia. Entah itu hanya sebuah gerakan bibir tipis, sangat tipis hingga takkan terlihat gerakan bibirnya itu.
Terlepas, tangan itu melepaskan cengkramannya. Kini ia menatapku, menatapku dengan mata belas kasihan. Mata yang merasa bahwa dia sedang mengasihaniku, mengasihani kehidupan tololku. Apa aku benar-benar wanita yang perlu dikasihani? Wanita yang hanya bisa dipandang sangat keji? Hina? Apakah kau tak pernah berpikir bahwa aku menjadi seperti ini karenamu? Semua ini salahmu, semua ini karena bodohnya dirimu memilih wanita sepertinya.
Detakan jam dinding inilah yang menemaniku, menemani setiap waktu ku membodohi diriku, membodohi kehidupanku. Detik demi detik kulalui, kembali kupandang lelaki di hadapanku berharap ia akan menatapku lembut, lembut bagaikan kapas yang terbang dihempas oleh angin. Tapi kini, ia hanya menatap jauh, jauh ke arah cahaya bulan yang menyinari matanya. Menggumamkan sesuatu, sesuatu yang aku sendiri tidak dapat memahaminya. Apa yang sedang ia ucapkan? Siapa yang sedang menjawab ucapannya, hingga ia tak henti-hentinya bergumam, kenapa ia rela bertarung dengan gigi yang bergemerutuk karena dinginnya angin malam?
BRAK BRAK BRAK, aku terperanjat. Berdiri dari tempatku terduduk, suara gebrakan pintu itu benar-benar berhasil membuatku terkaget. Tapi, lelaki ini benar-benar sudah tak punya hati nurani maupun jiwa. Dia tetap diam tak bergerak, diam tak peduli dengan apapun yang terjadi di balik gebrakan pintu itu. Aku muak dengan sikapnya, sikap tak peduli, sikap tak memahami sekitarnya hanya karena kau telah kehilangannya.
Kuberjalan mendekati asal suara gebrakan itu, mungkin itu pemilik apartemen yang ingin menagih uang padaku. Menagih berlembar-lembar kertas tipis, rapuh, yang sekarang ini dianggap bagaikan permata penyambung kehidupan. Permata yang diperebutkan banyak orang, hingga orang-orang besar pun tak kuasa menahan nafsunya merebut dari orang-orang yang tak berkepunyaan.
“Eunji, apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau tak menemuiku? Begitu tak berharganya aku dimatamu, hah? Apa kau masih saja menemani laki-laki bodoh, gila, dan idiot itu hah? Apa kau...”
“Inguk oppa, apa yang oppa lakukan? Kenapa malam-malam begini kau berteriak di depan rumahku hah? Apa kau pikir aku tak punya malu?” aku benar-benar marah, apa yang sebenarnya Inguk oppa inginkan. Kenapa dia datang disaat aku sedang tidak dalam kondisi yang baik? Aku benar-benar sudah malas mendengar cacian orang-orang, aku benar-benar tak peduli dengan mereka, termasuk Inguk oppa. Terlalu banyak caci maki yang telah kudengarkan, hingga aku muak, hingga aku kebal dengan suara-suara itu.
“Eunji, kau berpikirlah sedikit. Jika kau punya otak, pakai itu! Pakai itu agar kau sadar kalau yang kau lakukan itu salah. Lebih baik kau tinggalkan saja orang itu, kau akan memderita kalau seperti ini terus. Aku tahu, kau pasti sulit melepasnya, aku tahu kau sangat menyanynginya. Tapi, Myungsoo itu sudah gila, tak waras. Otaknya sudah tak berfungsi lagi. Untuk apa kau tetap saja bersamanya? Aku tahu kau menderita, jadi kumohon, jangan buat dirimu semakin tersiksa.”
“Oppa, kau...” kututup pintu rumahku, berkali-kali Inguk oppa memintaku keluar, tapi aku tak menurutinya. Aku hanya bisa terduduk, menutup kedua telingaku, aku tak mau kata-kata yang diucapkan Inguk oppa akan masuk ke dalam hatiku, hatiku yang dangkal. Hati yang masih belum bisa menentukan jalan hidupku sendiri. Aku takut, aku takut perasaan itu muncul lagi. Perasaan itu hanya akan menyiksaku, aku masih tidak bisa membiarkan Myungsoo hidup di tempat itu, tempat dimana orang-orang menyebutnya Rumah Sakit Jiwa. Kubuang jauh-jauh perasaan sesaat tadi, jangan sampai perasaan itu mendarah daging dalam tubuhku. Aku tak mau menjadi wanita itu, wanita yang membuat Myungsoo sampai seperti.
è Eunji POV END
è Author POV
Eunji benar-benar tidak dapat menata perasaannya. Perasaan ingin meninggalkan Myungsoo muncul lagi, perasaan ini benar-benar sangat mudah menguasainya. Menguasai sampai ke dalam hati sanubarinya. Perasaan keji ini harus ia buang jauh-jauh, ia benar-benar tak ingin membuat hati Myungsoo semakin tak nyaman bersamanya. Ia hanya ingin adiknya kembali seperti yang dulu, kembali menjadi Myungsoo yang penuh dengan kehangatan. Bukan Myungsoo yang hanya bisa menatap dingin bulan yang selalu menyinari matanya yang indah, matanya yang penuh dengan arti kehidupan maupun kematian.
Dengan perasaan yang belum tentu, Eunji berusaha kembali ke ruangan itu. Ruangan dimana manekin hidup itu ada. Diintipnya kedalam ruangan itu, dilihatnya Myungsoo sedang menghadap ke cermin. Mengatakan sesuatu, sesuatu yang lebih jelas dibanding ucapan-ucapan sebelumnya. Ia sedang mengobrol? Dengan siapa? Apa maksudnya berbincang dengan cermin? Pertanyaan demi pertanyaan muncul, Eunji penasaran, ia tahu bahwa wanita itu memang meninggalkan Myungsoo ketika natal tiba. Tapi, apa hal seperti ini ada? Kalau memang manusia sudah meninggalkan dunia yang fana ini, bukankah takkan kembali ke dunia ini?
Benci, benci, rasa itu muncul lagi. Eunji benci Myungsoo masih saja memikirkan wanita itu, wanita hina yang hanya bisa mencari kepuasan duniawi. Hidup di malam hari, bagaikan kupu-kupu malam yang membutuhkan belas kasihan dari para pria tak berguna yang hanya bisa membodohi para wanita. Rasa cemburu ini benar-benar membuat Eunji muak, dia tahu, bahkan dia yang paling tahu bahwa mungkin hanya Myungsoo lah yang benar-benar mencintai wanita itu. Wanita itu meninggalkan Myungsoo, keluarga terakhir yang dia punya. Dia benar-benar sangat marah ketika dia tahu bahwa wanita itu hanya memanfaatkan Myungsoo. Dia hanya memanfaatkan kebaikan hati Myungsoo. Pikiran itu benar-benar tak bisa hilang lagi di kepala Eunji, dia benar-benar bingung. Disisi lain dia marah pada wanita itu karena sampai membuat Myungsoo seperti ini, disisi yang lainnya, Eunji marah karena Myungsoo tak bisa melupakan wanita itu.
è --- à --- à --- à
Hari ini Eunji pergi keluar, mencari selembar kertas yang bisa menyambung kehidupannya bersama Myungsoo, karena lembaran uang miliknya dahulu, kini telah hilang tak berbekas, hilang dibawa wanita itu. Wanita yang benar-benar hidup dalam kepuasan duniawinya.
Langkah demi langkah Eunji lalui, dia hanya bisa mendapat tatapan hina dari orang-orang. Orang-orang menganggap Eunji sudah gila, orang-orang menganggap Eunji sudah tak waras lagi karena mau-maunya mempercayakan adiknya kepada wanita itu. Wanita yang lebih tua darinya, apalagi dengan adiknya, adiknya yang masih terbilang remaja menuju kedewasaan. Ya, wanita itu sudah kepala 3. Sedangkan Myungsoo masih baru menginjak kepala 2.
Kini Eunji melewati taman, taman bunga yang sering sekali ditempati para pemuda-pemudi yang saling memancarkan sinar cinta. Sinar cinta yang kini hampir padam di dalam hati Eunji. Terpendam jauh di lubuk hatinya.
“Eunji!” teriak seorang lelaki di balik punggung Eunji. Eunji pun hanya bisa berbalik, dia tahu dia akan berhadapan dengan Seo Inguk. Inguk yang dulu pernah berada di hatinya, hati seorang wanita polos yang yakin dengan perasaan cintanya.
“Oppa, ada apa? Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa-siapa. aku sedang sibuk, Myungsoo sedang menungguku dirumah. Aku ingin segera pulang setelah urusanku sudah selesai.”
“Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa kau masih memikirkan perkataanku kemarin? Maafkan aku, aku benar-benar sudah lepas kontrol. Kumohon kau mau memaafkanku. Aku ingin bicara denganmu, aku hanya butuh 1 menit jika kau benar-benar sedang terburu-buru.” Inguk benar-benar terlihat ingin memperbaiki sikapnya kemarin, Inguk sendiri sadar bahwa tindakannya kemarin benar-benar di luar kendalinya. Dia hanya merasa cemburu kepada Myungsoo karena Eunji tak henti-hentinya menemani Myungsoo.
“Lalu oppa, apa yang ingin kau katakan?” Eunji masih saja cuek, dia masih bersikap tak peduli. Dia menahan perasaannya. Dia hanya bisa menahannya, dia tak ingin Inguk tahu kalau dia benar-benar merasa terbebani. Matanya panas menahan jatuhnya airmata. Dia hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata. Air mata yang benar-benar ingin ia keluarkan sejak lama.
“Eunji, kenapa kau menunduk? Tatap aku jika kau benar-benar ingin tahu apa yang akan aku katakan padamu. Aku tak mau lagi ada kesalahpahaman diantara kita, jika memang kau percaya padaku, kumohon tatap aku.” Eunji tak bergeming, ia terus saja menunduk. Ingin sekali ia menghilangkan airmata di matanya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, matanya benar-benar sudah berkaca-kaca, terlihat sekali bahwa dia menahan tangisannya, wajahnya memerah. Pipinya kini dipenuhi dengan tetesan-tetesan airmata.
Inguk benar-benar tak tahu harus melakukan apa, dia benar-benar bingung dengan sikap Eunji. Diangkatnya dagu Eunji, dilihatnya Eunji sedang menangis. Kini wajahnya benar-benar penuh dengan air mata, air mata yang menandakan bahwa Eunji sedang merasakan sesuatu beban didalam dirinya. Beban yang mungkin adalah beban terberat yang hinggap di pundaknya.
“Eunji? Kau kenapa?” Inguk membawa Eunji untuk duduk di bangku. Kini Inguk sedang terduduk di depan Eunji. Menatap Eunji, memperhatikan Eunji, tapi bukan mata belas kasihan yang dikeluarkannya. Tapi benar-benar mata yang penuh kasih sayang, mata yang penuh perhatian. Dia tahu, dia memang masih menyanyangi Eunji. Inguk benar-benar tak bisa meninggalkan Eunji meskipun Eunji dalam kesulitan apapun, hanya saja Inguk masih belum bisa mengontrol emosinya yang berlebihan itu. Ia masih belum bisa menerima perasaan Eunji untuk terus-terusan merawat adiknya yang mungkin takkan punya hati maupun jiwa lagi dalam hidupnya sekarang maupun nanti.
Tak ada sedikitpun suara yang muncul diantara mereka, tak ada gerakan apapun. Hanya perhatian, hanya itu yang terlihat. Inguk hanya bisa memeluk, memeluk erat Eunji, berharap beban Eunji sedikit demi sedikit menghilang, musnah, dan takkan kembali mengganggu Eunji lagi. Inguk tahu, kini bukan saat yang tepat jika dia mengatakan sesuatu yang benar-benar ingin ia katakan. Mereka berdua benar-benar terbuai dengan keheningan ini, mereka benar-benar menikmati kebersamaan mereka meskipun itu hanya sebatas diam.
Eunji benar-benar tak kuasa menahan tangisnya, pelukan Inguk benar-benar membuatnya menyadari, betapa Inguk menyanyangi dirinya. Dia pun menyadari betapa Myungsoo menyanyangi wanita itu, Eunji sadar bahwa rasa kehilangan orang yang kita sayangi akan membuat kita kehilangan akal pikiran kita, bahkan mungkin jiwa kita.
è --- à --- à --- à
Hari sudah mulai gelap, Eunji sedang berada di dapur. Menyiapkan makanan untuk Myungsoo, makanan yang hanya bisa Myungsoo makan dan Myungsoo cerna. Bubur labu ini memang sering sekali dibuat oleh ibu mereka, ibu yang kini telah memilih pergi bersama keluarga lain, keluarga yang lebih bahagia. Tapi apa daya Myungsoo benar-benar tak bisa berhenti menkonsumsinya sampai sekarang ini, karena aku tahu, Myungsoo lah yang paling dekat dengan ibu.
Entah apa yang membuat Eunji tiba-tiba merasa takut. Eunji mulai merasakan ada nyawa lain yang tinggal dirumahnya. Apa mungkin ada seseorang yang mampir? Mampir untuk menyapa dirinya? Tapi, dia tak bisa menebak. Siapakah nyawa itu? Ia hanya bisa merasakan kehadiran seseorang itu. Siapakah dia?
Kini Eunji mulai benar-benar merasakan ketakutan, dia benar-benar bisa merasakannya. Merasakan aura yang berbeda dibanding aura rumahnya sebelumnya. Meskipun dia merasa ketakutan, rasa penasaranlah yang paling tak bisa ia kendalikan. Dia sesegera mungkin menyelesaikan memasaknya, dia merasa harus cepat-cepat ke kamar Myungsoo, berusaha mencari tahu, hawa apa yang ia rasakan ini.
Langkah Eunji benar-benar langkah yang penuh keraguan, semakin ia mendekati kamar Myungsoo, semakin besar rasa kekhawatirannya muncul. Dia merasa bahwa dia pernah bertemu dengan sosok dengan aura yang sama. Saat dia sudah berada di depan kamar Myungsoo, dia dapat mendengar dengan jelas, suara Myungsoo. Suara yang sudah sangat lama sekali sejak ia terakhir dengar. Dia ingin tahu, dia ingin tahu apa yang dilakukan Myungsoo di dalam kamarnya. Tapi dia masih ingin mendengarkan suara Myungsoo, Eunji takut, saat dia membuka pintu, Myungsoo akan kembali terdiam. Kembali menjadi manekin dingin tak bernyawa. Didekatkannya telinga ke pintu kamar Myungsoo. Didengarnya dengan sangat hati-hati.
“..... Ya, aku makan dengan baik kok. Bubur labu buatan Eunji noona benar-benar enak. Kau tahu sendiri kan kalau aku suka sekali memakannya ........................................................................................... Ya, tak apa-apa .................................. kau makan apa saja disana? ...................... aku benar-benar ingin tahu, kenapa kau tak mau mengatakannya padaku. Sesekali berceritalah....” Eunji kebingungan, kalimat yang diucapkan Myungsoo benar-benar tak jelas, dia tak bisa mengartikannya. Eunji merasa ada yang mengajak Myungsoo berbicara, tapi suara itu tak bisa Eunji dengar sama sekali.
Dengan perlahan, Eunji membuka kamar Myungsoo. Dilihatnya Myungsoo menghadap cermin, melihat Eunji. Kembali terdiam, kembali menutup mulutnya. Tapi, mata itu tetap saja melihat Eunji, menatap Eunji. Eunji kembali ringkih, tapi Eunji tetap mendekati Myungsoo. Memberikannya makanan kesukaan Myungsoo. Ketika Eunji meletakkan piring di meja, tiba-tiba...
“Eunji noona.....” kaget, tentu saja. Eunji benar-benar terkaget, benar-benar tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Dilihatnya Myungsoo, ditatapnya dua bola mata Myungsoo. Myungsoo kembali terdiam, tak bergerak, tak berkutik.
è Author POV END
è Eunji POV
Apa yang kau katakan, Myungsoo? Kumohon, berbicaralah sekali lagi. Buktikan padaku bahwa kau memang masih punya jiwa, masih punya nurani. Apakah kau tak pernah berpikir betapa rindunya aku dengan suara panggilanmu padaku?
Hampir 10 menit ku menunggu, menunggu Myungsoo mengucap namaku kembali. Tapi, apa daya kalau Myungsoo masih tak bergeming kembali. Kuberikan piring berisi bubur labu itu. Kubuka kedua telapak tangannya, tak pernah sekalipun aku menyuapkan makanan pada Myungsoo. Sedikit demi sedikit aku ingin membuat Myungsoo dapat kembali menjadi kebanyakan orang. Aku tak ingin memanjakannya...
“Gomawo” hanya kata itu yang terucap, dari mulut itu, mulut yang sudah lama sekali terbuka. Setelah menebut namaku, kini ia mengucap terima kasih padaku. Padaku yang selama ini sering mengumpat dalam hatiku. Mengumpat kesal karena harus merawatnya.
Tak kuasa ku menahan tangis, aku menangis di hadapannya. Menangis, menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku benar-benar merasa berdosa. Aku tak mau meninggalkan Myungsoo dalam keadaan dia tak dapat mengurus kehidupannya sendiri. Tapi aku juga tak mau membuat Inguk oppa terbebani dengan adanya aku disisinya.
Lalu siapa? siapa yang membuat Myungsoo kembali membuka mulutnya. Kembali berucap, kembali untuk menenangkan hatiku. Ataukah ini karena pembicaraan Myungsoo tadi? Pembicaraan yang hanya dia yang tahu, yang hanya dia yang bisa menjawab. Siapa? siapa dia? Apakah wanita itu? Untuk apa? Apa dia merasa kasihan melihatku? Apa dia melakukan ini hanya untuk melihatku terlalu bahagia? Lalu dia akan membawa jiwa Myungsoo kembali?
Myungsoo menatapku, melihatku, semakin dalam dia membawaku ke dalam buaiannya.
“Noona, apa kau menganggap Soohyun noona terlalu jahat untukku?” pertanyaan Myungsoo benar-benar membuatku semakin tak berdaya. Kenapa dia tiba-tiba berucap seperti itu? Kenapa harus nama itu yang harus dia sebutkan didepanku.
“Myung, Myungsoo.. noona benar-benar senang bisa melihatmu berucap lagi. Tapi, kenapa kau mengucap nama itu?” pikiranku kacau, rasa benciku mulai muncul kembali. Rasa benci pada wanita yang telah memperdaya adikku sehingga ia menjadi seperti ini.
Myungsoo terdiam, menatapku. Terlihat jelas di matanya bahwa dia sangat terluka mendengar pernyataanku. Tapi, apa mau dikata. Aku benar-benar sudah benci sekali kepada wanita kupu-kupu malam itu. Karena dialah yang membuat hidupku hancur, caci maki setiap saat mendengung di telingaku. Karena wanita itulah, orang-orang juga menyebutku hina, kotor, wanita penggoda. Apa kau pikir aku tak malu, apa kau pikir aku masih punya muka di hadapan Inguk oppa waktu? Ketika kau berjalan berdua bersama Myungsoo, apa kau tidak punya telinga untuk mendengar orang-orang menghinamu? Sekarang kau tak punya beban karena caci maki itu, tapi apa kau pikir Myungsoo dan aku tak terkena imbasmu? Kau bahagia sekali menjadi wanita yang sangat dicintai oleh Myungsoo, tapi apa yang kau balas untuknya? Penderitaanlah yang kau berikan padanya. Hanya siksa yang menumpuk di pundaknya.
è --- à --- à --- à
“Myungsoo membuka mulutnya? Benarkah?” kaget Inguk oppa, tentu saja dia akan kaget. Sulit sekali memang untuk percaya akan semua tindakan ekstrim yang Myungsoo lakukan.
“Lalu apa yang dikatakannya?” aku menceritakan semuanya, bahwa aku merasa sedikit tak nyaman dengan rumah ini. Aura itu tak hilang-hilang sejak saat Myungsoo membuka mulutnya di hadapanku. Aku juga memnceritakan kalau Myungsoo bertanya tentang pendapatku terhadap Soohyun, ya, terhadap wanita itu. Tapi, aku tak pernah menjawabnya sampai sekarang ini.
“Kenapa kau tak mengatakannya? Siapa yang tahu kalau nanti Myungsoo akan menjelaskan sesuatu padamu, Eunji? Mungkin dia ingin kau mengetahui sesuatu, sesuatu yang mungkin kau salah paham akan hal itu.” Jelas Inguk oppa.
“Oppa, kenapa kau berbicara seperti itu? Kenapa kau menganggap bahwa aku salah paham terhadap Soohyun. Harusnya kau tahu, kau sendiri pernah melihatnya kan. Melihat dia sedang berkeliaran di kawasan hotel malam-malam.” Aku geram, kenapa Inguk oppa berkata seperti itu padaku. Kenapa sekarang dia malah membela wanita itu, mengatakan bahwa aku yang salah. Bukankah oppa sendiri yang mengatakan bahwa aku sudah gila karena mau-maunya merawat Myungsoo yang dibuat gila oleh wanita itu.
“Aku memang salah waktu itu Eunji, pria mana yang tidak marah kalau di malam natal dia tak bisa bertemu dengan orang yang dikasihinya. Waktu itu aku marah karena kau tak mau menemuiku. Aku tak pernah bermasalah kalau kau memang ingin mengajak Myungsoo bersamamu. Kau saja yang malu kan?”
“Oppa, bagaimana aku tak malu? Aku yang berjalan sendirian saja akan dicaci maki, bagaimana kalau aku mengajak Myungsoo. Mungkin akan lebih parah lagi.” Jelasku pada Inguk oppa. Inguk oppa hanya manggut-manggut. Dia memang bisa memperkirakan itu juga, tapi ia juga tak tega kalau harus membiarkan Myungsoo berdiam di rumah terus.
“Eunji, bagaimana kalau kita membawa Myungsoo ke makam Soohyun. Mungkin hawa yang kau rasakan ini karena Soohyun tak rela dia pergi tanpa berpamitan pada Myungsoo.”
“Oppa, apa maksudmu? Kenapa kau mengatakan seperti itu? Kenapa wanita itu harus kesini? Untuk apa? Lagipula, saat dia mati juga tak ada yang melayat bukan. Waktu itu Myungsoo juga hanya bisa terdiam di dalam kamarnya.”
“Kan sudah kubilang, mungkin itu faktornya. Pokoknya besok kita bawa Myungsoo ke makan Soohyun. Kalau Myungsoo kembali seperti semula, kau kan yang senang.” Aku sudah tidak dapat membantah Inguk oppa, aku sudah terlalu membebaninya karena harus memikirkan masalah Myungsoo bersamamku. Jadi, aku tak ingin, tak ingin memberatkan pundaknya lebih dari itu.
“Eunji, kenapa kau diam? Kau pikir aku hanya menjadi bebanku saja? Sudahlah, aku tulus membantumu. Apa kau pikir aku menjadi kekasihmu selama 5 tahun hanya untuk kesenangan saja, bebanmu juga bebanku Eunji.” Tersenyum, Inguk oppa tersenyum dengan mengatakan itu. Aku tak mau membalasnya dengan tangisan, aku tak mau membuatnya berpikir bahwa aku tak bisa menerimanya. Kuberikan balasan senyuman. Senyuman yang kurasa cukup untuk membalas semua perkataannya hari ini.
è --- à --- à --- à
Hari ini memang cerah, secerah hati Myungsoo mungkin. Kini matanya menatap matahari, menatap betapa terangnya cahaya itu.
“Jangan bengong saja Eunji, biarkan Myungsoo sendiri. Biar dia jalan sendiri. Kau lihat dia? Lucu kan saat dia berjalan. Hahahaha.”
“Ya, kenapa kau malah meledek adikku, oppa? Namanya juga hampir 1 tahun tak berjalan. Myungsoo, cepatlah sedikit! Atau kau akan kutinggal.” Dia menatapku, melihatku. Lalau menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum, tersenyum padaku. Padaku yang selama ini hanya bisa cemberut didepannya ketika berada di dalam rumah dingin itu.
“Hahaha, akhirnya dia bisa tertawa juga, Eunji. Eits, jangan menangis! Aku bosan melihatmu karena dia.” Inguk oppa menunjuk Myungsoo, menunjuknya bagaikan lelaki yang mungkin bisa merebut hatiku dari Inguk oppa.
è --- à --- à --- à
Aku sampai, kulihat batu nisan itu. Kulihat nama Soohyun tertulis disitu, nama yang selama ini membuatku marah, membuatku benci, membuatku muak.
“Eunji, ada bunga disini. Sepertinya masih baru, siapa yang meletakkannya disini? Myungsoo, apa Soohyun punya seseorang yang dekat dengannya?” tanya Inguk oppa pada Myungsoo, Myungsoo kini sedang berjongkok di depan batu nisan Soohyun. Melihatnya, melihat dengan sangat dalam. Ia hanya menjawab pertanyaan Inguk oppa dengan anggukan. Anggukan kecil, yang hampir aku sendiri tak menyadarinya.
“Eunji, siapa yang kira-kira datang kesini ya? Apa kau tahu keluarga Soohyun?” aku menggelengkan kepalaku. Aku tak tahu, aku tak pernah punya waktu untuk mengurusi kehidupan Soohyun.
“Permisi, apa kalian mengenal mama Minhyun? Kenapa kalian berada di depan makam mama?” seorang anak kecil muncul di hadapanku. Akau menatapnya, betapa miripnya dia dengan Soohyun. Laki-laki kecil yang berwajah imut, sama seperti ibunya. Ibunya? Soohyun? Benarkah Soohyun sudah punya anak?
“Nama kamu Minhyun ya? Apa ini makam mama kamu? Jadi kamu yang selalu membersihkan ini semua, hingga makam mama menjadi lebih bagus dibanding yang lain?” dia mengangguk dengan lucunya. Bagaikan malaikat kecil, yang membersihakan seluruh hati kotorku.
Tiba-tiba Myungsoo berdiri di sampingku, menatap anak kecil bagai malaikat ini.
“Myungsoo a!” teriak Minhyun, dia memeluk Myungsoo dengan sangat erat. Myungsoo hanya bisa membalas pelukannya. Erat sekali Myungsoo memeluknya, Myungsoo seperti hidup kembali. Dia menangis, tersenyum di hadapan Minhyun.
“Myungsoo, apa Minhyun ini.....” Inguk oppa menghentikan pertanyaanya, aku tahu oppa pasti bertanya-tanya apa ini anak Myungsoo. Tapi tak mungkin, Myungsoo bertemu dengan wanita itu sekitar 3 tahun lalu, sedangkan Minhyun sudah terlihat seperti anak yang akan masuk SD.
“Permisi, ada keperluan apa dengan anak saya?” aku menoleh, aku menoleh melihat kakek yang sudah tua berjalan dengan pelannya menuju hadapanku.
“Anak? Siapa yang kakek maksud?”
“Apakah kalian teman Soohyun? Kakek senang kalau ternyata kalian teman Soohyun.” Bingung, tentu saja aku bingung. Soohyun? Anak kakek ini? Bukankah katanya dia anak buangan, anak yang ditinggal orang tuanya semenjak kecil?
“Mari kakek antar ke rumah, kakek akan senang sekali kalau kalian mau datang ke rumah Soohyun. Apalagi disini ada Myungsoo.” Kakek itu tersenyum, tersenyum bagaikan telah menemukan pengganti atau mungkin yang bisa menemani kesenjaannya di masa tuanya.
Inguk oppa menyuruhku mengikuti kakek itu, Inguk oppa pun mengajak serta Myungsoo dan Minhyun. Kulihat Inguk oppa benar-benar perhatian kepada Myungsoo, perhatiannya hampir sama seperti perhatianku pada Myungsoo. Apa Inguk oppa merasa bersalah karena telah membentakku di malam natal waktu itu?
Kakek itu menuju rumah yang sangat sederhana, saking sederhananya rumah itu terlihat sangat kecil jika ditempati aku, Inguk oppa maupun Myungsoo didalamnya. Kakek itu mempersilahkanku masuk, memberiku tempat duduk paling nyaman yang ia punyai. Kulihat sekitarku, hening, tanpa ada sosok satu wanitapun di dalam rumah ini. Apa ini rumah Soohyun? Apa Myungsoo sering ke sini? Kenapa aku merasa bersalah pada sesuatu, kenapa perasaanku tidak enak berada di rumah ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
“Noona...” Myungsoo memanggilku, mengajakku ke sebuah altar. Kulihat altar itu, foto Soohyun ada disana. Ada di depan altar itu, melihatku, menatapku, seakan aku telah membuat suatu kesalahan.
“Eunji, maafkan Soohyun karena tela melibatkanmu tentang banyak hal.” Kakek itu melihatku, meminta maaf padaku. Meminta maaf atas nama Soohyun. Air mataku mulai terjatuh, entah kenapa aku merasa bahwa hatiku mulai terketuk. Aku telah mebuat kesalahan, aku telah menuduh Soohyun. Aku telah mengutuk Soohyun dalam hidupku. Aku telah membuatnya menjadi wanita yang paling hina di kota ini.
“Eunji aaaaaa, ada apa? Kenapa menangis? Kakek dan Myungsoo bilang apa? Memarahi Eunji ya?” Minhyun menyentuh pipiku lembut, menyentuhku dengan sangat lembut. Air mataku semakin berjatuhan, aku tak tahan menahan kuasa air mata ini.
“Noona, Soohyun bukan wanita yang seperti noona pikir. Mungkin aku memang telah membuat noona menderita dengan sikapku ini.” Myungsoo mulai membuka mulutnya, dia mengatakan hal yang sangat panjang di depanku sejak ia mengunci rapat mulutnya.
“Myungsoo, kamu?” aku hanya bisa tetap meneteskan bulir-bulir air mata ini. Myungsoo hanya terdiam, aku sadar, aku telah membuat kesalahan. Kesalahan yang sangat besar hingga warga hanya menganggapnya wanita hina. Inguk oppa, dia hanya bisa terdiam, terlihat sekali ia sedang memikrkan sesuatu. Mungkin Inguk oppa juga merasa bersalah. Bersalah akan kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan.
“Eunji aaaa,, jangan menangis. Jebal, apa Myungsoo memarahi Eunji. Dasar Myungsoo jahat! Padahal Mama kan selalu menceritakan Eunji pada Minhyun. Mama cerita kalau Eunji itu saaaangat cantik apalagi baik hati. Tapi kata mama, mama takut kalau terlalu dekat dengan Eunji. Kata mama, mama takut Eunji dibenci orang-orang. Padahal mama kan nggak berbuat salah. Mama kan Cuma kerja bersih-bersih di hotel itu. Minhyun juga sering ikut mama. Ikut main sapu sama mama.” Minhyun tersenyum, dia tersenyum melihatku. Kembali ia menghapus airmataku, sedikit demi sedikit ia menceritakan tentang mamanya. Mamanya yang sangat menyukaiku, yang sering menceritakan tentangku pada Minhyun. Tapi, apa yang aku lakukan? Aku hanya bisa membencinya, aku hanya bisa muak melihatnya. Kini aku sadar ternyata Soohyun menjauhiku bukan karena ia yang tak mau mengenalku, tapi karena aku yang selalu menyuruhnya tak mendekatiku.
“Minhyun, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena........ maafkan aku.”
“Eunji, janganlah meminta maaf. Kau tak pernah melakukan kesalahan apapun. Jadi janganlah meminta maaf pada apa yang kau lakukan di masa lalu. Memang itu yang sudah terjadi, tak ada yang pernah bersalah. Ini hanya kesalahpahaman saja.” Kakek kembali berbicara, kembali melontarkan kata-kata yang membuatku tak merasakan kesalahan yang kulakukan di masa lalu. Membuat airmataku tertahan, tertahan untuk menjadi wanita yang tegar, tegar seperti Soohyun yang tak pernah mendengarkan caci maki, fitnah, dan ejekan dari orang-orang,
“Noona, kemarin Soohyun datang menemuiku. Dia meminta ku untuk menyampaikan terima kasih pada noona. Pada noona yang mau membiarkan pundak noona diberi beban seberat ini. Beban yang aku sendiri takkan bisa melakukannya jika aku sendirian. Maafkan aku noona.” Kupeluk Myungsoo, kupeluk sangat erat. Aku tak mau meninggalkannya, aku tak membiarkannya sendirian. Aku tak ingin berpisah dengannya, aku akan selalu merawatmu Myungsoo. Jangan pernah sekalipun kau berpikir bahwa kau adalah bebanku.
Inguk oppa melihatku, memegang pundak Minhyun. Hanya bisa terdiam melihatku memeluk Myungsoo. Tiba-tiba badanku terasa berat, Myungsoo menindihku. Dia pingsan, dia tak sadarkan diri.
“Oppa, Myungsoo pingsan. Bantu aku!” aku segera berdiri ketika Inguk oppa menggendong Myungsoo keluar. Aku berpamitan kepada kakek dan meminta maaf karena telah membuat keributan di rumahnya. Aku membawa Myungsoo ke rumah sakit, bersama Inguk oppa dan juga Minhyun. Aku tak mau terjadi apa-apa padanya, aku takut dia akan meninggalkanku. aku takut akan kehilangan orang yang kusayangi, kukasihi, dan yang selalu kurawat sejak kecil.
è Eunji POV END
è Author POV
Matahari muncul dari ufuk timur, menyinari seluruh pepohonan. Menghangatkan seluruh perasaan semua orang. Memberikan setitik kebahagiaan di dalam hati setiap orang. Angin tak bosan-bosannya datang menyapa. Menyapa dedaunan, menyapa para ranting yang ingin segera dihangatkan oleh sang matahari.
3 bulan sejak kejadian di rumah Soohyun, kini Eunji mulai melakukan aktivitasnya seperti biasa, bekerja mencari lembaran-lembaran penyambung kehidupan. Inguk sesekali mampir ke tempat kerjanya, menyapanya, tentu saja memberikan kasih sayangnya.
Eunji dan Inguk pulang ketika matahari mulai meninggalkan tempatnya. Menyisakan sinar rembulan yang datang menggantikannya.
Dilihatnya Myungsoo sedang terduduk di depan jendela. Kembali menatap cahaya bulan, meratapi arti kehidupannya. Meratapi kehidupannya yang rapuh. Minhyun sesekali mengajaknya bicara, mengajaknya melontarkan kata-kata kehidupan yang bisa meneruskan kehidupannya nanti.
Hawa itu sudah hilang, aura Soohyun sudah tak ada disini. Eunji menyadari bahwa Soohyun datang untuk memberitahunya bahwa ini bukan kesalahan Myungsoo, bukan juga kesalahaannya. Hanya orang-oranglah yang dengan seenaknya menghina dirinya, menghina kehidupannya.
Minhyun mulai tinggal dirumah Eunji, bersamanya menemani Myungsoo. Kakek tetap tak mau meninggalkan rumahnya, berkali-kali Eunji mengajak kakek, tak pernah sedikitpun kakek peduli. Ia hanya mengatakan bahwa ia tak mau meninggalkan rumah yang penuh dengan kehidupan istrinya.
Kini Eunji tahu, dia telah membuat kesalahan yang fatal hingga Myungsoo menjadi seperti ini. Mungkin pada dasarnya memang karenanya lah Myungsoo menjadi seperti ini. Dulu, eunji tak pernah sekalipun merestui hubungan hingga Myungsoo hanya bisa menahan perasaannya di depan Eunji.
Aku minta maaf, aku memang bersalah. Aku memang sudah melakukan hal yang takkan pernah dimaafkan. berkali-kali Eunji mengucap didalam hatinya. Umpatan-umpatan yang dulu hinggap di dalam hatinya, kini hilang meninggalkannya. Eunji mulai menata kehidupannya yang baru, dia berjanji takkan pernah percaya pada perkataan orang yang tak pernah ada buktinya.
Eunji semakin menyanyangi Myungsoo, tak pernah keinginan meninggalkan Myungsoo muncul lagi, membuainya, memaksanya. Karena dia tahu, dia tak sendirian. Masih ada Inguk yang selalu ada disampingnya, menemaninya, menyanyanginya, mengasihinya. Minhyun juga selalu memberikan semangat pada Eunji, selalu membuat Eunji tertawa, tersenyum, merasakan betapa membahagiakannya hidup di dunia ini.
è --- à --- à --- à
Aku tak mau meninggalkanmu, aku takkan pernah mengkhianatimu lagi. Aku ini kakakmu, sudah sewajarnya aku dibuat sulit olehmu. Tapi aku tahu, dibalik itu semua, aku juga akan mendapatkan hal yang sama, sama seperti yang telah kuberikan padamu. Aku tak hidup dalam kesendirian. Masih ada orang yang mau mengasihaniku sepertiku mengasihanimu. Kau boleh manja padaku, kau boleh menggantungkan hidupmu padaku, kau boleh meninggalkanku ketika kau bertemu dengan cinta yang kau kasihi, karena yang penting dalam hidupku hanya kebahagiaanmu, kebahagiaan yang akan selalu menghampirimu, menemanimu. Aku menyanyangimu sama seperti kau menyanyangiku. Terima kasih karena kau sudah mau menemaniku semenjak kecil, aku takkan pernah menyesal memilikimu. KARENA KAU ADALAH ADIKKU.