CHAPTER 1 : Luna PoV
Even if I go crazy
If it’s because of you, it’s okay
I want both heaven and hell to be you
*Luna PoV
Aku merasa tak nyaman dengan suasana ini. Detik demi detik waktu berjalan, jantungku semakin cepat berdetak. Americano yang kugilai tak kusentuh sejak sepuluh menit yang lalu. Kulirik jendela Coffee Shop berulang kali, tak terlihat tanda-tanda bahwa ia datang. Tak ingin terjebak dengan perasaan gundah lebih lama, aku menyesap kopiku agar rasa gugup ini hilang.
Tiba-tiba, pintu masuk kafe terbuka. Dia akhirnya datang. Dia kemudian melihatku duduk di pojokan, menghampiriku dan duduk di hadapanku. Kuamati dia sesaat, penampilannya jauh dari kata siap. Dahinya penuh dengan buliran keringat. Matanya merah dan bibirnya pucat. Saat ini, dia sedang mengatur nafasnya kembali.
“Maafkan aku membuatmu menunggu lama. Kau memintaku datang secara tiba-tiba. Kuputuskan untuk menemuimu setelah pekerjaanku selesai. “ ucapnya. Dia lalu melepas jaket jeans yang menutupi kemejanya dan meletakannya di meja.
“Oppa, maafkan aku.” ujarku sambil menahan agar air mata ini tidak tumpah. Dia melirikku sekilas dan menyipitkan matanya.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau minta maaf, Luna?” tanyanya padaku. Aku sungguh tak bisa menatapnya kembali. Aku ini memang wanita yang tak tau diri. Aku tak bisa membalas kebaikan pria di depanku dan malah ingin menghancurkan perasaannya.
“Luna?” tanyanya kembali. Aku bergetar mendengar suaranya. Keringat dingin telah membasahi kedua telapak tangan yang sedari tadi kugenggam erat.
“Kau tau matahari dan bulan takkan pernah bersatu. Aku tak ingin nasib kita berakhir seperti itu. Tapi, takdir memaksa kita untuk berpisah. Maafkan aku, oppa. Hubungan kita harus berakhir sekarang.” ucapku lembut. Kuambil sebuah undangan dari tasku dan menyerahkan padanya dengan perlahan. Aku tak berani melihat reaksi wajahnya saat mendengar apa yang kuucapkan tadi.
“Jadi kau akan menikah minggu depan dan meninggalkanku begitu saja, Luna?” tanyanya pelan. Kuberanikan diri untuk menatapnya dan air mataku jatuh saat melihatnya terluka.
“Oppa, aku sudah mengatakannya padamu berulang kali. Kita takkan pernah bisa bersatu. Kita hanya memaksakan kehendak kita di tengah pusaran takdir yang telah pasti. Kau matahari dan aku bulan. Kita tak bisa beriringan berjalan. Sudah saatnya bagi kita untuk berpisah. Kuharap kau akan menemukan wanita yang jauh lebih baik dariku. Selamat tinggal dan aku sangat mencintaimu.” Aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Aku kemudian melangkah keluar dan meninggalkannya disana. Aku tak ingin menoleh ke belakang karena itu hanya akan membuatku lemah. Aku memang kejam tapi ini adalah hal yang tepat. Youngbae oppa pantas untuk mendapatkan kebahagiaan dan itu bukanlah dariku.
###