CHAPTER 2 : Family
Kisah ini bermula ketika Taehyung menginjak usianya yang keenam.
Ketika ia dunia menyerangnya.
Ketika ia mulai tak percaya lagi pada realita.
Dan ketika menurut dirinya, keluarganya sudah tidak pantas lagi untuk disebut sebagai sebuah keluarga.
***
“Bahasa Inggrisnya saudara perempuan itu ....” Ucapan Taehyung kecil terhenti. Ia memutar otaknya, berusaha untuk mengingat-ingat. “Ah! Sister!” serunya.
Seokjin di depannya mengangguk. “Oke, pertanyaan selanjutnya, ya. Siap?” tanya Seokjin. Taehyung mengangguk dengan semangat sebagai jawabannya. “Saudara laki-laki?”
“Saudara laki-laki ... uh ...,” gumam Taehyung. Ia berpikir dengan keras, berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat. “Ehm ... oniisan ...?” jawabnya asal.
“Aisshi, benar-benar ....” Seokjin memukul pelan puncak kepala Taehyung. Yang dipukul hanya tertawa masam. “Itu, kan, bahasa Jepang, Adikku Sayang!”
Taehyung menopang dagunya dengan sebelah tangannya. Wajahnya menengadah, menatap langit-langit kamar kakaknya. “Saudara laki-laki .... Apa, ya?” tanya Taehyung pada dirinya sendiri.
“Brother,” ucap Seokjin, membuat Taehyung ber-oh ria.
“Kak, Kak, kalau keluarga itu apa?” tanya Taehyung dengan mata berbinar-binar.
Seokjin menjawab secara singkat, “Family.”
“Berarti Taehyung, kakak, ayah, dan ibu, kita semua itu family?” tanya Taehyung lagi. Masih dengan nada suaranya yang riang gembira.
Brak ...! Ketika Seokjin hendak menjawab pertanyaan inosen adiknya, ia mendengar suara yang terdengar seperti bantingan. Tapi, suara ini keras sekali. Kamarnya bahkan berada di lantai dua dan suara itu terdengar hingga kamarnya.
Roman wajah Taehyung berubah menjadi takut. Anak laki-laki itu menatap kakaknya dengan tatapan horor. “Kak .... Ada apa di luar ...?”
Seokjin menggeleng tanda tidak tahu. “Entahlah. Biar aku cek dulu. Kamu di sini saja, Tae,” jawab Seokjin, berusaha menenangkan adiknya. Ia tahu betul watak adiknya. Adiknya itu penakut sekali, berbanding terbalik dengannya.
Dengan langkah mantap, Seokjin berjalan pelan menuju pintu kamarnya kemudian membukanya sedikit dan mengintip dari celahnya.
“Tenanglah, Sayang! Semuanya akan baik-baik saja!”
Terdengar suara lembut Nyonya Kim, ibu dari Seokjin dan Taehyung. Seokjin bisa melihat Nyonya Kim yang mengusap tangan Tuan Kim, suaminya. Usapan itu terlihat seperti usapan yang biasa Nyonya Kim berikan ketika menenangkan Taehyung atau Seokjin. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi pada Tuan Kim?
“Tenang katamu? Bagaimana aku bisa tenang?”
Mata Seokjin membulat ketika ia melihat ayahnya memukul ibunya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat hingga Seokjin sendiri tidak bisa menghentikan tingkah ayahnya yang tiba-tiba menggila.
“Harga saham terus menurun dan perusahaan tempatku menginvestasikan separuh uangku bangkrut! Sekarang ibuku kecelakaan dan dia sekarat! Bagaimana aku bisa tenang? Aku tanya, bagaimana aku bisa tenang sekarang, hah?”
Seokjin hanya mematung di balik pintu. Dilihatnya air mata mengalir deras dari kedua mata Nyonya Kim. Ia juga melihat wajah Tuan Kim yang memerah dan matanya yang menyala-nyala bagaikan api. Kedua orangtuanya terlihat ....
Menyedihkan.
Sangat.
“Kak? Kenapa? Ada apa?”
Suara Taehyung menyadarkan Seokjin. Dengan cepat, ia menutup pintu yang ada di hadapannya dan menggiring Taehyung ke arah tempat tidurnya.
Kedua tangan Seokjin menepuk bahu adiknya. “Malam ini kamu tidur di sini, ya? Mau, kan, Tae?”
Taehyung menatap kakaknya dengan tatapan polosnya. “Kenapa?”
Seokjin tersenyum kecil. “Aku melihat sesuatu yang menyeramkan di luar,” jawab Seokjin. Yah, dia tidak berbohong. Kejadian tadi memang menyeramkan, setidaknya menurut dirinya.
“Menyeramkan? Ada hantu di luar?” Taehyung mulai ketakutan.
“Iya. Menyeramkan sekali!” jawab Seokjin. “Sekarang, kamu tidur saja, Tae. Lagipula, sudah larut sekali. Besok kamu sekolah, kan?” perintah Seokjin. Ia menyelimuti tubuh adiknya dan membelai rambutnya pelan sampai adiknya memejamkan mata.
“Selamat tidur, Tae.”
***
2.10 AM.
Angka dan huruf itu tertulis di layar jam digital Seokjin.
Sudah pukul dua lewat sepuluh menit dan Seokjin masih belum terlelap. Ia belum tidur sama sekali. Sedari tadi, ia hanya memikirkan ayah dan ibunya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Seokjin, dirinya menyaksikan Tuan Kim membentak dan—yang lebih mengejutkannya lagi—memukul Nyonya Kim.
Tuan Kim yang dilihatnya tidak seperti Tuan Kim yang biasanya.
Bukan.
Pria tadi bukan ayahnya.
Seokjin menggigit bibir bawahnya. Perasaan khawatir mulai menyelinap masuk ke dalam dadanya. Ia khawatir ibunya terluka. Khawatir adiknya mengetahui masalah ini. Khawatir ayahnya berubah.
Terlebih, ia khawatir keluarganya tidak akan seperti dulu lagi.
Tanpa mengeluarkan suara, Seokjin berdiri dari tempat tidur. Dipastikannya Taehyung sudah terlelap, kemudian ia berjalan pelan menuju pintu kamar dan membukanya. Kepalanya melongok ke luar, memastikan ayahnya sudah tidak berkeliaran lagi. Jika ayahnya masih bangun, bisa-bisa ia habis dimarahi ayahnya yang sangat tegas jika menyangkut jam malam.
Sunyi. Tidak ada suara.
Secara perlahan, ia berjalan ke arah tangga. Ketika ia baru saja ingin menginjakkan kaki di anak tangga yang pertama, matanya melihat sosok Nyonya Kim yang terduduk di sofa ruang keluarga.
Terlihat begitu menyedihkan.
Tidak seperti Nyonya Kim yang biasanya.
Tidak terlihat hidup.
Dan melihat keadaan ibunya yang seperti itu ....
...
...
...
Seokjin benar-benar ingin menangis.
***
Taehyung.
Ia belum terlelap.
Sejak awal, ia tidak bisa tidur sama sekali. Seharusnya, kakaknya itu tak perlu memberitahu Taehyung tentang hantu yang ia lihat di luar. Taehyung harus bangun pagi-pagi sekali karena ia harus sekolah dan akan ada beberapa ulangan, sedangkan sekarang ia belum tidur sama sekali.
Taehyung tahu, kakaknya pun belum tidur, sama sepertinya. Setidaknya, ia merasa ada yang menjaganya. Selain kakaknya, bukannya ada ayah dan ibunya juga?
Kalaupun hantu itu menculik kakak, aku bisa melawannya bersama ayah dan ibu, pikir Taehyung polos.
Tiba-tiba, Taehyung merasa tempat tidurnya kehilangan sedikit beban. Ia menggerakkan tangannya sedikit, mencari tubuh kakaknya.
Dan ternyata, kakaknya meninggalkannya di kamar. Sendirian.
Ketakukan mulai menyelimuti Taehyung. Ia mengambil senter dan berjalan perlahan ke arah pintu. Takut-takut begitu ia membuka pintu tersebut, hantu yang diceritakan kakaknya langsung menyerangnya.
Krek. Tangan mungilnya memutar kenop pintu. Ia mengintip dari celah kecil pintu tersebut dan membukanya lebih lebar. Matanya memandangi koridor yang remang-remang, melihat keadaan. Ia pastikan tidak ada hantu yang akan menyerangnya secara tiba-tiba.
Setelah yakin, Taehyung melangkah keluar dari kamar kakaknya. Menoleh ke arah sekelilingnya, berusaha mencari Seokjin.
“Ah, itu kakak,” gumamnya ketika ia melihat Seokjin di ruang keluarga yang berada di lantai bawah. Tadinya, Taehyung ingin menghampiri kakaknya dan mengajaknya kembali masuk ke kamar, tapi ia urungkan niatnya itu karena ia melihat ibunya yang sedang ... menangis?
“Tenanglah, Bu. Ayah hanya merasa tertekan saat ini.”
Taehyung mendengar ucapan Seokjin yang sedang menenangkan Nyonya Kim. Karena penasaran, Taehyung memutuskan untuk memperhatikan keduanya dari atas. Kedua tangannya memegang pagar pembatas agar tidak jatuh.
“Ayahmu tidak pernah cerita pada ibu, bagaimana ibu bisa membantunya ...?” isak Nyonya Kim. “Tuhan .... Kasihan sekali dirinya ...”
Mendengar ayahnya disebut, Taehyung tertegun. Ada apa dengan ayahnya? Seingat Taehyung, ayahnya baik-baik saja. Tuan Kim dekat sekali dengan Taehyung, tetapi Taehyung tidak mengetahui bahwa ayahnya ternyata punya masalah.
“Ayah pasti punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya, Bu,” kata Seokjin, berusaha menenangkan ibunya yang semakin terisak.
Nyonya Kim menggeleng. “Tidak, Nak. Dia sudah sangat tertekan. Ibu mengenalnya lebih dari ia mengenal dirinya sendiri. Ayahmu bukan orang yang bermain fisik, ayahmu lembut dan santun ....”
Ayah? Kenapa? batin Taehyung bertanya-tanya.
“Kalau ayahmu memukul ibu seperti tadi, berarti ia sudah sangat tertekan ....”
Deg. Jantung Taehyung bagaikan berhenti berdetak ketika ia mendengar kata-kata yang dilontarkan ibunya. Ibunya dipukul oleh ayahnya? Ayahnya?
Tidak mungkin.
Ini tidak mungkin terjadi.
Mustahil.
Tepat setelah itu, ayahnya datang dengan wajah marah. Ia melangkah ke arah Seokjin dan Nyonya Kim dengan langkah berat. Matanya menyala-nyala layaknya api. Wajahnya merah menahan amarah yang sudah siap meledak.
Ayah? Ayah kena—
Plak ...!
—pa?
“Ayah!” pekik Seokjin. Serta merta ia menghampiri Nyonya Kim yang terjatuh karena pukulan keras dari Tuan Kim.
Sedangkan Taehyung hanya mematung di tempatnya berdiri. Matanya terpaku pada mereka bertiga—Seokjin, Tuan Kim, dan Nyonya Kim. Otaknya masih memproses kejadian yang ia lihat tadi. Dia benar-benar tidak percaya ayahnya memukul ibunya.
Satu hal yang ada di pikiran Taehyung saat ini adalah:
Pria tadi bukan ayahnya.
Ayahnya bukanlah pria yang seperti ia lihat tadi. Ayahnya penyayang, lembut, santun, dan penyabar. Seingat Taehyung, ayahnya jarang sekali memarahi Taehyung, Seokjin ataupun Nyonya Kim. Ayahnya hanya menegur dengan nada halus khasnya. Melotot saja tidak pernah, apalagi memukul.
“Kalian berdua membicarakanku? Hah? Jawab!”
Teriakan Tuan Kim menyadarkan Taehyung dari lamunannya. Matanya memperhatikan adegan demi adegan yang terjadi di hadapannya. Dilihatnya Tuan Kim yang terus menerus memaki-maki Seokjin dan Nyonya Kim, Seokjin yang melindungi Nyonya Kim, dan Nyonya Kim yang terisak.
“Ayah, sadarlah, Ayah!” pinta Seokjin. Tangannya mengguncang-guncangkan tangan Tuan Kim. Kedua mata Seokjin menatap mata Tuan Kim. Yang bisa Seokjin lakukan saat ini hanyalah memohon.
Tuan Kim melepaskan tangannya dari genggaman Seokjin secara paksa. Ia menatap anak sulungnya itu dengan tatapan marah. “Atas dasar apa seorang ayah harus menuruti perintah anaknya, hah? Dasar anak kurang ajar!”
Tangan Tuan Kim telah siap untuk memukul Seokjin. Diangkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi dan diayunkannya dengan kuat hingga menghantam pipi kanan anaknya. Pukulannya itu berhasil membuat Seokjin terlempar sedikit dan jatuh ke belakang.
“Ayah!” jerit Taehyung. Semuanya menoleh ke arah Taehyung ketika mendengar jeritannya.
Di atas sana, Taehyung berdiri dengan air mata yang mengalir deras dari matanya. Anak laki-laki itu langsung berlari menuruni tangga dan memeluk ayahnya yang justru semakin marah.
“Apa-apaan ini! Lepaskan!” Tuan Kim mendorong Taehyung yang memeluknya makin erat.
“Ini bukan ayah! Ayah bukan orang yang seperti ini! Kembalikan ayahku!” pekik Taehyung di sela-sela tangisnya. Ia memeluk pinggang ayahnya, berusaha supaya ia tetap dapat memeluknya. “Kumohon, jangan seperti ini, Yah! Ini bukan diri ayah!”
Tuan Kim mendorong Taehyung dengan seluruh kekuatannya hingga Taehyung terdorong jatuh ke pelukan Nyonya Kim. “Kalau sudah tahu aku bukan ayahmu, cepat pergi! Menyusahkan saja!” bentak Tuan Kim. Ia berlalu dan keluar dari rumah setelah membanting pintu dengan keras. Meninggalkan anggota keluarga lainnya yang terduduk lemas di ruang keluarga.
Nyonya Kim memeluk Taehyung dengan penuh kasih sayang. “Maafkan ibu, Tae .... Maaf ...,” ucapnya lirih.
Taehyung mendorong pelan ibunya, menolak pelukannya. Ia hanya diam dan membiarkan air matanya jatuh membasahi wajahnya ketika Seokjin dan Nyonya Kim menatapnya heran.
“Tae?” panggil Seokjin.
Taehyung membisu. Ia membelakangi kakak dan ibunya. Menolak untuk bertemu pandang dengan mereka berdua.
“Taehyung ...,” panggil Seokjin untuk kedua kalinya. Ia sadar, ada yang janggal dengan sikap adiknya.
“Kakak bohong. Di luar tidak ada hantu. Kakak bohong. Semuanya menyembunyikan ini dariku. Aku bahkan tidak tahu kalau ayah punya masalah,” ujar Taehyung pelan. Seokjin dan Nyonya Kim tertegun oleh ucapan Taehyung. “Semuanya sama saja seperti ayah. Aku benci semua orang,” lanjutnya.
Taehyung beranjak dari tempatnya duduk, lalu ia masuk ke dalam kamarnya. Dikuncinya pintu kamarnya agar tidak ada orang yang melihat sosoknya yang sedang menangis di depan pintu.
Sejak saat itu ....
Taehyung memutuskan untuk tidak mempercayai siapapun lagi.
Terutama keluarganya.
To be continued.