CHAPTER 2 : Why Am I The Second When You're My First
Flashback
Lima menit lagi aku sampe!
Hani menarik napas panjang. Lagi-lagi Hani mengecek jam tangan di lengan sebelah kanannya, 19:50. Hani mengambil gelas berisi vanilla latte yang udah dipesan semenjak satu jam yang lalu. Satu teguk, dua teguk, Hani langsung menghabiskan vanilla latte-nya tanpa memberikan kesempatan dirinya sendiri untuk mengambil napas. Tegukan ke 10, gelas yang tadinya penuh sekarang sudah kosong. Hani bersyukur minumannya sudah dingin karena sudah terlalu lama dianggurin, kalau masih panas, mungkin lidah Hani sekarang udah melepuh.
Tapi sebenernya ada yang panas. Hati Hani. Hani bela-belain dari sehabis pulang les jam enam langsung ke caffe tempat dia janjian sama Chanyeol, sendirian, berharap Chanyeol sudah sampai duluan di caffenya. Nyatanya? Chanyeol mendadak ada latihan ngeband untuk acara off air salah satu radio swasta.
Hani gak bisa maksa Chanyeol buat ngeskip latihannya. Satu, Hani gak enak sama temen-temen satu bandnya Chanyeol yang notabenenya lebih tua tiga tahun dari Hani. Dua, Chanyeol udah excited banget over this show semenjak dua bulan yang lalu, dan Hani gak tega buat ngerusak jadwal latihannya Chanyeol.
Tiga,
Mungkin Hani emang udah capek.
Hani gak bisa berhenti ngeliatin amplop yang ada di depannya. Hani tau isi didalam amplop itu bisa jadi sebuah berita bahagia atau malah jadi berita buruk buat orang yang Hani tunggu dari tadi. Tapi gimanapun juga, Chanyeol harus tau soal berita ini. Whether it’s going to be a good news or a bad news for him.
“Hey!”
Hani nengok ke belakang. Chanyeol make t-shirt item polos dan jeans belel yang gak pernah dia cuci dari pertama kali beli. Masih ada sisa keringet di keningnya Chanyeol, mungkin tadi dia terlalu semangat gebukin drum-nya.
Hani senyum, “Hey.” Sapanya pelan. Chanyeol langsung duduk di kursi depan Hani, “Maaf ya telat banget.”
Hani ngangguk, “It’s ok, Yeol. Gimana tadi latihannya?”
“Hum, lancar kayak biasa. Cuma tadi kak Lay agak telat dateng, jadi ngaret sedikit…” Jawab Chanyeol sambil sibuk ngeliatin daftar menu, “Kamu udah mesen?”
“Udah kok, udah abis malah.”
“Oh, udah lama banget ya nunggunya?” Chanyeol pouting, merasa bersalah sama ceweknya yang udah nunggu lama.
Hani cuma tersenyum simpul.
“Yeol,” Hani memutuskan untuk membuka topik yang ingin ia bicarakan, “I have something to tell.”
Pandangan Chanyeol beralih dari buku menu ke wajah Hani, “Apa tuh?”
Hani menggeser amplop yang ada di depannya ke arah Chanyeol. Chanyeol mengambil amplop tersebut dan menoleh ke Hani kebingungan.
“Baca.” Ujar Hani.
Chanyeol membuka amplop tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di kertas dalam amplop tersebut. Hani bisa melihat perubahan wajah Chanyeol-- Chanyeol kaget, but Hani could feel his excitement. Chanyeol kembali menoleh ke Hani, kali ini dengan senyumnya yang lebar.
“Kamu keterima?!" Chanyeol ngeraih tangan Hani, happily shook them up and down.
Hani menangguk, "Bulan depan aku udah bisa ke sana." Hani berusaha untuk mempelihatkan senyumnya.
"Waah, gila kamu keren banget, Han. It's your dream to study in London and you finally get it! How do you feel?" Chanyeol asked excitingly.
Tapi kebalikkan dari Chanyeol, Hani didn't look excited at all.
"Aku gak tau, Yeol. Too many feelings I can feel right now."
"Like what? Excited? Seneng? Bahagia? Gak nyangka?"
Hani menggeleng, "Well, yes but mostly I feel sad."
Alis Chanyeol bertemu, tanda kalo dia lagi bingung.
"Sedih? Karena? Ooh aku tau, karena kamu berarti harus pisah sama aku ya!" His playful smile came back, "Hani, it's ok! Kamu tau kan teknologi sekarang udah maju, bisa skypean, line aja udah bisa video call, maksudku kan ini mimpi kamu dari dulu gak lucu banget kalo aku jadi alesan kamu--"
"Nggak, Yeol, sebentar." Hani memotong omongan Chanyeol.
"Kenapa?"
Hani took a really deep breathe, this is it. Waktunya Hani ngutarain perasaannya dia selama ini. Whatever happens after this, mau gak mau Hani udah harus siap ngehadepinnya.
"Yeol, if--" again, a deep breath, "--if I have to go to London, then I don't think I can continue this. This thing. Between us."
Chanyeol's jaw dropped. Rasanya kayak abis di tampar bolak-balik, Chanyeol gak ngerespon apa yang Hani bilang. There was a moment of silence for both of them.
"Alasannya?" Chanyeol memecahkan keheningan.
"Kamu... Nyadar gak sih, kita akhir-akhir ini udah jarang banget komunikasi. Kamu ngeline aku cuma pagi hari, ngasih kabar kamu udah bangun dan kamu mau latihan ngeband sama yang lain. Aku selalu nyapa kamu, ingetin kamu jangan lupa istirahat, jangan lupa makan siang, jangan lupa mandi sore, aku bahkan bilang ke kamu aku kangen sama kamu, aku kesel kamu sibuk terus sama band kamu, tapi kamu selalu bales line aku pas malem, Yeol, and by night I mean it's always after one AM!"
“Kamu pernah bilang kamu gak masalah sama hal ini kan, Han?” He gritted his teeth, “Aku udah ngasih tau ke kamu beberapa bulan ini aku bakal sibuk latihan buat acara off air, aku juga udah cerita ini pertama kalinya band-ku ikut acara yang lumayan besar. And you know exactly this is what I’ve been dreaming of. Aku cuma butuh support kamu doang.”
What?
Hani diam-diam mengepalkan tangannya. Nggak biasanya dia marah sampai mau nonjok orang, apalagi orangnya Chanyeol, pacarnya dia sendiri.
“Aku support kamu, Yeol.”
“Terus masalahnya apa?”
“Masalahnya kamu egois. Yang kamu pikirin cuma mimpi kamu, band kamu, tapi kamu gak peduli sama aku."
Hani could feel a pain in her chest.
"Han, bukannya gitu," Chanyeol meraih jemari Hani dan menggengamnya erat, "Sumpah, minggu-minggu ini emang aku terlalu sibuk... Kamu tau kan aku kadang sampai gak bisa pulang ke rumah? Can you just bear with me for a while?" Chanyeol meremas jemari Hani, tanda bahwa Chanyeol ingin Hani percaya sepenuhnya pada Chanyeol.
"Yeol, what's the meaning of dream menurut kamu?"
Chanyeol merengut, bingung dan kaget karena tiba-tiba Hani nanyain hal yang slightly out of topic. He showed his 'seriously?' Face, tapi Hani cuma tersenyum kecil.
"Just answer me, please?"
Chanyeol melepaskan genggamannya dari jemari Hani, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Aku gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba nanyain ginian?”
Hani mendengus, “Gini deh Yeol, mimpi kamu apa?”
Chanyeol shrugged, “I don’t know, something related to my band. I want people to know about my band. I want to do a gig where--”
“That’s it, Yeol.”
“That’s it what?”
“Your band is your dream.”
Chanyeol menghela napas, “Well, iya, sama aja kayak kamu dan semua mimpi kamu tentang sekolah di London, dapet beasiswa di London. And you’re lucky enough you finally get what you want, kan?”
Hani menggigit bibirnya, menahan kesal yang sudah menumpuk di kepalanya. Chanyeol didn’t understand, at a time like this, Hani mau denger bahwa dirinya lebih precious buat Chanyeol dibandingin sama bandnya. Tapi sekarang Hani ngerti, she was nothing compare to his band.
“Nggak Yeol, you’re wrong.”
Hani menyerah. Hani bangkit dari tempat duduknya. A tear fell down from her eyes, Hani segera mengusap ujung matanya tersebut. Hani kuat, ujarnya dalam hati. You know this is going to happen, Hani. You know.
Chanyeol dengan cepat ikut beangkit dari kursinya dan langsung meraih lengan Hani.
“Mau kemana?”
“Yeol,” Hani melepaskan genggaman tangan Chanyeol, “Udah. Let’s just end this, okay? Ini yang terbaik buat kita berdua.”
“Aku gak ngerti, Han.”
“Aku jugak Yeol, aku gak ngerti kenapa kamu lebih milih band kamu sedangkan aku lebih milih kamu as my dream. Ternyata aku salah.”
Silence.
“Goodbye, Yeol. I.. I love you.”
That’s how Chanyeol’s world turned upside down.