CHAPTER 1 : Oneshot
{Breath}
Seoul, 11 Agustus 2023
Suara riuh orang-orang yang berlalu-lalang dan bercakap-cakap teredam oleh pintu tebal di ruangan yang ku pijak. Bibirku tertarik membentuk sebuah bujur cekung tatkala aku membolak-balik halaman buku usang yang bertuliskan ‘When Minhyun Grow as a Teen’. Buku ini adalah milikku, hanya milikku dan hanya aku yang boleh membukanya. Saat ini, Aku Hwang Minhyun telah berumur 28 tahun. Cukup dewasa untuk berkata ‘Bolehkah aku mengenang masa mudaku?’. Itulah yang aku lakukan sekarang. Aku ingin membuka lembaran masa mudaku dan menceritakannya padamu.
Bolehkah aku membawamu pada peristiwa 9 tahun silam? Tepatnya tanggal 10 Agustus 2014.
Seoul, 10 Agustus 2014
Hwang Min Hyun, name-tag yang bertengger di seragamku berkilat terkena cahaya di tepi Sungai Han. Dengan ringan aku mengambil sebuah kerikil disamping sepatuku. Aku melemparnya hingga menimbulkan riak kecil di permukaan air. Seseorang disampingku menepukkan tangannya memberi pujian padaku. Ia juga sama, mengenakan seragam yang mirip denganku. Umur kami berbeda 2 tahun, ia lebih dulu menikmati indahnya dunia sebelum aku. Namun karena ia harus berhenti sekolah selama 2 tahun, kami berada di kelas yang sama tahun ini. Dan aku sangat mensyukurinya. Saat ia mengenakan baju seragam yang sama dengan gadis lain, tak ada yang istimewa. Tetapi, sesuatu yang membuat aku merasa ia berbeda adalah senyumnya. Guratan di bibir itu membuatku mabuk. Saat aku marah dan ingin menagis, senyumnya menguapkan segala energi negatif itu dari raut wajahku. Dan sekali lagi aku berterima kasih pada Tuhan, ‘Syukurlah kau menundaku lahir terlebih dahulu.’
Gadis itu, dengan wajah masih terhiasi oleh senyuman, mengambil sebuah kerikil yang ada di depannya. Ia melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Saat ia melemparkannya, air beriak kecil dan senyumnya makin lebar. “Oneshot! Lemparanku lebih jauh satu meter darimu Minhyun-a.”
Aku tak mau kalah. Aku mengambil sebuah kerikil lagi, bahkan ukurannya lebih besar dari sebelumnya. Tanganku memutar-mutar di udara, dengan satu hentakan aku melemparnya hingga timbul riak yang lebih besar, boleh aku menyebutnya gelombang?
“Bravo. Aku mengalahkanmu, Bomi Noona.”
Aku berbalik tatkala mendengar seseorang terbatuk hebat di belakangku. Bomi, memegangi dadanya dan terbatuk keras. Terkejut, aku menghampirinya. Aku tak tahu harus berbuat apa saat itu. Aku hanya khawatir. Bomi terbatuk keras beberapa kali, ia menepuk-nepuk dadanya. Bomi memang seperti itu. Saat pelajaran atau sedang latihan olahraga ia pasti akan ijin sekali duakali untuk ke toilet. Pernah aku mengikutinya. Bukan bermaksud jorok, aku hanya ingin tahu kenapa ia selalu ke toilet saat jam pelajaran. Lalu aku mendengar ia terbatuk hebat. Saat keluar dari toilet ia terlihat lemas.
Beberapa menit kemudian batuknya berkurang. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Aku hanya bisa mengulurkan beberapa lembar tisu. Ia meraihnya, di usapkannya lebaran itu hingga pelipisnya bersih kembali. “Apa kau khawatir Minhyun-a?” lalu ia tersenyum. Rasa khawatirku lenyap begitu saja, tak sengaja aku membalas senyumnya, yang sumpah demi apa lebih indah dari bunga Babys Breath sekalipun. Aku membantunya berdiri. Lalu kami duduk disebuah batu, bersebelahan.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Baik aku maupun Bomi tak ada yang ingin melempar kata untuk mengobrol. Semilir udara sungai Han yang mewakili percakapan kami saat itu. Lalu tiba saatnya ketika Bomi mengucapkan katanya yang pertama. “Aku merasa ringan saat aku bernafas disini.” Aku terkesiap. Aku memandangnya, meski aku tak dapat melihat maniknya, setidaknya aku merasa bahwa ia sedang mengutarakan sesuatu yang lebih rahasia padaku. “Disini aku merasa ringan. Jika aku sulit bernafas saat aku berada di sekolah atau di rumah, aku ingin sekali kesini. Saat berada di dekat sungai Han, aku seperti bisa menghirup nafas Ayahku.” Lalu ia mendekap dadanya. Anak rambutnya beterbangan, menambah suasana dramatis diantara kami.
“Saat aku tak bisa menghirup udara sungai Han, paru-paru ku terasa sesak. Sakit sekali. Aku sudah menahannya selama 5 tahun Minyun-a. Dan aku sudah tidak tahan. Paru-paru ku sudah terlampau sakit.” Mata kami bersirobok saat Bomi mengalihkan pandangannya padaku. Cairan sebening kaca tampak menutupi irisnya yang berwarna coklat. Aku ingin menahannya, menahan air mata yang sudah terlanjur keluar dari mata Bomi yang indah.
“Aku hanya ingin beristirahat Minhyun-a.”
Hari kami bermain di sungai Han berakhir disitu. Saat aku pulang kerumah, aku mulai merasa cemas lagi. Aku merindukannya. Aku merasa aku ingin menemuinya sekarang. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri, aku ingin berlari sebelum aku tak bisa melihat senyumnya lagi.
Esoknya, jam pelajaran dimulai sejak awal. Di jam pertama kami disambut dengan beberapa ulangan yang menjemukan. Pelajaran pertama adalah matematika, aku bisa menyelesaikannya. Lalu yang kedua adalah sejarah, aku juga bisa melewatinya meskipun aku mencuri beberapa jawaban diri teman sebelahku. Hingga ulangan yang terakhir adalah Geografi, aku menggantungkan seluruh nasibku pada teman yang ada di depanku. Aku khawatir. Namun bukan khawatir mengenai nilai ulanganku yang mungkin akan terlampau jelek. Ada suatu getaran dalam diriku yang aku tak bisa mengartikannya. Saat itu, aku hanya ingin lari. Lari dan kemudian menangis. Sangat membingungkan.
Saat jam istirahat hampir usai, meja Bomi masih kosong. Awalnya aku menunggu hingga jam istirahat tiba. Bomi sering seperti itu, masuk sekolah saat jam istirahat dimulai. Aku tak bisa memarahinya, “Aku sudah mendapat ijin dari sekolah.” Tuturnya. Tetapi saat ini, hingga lima menit sebelum bel masuk berbunyi, meja itu masih tak berpenghuni. Aku merindukan saat-saat dimana Bomi mengayunkan kakinya di kursi itu. Tidur telungkup sambil menutupi wajahnya dengan buku, atau saat ia menendang meja saat hasil ulangannya jelek. Demi apa, aku sangat merindukannya.
Ponselku bergetar didalam saku. Mengesampingkan khayalanku tentang Bomi, aku mengambil benda itu. Membaca sebuah pesan yang tertuju padaku.
Dari : Bomi
Datanglah kerumahku
Because I was so surprised,
I couldn’t speak. I was holding on to
my trembling heart. Are you
struggling a lot? Where are you? Before
I could even ask, tears fell down. Just
by hearing the sound of your breath
Mataku membulat. Tanpa basa-basi aku langsung berlari keluar. Ku raih tasku dan berlari keluar kelas. Aku tak peduli puluhan pasang mata yang mengarah padaku. Setidaknya sekarang aku berlari, benar-benar berlari.
Jarak rumah Bomi sekitar 2 kilometer dari sekolah. Aku tidak tahu, saat itu aku hanya ingin berlari padahal di setiap halte bus yang ku lewati selalu ada bus yang kosong dan menunggu. Aku tak peduli, aku hanya berlari. Hingga pagar rumah Bomi tertangkap oleh indraku. Langkahku terhenti, mengatur nafasku yang putus-putus. Aku melangkah kecil mendekati rumah Bomi yang bercat hitam putih, warna kesukaannya. Biasanya saat aku kerumah gadis itu, entah untuk belajar kelompok atau mengambil tasku yang tertinggal aku pasti tersenyum. Entah apa, bertemu dengan Bomi selalu menarik sudut bibirku untuk mencekung.
Tetapi sekarang aneh. Aku tak ingin tersenyum sama sekali. Rasa gembira ku serasa meluap seperti amarahku yang meluap saat Bomi tersenyum ke arahku. Aku tidak ingin melakukan apa-apa, aku hanya merasa aku ingin menagis. Itu saja. Saat aku mulai menginjakkan kaki di pelataran rumahnya yang cukup luas, jeritan tangisan mulai menyapa indra dengarku. Rumahnya tampak ramai. Dan tidak kusangka aku mulai berlari. Saat aku memasuki ruang tamunya, beberapa orang paruh baya memelukku. Mereka menangis di pelukanku tanpa memperdulikan ekspresi bingung yang jelas tergambar di parasku. Mereka terus menangis hingga Ibu Bomi meraih tangaku. Ia sesenggukan. Menarikku menuju ruangan yang lebih dalam.
Ia melepas tanganku saat aku tiba disebuah ruangan yang hanya ada gambar Bomi ditengahnya. Di kelilingi rangkaian bunga dan beberapa teko kecil bertengger di meja. Di samping seragam sekolahnya, beberapa tampak menunduk untuk memberikan penghormatan terakhir. Tidak, ini hanya mimpi kan?. Aku mencoba memukul wajahku hingga aku merasa lututku lemas. Tulang yang ada didalamnya serasa lumpuh. Apa aku baru saja menumpahkan raksa diatasnya saat praktek kimia tadi pagi? Aku menjerit. Lalu air mata yang entah dari mana, mengalir deras membasahi pipiku. Bibi Yoon –ibu Bomi, mendekapku dengan kedua tangannya. Tangisnya pecah lagi. Melihatku yang meronta-ronta, tangisnya semakin menjadi. “Sudahlah nak. Ini adalah keputusan-Nya.” Aku tak bisa mencerna kata-kata yang terlontar padaku. Benar, sekarang keinginanku untuk menangis telah terkabulkan. Saat itu aku hanya ingin menagis dan menangis.
Ibu Bomi mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Lalu ia merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan sebuah kertas. Disodorkannya lembaran itu padaku.
Untuk Hwang Minhyun yang selalu menemaniku
Bagaimana kabarmu? Mungkin ini sudah 20 jam sejak kita bertemu kemarin. Aku benci mengatakannya, tetapi aku sangat merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku tidak tahu, saat aku bernafas itu terlalu berat. Aku rasa aku merindukan Ayahku saat itu. Namun saat aku berada didekatmu, aku merasa ringan. Sama seperti saat kita berada di tepi sungai Han. Aku merasa deru nafasmu seperti deru nafas Ayahku. Dan aku sangat merindukannya.
Aku tahu mungkin ini terasa tidak adil di salah satu pihak. Namun aku sudah bahagia. Sekarang aku bisa menghirup aroma Ayahku kembali. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat sangat bahagia.Boleh aku berterima kasih pada kanker yang bersandar di paru-paruku sejak 5 tahun ini?
Minhyun-a, kau akan menemui seseorang sepertiku suatu hari nanti. Menikahlah dengannya. Biarlah ia menghirup nafasmu sepuasnya. Kau harus bahagia. Dan sekarang aku ingin mendengar deru nafasmu barang sekali. Suatu hari nanti tanggal ini akan menjadi hari bahagiamu.
Kisah kita berakhir disini 11 Agustus 2014
Seoul, 11 Agustus 2023
Air mataku pecah lagi saat aku membaca tempelan kertas di buku kumal itu. Ya, itu memang tulisan terakhir Bomi untukku. Aku sengaja menempelkannya di buku itu. Berjaga-jaga saat aku merindukannya. Saat aku membacanya, aku selalu menghirup nafas lebih banyak. Aku hanya merasa ingin menyalurkan sebagian nafasku untuknya. Dan setelah aku membacanya, air mataku pecah dan bulirnya membasahi lembaran itu.
Pintu tebal itu berderit, menampakkan sosok lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Ia Hwang Min-Seok –ayahku. Ia mengenakan jas resmi dengan setangkai bunga di saku kiri jasnya. Ia tersenyum padaku. “Sudah siap?” Aku menyambut uluran tangannya. Buku kumal itu sudah aku tutup dan menyimpannya di bawah kasur tidurku. Sambilberpegangan tangan, kami melempar senyum.
Saat kami keluar dari kamar, beberapa orang menyambutku. Mereka menyalamiku dan memberikan sepatah dua patah kata sebagai ungkapan selamat padaku. Lalu, Ayah menggiringku ke halaman rumah. Disana mobil ferari merah telah dihiasi dengan se-buket bunga yang sering ku sebut Babys breath. Aku menarik nafas dalam. Aku berjalan menuju mobil itu. Memasukinya dan merasakan aroma mobil yang mulai menyapaku singkat.
Mobil mulai berderu meninggalkan halaman. Beberapa orang riuh melambaikan tangannya kearahku, aku hanya menatapnya sekilas. Aku mengambil ponselku. Menuliskan beberpa kalimat di aplikasi Note yang ada di benda kecil itu.
Hari ini 11 Agustus 2023. Tepat 9 tahun setelah hari itu, aku telah mengubah hari berduka menjadi hari bahagia untukku. Meski terlambat satu tahun, Aku telah menikah di usia 28 tahun.
Dan aku telah mewujudkan keinginanmu Yoon Bomi
.
.
Aku menunggu di depan altar. Mengawasi pintu di ujung gereja agar segera terbuka. Kakiku bergetar sebelum akhirnya Ayahku menenangkanku dengan kata penyejuknya. Hingga pintu gereja berderit terbuka. Musik khas pernikahan mulai mengalun disetiap ruang dengar hadirin di ruangan ini. Disana seorang gadis ditemani lelaki paruh baya berjalan anggun menuju ke arahku. Dia Yoon Bona, saudara jauh Bomi. Kami tak sengaja bertemu di Universitas. Bona dan aku berada di kelas dan jurusan yang sama –Jurusan Ekonomi. Saat itu aku merasa ia sangat mirip dengan Bomi. Dari cara ia bicara dan melakukan aktifitas, sangat mirip dengan Bomi yang ku kenal. Saat aku mengetahui namanya, aku kira ia adalah saudara kembar Bomi. Dan saat kami kencan untuk pertama kali, aku baru mengetahui bahwa ia adalah saudara jauh Bomi. Adik dari ibu Bomi pindah ke Jepang dan mempunyai satu anak yaitu Bona. Saat Bona berusia 22 tahun, ia pindah ke Korea dan berkuliah di Universitas yang sama denganku.
Awalnya aku mendekatinya karena aku merasa ia sangat mirip dengan Bomi. Bahkan saat kencan pertama kami, aku masih menganggap bahwa ia adalah sosok Bomi yang berada pada tubuh orang lain. Namun setelah berjalannya waktu, kami sudah berpacaran selama tiga tahun. Aku mulai menyadari, Bomi memang serpihan masa laluku. Tetapi Bona, Yoon Bona adalah masa depanku. Aku akan memberikan seluruh nafasku untuknya.
Di tanggal dan hari yang sama aku telah berduka sekaligus bahagia..
When tears fall, even my smallest
cherished memories don’t know what
to do. Because it hurt so much,
we promised to let each other go
But whenever I’m not sure I can do it,
please let me hear
at least your breath