CHAPTER 1 : Oneshoot
“If we meet again, then it must be fate.” – Collin, A Gentleman’s Dignity
Klik.
Tidak cukup bagus untuknya. Ia memfokuskan lensa pada daun – daun yang menguning sekali lagi, kali ini dari sudut lain. Angin berhembus pelan di sekitarnya-menambah sendu atmosfer di sekelilingnya. Suasana khas akhir musim gugur yang sangat dirindukannya.
Ia sangat menyukai musim gugur, lebih dari apapun di dunia ini. Baginya tak ada hal yang lebih indah dibanding langit senja musim gugur. Kadang terlintas di benaknya untuk menjadi bagian dari musim gugur yang kekal. Bahkan bila harus menjadi partikel terkecil dalam musim itu, seandainya Ia bisa akan Ia lakukan.
Puncak kebahagiaannya adalah mengabadikan berbagai perhiasan langit senjakala dalam lensa panjangnya. Sejujurnya, Ia bukan penikmat malam. Ia tidak satu suara dengan opini publik tentang keindahan malam. Baginya, langit oranye dengan semburat merah di atas sana jauh lebih mudah untuk dicintai.
Klik.
Ia tersenyum kecil beberapa saat setelah berhasil menangkap moment itu. Salah satu daun yang berwarna kecokelatan berhenti di udara dengan blur di sekitarnya. Sebenarnya, Ia belum menjadi seorang yang profesional dalam bidang yang disukainya ini namun Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk hobinya.
Fotografi adalah nyawa keduanya. Kamera sudah terdaftar menjadi bagian dari tubuhnya. Hidupnya bukan lagi ruang hampa semenjak menemukan dunia itu.
Ia masih sibuk mencari spot yang menarik ketika langit oranye yang memantulkan seberkas cahaya ke kulit putihnya memudar dan menggelapkan warnanya. Sinar yang terpancar dari mahakarya Tuhan yang paling nyata itu lenyap perlahan digantikan oleh kemilau langit waktu transisi. Belum benar – benar gelap namun sudah tidak terlalu terang.
Langit senja yang dicintainya mulai meninggalkannya. Seperti hari – hari yang telah lalu, Ia pergi dalam sekejap bahkan sebelum para pecintanya sempat mengucapkan kata perpisahan.
*****
Kedai kopi Hongdae menjadi pilihannya untuk bersantai sejenak seraya memerhatikan hasil gambar di kameranya. Ia memerhatikan kelemahan hasil foto yang paling memuaskan untuknya kemudian membaca tutorial melalui tab agar kekurangan itu dapat diperbaiki.
Sesudah menangkap isi tutorial itu, Ia kembali membidik objek melalui kameranya. Dari balik jendela yang membatasi kedai dengan pemandangan luar malam, Ia mengambil potret beberapa gadis yang sedang berdiri di dekat halte. Ia berdecak kecil karena hasil foto itu belum juga sesuai harapannya.
Kemudian Ia memilih sudut lain agar aktivitas gadis - gadis itu jelas terlihat. Mereka sepertinya menunggu bis, namun ketika bis datang tidak ada satupun yang beranjak.
Ia menggeser posisinya perlahan untuk mencari sudut terbaik sebelum para gadis itu benar – benar beranjak. Postur tubuh mereka dari belakang terlihat sangat menarik ditambah kerlipan lampu jalan. Mengambil foto secara diam – diam baginya selalu lebih menantang daripada terang – terangan.
Klik.
Tepat setelah berhasil mengabadikan postur belakang para gadis itu, satu persatu dari mereka berjalan menjauh dari halte. Ia menghembuskan nafas lega karena semua belum terlambat. Seandainya Ia tidak lebih cepat sedikit, mungkin sulit mendapatkan pemandangan seindah tadi.
Ia menyesap Frape Chocomint kesukaannya seraya menggeser foto pertama ke foto kedua. Ia ingin membandingkan, meski Ia tahu masih jauh dari kata bagus. Pengakuan itu sangat sulit diucapkan hatinya walau progress besar sangat terlihat. Ia memerhatikan sudut, fokus, perubahan aktivitas gadis – gadis itu, dan objek – objek di sekitar mereka. Iapun memerhatikan detail lain berdasarkan tutorial yang dibacanya beberapa menit lalu.
Bola matanya terpaku pada satu titik. Ia memperbesar gambar empat kali-memastikan penglihatannya tidak salah. Ada seorang gadis di luar beberapa gadis yang menjadi fokusnya tadi. Ia berdiri agak jauh dari mereka. Posisi berdirinya menyamping dan sedang menjulurkan leher ke arah datangnya bis.
Benarkah Ia manusia? Atau peri musim dingin yang datang terlalu cepat?
“Lee Jonghyun.”
Ia mendongak sekilas lalu menyeringai. Lelaki yang memakai kaos hitam itu menarik kursi di depannya. Jonghyun menghiraukan kehadiran lelaki di hadapannya dan lebih memilih fokus pada foto – foto di kameranya.
“Jong-“
“Hyeong.” Sela Jonghyun.”Aku sangat mencintai fotografi. Biarkan aku memilih jalanku sendiri kali ini. Jebalyo.”
Lelaki yang tidak kalah tampan dengan adiknya itu menarik nafas berat sebelum buka suara.
“Aku tidak datang untuk melarangmu,” Sanggahnya diikuti keterkejutan yang terpancar jelas di wajah Jonghyun,”Tapi aku khawatir obsesimu terhadap senja dan musim gugur melebihi kadar kewarasan.” Lanjutnya.
“Aku tidak mengerti.” Jonghyun menutup lensa sebelum meletakkan kameranya. Ia mengalihkan pandangan ke luar. Suasana malam. Pemandangan yang dicintai begitu banyak orang tapi tidak dengan dirinya.
“Aku mengetahui semuanya. Sejak kecil kita tumbuh bersama – sama, jangan kau pikir aku tidak tahu jalan pikiranmu.” Ia mengikuti arah pandang Jonghyun-ke sekitar halte.
“Jongki Hyeong.” Jonghyun memotong. Ia menatap lurus ke bola mata kakaknya-terkesan mengancam.”Aku tidak mengalami gangguan kejiwaan. Selama hal yang kusukai masih dalam batas kewajaran kumohon jangan halangi aku untuk tetap mencintai hal – hal yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.”
“Bagaimana jika aku benar – benar tidak menyukai apa yang kau lakukan selama ini?” Jongki melipat tangannya di depan dada. Ia tak gentar sedikitpun meski tahu adiknya dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Sejak dulu, ibunya sering dipanggil ke sekolah karena Jonghyun selalu berbuat onar demi meraih keinginannya.
Karena Ia tahu semakin Ia takut maka adiknya akan semakin berani. Awalnya Jongki sangat cemas akan perilaku Jonghyun. Namun, Jonghyun tidak pernah jera sama sekali-Ia justru semakin berulah. Semakin dewasa, Jongki menyadari bahwa Ia harus menggunakan cara lain-seolah tidak peduli padanya serta mengajaknya bicara. Seperti mereka sedang mengalami masa yang sama lalu mengutarakan pendapatnya tanpa terkesan memaksa bila Jonghyun bersikukuh.
Di sisi lain, Jonghyun tahu kakaknya tak pernah berubah. Kakaknya tetap anak penurut yang selalu dibanggakan orang tua mereka dengan berbagai prestasi yang membuntutinya kemanapun kaki Jongki melangkah. Ia tidak bisa menerka apa yang kakaknya rencanakan, namun mereka terlalu mengenal baik satu sama lain.
Sebelah alis Jonghyun terangkat,”Apa yang akan kau lakukan, Hyeong?”
“Aku bisa menghentikan semuanya.” Tegas Jongki dengan rahang mengeras. Andai pandangan bisa membunuh, Jonghyun pasti sudah mati sekarang.
Tapi jangan sebut Ia Jonghyun jika gertakan semacam itu cukup untuk mengurungkan niatnya.
Jonghyun berdiri kemudian meneguk habis minumannya. Ia merapatkan coat hitam yang kontras dengan warna kulitnya kemudian melempar tatapan intimidasi pada kakaknya.
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Aku tak akan menjadi penghalang bagimu. Bukankah kau juga seharusnya melakukan hal yang sama?” Jonghyun menambatkan tali tas kameranya ke pundak lalu berjalan cepat menuju pintu. Bunyi gemericing lonceng terdengar cukup nyaring mengiringi kepergian Jonghyun. Jongki tersenyum kecil.
*****
Beberapa siswa mengerumuni meja salah seorang diantara mereka ketika jam istirahat. Mereka berbisik – bisik sembari melirik ke kursi pojok paling belakang. Kursi yang hampir setiap hari kosong. Kursi yang terasa janggal jika ditempati karena pemiliknya seperti sudah meninggalkan sekolah.
Kini kursi itu kembali ditempati setelah sekian lama kosong. Pemiliknya sedang menundukkan kepala di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja. Tidak ada tugas yang Ia kerjakan hari ini. Ia datang hanya untuk formalitas bahwa Ia masih menjadi murid sekolah ini.
Jonghyun membuka matanya yang masih berat. Ia meregangkan ototnya sebelum mendapati beberapa siswa sedang mencuri pandang ke arahnya. Ia sama sekali tidak memikirkan tatapan sinis teman – teman sekelasnya. Ia sungguh tidak peduli pada apapun di dunia ini selain musim gugur dan senja.
Ia tidak risi dengan murid – murid lainnya tapi Ia memang ingin keluar dari kelas. Ia menyangkutkan tali tas kamera di pundaknya lalu melangkah menjauh dari tatapan menuduh siswa – siswa di meja depan.
Seseorang yang berada di belakangnya menarik tali tas kameranya dengan gesit sambil setengah berlari. Jonghyun terkejut beberapa detik kemudian berlari mengejarnya. Saat jarak mereka semakin dekat, Ia mempercepat kakinya untuk berlari sampai jas almamater orang itu dicengkeram oleh Jonghyun. Lelaki yang dikejarnya hampir terjatuh karena harus berhenti di tengah kecepatannya berlari namun sebelum itu terjadi, Jonghyun sudah menggiring tubuh lelaki itu ke dinding. Suara benturan cukup keras membelah koridor siang itu.
“YA! Park Minhyun!” Jonghyun terperangah melihat lelaki berambut cokelat terang itu tertawa jahil. Jonghyun melepaskan cengkeraman eratnya dari jas Minhyun. Minhyun-satu – satunya siswa di sekolah yang mau berteman dengannya. Jonghyun hanya dapat berbagi dengannya sebab mereka punya banyak kemiripan.
“Kau pasti sudah berhasil.” Minhyun membuka tas kamera Jonghyun. Jonghyun memutar bola matanya sekilas. Sebelum kamera itu mendarat di tangan Minhyun, Jonghyun sudah lebih dulu mengambilnya.
“Aku tidak yakin ini cukup bagus.” Jonghyun memperlihatkan satu persatu hasil bidikannya pada Minhyun. Minhyun mempersempit jarak diantara mereka sembari mengamati progress dari foto pertama sampai foto terakhir. Bagi Jonghyun, Minhyun adalah seniornya di bidang fotografi meski mereka seumur.
“Kau masih belum mengizinkanku memegang kameramu, huh?” Minhyun menyipitkan matanya curiga.”Jika kita seperti ini, semua orang akan mengira kau dan aku gay.” Minhyun mengangkat kedua tangannya ke udara-mencoba menggapai kamera.
“Shikkereo.” Jonghyun menjauhkan kamera dari jangkauan Minhyun.
Minhyun memutar bola matanya malas,“Bagaimana aku bisa menemukan kekurangan gambarmu bila tak melihatnya secara detail?”
“Akan kuberikan memorinya,” Jonghyun menekan tombol power off kemudian menutup lensanya. Ia merapikan kembali kameranya ke dalam tas saat menyadari sesuatu,”Apa itu artinya gambar – gambarku sudah cukup bagus sampai kau harus melihatnya dengan detail?”
Pengakuan tersulit kedua datang dari seniornya dalam fotografi yang satu ini.
“Aku tidak bilang begitu tapi akan kulihat dulu.” Minhyun berjalan sambil lalu. Jonghyun tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya.
Baru lima langkah Minhyun berjalan lunglai, Ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik.“Lain kali aku tak akan membantumu jika kau tidak pernah masuk kelas.”
“Kau tahu aku tidak pandai dalam pelajaran formal.” Elak Jonghyun sembari mendekat. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya lalu merangkul Minhyun secara tiba – tiba.
“YA! LEE JONGHYUN! SUDAH WAKTUNYA MASUK KELAS!”
*****
Jonghyun menyandarkan punggungnya pada kursi di kedai kopi Hongdae. Kebetulan atau keajaiban-entahlah, Ia mendapatkan tempat persis seperti minggu lalu. Mungkin Tuhan mengizinkannya untuk mengambil beberapa moment lagi. Ia berjanji jika menemukan moment yang tepat lagi, Ia tak akan hanya mengambilnya dari balik jendela kedai.
Bagaimana bisa Jongki menemukannya disini minggu lalu? Apa sekarang Ia punya mata – mata untuk Jonghyun? Jongki sangat sibuk dengan baru dibukanya usaha café di Myeongdong. Kadangkala kakaknya itu memang sulit dibaca. Mungkin mereka terlalu mirip, rumit namun sederhana di saat yang sama.
Atau Ia memantau Jonghyun lewat kepala asrama? Atau… Park Minhyun?
Orang tuanya berpikir di sekolah ternama dan bagus ini, Jonghyun tidak akan melanjutkan cita – citanya untuk menjadi fotografer. Orang tuanya ingin Ia menjadi seperti kakaknya yang seorang pengusaha.
Jonghyun mengacak rambutnya frustasi. Di tengah pikiran yang bercampur aduk itu, Ia memutuskan untuk memesan satu Americano. Iapun meninggalkan tempatnya kemudian melangkah ke konter. Jika posisi duduknya tadi ditempati orang lain, Ia akan pergi mencari tempat lain untuk memburu foto.
Sesudah menerima pesanan, Ia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Kedai ini semakin ramai. Tampaknya Ia sudah terlalu lama tidak melihat kalender sehingga lupa hari ini adalah Sabtu. Tempat duduk favoritnya sudah ditempati sepasang kekasih. Jonghyun menghela nafas ringan.
Kakinya sedang melangkah menuju pintu saat matanya terkunci pada satu fokus. Seorang gadis yang ada di hadapannya sungguh mengingatkannya pada cerita dongeng. Sejak dulu, Ia tak pernah percaya pada dongeng karena menurutnya dongeng hanya membangun khayalan – khayalan yang tidak logis.
Namun, sosok gadis di hadapannya ini benar – benar membuatnya percaya.
Gadis itu datang dari arah berlawanan dan sedang berjalan lurus menuju konter. Cara berjalannya sangat anggun untuk ukuran seorang gadis. Ia memakai heels tipis berwarna hitam dan coat cappucino beserta celana denim. Ketika mereka berpapasan, Jonghyun merasakan hembusan angin di sekitarnya serta merta wangi parfum magnolia memasuki indera penciumannya. Gadis itu sepertinya sedang agak terburu – buru. Mungkin Ia kedinginan karena suhu Seoul yang turun drastis.
Bukankah Ia gadis yang ditangkap kamera Jonghyun?
Jonghyun membalikkan tubuhnya perlahan untuk memastikan kebenaran asumsinya. Postur tubuh gadis itu dari belakang benar – benar mirip dengan gadis di foto terakhirnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar-mencoba menemukan tempat duduk kosong. Ada satu tempat terakhir di dekat konter yang baru ditinggalkan pengunjung.
Jonghyun berjalan cepat kemudian menarik kursi di dekatnya. Ia membuka kembali foto gadis – gadis yang berdiri di dekat halte lalu memperbesar gambarnya. Ia menggesernya ke kanan sampai menemukan gadis yang berdiri menyamping. Manik mata Jonghyun berkelebat membandingkan antara kenyataan dan foto. Gadis itu sudah mendapatkan Green Tea Latte-nya kemudian mengesampingkan tubuhnya sedikit.
Tepat sekali.
“Hyera-ya!”
Mata Jonghyun belum bisa lepas dari sosok yang seperti peri itu ketika sebuah suara lembut menginterupsi pemandangan di hadapannya. Seorang gadis lain dengan rambut pendek berwarna merah menghampirinya. Peri bernama Hyera itu tersenyum tipis-melelehkan butiran salju yang seharusnya mengelilinginya.
Gadis itu mengambil salah satu kopi yang berada di genggaman tangan Hyera. Jonghyun bahkan tak sadar Ia memegang dua gelas kopi karena terlalu fokus pada sosok yang memegangnya. Mereka berjalan beriringan keluar-meninggalkan Jonghyun bersamaan dengan tenggelamnya matahari sore ini.
*****
Jonghyun terlalu keras kepala dan ambisius namun hal itulah yang membuatnya berkeliaran di sekitar Hongdae malam ini. Pasangan – pasangan bertaburan di sekelilingnya. Tapi Ia tetap acuh-sama sekali tidak tertarik pada pemandangan yang sangat biasa.
Besok diperkirakan akan menjadi hari pertama turun salju. Artinya hari ini adalah hari terakhir di musim gugur dan senja tadi adalah senja terakhir musim gugur. Ia harus menunggu setahun lagi untuk bertemu musim cinta itu. Setelah lulus nanti, Ia bertekad mengelilingi dunia untuk memburu musim gugur. Ia hanya ingin terus menerus merasakan kehangatan musim itu.
Jonghyun berhenti di depan salah satu restoran Jepang ketika gadis itu-Hyera-membukakan pintu untuk temannya. Ia menimbang – nimbang, jika Ia masuk ke dalam dan mengikuti Hyera akan sangat terlihat jelas Ia membuntutinya bahkan Ia bisa dianggap maniak. Namun, mungkin saja di dalam sana Hyera akan terlihat jauh lebih menawan dengan efek cahaya yang temaram.
Atau Ia bisa dilaporkan ke polisi karena Hyera merasa tidak nyaman dan nyawanya seperti terancam.
Jonghyun menggelengkan kepalanya perlahan. Ia memutuskan untuk mengikuti kedua gadis itu masuk ke dalam saat teman Hyera tiba – tiba berlari ke pintu. Jonghyun berbalik arah, Ia mencari kedai kopi lain untuk disinggahi. Meski Ia harus membeli kopi lagi, rasanya jauh lebih baik daripada harus dilaporkan ke polisi.
“TAXI!”
Suara itu bergema jelas di telinganya. Jonghyun tidak lengah, Ia tetap berjalan dengan derap lebih cepat. Mungkin itu hanya caranya memancing Jonghyun kembali. Ia tidak boleh tertipu. Seandainya gadis itu memang memanggil taksi, Ia akan melihatnya pergi dengan taksi itu dari kejauhan.
Setelah dua menit Jonghyun berjalan, Ia tidak mendengar apapun lagi dari belakang. Apakah sekarang polisi sudah ada di belakangnya?
Jonghyun membalikkan tubuhnya ragu. Ia menundukkan kepalanya dalam – dalam sembari dirutuki oleh pejalan kaki lainnya yang sedang sibuk dan menabrak pundaknya berkali – kali. Ia mengangkat wajahnya dengan cemas dan… tidak ada apapun. Teman Hyera sudah pergi.
Hyera secara mengejutkan keluar dari restoran. Apakah tempat duduknya sudah penuh? Entahlah. Tapi kelihatannya Ia belum makan.
Gadis itu kemudian menghampiri halte bis. Ia memakai coat cokelat dan celana hitam. Boot selutut yang dipakainya tampak hanya dibuat untuknya seorang. Ia sedang merogoh tas kecil yang disampirkan di bahu kirinya.
Klik.
Jonghyun tidak pernah lupa untuk mengabadikan moment itu. Ia menggunakan intuisinya untuk mendapatkan hasil terbaik. Hyera benar – benar mengagumkan.
Klik. Klik. Klik.
Dan ingatkan Jonghyun untuk tetap menginjak bumi selama membidik gambar Hyera. Sampai bis datang, Jonghyun akan tetap mengambil potret peri musim dingin itu.
*****
Jonghyun berencana datang ke Hongdae besok bersama Minhyun. Ia tak akan mengenalkan Minhyun pada Hyera namun menunjukkan langsung hasil foto Hyera yang akan diambil diam – diam. Minhyun harus menunggu di kedai sedang Ia memburu gadis itu kemanapun Ia pergi.
Karena tak akan ada namja yang tidak jatuh cinta padanya.
Jonghyun mendesah setelah melirik jam dinding. Pelajaran fisika yang paling dibencinya belum kunjung usai meski waktunya sudah habis sepuluh menit lalu. Entah gurunya terlalu asyik membahas soal atau memang Ia lupa waktu-Jonghyun tidak peduli. Yang memenuhi benaknya saat ini adalah pergi ke balkon kemudian membidik pemandangan dari ketinggian. Pemandangan yang diselimuti warna putih.
Itulah mengapa Ia tidak terlalu menyambut baik musim salju. Karena sesungguhnya tak ada apapun yang dapat kau lihat selain warna putih.
Ketua kelas memberi aba – aba untuk memberi hormat pada guru yang akan segera meninggalkan kelas. Jonghyun membungkuk bersama siswa lainnya dan menjadi orang kedua setelah guru yang menjejakkan kaki keluar.
“Jonghyun-a!” Suara Minhyun mengusik pendengaran Jonghyun. Minhyun berlari dari belakang Jonghyun sembari mencoba menggapai pundak sahabatnya. Ia menepuk pundak Jonghyun dua kali.”Kemampuanmu meningkat tajam, huh? Kau sudah mempelajari tekniknya?”
Jonghyun melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti disusul Minhyun yang dapat dengan segera menyamakan kakinya dengan Jonghyun.
“Jinjja? Aku membaca beberapa artikel berisi tutorial di internet. Kukira hasilnya tidak sebaik itu.” Jonghyun terkekeh.
“Ah, aku akui kali ini progress-mu meningkat pesat. Memang akan lebih baik jika kau juga mencari sendiri teknik – tekniknya. Aku juga ingin merekomendasikan beberapa blog bagus, kemarin aku baru membacanya.” Minhyun mengangkat Ipad-nya lalu mengetikkan alamat situs yang dituju.”Jangan tergantung denganku, di luar sana banyak orang yang jauh lebih profesional daripada aku.”
Jonghyun membuang wajah seraya melempar tatapan membunuhnya ke arah lain,“Tapi orang tuaku percaya kau tidak akan mengajariku fotografi.” Bantahnya diikuti oleh tawa renyah Minhyun.
“Ige.” Minhyun mengenengahkan Ipad-nya dan menunjukkan beberapa bagian yang perlu digarisbawahi dalam blog itu.
*****
Jonghyun mengatur lensa sesuai dengan tutorial yang dipelajarinya beberapa menit lalu. Ia sudah berhasil membidik empat gambar butiran salju tipis yang sedang turun tapi masih belum merasa puas. Ia mengubah arah kameranya-menggesernya ke kiri sedikit demi sedikit.
Sepersekian detik berlalu. Ia menurunkan kameranya beberapa saat-terlihat berpikir keras-kemudian mengangkatnya kembali. Ia melihat seorang gadis di balkon gedung seberang. Gadis yang merasa sangat damai dalam putihnya salju. Ia memejamkan kedua matanya dan membiarkan salju mencair di rambut dan seluruh tubuhnya.
Jonghyun memperbesar gambar-berusaha memperjelas wajah gadis itu-lalu terkesiap. Gadis itu… Si peri musim dingin, Hyera. Ia berada di balkon seberang yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan balkon gedung ini.
Apakah ini yang disebut takdir? Mereka berada di sekolah yang sama selama dua tahun tapi tidak pernah saling mengenal. Mereka hanya orang asing. Namun, ketika mereka telah dipertemukan, berulang kali mereka terjebak dalam situasi yang sama.
Atau itu hanya perasaannya saja?
Klik.
Jonghyun percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi telah diatur. Hanya saja dalam kasus ini, Ia meragukan apakah ini dinamakan takdir atau keajaiban.
Klik.
Mengapa gadis ini begitu bagus dalam segala sudut? Mengapa wajahnya sangat sempurna dengan double eyelid, bibir tipis, dan rambut cokelat gelap dengan sedikit ikal menggantung di ujungnya?
Gadis itu membuka matanya bersamaan dengan Jonghyun yang baru saja menurunkan kameranya. Kebingungan terpatri jelas di wajah Hyera. Mereka sama – sama bersandar pada dinding balkon dan berdiri berhadapan satu sama lain. Tanpa kata. Tanpa suara.
Di satu sisi, Jonghyun sedang mencari kekurangan gambar Hyera pada dua foto terakhir. Selama beberapa menit, kesunyian menyusup memasuki celah antara mereka. Jonghyun sibuk mengamati dan meneliti foto sedangkan Hyera memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Jonghyun.
Jonghyun baru akan mengangkat kameranya lagi ketika mata mereka bertemu. Kedua tangannya yang sedang memegang kamera dengan erat terhenti di ruang hampa. Tak ada yang berhasil mengerjapkan mata selama mereka bertatapan lurus.
Jonghyun dapat melihat kejernihan mata Hyera yang mengisyaratkan betapa murninya hati gadis itu. Hyera, di sisi lain, melihat ketulusan di mata lelaki asing di hadapannya. Ia mencoba menemukan kebohongan dari sorot matanya yang tajam, namun Ia justru semakin terperangkap di dalamnya.
Lelaki itu hanya nampak keras di luar. Jauh di dalam sana, Ia tidak sekuat tampilan luarnya. Penampilan berandalnya hanya kedok untuk menciptakan kesan bahwa Ia bukan orang baik sehingga semua orang segan dan urung berteman dengannya.
Bagaimana bisa Hyera membaca seseorang secepat itu?
Hyera menggelengkan kepala. Ia menegakkan kembali posisi berdirinya seperti semula lalu beralih pada kamera di tangan Jonghyun. Ia menatap Jonghyun tak mengerti-menuntut penjelasan. Jonghyun agak kesulitan memahami maksud Hyera pada awalnya, namun Ia dapat segera menguasai pikirannya. Ia menurunkan kameranya kemudian menekan tombol power off pada benda paling berharga baginya.
Sejujurnya, Jonghyun sangat ingin mengutarakan hal yang sebenarnya. Bahwa Ia sangat tertarik pada Hyera sejak awal. Bahwa Ia beberapa kali mengikuti gadis itu. Bahwa Ia sangat bahagia dengan fakta mereka bersekolah di tempat yang sama.
“Kau suka salju?” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Jonghyun setelah sekian lama. Hyera mengernyitkan dahi sekilas kemudian mengangguk pasti.
Dan semakin Ia memerhatikan peri musim dingin di hadapannya, Ia menyadari bahwa Ia semakin mulai memahami arti kedamaian.
“Banyak sekali orang yang menunggu musim ini datang,” Sambung Jonghyun. Ia menangkap kurva tipis yang dibentuk bibir tipis Hyera,”Kau juga salah satu dari mereka?”
Sudut – sudut bibirnya sekali lagi terangkat. Jika Ia seperti itu lebih lama lagi, Jonghyun yakin salju di sekitarnya akan lebih cepat mencair.
“Aku mengabadikannya.” Jonghyun mengangkat kameranya lalu menggoyangkannya perlahan. Hyera mengangguk kecil-mencerna kalimat terakhir Jonghyun.
Jonghyun semakin tertarik dengan Hyera. Mungkin pesonanya terlalu kuat sampai Ia tak kuasa menepisnya. Ia ingin berkomunikasi lebih jauh, mengetahui apa yang Hyera suka dan tidak, mengapa Ia menyukainya dan tidak, hal apa yang tidak disukainya, dan sebagainya. Ia ingin tahu segala hal luar tentang Hyera.
Detik demi detik berlalu namun berbagai pertanyaan masih bersarang di benaknya. Ia bertekad untuk membuat Hyera melantunkan suaranya.
“Apa yang kau sukai dari musim ini?” Jonghyun memasukkan kamera ke dalam tas kamera-nya.
Hyera berpikir sesaat. Kelembutan suaranya menyihir setiap orang untuk mendengarkan hati – hati seolah tidak ingin tertinggal satu katapun.
“Semuanya. Bukan berarti aku tidak menyukai musim lain, tapi salju yang jatuh menutupi permukaan bumi perlahan – lahan selalu mengingatkanku untuk tetap tenang dan tulus menerima segalanya.”
“Kedamaian?” Jonghyun melemparkan seringaian pada Hyera. Ia bukan tipe lelaki yang suka menebar smirk pada semua orang namun entah mengapa kepribadian Hyera membuatnya ingin membuka diri bahkan ketika mereka pertama kali saling bicara.
“Geurae. Seakan kau melupakan semua kejadian buruk yang terjadi selama setahun belakangan.” Hyera menerawang.”Salju akan menghapusnya. Dan setelah musim ini berlalu, kita akan membuka lembaran baru musim semi. Salju telah membawa pergi semua keluh kesah, kesedihan, amarah, dan semua hal buruk yang menimpamu. Mungkin termasuk hal yang ingin kau lupakan dan kubur dalam – dalam.” Tambahnya.
“Bagaimana dengan luka?” Jonghyun melipat kedua tangannya di dinding balkon dengan sedikit mencondongkan tubuhnya. Serta merta dinginnya salju menjalar ke seluruh syarafnya.
“Kalau luka itu sudah benar – benar sembuh, maka kau tidak merasakan apapun bila mengingat atau mengungkitnya lagi.” Jelas Hyera singkat.
Jonghyun menengadahkan tangannya dengan senyum tertahan di ujung bibir. Beberapa butir salju tipis jatuh di tangannya. Ia mendongak-mencoba menghitung seberapa banyak lagi salju akan turun. Dari balkon seberang, Hyera menilik setiap gestur Jonghyun. Ia seperti berusaha memahami arti hidup melalui hal – hal di sekitarnya, sekalipun abstrak. Ia mencoba menalar setiap kejadian yang Tuhan ciptakan dari sudut pandang manusia.
Salju akan menjadi saksi betapa kini Jonghyun menyukai kehadirannya. Betapa kini Ia akan menyambut sukacita kedatangannya. Karena sesungguhnya, Ia telah memaknai satu lagi peristiwa dengan sangat dalam.
Hyera adalah orang pertama yang membuatnya menyukai salju. Hyera adalah orang pertama yang membuatnya mulai menikmati suasana malam karena kemunculannya di pelupuk mata Jonghyun pertama kali di malam hari. Dan Hyera adalah orang yang membuatnya semakin dalam mencintai senja di musim gugur.
Setelah keheningan cukup lama yang mengisi kekosongan, Jonghyun mengambil alih dengan tersenyum kecil,“Namaku Lee Jonghyun. Tingkat tiga.”
Hyera bimbang sejenak. Namun, Ia segera mengusir kecemasannya seusai membalas tatapan Jonghyun yang melemah,“Namaku Kim Hyera. Tingkat tiga.”
Annyeong yeorobun! ^^ Aku newcomer disini salam kenal yaa *bow. Mohon bimbingannya yaa hehe :D ini salah satu oneshoot aku yang jujur aja awalnya aku gatau harus apain ini fanfic tapi kalo ngendap doang di laptop rasanya sia2 banget hehe jadi walaupun ini abstrak karena aku juga baru di dunia perff-an (?) aku post disini hehe jangan lupa komen :) ohya disini song joongki sebagai lee joongki, maaf lupa kasih keterangaan dan maaf kalo minim edit^^