How It Works?
Dreamland
>
Fan Fiction
Promise || Special Hangeng's Day {Part A}
Posted by KaptenJe | Kamis,13 Februari 2014 at 13:26
0
433
Status
:
Ongoing
Cast
:
Hangeng and Xiao Yi Rin
Promise || Special Hangeng's Day {Part A}

CHAPTER 1 : Promise {Part A}

===================================================================== 

 

“Yang kutahu, keberadaanmu… adalah kehidupanku. Saat kau tidak ada, maka aku juga akan tidak ada. Itu saja.”

 

***

 

            “Ini untukmu.”

 

            Han Geng melirik sedetik benda bulat berwarna merah berukuran sedang yang disodorkan seorang gadis kecil berusia sembilan tahun kepadanya, kemudian merengut sebal tanpa berniat menerima. “Aku tidak mau,” katanya, lalu berjalan menghentak meninggalkan si gadis kecil.

 

            “Kenapa tidak mau? Ini hadiah untukmu, tahu! Hei, Hidung Panjang!” Gadis kecil itu ikut berlari mengejar Han Geng yang sudah jauh, mensejajarkan langkahnya dengan napas yang masih terengah. “Katanya kau mau lampion saat tahun baru nanti, kenapa menolak lampion dariku? Lampion ini jelek, ya?”

 

            Langkah Han Geng berhenti dan menoleh ke kanan. Bocah laki-laki itu terlihat semakin kesal. Wajahnya tampak merah padam. “Bukan lampion seperti ini yang aku mau dan aku menginginkannya saat ulang tahunku nanti, bukan sekarang!”

 

            “Apa bedanya hari ini dan ulang tahunmu nanti, huh? Hanya beda beberapa hari ‘kan?”

 

            “Tentu saja berbeda, Kaki Pendek! Ah, sudahlah, dijelaskan berapa kali pun kau tidak akan mengerti!” geram Han Geng, kemudian berlari kencang, meninggalkan sahabat kecilnya yang melongo menatap punggungnya.

 

***

 

            Cicitan burung Parkit menemani ayunan kakinya. Ternyata angin musim semi berhasil membawanya kembali ke sini, membawa langkahnya menginjak kembali ranah yang dulu pernah menjadi segalanya baginya, membawa seluruh kenangan yang lama terendap seperti putri tidur dan membawa kembali bermilyar bayangan tentangnya.

 

            Ia tersenyum masam, menatap sekelilingnya dengan mata berkaca. Rasanya sudah lama sekali tidak menghirup udara seharum ini, merasakan sapuan angin yang melambaikan setiap helai rambutnya dan mengalirkan jutaan ketenangan penuh rindu.

 

            Ia menarik napas, memandang ke depan dengan perasaan berawan. Jalan setapak di depannya terlihat lebih sempit dan tidak terlalu panjang. Apa karena sekarang ia sudah dewasa jadi segala yang dulu dilihatnya dengan mata bocah berusia sembilan tahun menjadi berbeda? Atau karena sekarang ia sudah lebih tanggi sehingga rumput liar dan tanaman Dandelion di kanan-kiri jalan tidak lagi terlihat rimbun? Entah mana yang benar, karena sekarang yang ada di kepalanya hanyalah sosok itu.

 

            Langkahnya kembali diseret, menapaki setiap jengkal tanah berwarna merah yang berkerikil. Tas punggung yang dibawanya sesekali merosot dan membuatnya berulang kali membenarkannya, ditambah kacamata dengan lis hitam tipis yang bertengger di atas tulang hidungnya semakin menganggu ayunan kakinya.

 

            Ternyata banyak perubahan yang terjadi di kota ini selama ia pergi. Lahan persawahan yang dulu menjadi pemandangan setiap kali ia berangkat sekolah sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi nan megah, sungai kecil yang menjadi pusat irigasi di arah timur pun sudah dipugar menjadi mini market.

 

            Seulas senyum kembali dibentuknya. Dulu, bahkan berbelanja baju baru saja membutuhkan waktu berjam-jam karena letak pasar tradisional yang jauh di desa sebelah, tetapi sekarang semua berkebalikan. Ada sekelebat rasa tidak suka. Keadaan kota-nya sekarang telah mengubur semua tempat yang menyimpan berjuta kenangannya di masa kecil.

 

            “Hei, Huo Li, jangan lari!!”

 

            Lamunannya  mendadak buyar kala seorang anak laki-laki tiba-tiba saja menubruk kakinya dan bersembunyi di balik punggungnya sambil membawa permen kertas berwarna biru berukuran besar. Anak laki-laki bertubuh gempal itu mengkerut di belakangnya. Peluh becucuran di sekitar dahi dan kulit kepalanya yang licin tanpa rambut. Sementara di depannya, mendekat ibu-ibu bertubuh gemuk dengan rambut keriting yang terikat acak-acakan. Ibu itu membawa sapu di tangan kanannya dan sebuah tongkat pemukul di tangan kiri. Wajahnya tampak merah padam menahan marah.

 

            Mulai mengerti dengan keadaan di sekitarnya, ia beringsut dan berdiri lebih tegak, menyembunyikan tubuh gempal bocah kecil di belakangnya, lalu memasang wajah polos. Ibu dengan tongkat pemukul di depannya semakin mendekat, membuatnya mengembangkan senyum semakin lebar.

 

            “Apa kau melihat bocah laki-laki berlari ke arah sini?” Ia menggeleng ragu-ragu, karena ternyata tampang ibu-ibu itu cukup garang. “Tidak. Sepertinya anak itu lari ke—“ ucapannya terhenti saat melihat ekspresi ibu setengah baya di depannya yang kini menatapnya dengan kening berlipat dan mata menelisik tajam, memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia ikut mengernyit dan balik menatap wanita itu. Ada segelintir memori yang terasa tidak asing yang datang perlahan. “Maaf, apa ada yang salah de—“

 

            “Xiao Yi Rin?! Kau, Yi Rin, kan?”

 

***

 

            Lari Han Geng mendadak terhenti saat mendengar suara berdebum di belakangnya, disusul ringisan kecil kesakitan. Han Geng buru-buru berbalik, sedetik kemudian menarik napas lelah. “Ternyata kau benar-benar berkaki pendek. Baru lari sebentar saja sudah jatuh. Dasar Kaki Pendek!”

 

            Mendengar ocehan Han Geng, gadis kecil itu memberengut kesal. Wajahnya ditekuk dalam, dan tidak lama suara isakan terdengar. Han Geng yang melihatnya lantas mendekat, berlutut di hadapan sahabatnya itu sambil terkekeh kecil. “Selain berkaki pendek, ternyata kau juga cengeng!”

 

            Gadis kecil itu mendongak, matanya menyalang marah. “Terus saja mengataiku kaki pendek! Kau pikir aku jatuh karena siapa, hah?” serunya kesal. 

 

            “Kenapa marah padaku? Aku tidak menyuruhmu untuk berlari. Kau saja yang ingin mengejarku,” sahut Han Geng sambil mendengus. Mulut si gadis kecil terbuka, bersiap membalas perkataan Han Geng namun tidak jadi. Menahan kesal, gadis kecil itu berjingkat bangun, tetapi nyeri yang menghujam pergelangan kakinya membuatnya kehilangan keseimbangan dan limbung. Untung saja Han Geng sigap, dengan cepat menahan tubuhnya hingga tidak mencium tanah.

 

            “Selain berkaki pendek dan cengeng, kau juga pemarah. Dasar Anak Perempuan!”

 

            Si gadis kecil mendelik kesal. “Kau juga menyebalkan, sangat menyebalkan! Kau tahu aku tidak suka ditinggalkan, tapi kau malah meninggalkanku! Dasar Anak laki-laki!” Bukannya marah, Han Geng kecil malah terekeh pelan. Sebelah tangannya mengacak sayang rambut panjang sahabatnya.

 

            “Jangan mengacak rambutku, Hidung Panjang!” sergah gadis kecil itu sambil membuang muka. Han Geng lagi-lagi malah terkekeh. “Ayo, pulang. Ibuku sudah menyiapkan nasi goreng kesukaanmu. Kau pasti lapar setelah berlari jauh,” ucap Han Geng sedikit mengejek.

 

            “Kau pulang saja duluan. Aku tidak lapar!” sahut si gadis kecil tanpa mau menoleh, sekuat tenaga menekan dalam-dalam rasa lapar yang mendadak membuat cacing-cacing dalam perutnya berdemo heboh. Ia masih merasa kesal pada Han Geng, tetapi bocah laki-laki itu bahkan tidak ada niatan untuk meminta maaf. Lututnya berdarah ‘kan gara-gara bocah itu. Menyebalkan!

 

            Han Geng menarik napas lagi, kemudian berbalik dan berjongkok sambil memunggungi gadis kecil itu. “Ayo, naik ke punggungku. Kau pasti tidak bisa jalan dengan kaki pincang seperti itu, kan?” Bukannya menjawab, gadis kecil itu malah diam. Ada rona merah yang mendadak menghiasi pipinya yang tembam ketika menatap punggung Han Geng. Sahabatnya itu selalu mengerti dirinya, sekali pun ia sedang marah, Han Geng selalu bisa membuatnya kembali tenang. “Tidak mau sebelum kau meminta maaf,” kerasnya, dan kembali membuang muka. Sahabatnya itu memang keras kepala, Han Geng tahu benar itu, dan kalau ia membalasnya, pasti mereka bisa bertengkar hebat.

 

            Menarik napas lagi, Han Geng berbalik. Seulas senyum hangat lantas diurainya begitu melihat wajah sahabatnya yang memberengut kesal sambil melipat kedua tangan. Wajah gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Tanpa bisa dicegah, Han Geng mencubit pipi tembamnya kemudian tertawa keras. “Jangan cemberut begitu, Kaki Pendek, wajahmu jadi jelek!”

 

            “Kau! Dasar Hidung Panjang menyebalkan!” Dan tanpa disangka, si gadis kecil balas mencubit pipi tirus Han Geng. Bocah laki-laki itu sempat mengelak tetapi malah membuatnya tersungkur. Dan Melihatnya tersungkur, gadis kecil di depannya justru tertawa keras tanpa berniat membantu. Melihat tawa itu, Han Geng jadi ikut tertawa. Ia memang tidak pernah bisa marah pada gadis kecil itu, rasa sayangnya terlalu besar.

 

            “Baiklah, aku salah. Maafkan aku, Kaki Pendek,” Han Geng mengulurkan sebelah tangannya, namun gadis kecil di depannya malah menampiknya dan memutar tubuhnya. Dan tanpa diduga melompat naik ke punggungnya, menjerat lehernya untuk berpegangan. Han Geng nyaris saja jatuh kalau tidak cepat menjaga keseimbangan.

 

            “Aku akan memaafkanmu kalau kau menggendongku sampai rumah dan berjanji satu hal padaku,” celoteh gadis kecil itu, Han Geng yang masih kesulitan mengatur napas, hanya bisa mengangguk. “Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku sendirian lagi, bagaimana?”

 

            Han Geng mengangguk dua kali dan mulai berjalan. Senyum lembut terus terurai dari kedua sudut bibirnya, dan sesekali ia sengaja menjahili sahabatnya dengan berpura-pura kehilangan keseimbangan, hingga sahabatnya itu kembali mengencangkan pelukan di lehernya. “Bukan hal yang sulit. Kalau begitu, kau juga harus mau berjanji satu hal padaku, kau mau?”

 

            Gadis kecil itu mencondongkan wajahnya ke depan, hingga pipinya bersentuhan dengan pipi Han Geng. “Janji apa?”

 

            “Kelak, ada atau tidak adanya aku di sampingmu, berjanjilah kau akan tetap baik-baik saja, bagaimana?”

 

            Tanpa menunggu, gadis kecil itu langsung mengangguk tegas. “Iya, aku janji akan baik-baik saja, Hidung Panjang.”

 

***

 

            Benar jika ada yang mengatakan bahwa angin musim semi tidak selalu membawa kebahagiaan dalam hidup, kadang kala justru menjadi waktu yang paling menyakitkan. Bukan hanya karena menjadi waktu yang tepat untuk membuka kenangan lama, tetapi juga berita menyesakkan.   

 

            “Setelah lulus SMA, Han Geng bersikeras menyusulmu ke Korea dan berniat membawamu kembali ke sini. Tetapi, dalam perjalanan ia kecelakaan. Bis yang ditumpanginya bertabrakan dengan sebuah truk pengangkut botol minuman keras. Han Geng masih sempat dilarikan ke rumah sakit dan masuk ruang operasi. Tetapi, setelah operasi, Han Geng justru tidak sadarkan diri. Menurut dokter, ada penggumpalan darah di otaknya yang menyebabkan kinerja tubuhnya melemah. Hingga setelah sempat sadar satu kali, Han Geng tidak pernah lagi membuka mata sampai sekarang. Ia koma, dan itu sudah terjadi sejak lima tahun yang lalu.

 

            “Dokter sudah berulang kali mengatakan untuk mengikhlaskan Han Geng dan menghentikan semua peralatan medis untuknya, tetapi ibunya menolak. Mei Li bersikeras yakin bahwa Han Geng akan sadar walau tidak tahu kapan.”   

 

            Ia tidak tahu apakah saat ini paru-parunya masih bisa menerima pasokan oksigen atau tidak, masih bisa bernapas atau tidak, karena yang dirasanya saat ini, seluruh organ tubuhnya kebas. Mati rasa. Otaknya terasa lumpuh untuk mencerna setiap kalimat.

 

            “Jenguklah Han Geng barang sebentar, Yi Rin… siapa tahu dia bisa sadar jika kau menemuinya.”    

 

***

 

            “Hidung Panjang!”

 

            Han Geng nyaris terpeleset dari dahan pohon yang dipijaknya jika tidak cepat-cepat berpegangan pada dahan lain di dekatnya. Anak laki-laki yang beranjak dewasa itu terkejut akibat suara nyaring dari bawah yang meneriakkan namanya tanpa mau melihat situasi.

 

            “Kau hampir membuatku jatuh, Kaki Pendek!” protes Han Geng dari atas pohon. “Ada apa?”

 

            “Ada berita bahagia. Ayo, cepat turun!”

 

            “Aku bisa mendengarmu dari atas, berita bahagia apa?”

 

            “Kalau kau tidak turun, aku tidak mau memberitahumu!”

 

            “Ei—baiklah, aku turun.” Han Geng dengan sigap melewati setiap dahan pohon berliuk, kemudian melompat dan mendarat tepat di hadapan sahabat kecilnya yang mulai beranjak dewasa. “Nah, aku sudah turun. Sekarang katakan, ada berita bahagia ap—“

 

            Kalimat Han Geng kontan terhenti begitu mendapat pelukan erat mendadak dari gadis remaja di hadapannya. Gadis itu memeluk lehernya erat dengan senyum terkembang, tanpa memperdulikan jika saat itu jantung Han Geng mendadak berdetak dua kali lebih cepat, dan darahnya berdesir heboh. Pelukan mendadak seperti ini sebenarnya bukan hal yang asing bagi Han Geng, teman masa kecilnya itu selalu saja memeluknya tiba-tiba, dengan atau tanpa alasan. Tetapi, untuk sekarang terasa lain. Entah karena usia mereka yang beranjak dewasa, Han Geng terkadang merasa salah tingkah jika mendapat pelukan mendadak, pipinya juga kadang merona. Bahkan hanya karena mereka bersentuhan sedikit saja, jantung Han Geng lantas bersalto heboh.

 

            “Ka—kaki Pendek, kenapa mendadak memelukku?”

 

            “Aku bahagia, Hidung Panjang! Aku bahagia!” Pelukan gadis itu semakin erat, membuat Han Geng semakin salah tingkah. Perasaan kikuk tidak bisa ia sembunyikan hingga membuatnya mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi pelukan gadis itu bertambah kencang. “Ka-ki Pen—“

 

            “Ada sepasang suami istri yang mau mengangkatku menjadi anak.”

 

            Han Geng tersentak kaget, reflek melepaskan diri dengan cepat dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kecokelatannya menatap tidak percaya gadis itu. “A-apa? Kau tadi bilang apa?” tanyanya memastikan. Sedetik tadi perasaan bahagia yang aneh merambatinya, namun detik kemudian luluh lantak. “Kau bercanda, kan?”

 

            Gadis itu tersenyum simpul, merangkul bahu Han Geng yang lebih tinggi darinya untuk duduk. Semilir angin menerbangkan setiap helai rambut keduanya.

 

            “Kemarin, ada sepasang suami istri yang datang ke panti asuhan. Mereka mengatakan ingin mengangkat seorang anak dengan usia remaja. Ada beberapa anak yang ditunjukkan Ibu Kepala, tetapi saat melihatku, mereka memilih untuk mengangkatku. Mereka bilang karena aku memiliki pipi yang tembam, hahaha.”

 

            Han Geng sama sekali tidak bereaksi. Kabar ini terlalu mendadak dan terlalu mengejutkan. Dan lagi, hatinya tengah sibuk mencerna perasaan-perasaan aneh yang satu persatu menghinggapi dirinya. Dia mendengar semua yang diucapkan sahabatnya, tetapi lidahnya kelu untuk berkomentar. Dalam hatinya mulai terbersit perasaan sedih. Jika gadis di sampingnya menerima menjadi anak angkat, apa itu artinya mereka akan berpisah? Lalu, bagaimana dengannya? Apa Kaki Pendek akan meninggalkannya?

 

            Han Geng menoleh dan menatap gadis di sisi kirinya dengan perasan miris. Hampir lima belas tahun gadis di sampingnya ini menunggu memiliki orang tua, atau sekedar dermawan yang rela mengangkatnya menjadi salah satu bagian dari keluarga, tetapi sampai umur mereka menginjak lima belas tahun, belum ada satu pun yang menginginkannya. Besar di panti asuhan bukanlah keinginan setiap anak ketika dilahirkan, dan melihat betapa gadis itu bersemangat bercerita, membuat batinnya dilema, entah harus senang atau sedih. Keberadaan gadis itu di hari-harinya sudah menjadi kebutuhan tersendiri baginya, dan jika membayangkan kelak tidak ada gadis itu dalam kesehariannya, apa yang akan terjadi?

 

            “Kau tahu, Hidung Panjang? Mereka sepertinya dari keluarga kaya, mereka datang dengan mobil mewah. Dan, ah! Kata Ibu Kepala, mereka berasal dari Seoul!”

 

            Han Geng mencelos mendengarnya dan jantungnya berdentum tidak terkendali. Rasa khawatir melingkupinya kuat-kuat.

 

            Seoul berada di luar kawasan negaranya, dan jika gadis itu memutuskan menerima, maka…

 

            Han Geng menggeleng dua kali dan mendengus tidak percaya. Senyum kecil terulas di kedua sudut bibinya. Pikirannya barusan terasa begitu bodoh. Bukankah kebahagiaan gadis di sampingnya adalah hal utama yang perlu ia jaga? Dan mewujudkan mimpi gadis itu bukanlah sesuatu yang mustahil, tetapi kenapa justru perasaan takut kehilangan yang muncul di kepalanya?  

 

            “Hei, Hidung Panjang, kenapa kau diam? Kau tidak suka ya dengan kabar yang aku bawa? Apa perlu aku menolak permintaan mereka, heh?”

 

            Sekali lagi Han Geng menoleh lalu berdecak. “Dasar Bodoh,” katanya sambil mengacak rambut gadis itu, senyumnya terurai lembut. “Kenapa jadi memikirkan aku? Memiliki orangtua adalah impianmu, bukan? Terus kenapa mesti ditolak? Apalagi mereka orang kaya, kau bisa melanjutkan pendidikanmu sampai perguruan tinggi. Kau mau menjadi seorang dokter, kan? Lalu?”

 

            “Tapi, Hidung Panjang, Ibu Kepala bilang, saat aku memutuskan menerima, maka mereka akan membawaku ke korea, dan itu artinya… kita akan berpisah…” Rona sedih perlahan tergambar di wajah gadis itu, dan Han Geng buru-buru merangkul bahunya hangat, menahan limpahan bening yang segera meluap di balik kedua bola mata bening gadis itu. “Memangnya kenapa kalau berpisah? Kita ‘kan masih bisa berkirim surat, atau bisa juga bertelepon? Aku akan meminjam telepon Bibi Ching saat kau meneleponku nanti. Kau harus menyimpan nomernya, oke?”

 

            “Tapi kalau kita berpisah, aku jadi tidak tahu bagaimana keadaanmu, Hidung Panjang. Bagaimana kalau kau sakit dan aku tidak tahu?”

 

            “Kalau begitu, aku akan mendatangimu lewat mimpi dan mengatakan kalau aku sakit karena merindukanmu, bagaimana?”

 

            “Kau bisa melakukannya?”

 

            “Tentu saja, Kaki Pendek.”   

 

***

 

            Limpahan cairan bening di balik pelupuk matanya sudah tidak bisa lagi dibendung, kesesakkan merambatinya telak. Isakan kecil menemani setiap ayunan langkahnya.  

 

            Jika saja dulu ia tidak pergi, tidak meninggalkan kota ini, dan tidak meninggalkannya… apakah keadaan sekarang akan seperti ini? Apa segala yang terjadi dalam hidupnya akan berubah? Apa penderitaan yang menderanya juga tidak akan pernah datang?  

 

            Perlahan, penyesalan itu menghampiri, memeluk dan merayap sampai ke ubun-ubun hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya bergemuruh. Menyesal, marah, sedih, dan serentetan perasaan lain yang membuatnya ingin menjerit terus mengekorinya tanpa henti, memaksa bendungan air di balik pupil matanya enggan berhenti meluap.     

 

            Sepoi angin musim semi terus mengalun, menemani setiap langkahnya melewati puluhan meter jalan berkerikil putih yang sepi. Langkahnya beberapa kali terseok, bahkan nyaris ambruk jika tidak mahir menyeimbangkan diri.

 

            Jalan pedesaan ini, dulu, adalah paru-paru kehidupannya. Segala aktifitas kesehariannya dimulai dan diakhiri melewati jalan ini. Berjuta kenangan dirajut dan disimpan dalam setiap jengkalnya, mengendapkannya dalam setiap pori hingga tidak ada yang terlewati. Canda dan tangisnya selalu disaksikan jalan ini penuh bisu, dan menjadi penonton mati yang mengabadikan seluruh detik kebersamaannya dengan dia.   

 

 

***

 

            “Kenapa jalanmu cepat sekali? Kau marah padaku, ya?” Han Geng menoleh sedetik lalu mengedikkan bahu acuh. Sebelah tangannya sibuk menenteng sepatu sekolahnya yang lepek sehabis bermain di pinggir pantai. “Aku tidak marah padamu,” jawabnya pelan dan kembali berjalan dengan gontai. Gadis berseragam SMP di belakangnya mengernyit bingung, lalu berlari kecil untuk mensejajarkan diri. “Kalau kau tidak marah, kenapa dari tadi diam? Di kelas juga kau tidak banyak omong. Kau sakit, ya?”

 

            Han Geng tetap diam. Kakinya menendang-nendang kecil kerikil yang teronggok bisu, sesekali memungutnya dan melemparkannya ke hamparan hijau persawahan di kanan dan kirinya, tidak memperdulikan apakah akan ada yang terkena lemparanya atau tidak, ia juga tidak perduli pada duri rumput liar yang mengenai kakinya akibat celananya yang dilingkis hingga betis. Pikirannya sedang sibuk bertanya tentang dirinya hari ini, bingung kenapa seharian ini ia seperti anak bodoh yang bisu, padahal tidak ada pekerjaan rumah yang belum dikerjakannya, ia juga tidak sedang sakit. Tetapi, seolah ada sesuatu yang memaksanya untuk terus diam hingga senja menyambut.

 

            “Kaki Pendek?” Tiba-tiba saja Han Geng berhenti dan berbalik, menyulut gadis di belakangnya ikut berhenti, namun karena tidak mendapat aba-aba sebelumnya, gadis itu berhenti tidak seimbang sampai menubruk Han Geng yang berdiri tepat di depannya, bahkan nyaris memeluk, keningnya saja sampai membentur dagu Han Geng.  

 

            Untuk beberapa detik, suasana berubah hening. Han Geng sibuk menyelami kedalaman dua bola mata bening keabuan di depannya, yang ternyata begitu menyejukkan. Dalam jarak sedekat ini, ia baru menyadari jika sahabatnya perlahan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan menawan. Meski tidak pernah memakai bedak, gadis itu tetap terlihat menarik. Goresan lekuk wajahnya terlukis jelas; alis hitam yang tebal, bulu mata yang panjang, tulang hidung yang tinggi dan bibir plump yang merah. Han Geng menelan ludah mengamatinya.   

 

            Perlahan, jantungnya kembali bertingkah. Organ itu berdetak cepat dan semakin cepat, memacu darahnya mengalir deras ke setiap pembuluh hingga membuatnya sulit meraup udara. Tetapi kemudian, tanpa sadar, Han Geng tersenyum. Sekarang ia tahu kenapa jantungnya selalu tidak terkendali setiap gadis itu ada di dekatnya, ia mengerti kenapa organ utama dalam tubuhnya itu selalu berdisko heboh.  

 

            “Hidung Panjang, kau baik-baik saja?”

 

            Imajinasi Han Geng buyar seketika. Ia tersentak dan reflek mundur. Beberapa kali terlihat kikuk dengan wajah merona. Sementara gadis di depannya menatapnya heran. “Kau benar-benar sakit, ya? Wajahmu merah. Coba aku periksa suhu ba—“

 

            “Aku baik-baik saja,” sergah Han Geng salah tingkah, dengan cepat menepis tangan yang berniat menyentuh dahinya.

 

            “Ya! Ada apa denganmu? Kenapa jadi galak begitu?” gadis itu menggerutu kesal. “Aku ‘kan hanya ingin memeriksa keadaanmu,” sambungnya memprotes. Sementara Han Geng, diam-diam mengatur detak jantungnya yang semakin kacau. “Aku baik-baik saja, Kaki Pendek. Sudahlah, sebaiknya kau pulang!”

 

            “Kau pikir aku mau kemana sekarang? Ini ‘kan jalan menuju rumahku,” sahut sang gadis jengkel.

 

            “Bukan, kau tidak berniat pulang, tapi mau mengikutiku sampai rumah, iya kan?”

 

            “Percaya diri sekali! Aku hanya ingin menemui Bibi Han.”

 

            Tanpa mendengar sahutan Han Geng, gadis dengan surai panjang itu berjalan mendahului sambil menghentak jengkel. Beberapa kali terdengar gerutuan tidak jelas dari bibir plumpnya. Han Geng yang mengekorinya di belakang, malah tersenyum. Walau tadi mereka puas bermain di pantai dan pulang dengan seragam yang basah kuyup, tetapi Han Geng justru merasa hangat. Keberadaan gadis itu seperti nyala lilin kecil abadi dalam hidupnya, memberikan cahaya, warna dan perasaan hangat tersendiri.

 

            “Hei, Kaki Pendek!”

 

            Langkah gadis itu terhenti, tubuhnya berbalik dan menatap Han Geng penuh sebal. “Jangan mengajakku bicara, aku tidak mau bicara denganmu!”

 

            “Tapi kau sudah melakukannya, Bodoh!” sahut Han Geng tersenyum geli, kemudian berlari kecil mendekat.

 

            “Ada apa lagi? Tadi kau menghindariku, sekarang malah mendekat. Sebenarnya kau kenapa?”

 

            Han Geng terkekeh dan mengacak rambut sahabatnya penuh sayang. “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”

 

            “Bertanya apa?”

 

            “Kenapa kau suka sekali mengikutiku?”

 

            Gadis di hadapannya terdiam. Kedua bola matanya menatap Han Geng dalam, lalu detik berikutnya menarik napas. “Memangnya tidak boleh ya aku selalu mengikutimu? Apa kau merasa terganggu?”

 

            Han Geng menggeleng, “Tidak, hanya ingin tahu. Ada beberapa teman sekelas kita yang pulang satu arah denganmu, tetapi kenapa kau selalu ingin pulang denganku?”

 

            Berpikir sebentar, gadis itu kemudian mengedikkan bahu. “Mungkin karena kau satu-satunya anak yang mau berteman denganku. Aku ‘kan hanya anak yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan, mana mungkin mereka yang orang kaya mau berteman denganku, huh? Lagipula, aku senang mengikutimu. mengikuti langkahmu yang lebar dan cara jalanmu yang lucu.”

 

            “Ei—mana boleh begitu? Kau tidak akan bisa maju kalau selalu mengikuti orang lain, apalagi mengikutiku. Kalau suatu saat aku sakit bagaimana?”

 

            “Maka aku juga akan ikut sakit.”

 

            “Kalau aku pergi?”

 

            “Aku akan menyusulmu dan mengikutimu kemana pun kau pergi.”

 

            “Lalu, bagaimana kalau aku… mati? Apa kau juga akan ikut mati?”

 

            “Tentu saja, aku juga akan mati,” sahut gadis itu mantap. Han Geng tersentak kaget sedetik, kemudian tertawa. “Hei, aku hanya bercanda, Kaki Pendek. Kalau nanti aku meninggal dunia, kau tidak perlu mengikutiku, kau harus melanjutkan hidupmu, kau tahu?”

 

            “Memangnya kenapa? Tidak boleh?”

 

            “Tentu saja tidak boleh—“  

 

            “Tapi aku serius, Hidung Panjang. Kelak, saat kau sudah tidak ada lagi di dunia ini, maka aku juga akan meninggalkan dunia ini, aku janji.”

 

            “Kaki Pendek, jangan bicara sembarangan. Tuhan bisa mencatat janjimu,” kata Han Geng mengingatkan, namun sahabatnya hanya tersenyum. “Biar saja, dicatat malah lebih bagus. Kemungkinan kita mati bersama ‘kan jadi lebih besar.”

 

            “Kaki Pendek!”

 

            Tanpa sadar Han Geng membentak gadis itu. Melihat ekspresinya yang begitu santai saat membicarakan kematian, membuatnya merasa tidak nyaman. “Jangan bicara sembarangan. Sudah, sebaiknya kita pulang!” Han Geng yang gemas, dengan cepat meraih tangan gadis itu, kemudian menyeretnya sedikit kasar. Tetapi, baru tiga langkah, ayunan kakinya terhenti. Suara serak dari belakang membuat Han Geng menoleh, dan wajah mendung sahabatnya membuat batinnya mencelos.

 

            “Kaki Pendek, ak—“

 

            “Kau tahu, Hidung Panjang, kenapa aku selalu mengikutimu?” Han Geng menggeleng bodoh. Tatapannya fokus pada wajah sendu di hadapannya. “—karena, selain aku tidak suka ditinggalkan, aku juga tidak pernah dan tidak mau merasakan hidup di dunia yang tidak ada kau di dalamnya.” Han Geng terpaku seketika, sadar jika saat ini ia sedang menahan napas.

 

            “Kita memang hanya berbeda beberapa bulan, tetapi kau tetap yang lebih dulu melihat dunia ini, baru aku setelahnya. Kau juga yang pertama kali bersedia mengajakku bicara, mengajakku bermain, bahkan mau menjadikanku sahabat. Setiap detik waktu kehidupanku bergulir, kau selalu menjadi hal pertama yang tidak pernah lekang dari sisiku, bahkan kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku. Jadi, jika kelak kau tidak ada lagi di dunia ini, di dunia-ku, di hari-hari-ku, maka aku juga akan meninggalkan dunia ini. Karena, aku tidak bisa berada di dunia yang tidak ada kau di dalamnya. Keberadaanmu…, adalah kehidupanku.”

 

            Selama hampir lima belas tahun hidup, Han Geng tidak pernah merasa kesulitan bernapas, tetapi kali ini, justru hal yang paling sulit dilakukannya adalah mengais oksigen.  Paru-parunya seperti menolak udara yang berpendar bebas, dan kinerja otaknya mendadak melemah. Kedua tangannya tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memeluk gadis di hadapannya, mendekapnya erat dan menyalurkan kehangatan yang melingkupinya hingga ubun-ubun.

 

            Hal pertama yang berhasil dilakukannya setelah memeluk gadis itu adalah meraup oksigen banyak-banyak, baru setelahnya tersenyum lebar. Sebelah tangannya mengusap sayang punggung gadis itu, memeluknya lebih erat, dan mengecup pucuk kepalanya penuh kasih. “Aku berjanji, aku tidak akan meninggalkanmu, Kaki Pendek. Sekali pun orangtua angkatmu akan membawamu pindah, aku akan datang menyusulmu, membawamu kembali ke sini dan tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Aku akan menjemputmu setelah lulus sekolah dan memiliki cukup uang. Aku janji.”

 

***

 

            Pintu yang terbuat dari kayu pohon Ek itu terlihat reot. Cat berwarna cokelat tua yang menghiasinya tampak memudar, bahkan di beberapa bagian sudah termakan rayap. Meja besar yang dulu ada di sisi kiri juga tidak tampak. Dua pohon besar yang biasa dijadikannya tumpuan untuk membuat ayunan pun sudah ditebang. Keteduhan rumah ini seperti terserap, tersedot habis oleh waktu.

 

            Ia berdiri mematung dengan tampang bodoh di depan pintu rumah yang dulu sudah seperti rumahnya sendiri, rumah yang menjadi tempat paling nyaman selain panti asuhan dan pelukan ibu kepala. Rumah yang menyisakan dan menyimpan milyaran kenangan tentangnya dan sahabat masa kecilnya, rumah yang memberikan cinta kasih tersendiri dan hangatnya pelukan seorang ibu. Rumah yang menjadi alasannya untuk terus mempertahankan hidup.  

 

            Rumah si Hidung Panjang dan rumah ke dua bagi si Kaki Pendek.

 

            Ada getaran tersendiri yang merayapi tubuhnya, diikuti milyaran kenangan yang berputar setiap kali langkahnya terayun mendekat. Ingatannya kembali bermain dan berhenti ketika untuk pertama kalinya ia mengetuk pintu rumah ini, menginjakkan kaki dan menatap isi ruangan hangat favoritnya. Kenangan yang terajut sembilan belas tahun yang lalu, saat usianya baru enam tahun.  

 

***

 

            “Ayo, masuk. Ayahku sedang bekerja, tetapi ibuku ada di rumah. Ayo!” Han Geng menarik pelan tangan mungil milik gadis kecil di sampingnya yang bergeming. Bocah laki-laki itu menatap wajah gadis berusia enam tahun itu dengan alis terangkat. Ada mimik ragu dan rona takut yang terpampang jelas di wajah bulatnya. Han Geng tersenyum, “Kau tidak perlu takut, ibuku tidak galak, tenang saja.”

 

            “Tapi…, apa ibumu tidak marah kalau aku datang ke rumahmu bahkan masih dengan seragam sekolah?”

 

            “Tentu saja tidak, Kaki Pendek. Sudah, kau tidak perlu ragu. Ibuku sangat menyukai anak perempuan, beliau pasti senang bertemu denganmu. Ayo, masuk.”

 

            Pemandangan yang menyambut langkah pendek gadis kecil itu ketika memasuki rumah untuk pertama kalinya adalah ruang keluarga yang sederhana; dengan meja makan dan kursi yang terbuat dari kayu rotan dan sebuah televisi hitam-putih berukuran kecil di sudut ruangan. Lampu berukuran kecil tergantung tepat di atas meja makan. Cahayanya yang agak redup membuat ruang keluarga itu terkesan hangat.

 

            Senyum kecil tidak dapat gadis mungil itu sembunyikan dan raut ragu yang sebelumnya terlukis, hilang perlahan seiring langkah kakinya yang semakin jauh. Ada rasa iri sekaligus bahagia terselip dalam benaknya melihat tatanan tiga kursi meja makan yang tertata rapi, berbanding terbalik dengan meja makan yang ada di panti. Diam-diam dia ingin menangis. Baru sekali ini ia memasuki rumah seorang teman yang memiliki orangtua lengkap, membuatnya tiba-tiba merindukan kehadiran sosok orangtua.

 

            “Wah, apa kita kedatangan tamu istimewa?”

 

            Lamunan gadis kecil itu buyar ketika suara lembut milik seorang wanita muda menyentaknya kaget. Wanita dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai itu terlihat cantik dan anggun. Bentuk wajahnya bulat-oval, dengan tulang pipi yang sedikit menjorok ke dalam dan mata bulat yang indah. Pertama kali melihatnya, gadis kecil itu sudah bisa merasakan aura kelembutan dari senyumnya.

 

            “Ibu, dia Kaki Pendek, teman sekolahku.” Wanita muda itu mengernyit menatap Han Geng, “Kaki Pendek?”

 

            “Ups!” Han Geng buru-buru menutup mulutnya dan nyengir lucu. “Ah, maksudku, ini Xiao Yi Rin, teman sekolahku. Tapi aku biasa memanggilnya kaki pendek.” Han Mei Li menggeleng, “Kau ini… kenapa memanggil temanmu sendiri dengan sebutan Kaki Pendek? Dasar anak nakal!” racaunya gemas, memperingatkan Han Geng yang malah tertawa lucu sampai matanya membentuk garis lurus seperti lubang celengan, lalu kemudian menatap gadis kecil di hadapannya dengan senyum hangat. Sementara gadis kecil itu justru menunduk takut. “Hei, jangan takut begitu, Sayang. Kau aman di sini. Oh, ya, siapa namamu?”

 

            “A-aku—“ wajah gadis itu mulai terangkat, suaranya terputus-putus karena gugup. “—na-namaku... Xi-Xiao Yi Rin… A-aku teman sekelas Hidung Panjang.” Mei Li mengernyit lagi bingung, menatap Han Geng dan gadis kecil itu bergantian. “Hi-hidung Panjang?” Si gadis kecil tersentak kaget, dengan cepat menutup mulutnya dan mengucapkan maaf. “Ma-maksudku, aku temannya Ha-han Geng.” Mei Li yang melihatnya reflek tertawa. Gadis kecil di hadapannya begitu polos dan manis. “Wah, ternyata kalian memiliki panggilan lucu masing-masing, eh? Manis sekali,” komentar Mei Li, kemudian menekuk lutut di depan si gadis kecil yang menunduk malu dan mengenggam tangannya lembut, membuat gadis kecil itu sekali lagi tersentak dan mendongakkan wajah. Senyum hangat wanita muda itu sekali lagi menyambutnya. “Halo, salam kenal. Aku ibu Han Geng, namaku Mei Li, Han Mei Li, tapi kau bisa memanggilku Bibi Han. Tadi siapa namamu, Anak manis?”

 

            “Xiao Yi Rin,” sahutnya lugu.

 

            “Xiao Yi Rin? Lilin kecil di tengah salju. Wah, namamu indah sekali, Sayang…” Wajah gadis kecil itu bersemu dan perasaan hangat melingkupinya. “Te-terima kasih,” jawabnya malu-malu.

 

            “Nah, karena kau adalah teman Han Geng, maka kau akan jadi penghuni baru di rumah ini, dan itu artinya kau harus sering main ke sini, bukan begitu, Geng?” Han Geng mengangguk mantap menyetujui. “Ya, Bu!”

 

            “Sebagai tanda persetujuan, bagaimana kalau aku memelukmu. Apa boleh?”

 

            Mata bulat keabuan gadis kecil itu membola. Senyum bahagia perlahan tergambar jelas di wajah polosnya. Dan tanpa menunggu, kepalanya mengangguk tegas.

 

            Untuk pertama kalinya, sebuah pelukan hangat ia dapatkan dari orang lain selain Ibu kepala panti. Perasaan bahagia yang membuncah tidak bisa Yi Ri sembunyikan. Gadis kecil itu balas memeluk Mei Li tidak kalah erat, matanya mulai berkaca karena terlalu senang sekaligus terharu. Hatinya berselimut hangat. Ternyata keberadaannya di dunia masih sanggup membawa senyum bagi orang lain. 

 

            Han Geng yang berada di belakang sang ibu, tersenyum senang. Satu ibu jarinya terangkat tinggi dan menunjukkannya pada Yi Rin. Bibirnya mengucapkan kalimat yang sanggup dibaca jelas oleh gadis kecil itu dan membuat hatinya bertambah hangat. “Selamat datang di keluarga barumu, Kaki Pendek.”

 

***

 

            Tangisnya semakin tergugu parah, bahunya bergetar hebat. Dua jejak air mata di pipi tirusnya bertambah basah. Rasanya baru kemarin kenangan indah itu terjadi, terajut dan membekas hebat di hatinya, dan sekarang kembali bergulir dengan rentang waktu yang cukup lama dan dalam keadaan berbeda. Jika boleh memilih, lebih baik ia terus hidup di masa lalu, di masa kana-kanak yang tidak akan pernah merasakan arti hidup yang sebenarnya, tidak merasakan bagaimana takdir mempermainkan hidupnya dengan berliku dan tidak bisa ditawar.

 

            Beberapa detik berlalu dalam hening. Ia mencoba menenangkan dirinya penuh bijaksana. Sebelah tangannya yang berkeringat terangkat, mengetuk pintu itu dengan getar hebat yang tidak bisa disembunyikan.

 

            Detik berjalan lamban, mengetuk palu waktu untuk bergulir bagai siput. Hingga kemudian, derit pintu terdengar.

 

            Jantungnya semakin berdegup gila, menunggu pintu di depannya terbuka sempurna. Batinnya menebak-nebak siapa yang akan menyambut kedatangannya kali ini. Dan kenangan belasan tahun lalu sekali lagi berputar.

 

            Mata teduh itu… wajah lembut itu… pipi tirus itu…

 

            Seketika tangisnya pecah. Tubuhnya tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menghambur cepat memeluk perempuan paruh baya yang kecantikannya mulai termakan usia, memeluknya erat dan semakin tergugu. Ternyata, sosok yang menyambutnya masih sama.  

 

            “Bibi Han…, ini aku, Xiao Yi Rin…” 

 

TBC

Tags:
Komentar
RECENT FAN FICTION
“KANG MAS” YEOJA
Posted Rabu,16 Juni 2021 at 09:31
Posted Senin,20 April 2020 at 22:58
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 23:42
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 13:08
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 13:07
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 13:07
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 13:06
Posted Sabtu,20 Juli 2019 at 13:06
FAVOURITE TAG
ARCHIVES