CHAPTER 2 : My Name Is ...
Go Ara POV
Tokyo, Japan.
Cinta adalah kehidupan semua orang. Didalamnya berisi cerita, kasih sayang, kebahagiaan, dan sakit hati. Aku tidak pernah bermimipi pergi ke Negara ini karena suatu kesalahan. Kesalahan yang membuatku di depak dari lingkungan yang aku cintai, aku dibiarkan pergi tanpa seorang pun tahu bahwa aku masih memiliki hati dan perasaan.
Kadang aku berfikir kenapa harus aku?, kenapa harus aku yang pergi sedangkan orang jahat itu tertawa dan membiarkanku pergi tanpa kasih sayang. Aku tidak lagi memerlukan cinta kalau begitu, yang aku butuhkan hanya kesempatan. Kesempatan untuk membela diri dan kembali ke lingkungan yang sudah aku rindukan.
Setiap hari aku menguras keringat agar namaku tidak tenggelam kedasar popularitas, setidaknya aku sudah berada di lingkungan baru selama lima tahun. Semua orang menerima ku meski suara bisikan kadang terdengar ketika aku tengah berjalan. Walau di tempat jauh dan terpisah, siapa yang tidak tahu agensi besar itu? mereka mebuatku pergi jauh dan kehilangan kebahagiaanku atas kesalahan yang tidak pernah bisa aku jelaskan. Kejadian lima tahun lalu itu menjadi judul top rank di situs internet dan best seller di setiap majalah dan Koran, bagaimana mereka tidak mengetahuiku?. Sudahlah… setidaknya disini lebih baik. Banyak yang lebih memberiku kesempatan untuk berkarya dan menikmati hidup.
Setiap pagi melihat musim berganti di Negara yang tidak pernah membuatku bosan. Aku sering ke mari, Ke café ini maksudnya. Youza Café, setiap sore aku sering menikmati kopi yang wanginya dapat membuat mataku terpejam lama. Kadang saat mataku terpejam suka ada yang menetes dan sedikit merusak mascara ku. Aku hanya dapat menutupinya dengan kaca mata hitam besar ini. Hidup itu seperti lelucon besar untukku, membuatku tertawa ketika orang lain merebut semua dariku bahkan dia adalah orang yang sangat aku hormati.
***
Dum.. Dum.. Dum..
Walau kaca di café ini tebal suara musik yang berasal dari luar itu masih sedikit terdengar. Aku bahkan ikut menggoyangkan kepalaku saat ini, melihat anak – anak remaja itu menari aku jadi ingat sesuatu. Di tambah seorang gadis berambut hitam indah itu menari dengan apik, aku seperti melihat diriku sendiri, anak itu sedikit mirip denganku saat aku traning dulu. Kalau sekarang tentu sudah berbeda, sekarang aku lebih menyukai coklat tua untuk warna rambutku.
Mengesap kopi dan memejamkan mata. Eum… semakin hari kopi ini semakin nikmat. Aku jadi bersemangat, Andai aku orang biasa pasti aku sudah keluar café ini dan ikut menari bersama para remaja itu. Jepang memang Negara seni yang menganggumkan. Nyanyian dan tarian seperti santapan pokok anak muda disini. Bagaimana dengan Negara kelahiranku? Remaja disana sedikit mengunggulkan penampilan dan wajah mereka sepertinya.
Drrrt… Drrrtt…
Paman Jisung menelponku. Ini pertama kalinya di musim panas paman Jisung menelpon biasanya dia hanya menelpon saat natal, itu pun kadang hanya mengirim pesan.
“yeobseo ahjussi” terdengar agak manja memang, tapi aku senang dia menelponku saat suasana hatiku sedang baik, dan aku ingin sekali menggunakan bahasa indah ini. Bahasa Korea.
“apa kabarmu nak? Aku sangat merindukanmu, bagaimana pekerjaanmu disana?” aku tertawa renyah. Paman yang satu ini sangat pendiam tapi hanya karena aku dia mulai banyak bicara seperti ibu.
“aku baik, seperti biasa aku masih sibuk syuting dan mempromosikan album. Tiba-tiba menelponku apa ada hal yang penting?” aku yakin tebakkan ku benar. Dan suara tawa terdegar nyaring saat itu juga.
“kau memang gadis yang sangat peka” kemudian tertawa lagi “ada yang harus aku sampaikan memang, ada kabar buruk dan kabar baik” tidak ada tawa lagi, tapi kalimat itu membuatku menghembuskan nafas berat karena kecewa.
“aku sudah di Jepang dan masih saja ada kabar buruk?” aku menyenderkan tubuhku. Bangku yang ku duduki memang berbentuk sofa jadi membuatku nyaman untuk membanting sedikit tubuhku atau mungkin kepalaku nantinya “baiklah aku dengarkan” lanjutku pasrah.
“kabar baiknya kau dapat kembali ke Korea. Dan melakukan apa yang kau inginkan tidak ada yang melarangmu” tubuhku kembali menegak, ya Tuhan.
“dan kabar buruknya adalah syarat dari kabar baik. Kau bisa melakukan itu semua asalkan kau membawa lima orang yang akan di training selama enam bulan dan akan debut bersamaan dengan boyband yang akan SM keluarkan” bahkan aku lupa caranya bernafas “datanglah kemari bawa mereka dan tanda tangani kontrak, jika lima anak itu berhasil debut dengan baik semua selesai Ara.. kau dapatkan hak yang tidak kau dapat dahulu dan semuanya akan berakhir, kau akan dapatkan kebahagiaanmu keponakanku agap saja lima anak itu sebagai bayaran untuk lima tahunmu, datanglah”
“hanya enam bulan?” berkali – kali aku menyadarkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi dan mengecek layar ponselku memastikan bahwa yang menelpon benar pamanku. Tidak waras.
“aku akan datang paman, aku berjanji” aku tidak tahu sekenario apa lagi ini. Tapi aku merasa darahku seperti mengalir deras membuatku mengepalkan tangan. Aku harus mengambil kesempatan ini. Aku harus merebut semuanya kembali, aku akan pulang dan tunjukkan bahwa aku belum lumpuh seperti orang – orang jahat itu inginkan. Aku masih bisa terus berjuang, demi kebenaran.
***
“permisi, apa Anda lihat sekelompok remaja yang tadi menari? Kemana mereka pergi?” sedikit rasa heran pastinya. Wanita tua melihatku penuh heran dan tanda Tanya, topi dan kaca mata hitam, seperti pengintai saja. Tapi beginilah kalau seorang artis ingin dianggap sebagai orang biasa, tidak ingin diketahui wajahnya tapi dengan kelakuan tidak biasa.
“mereka pergi kesana” wajahnya berubah agak ramah, syukurlah.
“Domo arigatogozaimashita[1]” aku menunduk kemudian berlari kecil. Beberapa remaja berpakaian warna – warni terlihat berjalan bergerobol. Aku semakin berlari mengejar melewati mereka dan berdiri tepat di depan kelompok kecil penari jalanan itu, mereka menghentikan langkahnya dengan wajah agak kaget. Aku terseyum.
“Hi” aku agak gugup “maksudku, hi aku Go Ara” Aku seperti orang idiot saja. Aku membuka topi dan kacamataku dan tersenyum lebar. Beberapa diantaranya mengangkat alis, haruskah aku bertanya apa kalian punya TV dirumah?. Ya Tuhan bantu aku. “boleh aku minta waktu sedikit?” mereka saling berpandang beberapa diantaranya tidak acuh. Tapi sesosok pria muda yang terlihat paling ramah berjalan mendekat.
“bicara saja Nyonya” aku menggaruk leherku yang entah mengapa terasa gatal.
“tapi tidak disini, aku butuh tempat yang …” pria muda itu tersenyum seolah mengerti. Terima kasih Tuhan.
“kita bisa bicara disana, itu rumah kami” aku menengok cepat dan hanya ada gang sempit dan terlihat bangunan seperti pabrik kecil.
“rumah… kami?” jadi mereka tinggal bersama. Aku mengelilingkan pandanganku tidak percaya. Pandanganku berhenti pada gadis yang aku lihat dari café dan berusaha tersenyum, tapi gadis itu malah tidak mengeluarhkan ekspresi apapun.
“baiklah” aku rasa pria ini adalah ketua kelompoknya tidak ada yang berbicara kecuali dia. Hanya saja mereka terlihat tidak nyaman dengan orang asing. Tapi hey! Bakan filmku baru saja selesai diputar di bioskop. Tidak adakah yang bilang bahwa aku seorang aktris?, Seperti inilah Jepang.
“silahkan” apa yang harus aku ucapkan? Gudang kosong yang isinya rumah remaja jalanan. Rapih dan bersih hanya saja semua terlihat seperti barang bekas yang di modif.
“arigato” semua duduk dengan rapih dan menatap seperti ‘cepat bicara atau kami usir’ kecuali anak laki –laki manis di depanku ini.
“siapa namamu?” tanyaku ramah.
“namaku Kyouya Nyonya” aku terseyum.
“ah begini langsung saja, aku sedang mencari lima orang untuk aku sekolahkan selama enam bulan” entah kenapa rasa takut mendera saat ingin berbicara lebih lanjut. Kalau urat malu ku sudah putus aku bisa saja memohon dan berlutut kemudian menarik lima orang dari mereka. Tidak, itu hal gila.
“lebih tepatnya mentraining mereka untuk di jadikan artis di Korea, kalian akan keluar Negri dan menjadi artis, hebat bukan?” apa aku seperti ketua demonstran atau seperti pembawa acara gossip? Kenapa mereka menatapku seperti energi mereka aku hisap tanpa sisa. “bagaimana?”
“maaf Nyonya, tapi kita tidak ada yang ingin menjadi artis” mataku membulat.
“tapi kaliankan selalu menari, menyayi, melakukan pertunjukkan. Bagaimana kalian berfikir untuk tidak ingin menjadi artis?” ayolah bantu aku.
“sudah begini saja kami sudah senang, aku rasa menjadi artis berbeda rasanya dari penari jalanan lebih bebas dan bisa mendapat keluarga seperti mereka itu sudah cukup” aku menatap wajah yang tiba – tiba terlihat ramah dari mereka, seolah mereka menyetujui ucapan pemimpinya. Mereka benar dan pilihan mereka sangat benar tapi aku tetap butuh bantuan. Hanya enam bulan saja.
“begini, aku hanya butuh waktu enam bulan. Aku sangat membutuhkan ke lima orang itu salah satu dari kalian ada yang mau saja aku sudah sangat beryukur. Setelah enam bulan dan kalian jadi trainee yang baik aku janji kalian akan kembali pulang ke Jepang” aku memainkan tangan dengan gusar, sangat berharap mereka mau membantuku. Dengarkah kalian? Sangat berharap!.
“begini saja ini kartu namaku, di situ ada alamat apartementku. Kalau kalian ada yang berminat temui aku disana, aku tidak punya banyak waktu” setelah menghela nafas aku bangkit dan membungkuk kemudian pergi. Tamat. Kalau bisa aku tamatkan saja cerita ini.
Lima orang, 1 2 3 4 5 belum ada satu pun yang aku dapatkan. Aku duduk di mobil dan segera memasang sabuk pengaman. Dengan melihat kontak di ponselku aku berharap ada yang bisa aku hubungi. Tunggu, aku dapat satu nama.
“yeobseo eonni… ini aku Go Ara… ah biasa saja…. Aku baik… ada yang ingin aku tanyakan soal murid yang mengundurkan diri tahun lalu…iya benar… oh jinjja? Gomawo you’re the best eonnie!”
Bip!
Dapat. Semoga semuanya lancar, aku ingin cepat kembali ke Korea. Aku ingin memperbaiki semua. Kali ini tidak hanya aku yang menderita mereka juga harus tahu rasanya berada di posisiku. Aku akan mencari kebenaran, lihat saja.
***
Ah, aku lapar sekali sepertinya kali ini aku harus memasak mie instan. Lupakan diet, kesehatan atau apapun itu namanya.
Tin tong..
Bel apartementku berbunyi. Setelah menyalakan kompor dan memasak air aku segera berlari kearah pintu. Betapa terkejutnya aku.
“kau? Ayo silahkan masuk” gadis yang aku kira paling tidak berminat. Ternyata dia yang datang hari ini, gadis yang aku bilang sedikit mirip denganku.
“aku sedang memasak mie instan, apa kau sudah makan?” aku mengambil air dingin dan aku sajikan di meja tamu. Gadis itu masih menatap sekeliling “ayo duduk” pakaiannya sedikit sopan. Tidak sepeti kemarin sedikit terbuka dengan celana robek dan topi miring, sangat keren. tapi aku tahu anak ini tahu tempat. “aku senang kau datang” entah sudah berapa kali aku perlihatkan seyuman yang indah tapi gadis ini hanya mentapku datar.
“siapa namamu?” gadis itu agak kaget dan sedikit bingung.
“So Hee” akhirnya anak itu berbicara.
“kau orang Korea? Apa margamu?” aku masih bertanya dengan bahasa Jepang tentunya.
“kenapa tidak langsung pada intinya saja?” anak ini tidak suka berbasa basi, tidak tahu caranya berkespresi. Rasanya aku ingin tertawa saja.
“baiklah seperti yang sudah kau ketahui, kau akan di sekolahkan di SM art school, sekolah seni SM entertainment. Aku butuh data dirimu aku akan membeli tiket dan kau akan ku buatkan passpord. Aku butuh nomor ponselmu agar aku dapat mengabarimu”
“aku tidak punya ponsel” tanganku berhenti diudara ketika hendak mengambil ponselku. Mungkin aku melewatkan satu hal “beritahu saja kapan kita berangkat”
“aku tidak bisa pastikan sekarang, aku butuh nomor ponsel agar bisa mengubungimu” kemudian gadis itu mengeluarkan sobekkan kertas dan memberikan kepadaku.
“hubungi aku lewat nomor ini, ini nomor Kyouya” aku tersenyum. Kyouya, Anak itu memang penolongku dari awal sayang ia tidak ingin ikut aku ke Korea.
“baiklah terima kasih” gadis itu bangkit dan permisi pulang. Aku tidak tahu apa tapi gadis itu seperti tidak punya semangat dan terlihat banyak yang ia pikirkan padahal aku melihat ia punya kulit yang bagus dan mata yang indah. Semoga Tuhan memberikanku keberuntungan kali ini. Lewat anak itu.
“aku lupa sesuatu” So Hee berbalik dan mengeluarkan sesuatu dengan ragu. “tolong tanda tangani ini” ia mengeluargan beberapa album dan fotoku. Mataku membulat “itu punya teman – temanku, mereka memintaku untuk...” So Hee benar – benar merasa malu, tadinya ia tidak ingin mengeluarkan barang – barang itu, tapi kasihan juga teman – temannya. Aku tertawa. So Hee memadang aneh.
“aku kira kalian tidak ada yang mengenalku, astaga” dengan semangat aku menandatangani barang – barang itu. So Hee terlihat menggaruk lehernya dan kembali diam. Aku tersenyum.
***
Airport
So Hee menghentakan ujung kakinya. Hari ini bandara lumayan ramai dan ia hanya berharap aku dapat menemukkannya di tengah kerumunan ini. Tentu saja.
“Hi, maaf menunggu lama” matanya terlihat sayu, aku tahu anak itu sudah menunggu lama dan siap melemparkan ku dengan bom jika ia bisa. Aku melihat ia hanya membawa satu koper, tas biru dan tas coklat yang ia selempangkan di tubuhnnya.
“oh iya kenalkan ini Tae Jun, dia akan jadi partnermu dia orang Korea tapi sudah agak lama tinggal di Jepang” Tae Jun memberi salam dan tersenyum.
“bisakah kita berangkat sekarang? Sepertinya pesawatnya sudah mau berangkat” So Hee kemudian berbalik dan berjalan tanpa membalas salam dan menunggu aku berbicara lebih lama. Wajah Tae Jun agak heran, aku hanya mencoba memberikan pengertian padanya bahwa gadis yang bersama mereka bukanlah gadis periang seperti gadis Jepang yang lain. Seperti biasa Tae Jun selalu mengerti, atau lebih tepatnya pengertian.
Rasanya sangat gugup, setelah lima tahun aku tidak pernah kembali kesana meski pun itu ada pemotretan aku menghindari Seoul dan sesuatu yang berkaitan dengan Korea Selatan. Tapi kali ini ada dua orang anak yang berjalan bersamaku, sedikit memberiku kekuatan memang. Mereka akan jadi tembok kekuatanku nantinya, aku akan menemukan tiga orang lagi setelah aku sampai disana.
Semua jadwal kegiatan sudah aku batalkan, kontrak pun sudah banyak yang selesai dan banyak tawaran aku tolak. Managerku disini sudah mengurus semua aku memang memintanya untuk menghendel semua dan tidak memberitahukan semua orang bahwa aku akan kembali ke Korea, tidak sebelum aku membawa lima orang anak itu menginjak gedung SM.
Sebelum aku mematikan ponsel, aku mengirim pesan ke pada Jisung ahjussi bahwa aku sudah berada di pesawat. Dia berjanji menjemputku dan memastikan bahwa tidak ada media yang meliput ke datanganku. Jujur aku belum siap sebenarnya, ada sedikit trauma dan rasa sedih. Takut semua tidak berjalan dengan lancar dan namaku kembali di perbincangan. Bagaimana pun aku sudah diberi kesempatan, bukankah itu yang aku inginkan?. Harusnya aku tidak usah takut dan bersyukurkan. Ya bersyukur.
***
Ini luar biasa, kaki ku sudah menginjak Incheon. “kenapa berhenti?” Tae Jun membalikkan badannya dan menatap kedua gadis yang sedang terpesona dengan bandara besar ini. Aku sudah jelas agak schock dan ragu karena aku akan kembali berjuang memperbaiki nama baik. Tapi So Hee, ada apa dengannya matanya agak aneh menatap bandara ini.
“tidak apa – apa aku hanya kaget saja Nyonya ini tiba – tiba menghentikkan langhaknya” ucap So Hee dan kembali berjalan melewati ku dan Tae Jun. Aku mengerutkan keningku, sikapnya aneh. Aku tidak berhenti tiba – tiba dan bukankah tadi Tae Jun bertanya dengan bahasa Korea?. Apa So Hee bisa bahasa Korea?.
“ayo jalan” aku menarik lengan Tae Jun yang terus menatap aku dan So Hee. Aku seperti membawa dua anak kecil.
“Jisung ahjussi!” aku melambaikan tangan. Bandara agak sepi hari ini.
“wah keponakkanku!” kami saling berpelukkan, tubuhnya masih sehangat dulu. Dan ini sungguh luar biasa, tidak ada satu pun rambut putih yang terlihat. Saat tersenyum pun gigi paman masih rapih dan putih. Mengingat umurnya dia masih terbilang tampan dengan kerutan halus di pinggir matanya. Korea memang luar biasa.
“ahjussi, kau makin tampan saja” dia tersenyum malu dan kembali memelukku. Aku sedikit melihat matanya yang agak basah.
“aku senang kau bisa kembali” dia memegang erat bahuku dan berusaha menahan air mata, tapi hal itu malah membuatku ingin sedikit tertawa, wajah paman sangat lucu.
“aku juga oh iya ini Tae Jun dan So Hee” pandangan paman beralih kepada dua remaja itu. Paman menepuk pundak Tae Jun kemudian melihat kearah So Hee.
“halo senang berjumpa dengan mu” entah belajar dari mana, paman Jisung berhasil memberisalam dengan bahasa Jepang yang bagus. So Hee terlihat membungkuk dan tidak menatap mata paman.
“baru dua orang, aku rencana akan mencarinya lagi disini”
“tidak apa – apa aku akan membantumu” kami saling melempar senyuman, “ayo kita ke mobil”
“ahjussi, kau tidak memberitahu siapapunkan?” tanyaku ragu.
“kau dapat lihat sendiri, tidak ada media, tidak ada fans dan… aku sudah carikan apartement bagus untukmu” ucapnya sambil membantu membawa beberapa barang.
“oh jinjja?” aku merasa sangat sangat lega. “kau memang yang terbaik” aku mengeluarkan dua ibu jariku.
“Tentu saja”
“aww! Hey grandfather Anda menginjak kakiku” tiba – tiba seorang pemuda berambut pirang dan banyak kabel tergantung di lehernya teriak kesakitan.
“kau panggil aku apa tadi?” paman Jisung malah berkacak pinggang.
“grandfather” anak muda itu ikut berkacak pinggang. Paman melotot dan merasa geram, aku hanya dapat menepuk keningku. Astaga.
“kau pikir aku setua itu? Dasar anak yang tidak sopan!”
“Anda yang tidak sopan, sudah menginjak kaki ku dan tidak meminta maaf”
“sudah!” aku mengahi, bisa bisa orang - orang di bandara ini memperhartikan.
“oke oke” anak laki – laki itu mengangkat tangan dan berjalan mundur.
“maafkan paman saya” pemuda itu terlihat berbinar – binar melihatku.
“oh ternyata ada dua wanita cantik memperhatikanku, it’s oke girls. Saya maafkan” Tae Jun yang merasa tidak dianggap mengangkat alisnya sedangkan So Hee memutar bola matanya. “so uncle, aku hanya memberitahumu bahwa sepatu yang kau injak baru saja aku beli di Amerika sehari sebelum aku pulang oh may god dan lihat warnanya jadi kusam setelah Anda injak” aku hanya mengelus dada, anak ini belum selesai ternyata.
“bukan urusanku” Paman melipat tangannya.
“bisakah kita pergi sekarang?” So Hee mulai angkat bicara dengan ekspresinya yang… Datar.
“oh tunggu nona nona, tapi paman ini harus bertanggung jawab”
“begini saja, aku minta maaf atas nama pamanku beri aku nomor telponmu dan aku akan mengganti sepatumu bila rusak” anak itu kemudian memutar badanya dan memberikanku kartu nama dengan gaya yang aneh.
“this is for you, ma’am”
“dasar anak yang tidak sopan” paman kembali bersuara dengan siap – siap melemparnya dengan sepatu.
“paman aku mohon jangan mulai lagi, baiklah terima kasih apa kami boleh pergi?”
“of course, but aghassi sepertinya saya pernah melihat Anda. Walau aku sudah dua tahun di Amerika tapi wajah Anda familiar” aku hanya dapat tesenyum canggung.
“dia memang artis ada masalah?” paman malah memulai lagi, dia seperti anak kecil. Aku segera mencairkan suasana, melambaikan tangan dan segera pergi. Anak laki – laki itu terus memandang kami sambil tersenyum kemudian memakai headsetnya kembali dan berjalan sesuai dengan irama musik yang ia dengar.
***
Perjalanan masih panjang dan ternyata Korea Selatan belum lepas dari kemacetan. Tidak berbeda jauh dari Jepang. Tae Jun dan So Hee duduk di belakang, paman Jisung menyetir dan aku di sampinya. Pandangan mereka benar – benar tidak luput dari indahnya kota Seoul sekarang. Begitu juga kedua anak yang duduk di belakang. Mereka seperti mempunyai kisah sendiri, menatap seolah mata mereka berbicara, kami bertiga seperti merasa kerinduan yang luar biasa.
So Hee, gadis itu mengepal tanggannya, sudah lama ia ingin pergi ke Negara ini. Tempat kelahirannya. Bahkan teman – temannya tidak tahu akan hal itu kalau ia tidak menceritakan malam hari setelah aku ke rumah mereka. Semua So Hee ceritakan, dirinya tidak semanta – mata ingin pergi untuk bersekolah, training atau apalah itu. Bahkan ia berniat untuk melarikkan diri setelah ini. Ia ingin pulang, mencari Ayahnya yang sekarang entah dimana.
Ketika umurnya menginjak ke-10 ibunya meninggal di kecelakaan yang misterius hingga membuat ayahnya harus menikah di tahun pertama setelah ibunya tiada. Itulah awal penderitaanya, alih – alih mendapat pengganti ibunya malah dirinya yang mendapat perlakuan tidak adil. Ayahnya menghilang dan ia dikirim ke panti asuhan oleh ibu tirinya. Hanya sampai ia menginjak umur 14 tahun ia ikut orang tua yang telah mengadopsinya di Jepang. Bukannya bahagia tapi semuanya makin hancur. Rumah beserta kedua orang tua angkatnya terbakar. Ia kembali menjadi yatim dan harus jadi gelandangan di Jepang. Untung dia bertemu Kyouya. Yang membuatnya sedih adalah sudah bertahun – tahun dalam hidupnya ia menjadi pribadi yang berbeda, tidak lagi mengenal rasa bahagia, sedih atau marah. Ia hanya merasa tidak perlu ada yang harus ia lakukan kecuali mencari cara kembali ke Korea dan mencari ayahnya. Walau rasanya mustahil tapi ia yakin ayahnya masih hidup dan tengah mencarinya.
Tubuhnya menegang saat meninjak Negara ini sebenarnya. Ada sedikit rasa trauma dan takut, tapi hal itu musnah, ia seperti mayat hidup sekarang. Hanya kedua rasa itu yang ia rasakan selama ini jadi ia terbiasa. Terbiasa tidak tertawa, tidak tersenyum, bahkan tidak menangis. Tidak pernah lagi.
Tapi ia juga tidak bisa menerima rasa kasihan dari orang lain, dirinya terlalu biasa dengan dunia keras. Hal itu membuat ke pribadiannya semakin kuat. Kuat untuk menjalaninya sendiri. Sekarang yang perlu ia pikirkan adalah cara untuk mencari panti asuhan dulu. Sampai detik ini nama dan alamatnya selalu ia ingat.
***
“wah apartementnya luas dan bagus” aku memandang paman Jisung dengan alis terangkat beberapa kali. Ia hanya memutar bola matanya dan membantu menaruh barang – barang kami.
“pembayaran bulan pertama sudah aku urus, tapi bulan berikutnya akan aku atas namakan namamu, arasso?” aku tersenyum senang. Ia seperinya lebih pantas jadi ayahku sekarang.
“gomapseumnida uri ahjussi!” ia hanya berdehem dan sibuk mencari peralatan rumah.
“baiklah anak – anak mendekatlah” Tae Jun dan So Hee mendekat kearah paman. “ini kunci kamar milik Tae Jun dan ini milik So Hee” kemudian paman menatap kedua anak di hadapannya bergantian, melihat wajah datar So Hee paman berdehem kembali. “Tae Jun bisakah setiap aku berbicara kau mengartikannya?” wajah paman berubah seperti memohon dengan ketus. Aku tertawa.
“oh baik, paman bilang itu kunci kamarmu” So Hee memandang kunci itu kemudian mengangguk.
“baiklah kalian boleh beres – beres di kamar dan istirahat aku akan siapkan makan malam” ucapku dengan bahasa Jepang. Kedua anak itu bergegas mengambil tasnya dan berjalan kearah kamar yang sudah di beri tanda.
“tadi kau bilang apa?” Tanya paman saat kedua anak itu sudah menutup pintu.
“aku bilang mereka istirahat dan aku siapkan makan malam” ucapku sambil membuka lemari es. Dapur dan ruang tamu tidak berjarak jauh jadi suara paman masih tidak terdengar. Aku mengambil minuman kaleng kemudian duduk di sofa berhadapan dengan paman.
“siapa yang mengisi kulkasnya?”
“aku suruh anak buahku membereskan apartemen ini dan mengisinya dengan beberapa makanan jadi kau tidak perlu takut kelaparan” aku tersenyum girang. “oh iya kau kira gadis yang bernama So Hee itu bisa berbahasa Korea, karena namanya…”
“aku tidak tahu, aku kira juga begitu. Tapi ajhussi..”
“emm?” dia melihatku sambil mengesap minumannya yang tadi aku ambil dari lemari es.
“aku takut, nantinya aku seperti memanfaatan mereka” paman terlihat mengerutkan keningnya dan menaruh minumannya diatas meja. “maksudku, aku takut melakukan kesalahan lagi. Aku seperti menggunakan mereka agar aku bisa kembali lagi ke Korea. Aku takut di masa depan mereka salah paham padaku” terlihat paman menghembuskan nafas panjangnya. Aku tahu ini juga berat untuknya karena ia selalu masuk daftar orang yang ikut sakit hati bila semua itu terjadi kembali.
“aku rasa tidak, pihak managemen setuju dengan rencana ini sebagai persyaratan kau kembali. Untuk anak – anak itu mereka akan dapat keuntungan juga, mereka bisa debut sebagai artis, kau memperbaiki nama baikmu dan mereka dapat popularitas yang mereka inginkan” aku berpikir tentang polularitas, aku meresa bukan itu tujuan anak – anak itu. “anggap saja, mereka adalah penolongmu. Dan anggaplah ini takdir yang harus kembali kau jalani melewati anak – anak itu” aku masih ragu, sungguh.
“sudahlah jangan terlalu di pikirkan, segera cari tiga orang lagi dan kita segera pergi dari sini” aku terseyum pasrah. Mungkin paman ada benarnya, mungkin ini takdir yang sering orang bicarakan. Jodoh tidak akan pergi kemana. Semoga aku berjodoh dengan ke lima anak itu, semoga mereka benar – benar penolongku.
Annyeong readers, ini ff capter pertama yang aku publish disini, sabar ya exonya belum bisa tampil, please comment, love or share, don't be silent readers! and be good readers!!