CHAPTER 1 : Happiness
Hari ini tepatnya hari Rabu tanggal 23 bulan Januari tahun 2013, aku gadis berumur 22 tahun berhasil mewujudkan impian eonnieku untuk memijakkan kaki di tanah Bangkok, Thailand.
Aku memandang matahari yang bersinar cerah di negeri asing untuk pertama kalinya. Hasil jerih payahku dan eonnie untuk mewujudkan impian yang muncul sejak empat tahun ini akhirnya dapat terlaksana. “Eonnie, aku berhasil mewujudkan impianm— Ani, maksudku impian kita.” Aku segera menggelengkan kepalaku saat akan berbicara ‘impianmu’. Memang pada awalnya ini adalah impian eonnieku, tapi impian eonnie adalah impianku juga. Jadi ini adalah impian kami berdua.
Aku segera naik bus menuju tempat penginapan yang telah kupesan jauh-jauh hari, kira-kira sekitar sebulan yang lalu. Mencari tempat penginapan yang murah itu sangat sulit, jika tidak memesan dari jauh-jauh hari pasti tempat penginapannya sudah full booked. Maka dari itu setelah aku berhasil mendapatkan tiket pesawat pulang pergi Seoul-Bangkok-Seoul, tanpa membuang waktu aku juga langsung memesan tempat penginapan.
Tempat penginapan yang telah kupesan memberitahuku mengenai arah jalan dari bandara dan memberikan kendaraan apa saja yang bisa aku naiki untuk sampai kesana, jadi aku tidak akan nyasar. Aku beruntung mendapatkan tempat penginapan dengan pelayanan yang ramah. Meskipun belum sampai disana, tapi aku yakin bahwa aku akan nyaman tinggal disana.
Aku kesini tidak menggunakan modal apapun, maksudku bukan modal uang. Kalau uang tentu saja aku membawanya sesuai kebutuhan yang telah aku perkirakan. Aku juga membawa pakaian ganti secukupnya dan itinerary untuk mengatur jadwal liburanku supaya aku tidak linglung akan kemana saja aku nantinya. Modal yang kumaksud disini adalah dalam hal komunikasi. Aku tidak bisa bahasa Thailand, bahasa Inggrisku bisa dibilang di bawah rata-rata, untuk memesan tempat penginapan saja aku dibantu oleh sahabatku, Chaeyeon. Satu-satunya bahasa yang aku kuasai adalah bahasa Korea, tapi mana mungkin aku berkomunikasi dengan orang Thailand menggunakan bahasa Korea.
Setelah melamun dan melihat pemandangan cukup lama, akhirnya aku tiba. Bukan tiba di tempat penginapan, aku masih perlu berjalan kaki sekitar 200 meter untuk sampai di tempat tujuanku. Sebenarnya itu bukanlah jarak yang jauh, jika saja aku tidak membawa tentengan yang menurutku cukup berat. Aku tidak memasukkan pakaianku ke dalam koper yang memiliki roda, aku hanya menggunakan travelling bag, jadi itu cukup memberikan beban untukku.
Sekiranya aku sudah berjalan 200 meter, aku mulai melihat kanan-kiri untuk mencari letak tempat penginapanku. Mataku akhirnya berhenti pada tulisan ‘Sunshine Guesthouse’. Fiuh, aku menghembuskan napas panjang tanda lega karena telah menemukan tempat yang kucari. Aku langsung berjalan dengan sumringah memasuki guesthouse.
“Sawadeekrab.” Ucapku sambil menyatukan kedua tanganku dan sedikit menundukkan kepala ketika melihat seorang perempuan yang berdiri di belakang meja resepsionis yang aku yakini adalah salah satu pegawai guesthouse ini. Sawadeekrab merupakan bahasa Thailand yang memiliki arti kata halo. Meskipun sebelumnya aku bilang bahwa aku tidak bisa bahasa Thailand, tapi setidaknya aku harus mengerti sedikit tentang dasar-dasar tata krama di negara ini. Ucapan salam dengan menyatukan kedua tanganmu dan sedikit menundukkan kepala merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan disini.
Perempuan tersebut membalas ucapan salamku.
Sadar tidak bisa berkomunikasi dengannya, aku langsung membuka tas selempangku dan mengambil secarik kertas berupa email reservasi kepadanya. Yang aku heran, kenapa raut mukanya saat selesai membaca emailku malah menjadi agak panik. Apakah ia tidak mengerti tulisan latin?
“Wait a minute.” Dia memberi isyarat kepadaku untuk menunggu di kursi yang memang disediakan untuk menunggu. Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Sambil menunggu, aku mengutak-atik ponsel yang telah kusewa tadi di bandara. Aku membutuhkan ponsel untuk berkomunikasi dengan Chaeyeon dan untuk meminta bantuan kepadanya jika aku ingin bertanya memakai bahasa Inggris kepada warga Thailand. Aku juga membawa kamus Korea-Thailand jika diperlukan nantinya.
Kali ini perempuan tersebut kembali muncul dengan membawa wanita paruh baya yang mungkin memiliki kedudukan lebih tinggi daripadanya, dan aku rasa perempuan paruh baya ini adalah pemilik guesthouse ini. Aku refleks berdiri dan menundukkan kepalaku sedikit kepada wanita paruh baya tersebut.
“Sorry Miss, but can you wait just a moment in here? We will cleaning your room now. Maybe around 15 until 20 minutes. You can read a few magazine in there. Sorry for the inconvenience.”
Aku langsung menggaruk kepalaku, bukan karena gatal tapi karena aku tidak terlalu mengerti tentang apa yang ia bicarakan. Sudah kubilang kemampuan inggrisku masih di bawah rata-rata. Aku baru bisa mencerna, jika ia berbicara dengan lebih lambat. Satu yang kutangkap dari perkataannya adalah aku disuruh menunggu disini. Dan karena ia menunjuk ke arah majalah, pasti aku disuruh menunggu sambil membaca majalah yang telah disediakan. Daripada menyusahkan, aku menjawabnya dengan anggukan kepala, pura-pura mengerti apa yang dikatakannya.
Tapi saat aku melihat wajahnya yang tidak tenang saat meninggalkanku dan raut wajahnya yang sedikit kesal— bukan, dia bukan kesal kepadaku, tapi sepertinya lebih kepada situasi, entah kenapa aku menduga bahwa ada yang tidak beres dengan kamar yang seharusnya menjadi ruanganku untuk beristirahat. Aku tergelitik untuk mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuannya.
Wanita tersebut mengetuk salah satu kamar penginapan dan bercakap dengan penghuni kamar yang tidak dapat kulihat wajahnya karena aku melihat dari sudut samping. Mereka berbicara menggunakan bahasa inggris yang bisa sedikit kumengerti walaupun hanya intinya saja. Mereka berdebat, sepertinya kamar tersebut seharusnya adalah kamar tempat aku akan menginap. Aku terdiam sejenak, sampai akhirnya... “Tunggu dulu, jika ia memakai kamarku, lalu nanti aku akan tidur dimana?” Aku berbicara kepada diriku sendiri dengan suara pelan.
Sadar kalau ini merupakan hidup dan matiku— jangan anggap aku berlebihan karena ini memang kenyataan, jika aku tidak tidur disini lalu aku harus tidur dimana? Di jalanan? Mencari tempat penginapan lain yang murah bukanlah hal yang mudah. Ok, jadi intinya aku harus ikut dalam perbincangan mereka.
“Excuse me, is this the room—“ Bodohnya aku yang tidak bisa meneruskan perbincangan karena tidak tahu kata apa yang harus kugunakan untuk menanyakan apakah seharusnya kamar ini adalah kamar untukku atau bukan. Aku jadi salah tingkah, aku berharap salah satu dari mereka ada yang mengerti apa maksud dari perkataanku.
“Apakah kau orang korea?” Tanya pria berperawakan tinggi dan kurasa lebih tua dariku, ia bertanya dengan menggunakan bahasa korea.
“Ne. Kau juga orang korea?” Tanyaku kembali dengan menggunakan bahasa korea. Wanita paruh baya yang berdiri disampingku kini menatap kami berdua secara bergantian dengan tatapan bingung, tidak mengerti dengan apa yang kami bicarakan.
“Ya, tolong bantu aku. Berikan kamar ini untukku, kau cari tempat penginapan lain ya?” Ia meminta pertolonganku sambil mengambil tangan kananku dan menggenggamnya.
“Waeyo? Aku tidak mau! Kau kira mudah mencari tempat penginapan!?” Ucapku padanya. Sedetik kemudian aku langsung menoleh ke arah wanita paruh baya yang berdiri di sebelahku, “Ahjumma, mengapa kau memberikan kamar yang seharusnya menjadi tempat peristirahatanku!? Aku kan sudah memesan kamar ini dari jauh-jauh hari!” Ucapku dengan nada yang sedikit membentak karena kecewa dengan pelayanan yang diberikan guesthouse yang sebelumnya telah kupuji ini.
“Ya, ini Bangkok bukan Seoul. Mengapa kau berbicara kepadanya menggunakan bahasa Korea?”
Setelah pria itu menyadarkan akan tindak kebodohanku, aku hanya dapat tersenyum canggung. Aku meminta maaf kepada wanita paruh baya tersebut dengan membungkukkan badanku dan mengucapkan kata maaf dengan menggunakan bahasa inggris.
“No, it’s okay miss. It’s our fault. We will take the responsibility.”
“Chogiyo, cepatlah kau keluar dari kamarku agar masalah ini selesai. Silahkan kau cari tempat penginapan lain. Aku butuh istirahat.”
“Tapi aku sudah menyewa kamar ini. Jadi, bisakah kau mengalah padaku?”
Apa-apaan dia ini!? Mengapa aku yang disuruh mengalah? Jelas-jelas dia yang mengambil hakku! Ah, kesal juga aku terhadap penginapan ini. Bagaimana bisa mereka menyewakan kamar yang telah di booking.
Baru aku akan membuka mulut untuk memakinya, tapi wanita paruh baya disebelahku telah berbicara. “We are really sorry sir. It’s our staff fault to let you check-in. All of our room are full booked. We will give you back the money, so please find the other guesthouse.”
Pria tersebut bukannya menanggapi permintaan maaf ibu-ibu pemilik guesthouse itu, ia malah menyeretku lebih jauh ke dalam kamar. “Chogiyo, aku mohon padamu kali ini untuk membiarkanku tinggal di ruangan ini lebih lama. Aku akan pergi jika keadaannya sudah aman.” Rajuknya sambil memegang kedua pundakku. Aku hanya mengernyitkan dahi, masih tidak mengerti akan maksudnya.
“Nona, aku sedang dikejar oleh seseorang. Aku akan pergi jika orang tersebut sudah pergi dari daerah ini. Aku yakin sebentar lagi mereka akan datang kesini untuk mencariku. Aku mohon bantulah aku.”
“Kau penjahat?”
“Aniyo. Nanti akan aku ceritakan setelah kau menyetujui permohonanku ini. Bagaimana?” Ucapnya dengan wajah sok melas.
Aku masih mengernyitkan dahi karena belum sepenuhnya percaya akan perkataannya. Kalau orang mengejarnya, bukankah berarti dia itu orang jahat? Tapi dari tampangnya sih tidak menunjukkan kalau dia orang jahat. But who knows? Dan bisakah matanya pergi dari hadapanku? Entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat saat ia menatapku seperti ini.
“Excuse me, did you see a man around 25 years old? He is tall and have a fair skin. Ah, he is Korean.” Terdengar suara seseorang yang kuyakin sedang bertanya kepada ibu-ibu pemilik guesthouse tersebut yang masih berdiri di luar kamar ini. Dari ciri-cirinya sangat terbaca bahwa yang dimaksud adalah orang yang sedang berhadapan denganku ini.
“Ya, aku mohon bantu aku.” Ia merajuk sambil menggoyang-goyangkan pundakku.
Aku menghembuskan napas panjang, “Kau yakin kau bukan orang jahat?”
Ia membalasnya dengan anggukan kepala dan ekspresi yang mantap. Aku melepaskan genggamannya dariku dan segera keluar ruangan.
“Mrs, the problem is already solved. You can go now. Thank you.” Aku berbicara sambil memberi isyarat kepadanya dengan menggunakan ekspresi wajah untuk tidak membongkar identitas pria yang ada di kamarku tersebut. Sepertinya ia mengerti akan isyarat yang kuberikan kepadanya. Ia pun menganggukkan kepala.
“Sorry sir, but we don’t know the person you mean.”
Sekilas dua orang pria yang bertanya tersebut menatapku dan langsung pergi dari hadapanku dan pemilik guesthouse ini. Fiuh, akhirnya pergi juga.
Ibu-ibu pemilik guesthouse kembali mendekatiku. “Sorry, so two of you will stay in this room?” Tanyanya dengan ragu-ragu.
Daripada bingung menjelaskannya, aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum kepadanya. Aku terlalu pusing untuk merangkai kata menggunakan bahasa inggris untuk menjelaskan secara detail kepadanya mengenai perihal ini.
“But, if you want to stay in here together, you must pay for extra person and for extra bed if you want?”
Ah benar juga katanya. Ini kan kamar untuk satu orang, walaupun ia tidak menginap tapi peraturan ya tetap peraturan. Aku langsung masuk ke kamar, “Chogiyo, karena kau telah membuat masalah disini, kau harus membayar untuk extra person dan extra bed. Aku kan telah membantumu.” Ish, dia dengan seenaknya sudah berbaring di atas tempat tidur.
“Tapi kan aku tidak menginap disini? Anggap saja aku bertamu, lagipula aku sudah menyewa kamar ini. Jadi bisa dibilang aku sudah dengan baik hati memberikan kamar yang telah kusewa ini secara gratis kepadamu.” Ucapnya dengan nada enteng.
Aku tercengang mendengar ucapannya. Mengapa ada orang tidak tahu diri seperti dia, sudah ditolong sikapnya malah seperti itu. Memangnya aku yang suruh dia untuk membayar kamar ini. Jelas-jelas dia yang buat onar duluan. Tahu begitu tadi tidak akan kutolong.
“Ya! Kalau kau tidak mau bayar, silahkan pergi dari kamarku ini. Lagipula orang yang mengejarmu telah pergi jadi untuk apa kau masih disini? Menyesal juga aku telah menolongmu.”
“Kau pikir mereka dengan semudah itu pergi dari wilayah ini. Mereka pasti masih akan berkeliaran disini.” Jawabnya lagi dengan santai. Kali ini dia telah memejamkan matanya seolah akan tidur.
“Jadi, cepatlah bayar untuk extra person dan extra bed jika kau masih mau disini.” Aku menarik tangannnya agar ia terbangun dari tempat tidurku.
“Ah, kau ini cerewet sekali, baiklah aku akan membayarnya.” Akhirnya ia beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Hah! Kenapa tadi aku mau saja menolongnya?
“Sudah selesai. Sekarang aku mau istirahat dulu. Ok?” Ia pun merebahkan dirinya di atas kasur.
Aku menarik tangannya mengisyaratkan agar dia duduk.
“Apa lagi? Aku capek.”
“Kau belum menceritakan kenapa kau dikejar-kejar seperti itu. Cepat jelaskan kepadaku.” Aku menagih janjinya yang akan menceritakan semua sebab mengapa ia dikejar seperti itu, untuk meyakinkanku bahwa ia memang benar orang baik dan aku tidak salah menolongnya.
“Aku kabur dari rumah. Mereka adalah pengawalku dan mereka bertugas untuk membawaku pulang. Jadi mereka akan terus mencariku sampai ketemu.”
“Kau tinggal disini?” Aku semakin penasaran untuk menggali informasi tentangnya.
Ia menceritakan bahwa ia disini hanya untuk menjenguk neneknya. Neneknya adalah warga negara Thailand dan beliau tinggal disini. Ia juga bilang bahwa keluarganya dan juga dirinya sering berkunjung ke Thailand untuk menjenguk neneknya tersebut.
Kali ini aku mengernyitkan dahi, aku bertanya kepadanya untuk apa dia kabur dari rumahnya dan dia menjawab kalau dia menginginkan kebebasan walaupun itu hanya sehari saja. Aku tidak mengerti, apakah di rumah neneknya ia tidak pernah mendapatkan kebebasan? Mengapa ia sampai harus kabur dari rumahnya jika hanya ingin berjalan-jalan mengelilingi Bangkok. Yang jelas aku tidak mau tahu sampai sejauh itu, informasi yang diberikannya sudah membuatku cukup mempercayainya.
Aku bermaksud untuk pergi dari hadapannya dan merapikan barang-barangku, tapi ia menarik tanganku. Ketika aku berbalik badan, aku sudah menemukan ekspresi wajahnya yang memelas. Dalam hati aku berpikir, kali ini apalagi yang ia inginkan dariku. “Wae?” Ucapku ogah-ogahan kepadanya.
“Bolehkah aku menginap disini bersamamu?”