CHAPTER 1 : Chapter 1
Telingaku seakan tuli ketika tiba-tiba saja lampu di seluruh gedung mulai dipadamkan dan teriakan histeris di sekitarku mulai membahana. Refleks, kututup telinga dengan kedua tangan sembari menahan napas - ini menjadi ritualku dalam mengendalikan emosi.
Walau enggan, tampilan layar besar di hadapanku yang mencolok, membuatku mau tak mau memandangnya juga. Jeritan histeris di sekitarku makin menjadi-jadi - yang kurasa mampu meruntuhkan gedung ini - ketika melihat sepuluh pria yang berkostum serba putih sedang menunggang kuda putih bak pangeran dalam dongeng yang sejak kecil kubaca.
Oke, aku tahu mereka tampan. Tapi aku tak sedangkal itu untuk mencintai hanya karena fisik mereka yang nyaris sempurna. Harus kuakui, mereka bertalenta - layak untuk diidolakan - namun aku sangat tak mengerti kenapa gadis-gadis di gedung ini harus berteriak sedemikian histeris hingga pita suara mereka nyaris pecah hanya demi pria-pria di atas panggung itu. Apa mereka mengenali para fansnya satu persatu? Potong tanganku jika jawabannya ya! Lalu, kenapa mereka masih rela berdesakan, jejeritan begitu demi orang yang tak mengenal mereka? Aku sungguh tak paham!
Lalu, kau akan bertanya: jika kau tidak menyukai suguhan di atas panggung itu, mengapa kau berada di dalam gedung-yang-mungkin-sebentar-lagi-akan-runtuh? Oke, aku akan menjawabnya. Sebenarnya aku terjebak! Catat itu, aku terjebak!
Siapa yang menjebak? Kau tidak akan percaya jika kuberitahu yang menjebakku masuk dalam gedung ini adalah Haelmoni! Kau kaget? Apalagi aku!
"Hyuna! Ayunkan light stick-mu! Jangan seperti bebek di kandang ayam!" pekik Haelmoni dengan suara tertahan tepat di telinga kiriku sambil mengayunkan light stick-nya dengan penuh semangat, tak kalah dengan para remaja.
Haelmoni selalu memukauku dengan pengandaian ajaibnya.
"Iya, aku tahu," jawabku malas, kemudian mengayunkan light stick biru - yang dibelikan Haelmoni - tanpa minat.
*
Super Show baru saja selesai dengan skor tiga setengah dari lima bintang dariku. Bukan karena tidak menarik. Panggungnya spektakuler, kostumnya oke, lagu-lagunya juga tak buruk. Tapi entahlah...mungkin karena aku memang bukan tipe orang yang suka dengan hal-hal seperti itu. Terlebih, aku benci dengan tingkah mereka yang sok tampan dan sok imut dalam waktu bersamaan, setiap kali berada di dekat fansnya yang terus jejeritan hingga matanya berair karena terlalu girang. Itu kenapa, aku seperti alien yang tersesat di bumi ketika berada di tengah-tengah fans Super Junior yang menyebut diri mereka ELF.
"Haelmoni, ayolah... Aku sudah sangat lelah... Bisakah kita langsung pulang saja?" bujukku sembari memamerkan mimik wajah memelas.
"Tidak bisa! Ini kesempatan langka!" seru Haelmoni tertahan - karena suaranya yang mulai menua. Aku sungguh bersyukur, beliau tidak ikut berjerit histeris ketika melihat para member Super Junior di atas panggung.
"Haelmoni!" rengekku.
"Ayolah... Kenapa ketahanan tubuh anak muda sepertimu malah lebih buruk dari pada Haelmoni yang sudah hampir tujuh puluh tahun?!" marahnya. "Makanya, seharusnya kau ikut Haelmoni jogging setiap pagi!"
Baiklah, aku menyerah. Jika Haelmoni mulai membicarakan soal kesehatan dan olahraga, aku perlu dengan segera mencari kapas atau sejenisnya untuk menyumbat telinga. Haelmoniku adalah tipe manusia yang paling peduli kesehatan yang pernah kukenal seumur hidupku. Ia bervegetarian, rajin berolahraga setiap hari, dan selalu tidur tepat waktu. Baginya, kesehatan adalah segalanya. Dan aku adalah si cucu durhaka yang setiap hari melanggar aturan mainnya dengan membolos jadwal olahraga, diam-diam memakan samgyupsal yang super enak, dan selalu tidur lewat tengah malam.
"Tapi, apa Haelmoni yakin kita bisa masuk?" tanyaku, dengan niat untuk mengendurkan keoptimisannya. "Yang aku tahu, mereka pasti dijaga bodyguard."
Haelmoni berdecak sebal sambil mendelik ke arahku. "Tadi kita cukup mencolok sampai para member menyapa kita secara khusus saat akhir konser."
Kita? Bukan! Haelmoni saja!
Yah, berkat Haelmoni, kami menjadi ‘fans spesial’ yang disorot lampu putih saat acara selesai dan para member berjalan di sepanjang panggung untuk menyapa fans mereka. Kulihat salah satu member memfokuskan pendengarannya pada headset yang disumbat di telinganya, lalu meminta teman-temannya untuk berhenti berjalan dan memandang arah lampu sorot. Ketika melihat Haelmoni di bangku VIP, mereka tampak terkejut sekaligus senang. Kemudian dengan kompak, mereka membungkuk menyapa Haelmoni sambil mengucapkan terima kasih.
Dan, Haelmoni seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya yang dianggap spesial oleh staf (hingga disorot dan memberitahu para member akan keberadaannya) dan member super junior, langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk menyambangi idolanya di belakang panggung.
"Maaf, Anda siapa? Ada perlu apa?" tanya salah satu bodyguard yang tengah menjaga pintu menuju belakang panggung.
"Saya ingin bertemu Super Junior," kata Haelmoni dengan lantang sembari menunjukkan sebuah kartu - yang tak pernah kutahu apa itu - kepada bodyguard itu.
Si pria kekar berseragam hitam itu segera mengangguk dan memberi jalan bagi Haelmoni dan aku untuk masuk.
Aku takjub.
"Haelmoni, kartu apa yang Haelmoni tunjukkan pada pria itu?" tanyaku penasaran.
Haelmoni terkekeh penuh kemenangan lalu menyodorkan kartu pink-putih tepat di depan wajahku.
Mataku membesar, tiga kali lipat. Dari mana Haelmoni mendapatkan kartu akses SM Entertainment?! Apa aku ternyata adalah anak dari Lee Sooman?! Astaga, aku mulai ngaco.
"Dari mana Haelmoni mendapatkannya?"
"Nanti Haelmoni ceritakan padamu. Sekarang, kita bertemu Super Junior dulu! Haelmoni sudah membawa album-album mereka untuk ditandatangani!" serunya sembari mengangkat tas tangannya yang aku tahu berisi album Super Junior.
Tak ada yang dapat kulakukan selain menghela napas berlebihan. Ini aneh! Seharusnya akulah yang sangat bersemangat bertemu member Super Junior, bukannya Haelmoni yang berusia enam puluh sembilan tahun. Dan celakanya, karena posisiku sebagai cucu sangatlah tak berpengaruh, aku hanya bisa mengekor ke mana pun Haelmoni melangkah - sesuai pesan ayah sebelum beliau berangkat ke Jepang untuk mengurus bisnisnya. Ayah berjanji akan membelikanku mobil Audi keluaran terbaru jika aku bersedia menjaga dan menemani Haelmoni selama ayah tak di Korea.
Yah, demi Audi seri terbaru, aku akan dengan setia mengekor Haelmoni ke mana pun beliau pergi. Termasuk untuk bertemu para pria-sok-tampan bernama Super Junior!
Kusembunyikan tubuh di balik punggung Haelmoni ketika pintu ruang istirahat member Super Junior dibuka. Bukan! Bukan karena aku malu, terlebih karena sungguh tak berminat. Apa yang kauharapkan jika bertemu mereka? Berteriak histeris? Tentu saja tidak! Kau pikir aku seperti gadis-gadis berotak dangkal di gedung tadi? Ups, bahkan Haelmoniku termasuk kategori itu jika saja beliau tak lupa suaranya yang mulai menua.
"O! Haelmoni!" seru salah satu member Super Junior yang membukakan pintu - dan aku tidak memiliki petunjuk siapakah namanya.
Dari balik punggung, aku dapat menebak, Haelmoni pasti tengah memamerkan sederet gigi palsunya di depan pria-sok-imut itu.
"Sungmin-ku yang imut!" seru Haelmoni sembari mencubiti pipi pria yang ternyata bernama Sungmin.
Apa aku tidak salah lihat? Pria bernama Sungmin itu dengan bodohnya membiarkan Haelmoni mencubiti pipinya? Mengapa mereka sepertinya sudah saling mengenal sebelumnya?
Astaga, kepalaku mulai pusing.
"Hahaha. Masuklah, Haelmoni..." Sungmin mempersilakan Haelmoni untuk masuk.
Karena hanya Haelmoni yang dipersilakan masuk, aku tentu sangat amat tahu diri untuk tidak ikut melangkah. Kubiarkan Haelmoni digandeng Sungmin.
Oh! Sepertinya Haelmoni lupa kalau beliau sedang bersama cucu tunggalnya!
Kutiup poni dengan kesal.
"Ah, agasshi, masuklah...," ajak Sungmin ketika menyadariku masih berdiri di depan pintu.
Baru saja aku akan membuka mulut untuk menjawabnya, suara dari dalam ruangan meninju dadaku.
"Ya! Sajangnim hanya berpesan untuk bertemu Haelmoni! Kenapa kau malah mengajak orang lain?!"
Kulihat Sungmin melebarkan matanya kemudian menoleh ke arah sumber suara.
"Ya! Kyuhyun, dia itu cucu Haelmoni!" seru Haelmoniku lantang. Untunglah di saat seperti ini Haelmoni masih bersedia mengakuiku. Kupikir, setelah bertemu idolanya, Haelmoni tiba-tiba terserang amnesia akut hingga melupakan cucunya.
"Mana kutahu dia cucu Haelmoni," jawab pria bernama Kyuhyun yang tak dapat kulihat bagaimana bentuk wajahnya karena aku masih setiap berdiam di depan pintu.
"Kau ini! Sopan sedikit pada Haelmoni," kata seorang yang lain, memperingati Kyuhyun.
"Coba kau contoh Leeteuk," puji Haelmoni. Dari suaranya, aku tahu, mood-nya sudah kembali normal walau sempat dianjlokkan Kyuhyun yang tak tahu sopan santun itu.
Apanya yang artis besar? Dia bahkan tidak tahu bagaimana cara memperlakukan tamu dan orang yang lebih tua darinya.
Minus poin!
Sungmin kembali memandangku - setelah sebelumnya berfokus pada apa yang terjadi di dalam ruangan. Ia tersenyum manis, hingga aku nyaris memuntahkan seluruh makan siangku, lalu mempersilakanku masuk.
"Tidak perlu. Aku akan menunggu di sini," jawabku tenang sembari memaksa seulas senyum.
"Tidak baik di luar sendiri, lagipula tidak ada kursi di sekitar koridor," bujuk Sungmin - yang kutahu pasti hanyalah basa-basi tak bermutu hanya agar terlihat baik.
"Jika dia tidak berniat masuk, biarkan saja!" seru suara yang kukenali sebagai Kyuhyun dari dalam ruangan.
Jika tidak ingat ada dua bodyguard tak jauh dari tempat aku berdiri saat ini, aku bersumpah akan menyeret pria bernama Kyuhyun itu keluar dan menjitak kepalanya dengan sepatu ketsku!