CHAPTER 1 : DIDN’T KNOW ME
Boneka Teddy Bear itu terus-terusan menatapku dari jendela—di belakangnya sedang hujan. Boneka Tedy Bear itu ku dapatkan seminggu yang lalu, dua hari setelah aku putus dari pacarku, sehari setelah Badut Beruang, Teddy Bear, meghidariku di taman hiburan—saat temanku mencoba mengiburku yang baru patah hati, lalu mengajakku berfoto dengan badut beruang yang justru malah menghindariku—rasanya menyakitkan sekali saat kau butuh hiburan segalanya malah menjauh—Besok harinya setelah bertemu dengan badut beruang itu aku malah dapat boneka beruang. Barangkali boneka itu dari mantan pacarku yang merasa bersalah. Jika itu benar, rasa bersalahannya tidak berati apa-apa setelah aku tahu dia sudah berpacaran dengan perempuan lain.
Pagi ini hujan lagi—seperti hatiku—semenjak tiga tahun lalu aku benci dengan hujan, itu karena nama cinta pertamaku mempunyai arti Hujan. Gara-gara dia juga aku malah pacaran dengan orang lain yang menyebabkan hatiku hujan terus-menerus selama seminggu ini—dia tidak pernah peduli, dan untuk apa? Sial juga menjadi aku, setelah telambat menemukan cinta pertama, aku malah salah jatuh cinta. Cinta pertamaku itu teman satu angkatan, satu kelas dengan ku, aku mengenalnya saat kami baru menjadi mahasiswa baru. Aku mulai jatuh cinta dengannya saat kami berpapasan di depan pintu pada hari pertama masuk kuliah.
Hari itu dada ku berdebar aneh sekali—aku baru pertama kali merasakan suasana seperti itu. Aku pikir hari itu adalah hari tersial dalam hidupku. Di hari pertama aku malah terlambat datang ke kelas . Tapi saat sampai di depan pintu masuk, hari tersial dalam hidupku berubah menjadi hari yang sangat indah. Saat itu dia berdiri di depan pintu masuk, dan hampir bertabrakan—dia yang hendak keluar, sedangkan aku yang akan masuk dengan terburu-buru. Dia adalah laki-laki pertama yang ku temui dengan tubuh yang sangat tinggi, belakangan ku tahu dia mempunyai tinggi sekitar 183 CM dan itu sangat jauh dengan postur tinggiku yang hanya 150 cm.
Aku jatuh cinta dengan tatapannya...
Tapi... ku rasa aku hanya jatuh cinta dengan fisiknya.
Dia sangat tampan, dan berasal dari kalangan sosial atas. Itu yang menyebabkan ku menyerah untuk jatuh cinta lebih dalam dengannya. Setelah beberapa tahun menyukainya akhirnya aku menemukan seseorang yang membuatku jatuh cinta—ku pikir aku bisa melupakannya dengan cara itu... tapi aku malah terus-terusan tidak bisa melupakannya. Meski aku pernah pisah kelas beberapa kali dengannya, tetap saja perasaan itu tidak bisa hilang, meski aku telah berpacaran selama lima kali pun bayangannya tidak pernah pudar di hadapan ku. Teman-teman ku bilang, memang begitulah cinta pertama... kita tidak bisa melupakannya meskipun kita telah menemukan orang sudah cocok dengan kita sekalipun. Bagi kebanyakan orang cinta pertama cukup jadikan sebagai kenangan... Bagiku, menjadikannya itu kenangan masih sangat sulit.
Saat bertemu dengannya pertama kali, aku pikir dia adalah seorang artis atau sebangsanya, tapi dugaan ku salah. Dia jauh dari hal itu—bahkan dia mempunyai sikap hampir sama denganku. Kami berdua adalah orang-orang penyendiri. Sama halnya seperti ku, dia tidak pernah terlibat banyak dengan banyak orang. Dia yang jarang sekali terdengar suaranya. Dia yang selalu menyendiri di bangku belakang, menghabiskan waktu sendirinya untuk mendengarkan musik melalui earphonenya. Mungkin itu yang menjadi daya tarik perempuan-perempuan dikelas, di fakultas bahkan di kampus ku yang sangat besar itu. Banyak dari teman-teman peremuanku mengakui secara terang-terangan bahwa mereka menyukainya. Tapi banyak juga dari mereka yang menyerah dan di tolak terang-terangan olehnya. Hampir sebagian orang menganggapnya sombong, mungkin karena status sosialnya (?) Aku pikir aku bisa juga mengakui secara terang-terangan—walaupun hanya dengan teman perempuan di kelasku—kalau aku menyukainya, setidaknya aku bisa patah hati karena dia menolakku dan dengan begitu aku bisa dengan cepat melupakannya.
Percuma saja, tiga tahun ini aku malah tidak pernah memakai kesempatan-kesempatan ini.
Bahkan sampai dia menjadi model di sebuah majalah ternama di kotaku dua bulan lalu, aku malah semakin berat mengungkapkan perasaanku, sebagai gantinya aku malah menerima seseorang yang baru untuk menutupi bayangannya. Tentu saja, aku akan semakin di tolak tanpa mengungkapkan perasaanku—tentu saja, standarnya semakin tinggi semenjak ia menjadi model.
Kini bukan di depan halte saja aku bertemu dengannya setiap hujan—saat kami akan pergi ke kampus—kini aku sering bertemu wajahnya di majalah-majalah yang berdiri tegak di jendela-jendela toko buku yang sering ku kunjungi. Menyebalkan namun sangat menyenangkan.
Aku sangat yakin aku akan bertemu dengannya di halte itu lagi... halte yang hanya berjarak lima puluh meter dari gerbang kampus ku. Benar saja dia sedang berdiri di halte itu, sekan-akan sedang menungguku untuk pergi ke kelas yang sama di pagi ini.
“Glaw, mau bareng?” tentu saja aku hanya berbasa-basi dengannya. Ini bukan basa-basi pertamaku saat hujan, lagi pula mana mungkin kami berada di satu payung bersama, payungku sangat kecil dan pendek—tidak cocok untuk tubuh kami yang timpang. Dan tidak salah lagi dia pasti akan menolak.
“Ah, duluan saja...” Katanya menatapku sebentar, tersenyum, lalu kembali melihat buliran hujan yang jatuh di depannya.
“Aku juga tidak bisa duluan...” dia menoleh mendengar perkataanku.
“Kamu tahu sendiri pak Ray tidak suka dengan orang yang telambat.”
“Aku pakai sepatu kain—lagi pula jalanannya banjir. Aku tidak suka sepatuku basah apalagi di dalam kelas.” Jelasku, dia mengangguk-angguk.
“Kau sudah baikkan?” Tanyanya lagi, sambil menatap hujan.
“Eh?”
“Eh?” dia menatap setelah mendengar gumamku. “Kau terlihat frustrasi akhir-akhir ini... kau sudah baikkan?”
Tunggu, apa dia sedang memperhatikanku akhir-akhir ini. Dia peduli denganku? Benarkah? Apa aku sedang tidak bermimpi?
Atau memang wajah ku yang menyedihkan akhir-akhir ini terlihat sangat jelas dan menganggu, itu sebabnya dia bertanya seperti ini.
“Oh... tentu saja aku baik.” Dia mengangguk lagi.
Setelah itu kami tidak berbicara lagi... sampai hujan reda akhirnya dia mengajakku untuk pergi dari halte itu. Walau masih gerimis, dia masih saja menolak untuk satu payung dengan ku—dia masih berjalan di sampingku—tidak enak juga jika aku memakai payung sedangkan dia yang berada di sampingku malah tidak. Jadi aku memutuskan ikut-ikutan berada di satu gerimis yang sama dengannya.
“Kenapa kau menutup payungmu?” Keluhnya sambil berhenti.
“Kita terlihat seperti orang musuhan tau...” jawabku.
Dia menyodorkan tangannya seperti meminta sesuatu. “Apa?” Tanyaku tidak mengerti, karena terlihat seperti orang bodoh akhirnya dia mengambil yang baru saja ku tutup dari tanganku lalu membukanya kembali.
“Ayo...” Aku menatapnya tidak mengerti, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Bagi orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan sepertiku—lalu mendapat perlakuan seperti ini tentu saja akan salah tingkah. Untung saja salah tingkah ku tidak membuat diriku dan dia menjadi memalukan di depan umum.
Aku mengangguk lalu jalan di sampingnya. “Percuma saja kita pakai payung...”Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, ternyata dia mengerti apa yang akan ku katakan. Dia memiringkan payung ke arah kepalaku agar aku tidak terlalu basah.
“Aku tidak tahu apa yang harus disalahkan... Payungku yang kecil—badannya yang tinggi—atau keadaannya...” Dia tertawa, menatapku sebentar yang berada dua puluh centi di bawahnya. Melihat tawanya mendadak hatiku yang hujan semakin tambah hujan... setidaknya hujan ini yang aku tunggu-tunggu.
Tidak terasa kami sampai di kelas. Dia mewakili ku untuk menutup payung dan menaruhnya di kerajang payung. Setelah itu dia duduk disebelahku—untung saja, kali ini pak Ray yang terlambat masuk bahkan dia tidak masuk sampai kelas berakhir.
Di dalam kelas aku menyibukkan diriku untuk membaca novel seperti biasanya untuk mengisi kekosongan, begitupun dengan Glaw... Dia hanya meletakkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat di atas meja lalu mendengarkan lagu. Hanya saja, hari ini ada yang tidak biasa di antara kami berdua... Glaw tidur menghadap ke arahku. Wajahnya yang tertidur terlihat seperti bayi... Melihatnya seperti itu mendadak aku menjadi malu sendiri, aku membuang wajah ku ke arah jendela yang berada di sampingku untuk sesaat, hanya untuk menyembunyikan senyumku.
Aku sudah lama menantikan hal seperti ini... Akhirnya itu menjadi kenyataan juga.
Setelah kelas berakhir, semuanya kembali seperti biasanya... Aku dan Glaw berpisah. Setelah itu tidak ada hal yang istimewa. Orang-orang juga tidak menaruh curiga kepada kami berdua, jelas orang-orang hanya mengetahui aku hanya teman sekelas dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang lain.
Setelah pertemuan dengan Glaw di hari itu berakhir hatiku kembali menjadi rapuh... aku kembali menjadi orang yang patah hati karena teringat dengan rasa sakit yang diberikan mantan pacarku... Aku tidak mengerti kenapa aku menjadi sakit hati dan patah hati seperti ini, padahal aku tidak mencintai mantanku seperti mantan-mantanku yang lain. Mungkin saja ini karena aku yang terlalu sensitif... hatiku terlalu mudah untuk terluka. Bahkan saat aku mau foto dengan Badut Teddy Bear di taman bermain seminggu yang lalu pun aku menangis karena dia menghindariku, walau hanya sesaat akhirnya dia mau berfoto denganku, namun tetap saja aku terlanjur patah hati karena dia menghindar jadinya aku memilih untuk pergi saja sekalian.
Dua hari ke depan aku tidak bertemu dengan Glaw lagi, sebenarnya dalam seminggu aku hanya bertemu dengan Glaw di kelas hanya dua kali. Selebihnya aku tidak satu kelas dengannya.
Di hari selanjutnya setelah tidak bertemu denganya, aku bertemu dengannya lagi secara tidak sengaja di tempat kursusku selama tiga hari berturut-turut. Dua hari Glaw tidak tahu kalau aku melihatnya datang ke tempat kursusku... di hari ketiga aku baru bertatap muka denganya. Namun, dua hari selama dia tidak tahu aku sedang memperhatikan kemunculannya secara tiba-tiba itu, aku menemukan sesuatu yang tidak pernah ku lihat dan ku tahui sebelumnya. Ternyata selama ini Glaw mempunyai pacar, dan pacarnya berada di tempat kursus yang sama denganku.
Dua hari itu aku tidak melihat Glaw bertemu dengan pacarnya. Yang aku lihat Glaw hanya duduk di bangku di taman di seberang kelasku—kelasku mempunyai jendela yang tidak bisa terlihat isinya jika dilihat dari luar kelas, selama dua hari itu aku duduk di samping jendela untuk melihat keberadaan Glaw. Glaw yang sendiri menunggu pacarnya...
Aku tidak yakin... tapi aku rasa dia memang sedang menunggu pacarnya yang ternyata sia-sia.
Di hari pertama, dia datang membawa sebuket bunga yang sangat indah sambil duduk menunggu seseorang yang tidak ku ketahui siapa sebenarnya, sesekali dia selalu mengecek ke jendela yang terbuka lebar yang letakknya berada di belakang bangku. Sampai hari kursus berakhir—selama tiga jam—dia hanya pulang dengan kehampaan... dia tidak bertemu dengan siapapun. Di hari kedua, aku melihatnya duduk di tempat yang sama, kali ini dia tidak membawa apaapun... dia hanya duduk, terkadang berdiri di samping jendela—bolak-balik untuk mengecek keberadaan seseorang yang ditunggunya, dan hasilnya sama seperti hari pertama, dia tidak bertemu dengan siapapun.
Terkadang aku bertanya-tanya... siapa yang sedang ditunggunya... aku merasa kasihan dengannya. Aku pikir ini juga yang menjadi alasannya dia menolak perempuan-perempuan yang menembaknya. Ternyata dia juga mempunyai seseorang yang sedang ditunggu-tunggunya.
Di hari ketiga ini, aku lagi-lagi melihatnya. Kali ini dia datang membawa kotak hadiah berwana biru dengan pita yang diikat rapi. Sampai menjelang petang, lagi, aku tidak melihatnya bertemu dengan orang yang tiga hari ini ditunggunya... melihatnya yang selalu seperti itu aku menjadi jengkel dengan orang yang mengabaikannya selama tiga hari ini—selain itu aku juga jengkel karen tiga hari ini aku dibuat tidak fokus karena terus-terus melihat Glaw seperti itu.
Malam mulai menyapa—aku tahu Glaw tidak bodoh, tapi aku tidak mengerti kenapa dia mendadak menjadi bodoh seperti hari ini. Setelah dia bolak-balik dengan gelisah menunggu orang yang tidak datang-datang juga, kini dia hanya duduk sambil memeluk kotak hadiah di bawah hujan seperti orang bodoh yang tidak mengerti sama sekali hujan telah membasahi tubuhnya.
Glaw, kamu basah bodoh!
Aku memaki dalam hati. Sebenarnya siapa orang bodoh yang berani-benani mencampakan cinta pertama ku itu. Haruskah aku mencarinya dan mengatakan kenyataan yang ku lihat selama ini. Orang ini tidak main-main dengan perasaannya. Seharusnya orang yang sedang ditunggunya itu mengerti dia salah mencampakkan orang seperti Glaw.
Karena fokus ku terganggu akhirnya aku meminta ijin dengan guruku untuk pulang duluan. Aku tidak bisa membiarkan fokus belajarku selama tiga hari ini terganggu dengan keberadaan Glaw yang menyedihkan seperti itu.
Hujan menghujam payungku dengan sangat deras. Hari ini aku tidak membawa payung lipatku yang kecil... beberapa hari kemarin setelah bertemu dan satu payung bersama Glaw, aku berinisiatif untuk membawa payung yang lebih besar, aku tidak peduli jika harus menenteng payung besar kemana-mana.
Aku berdiri di depan Glaw yang menunduk memeluk kotaknya, sambil memayungi dirinya yang menyedihkan. Menyadari kehadiranku, Glaw menegakkan punggungnya sambil melihatku... matanya yang hampir putus asa. Dia menatapku sangat dalam, lalu menarik napasnya sejenak. Dia terlihat putus asa sekali—sangat kacau, rambutnya yang selalu terlihat keren itu kini lepek karena basah.
Dia berdiri... menyadari pergerakkan itu aku mudur agar tidak menabrak badannya. Dia tidak berbicara. Hanya berdiam sambil menatapku... karena dia sudah berdiri, jadinya aku tidak bisa memayunginya. Tidak lama dia berdiri, menatapku dengan tatapan putus asa... dia pergi.
Dia pergi tanpa mengeluarkan kata-kata.
Tidak menoleh kebelakang sekali pun, dia hanya pergi.
Bukankah ini menyakitkan? Apa aku salah berniat baik? Bahkan aku membolos di kelas kurususku untuknnya...
Aku berdiri tidak percaya menatap punggungnya yang pergi meninggalkanku.
Saat hujan reda pun aku masih berdiri sambil bersandar di samping jendela yang selama ini menjadi pusat perhatiannya. Satu, dua jam berlalu... aku masih memikirkan hal yang menyakitkan itu. Apa mungkin dia malu karena aku memergokinya seperti itu? Mungkin dia butuh sendiri karena kekecewaannya...
Tapi hatiku merasa hancur... bagi seseorang yang jatuh cinta dengannya, ini sangat menyakitkan.
Aku pulang dengan kekecewaan yang sama dengannya, mungkin seperti itu... aku tidak pulang ke rumah, melainkan aku pulang ke arah taman bermain yang seminggu lalu ku datangi.
Aku datang mempunyai tujuan kali ini... tujuanku tidak lain ke arah badut beruang yang sedang berjoget-joget menghibur pengunjung yang datang. Aku mempercepat langkah ku saat menangkap badut itu di radius sepuluh meter. Setelah berada di dekatnya, aku tidak tahu roh apa yang merasuki ku sampai-sampai aku menarik bulu badut beruang itu—yang berada di belakang kepalanya—sampai dia mencoba menahan tarikanku dengan kesulitan agar kepala beruang yang digunakannya tidak terlepas.
“Kau itu hanya beruang jelek!” Teriakku, saat itu aku menangis. Beruang itu terdiam di tempat sambil melihat orang gila ini berteriak kearahnya—dengan ekspresinya yang tersenyum. Aku tidak lagi menarik kepala beruang itu—orang yang berada di sekitar kami melihat aneh reaksiku yang seperti orang gila. “Kau tidak usah sok jual mahal hah! Huhuhu....” Aku menangis sangat kencang. “Kenapa kau menghidariku hah! Beruang jelek! Tunjukkan kepada ku kenapa kau menghindariku?! Huhuhu...” Aku mengelap hidungku yang hampir mengeluarkan ingus. Beruang itu tidak bereaksi, dia mematung. “Tunjukkan kenapa semua orang menghindariku?! Sebelum aku pergi ke kota ini teman-teman ku masih mau menghubungiku... mereka menghidariku sekarang, bahkan tidak mau mengangkat lagi teleponku... Pacar ku minta putus! Kau si beruang jelek sok jual mahal tidak mau menghiburku, malah menghindariku! Dan sekarang Glaw menghindari ku juga... huhuhuhu...” Aku terisak. Orang-orang semakin memperhatikkanku. “Apa yang salah denganku...” Aku masih terisak. “Apa aku tidak boleh jatuh cinta dengan orang seperti Glaw?! Apa dia tahu kalau aku berpacaran selama ini agar aku tidak terlalu jatuh cinta dengannya! Apa dia tahu kalau ini menyakitkan...huhu... Kenapa dia harus jadi cinta pertama ku.... huhuhu... kenapa juga aku di temukan dengan orang sesempurna dia. Kenapa aku yang di takdirkan menjadi tidak sempurna...huhu” setelah melampiaskan segala kekesalan yang selama ini ku pendam kepada beruang malang itu, akhirnya aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku hanya tenang sesaat, selanjutnya aku kembali menangis saat menyadari betapa bodohnya aku tadi. Kenapa aku malah menjadi gila di taman bermain dan berteriak-teriak seperti itu.
Ku pikir aku sudah menyadari kebodohan ku, ternyata aku masih tetap saja bodoh. Dan ku pikir aku malah kerasuskan setan benaran—besok harinya aku kembali berulah.
Besok harinya, aku tidak ikut kursus, malahan aku pergi ke taman bermain itu dengan membawa boneka beruang yang ku dapatkan tanpa tahu siapa pengirimnya. Boneka beruang ini ku dapatkan dari pengirim misterius yang di titipkan kepada seorang pengantar dari toko boneka yang dengan konyolnya datang di saat pelajaran kuliah ku sedang berlangsung. Dengan kedatangan tiba-tiba itu seluruh penghuni kelas, waktu itu, tentu saja terkejut, untung saja dosen yang sedang mengajar waktu itu sangat baik dan mau mengijinkan pengantar itu melaksanakan tugasnya.
Sore yang masih terang ini aku datang ke taman bermain dengan wajah penuh amarah menenteng boneka yang malang itu ke tempat si badut beruang sedang berkerja.
Sesampainya disana aku langsung melemparkan boneka beruang itu ke badut itu tanpa permisi. Saat itu pengunjung taman bermain sedang sepi-sepinya. Jadinya si badut hanya berdiri memandangi pengunjung-pengujung yang jauh darinya.
Si badut dengan cekatakan menangkap boneka berang itu sebelum terjatuh. Dia menaikkan bahu, seakan bertanya kenapa aku melemparkan boneka malang itu kepadanya.
Jadi ku katakan dengan terus terang bahwa aku tidak suka melihat boneka beruang itu... boneka beruang itu mengingatkanku dengan si badut dan orang-orang yang mengindariku.
Si beruang tidak berbicara. Dia menyodorkan kembali boneka beruang itu kepadaku. Setelah itu dia menangkupkan kedua tangannya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, hanya menautkan alis lalu kembali menyodorkan boneka itu kepadanya... kami saling menodorong boneka... hingga akhirnya dia mencoba memeragakan tangannya seperti sedang menulis, hingga akhirnya aku mengerti dia meminta kertas dan bolpoin.
Si badut beruang itu membuka sarung tangannya. Dia mengambil dengan cepat buku dan bolpoin yang belum siap ku berikan kepadanya.
[Maaf, aku tidak bermaksud menghindarimu] dia menulis sangat cepat sekali, lalu memperlihatkan lembaran tulisannya kepadaku.
[ Hanya saja aku belum terbiasa bertemu dengan mu...]
Sebelum aku bertanya “kenapa” dia kembali menuliskan seuatu di halaman selanjutnya.
[dengan perempuan manis seperti mu]
Lalu dia memeluk buku itu, lalu mengoyang-goyang badanya... seakan-akan malu telah menuliskan kalimat seperti itu. Aku yang melihatnya seperti salah tingkah ikut-ikutan tersenyum. Entah mengapa mendadak aku jadi tidak terbakar seperti sebelumnya.
Dia menulis lagi. [Jika kau sedih, aku siap menghiburmu... Aku janji!] dia memperlihatkan halaman lalu menunjuk boneka beruang yang berada di tanganku sebelum menuliskan sesuatu lagi. [Jangan tinggalkan dia sendiri, bawa dia pulang ya.]
“kenapa kau tidak berbicara?”
Da tidak menuliskan jawabannya, sejenak dia melambaikan tanggannya ke arah pengunjung yang tertarik dengannya. Dia menaruh buku dan bolpoin ku yang dipinjamnya ke dalam kantung, seperti kantung kangguru di baju badutnya, lalu memakai sarung tangannya kembali dan meminta ku untuk menunggunya.
Entah mengapa aku malah menuruti permintaannya dan menunggu dia melayani pengunjung sambil membaca novel di bangku yang terletak di samping dia berdiri. Sesekali aku melihatnya dengan riang menghibur dan melanyani sesi foto-foto.
Dia sangat lama sekali untuk ku tunggu, tapi aku tidak bosan menunggunya. Lampu menyala menandakan mulai malam, akupun belum beranjak dari tempatku. Sampai akhirnya dia beristirahat dan duduk di samping ku—agak sedikit sempit karena badan badut beruang itu cukup besar—dia menuliskan sesuatu lagi lalu menunjukkannya kepadaku.
[Kau menungguku?] Aku menggeleng. [Lalu kenapa masih disini?] Aku menunjuk cover novel yang sedang ku baca—mengisyaratkan sedang membaca buku. [tidak lelah duduk di sini lama-lama?] aku menjawab dengan menunjuk ke dirinya, dan dia mengerti bahwa aku menanyakan balik kepadanya—menayakan apakah dia tidak lelah juga. Dia menaruh tangannya di kening kepala beruangnya. Itu terlihat sangat lucu—dia menandakan bahwa dia sangat lelah. Dia menulis lagi. [Kenapa tidak bicara?] lagi-lagi aku menujukkan telunjukku kepadanya. Lalu dia menulis [wajahku mempengaruhi suaraku.] aku menaikkan bahu, tidak mengerti. [JELEK] tulisnya membuatku tertawa. Dia menutup mulutnya menandakan dia juga ikutan tertawa, sambil mengayun-ayunkan perut gendutnya.
[Sudah merasa bahagia?] tulisnya.
“Bicaralah!” Tuntutku manja. Sambil menggoyangkan lengan besar bebulu cokelat miliknya—terasa seperti berbicara dengan beruang sungguhan.
Dia menunjukkan tulisan yang tadi, [Sudah merasa bahagia?] masih tetap tidak mau bicara.
Aku menaikkan bahu ku, melihat reaksiku seperti itu dia menyenderkan badanya di lengan bangku mendakan dia putus asa tidak bisa melihatku bahagia.
[Aku berjanji akan menghiburmu kalau kau sedih... tapi aku malah binggung. Bagaimana ya?]
Aku tersenyum, lalu menepuk lengannya menandakan aku tidak apa-apa. “Kau tidak merasa gerah memakai kepala besar itu?” dia menggeleng. “Sampai berapa lama kau harus memakai pakaian itu?”
Dia menggangkat sembilan jarinya. “Sembilan malam?” dia mengangguk. “Wuah kau hebat sekali.” Padahal sekarang menunjukkan masih jam tujuh. Saat itu aku menyadari aku sangat nyaman duduk dan berbicara dengan bahasa isyarat dengannya.
Aku tidak tahu siapa yang berada di balik pakaian beruang ini, tidak tahu laki-laki atau perempuan, tidak tahu tua atau masih muda, tidak tahu kenapa dia rela memakai pakaian ini—tapi aku merasa nyaman dengannya. Pengujung masih belum kelihatan untuk mengarah ke jalanan, tempat dia berkerja saat ini, jadi dia menghabiskan waktunya untuk melayaniku.
[Jadi bagaimana dengan Glaw?] Tunggu? Kenapa dia tahu tentang Glaw?
“Kenapa kau tahu tentang Glaw?” tanyaku setengah panik, apa mungkin dia bisa baca pikiranku.
[Kau berteriak kemarin menyebut namanya...] saat membaca tulisan itu aku tertawa, menahan malu.
“Jangan ceritakan kepada siapa-siapa ya.”
[Memangnya harus ku ceritakan dengan siapa?]
“Ah... bicaralah.... lama sekali menunggu mu menulis!” Aku menganggunya yang sedang menulis sambil menggoyang tangannya.
Hauuuum!!!
Dia mengaum, mengangetkan ku. Aku tertawa melihat reaksinya seperti beruang sungguhan yang marah... tapi tidak lama kemudian ku dengar suaranya tertawa... seperti suara seorang laki-laki... atau mungkin seorang perempuan bersuara ngebas... seperti suara bibiku.
“Nah...nah!” Kataku. “suaramu sudah ketahuan, sekarang bicara oke!” dia menggeleng lalu berdiri. Dia menunjuk kearah pengunjung yang mengarah ke jalan di tempat kami berada. Dengan cepat dia memakai sarung tangannya dan memintaku untuk menunggu sekali lagi, aku mengangguk menyetujui.
Lagi-lagi aku tidak bisa berharap dia selesai dengan cepat. Banyak sekali pengunjung, dan dia melayani dengan sangat baik, sampai-sampai tidak terasa waktu bergulir begitu cepat—jam kerjanya akhirnya berakhir. Dia menyentuh bahuku tanpa sarung tangan beruangnya yang besar. Aku yang tidak menyadari hal itu karena keasikan membaca. Saat aku menoleh, setangkai gula kapas sudah ada di depan wajahku.
“Eh?”
[Sebagai permintaan maaf membuat mu menunggu, dan menghindari mu waktu itu] dia sudah menyiapkan tulisan itu sebelum aku bertanya.
Aku mengambil gula kapas yang disodorkannya kepadaku lalu mengucapkan terima kasih dengan senyum yang lebar. Setelah itu dia memintaku untuk pulang karena malam, dan juga dia berpamitan dengan ku karena sudah lelah.
Akhirnya hari itu ku lewati dengan rasa bahagia yang sederhana.
Bahagia itu ternyata sangat sederhana.
Sesederhana aku melupakan Glaw dan orang-orang yang membuat hatiku terluka—hanya bertemu dengan beruang tanpa suara saja sudah membuatku tenang. Seperti anak kecil yang butuh hiburan saat sedang terluka... ternyata orang dewasa juga butuh seperti itu.
Sayangnya rasa tenang itu tidak lama...
Pukul dua belas malam hari itu... saat aku sedang akan ke klub malam aku bertemu dengan Glaw.
Ku pikir hari itu aku tidak lagi-lagi memikirkannya, ternyata salah. Aku terlalu banyak memikirkannya sampai-sampai aku dengan mudah bertemu lagi dengannya—sepertinya aku butuh beruang besar itu untuk menginjak kenangan dan harapanku tentang Glaw. Agar aku tidak lagi dengan mudah memeluk kenangan dan harapan yang dengan cepat menyergapku dengan kenyamanan yang ilusi.