CHAPTER 1 : Hope
Kau, tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di hari esok, ketidak pastian, kita hidup di dalam dunia yang tidak pasti. Sekarang kau tertawa, mungkin besok kau akan menangis, sekarang kau mendapatkan semua yang kau mau, dan mungkin besok, kau akan kehilangan semuanya.
Begitulah yang di pikirkan Min Seok, laki – laki bertubuh kecil itu. Dia masih ingat, dulu dia tinggal di rumah mewah, makanan enak, hidup bahagia bersama keluarganya. Tapi lihat dirinya sekarang, hidup di sebuah apartement kecil, bahkan lebih kecil dari pada kamar mandinya dulu, tidak punya pekerjaan, bahkan untuk makan saja dia selalu di berikan oleh tetangga sebelahnya.
Miris, Min Seok bahkan selalu mentertawakan kehidupannya yang sudah berubah 180 derajat.
Min Seok duduk di pingiran sungai Han, matanya menatap langit sore hari yang nampak mendung, sepertinya akan hujan, pikir Min Seok saat itu.
Baguslah, aku membutuhkan hujan untuk menyamarkan air mataku, batin Min Seok.
Mengingat kembali kejadian tragis yang menimpa keluarganya, 3 bulan yang lalu, kejadian yang menyebabkan dia kehilangan ayah dan adiknya, serta ibunya.
3 bulan lalu, pertengahan bulan Juni, Min Seok yang baru saja pulang dari salah satu rumah temannya, merasakan ada yang aneh saat melihat lampu rumah yang mati. Min Seok melihat jam yang melingkar di tangan kanannya, pukul 7 malam, belum terlalu malam, biasanya pada jam segini keluarganya pasti sedang duduk di ruang keluarga, membicarakan aktifitas mereka seharian itu, bercanda, saling menjahili, tapi ini snagat aneh, rumahnya terasa sepi.
“Ayah, ibu...” Panggil Min Seok saat membuka pintu.
Klik!
Min Seok menyalakan lampu, dan apa yang dia lihat selanjutnya berhasil membuatnya berteriak dan berlari, menghampiri sang ayah yang tergeletak di lantai, dengan darah segar menggenang di sekitarnya.
“Ayah !” Min Seok membalikan tubuh sang ayah, namun sayangnya ayahnya sudah tidak bernyawa lagi.
Matanya menyisir seisi ruangan, mencari keberadaan adik dan ibunya.
“Ibu, Sae Ra!” Min Seok berlari menaiki tangga menuju lantai atas, membuka satu – persatu pintu di depannya.
Hanya tinggal satu pintu, kamar sang adik.
Mata Min Seok membulat, kakinya gemetar melihat pemandangan menyeramkan sekaligus memilukan di depan matanya. Ibunya, tengah memeluk sang adik, dengan darah mengalir dari dada dan kepala mereka.
“Ibu.” Min Seok menggoyangkan bahu sang ibu.
“Sae Ra~ya.” Min Seok menepuk – nepuk pipi sang adik.
Tidak ada jawaban, hening, kemudian yang terdengar hanyalah suara teriakan Min Seok.
Seakan belum cukup duka Min Seok atas kepergian seluruh keluarganya, sang paman yang dia pikir akan menjaganya, nyatanya membuangnya, mengusirnya dari rumah seakan Min Seok bukanlah keponakannya. Min Seok berontak, dia menuntut apa yang menjadi hak nya, namun dia harus menelan pil pahit saat sang paman mengacungkan surat bertuliskan seluruh harta kekayaan ayahnya sudah di alihkan atas nama sang paman, dengan tanda tangan ayahnya tertera di sana.
Min Seok pergi, hanya dengan membawa tas ransel berisi baju, dan foto keluarganya, tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa siapapun di sampingnya.
Sampai pemuda iu, pemuda yang menjadi tetangga di sebelah apartementnya sekarang, mengulurkan tangan pada Min Seok yang akan melompat dari sunga Han di pertengahan bulan Juni itu
***
“hyuung tidak berniat melompat ke sungai Han lagi kan?” tiba – tiba saja seorang pemuda bermata bulat dengan tungkai panjang sudah berdiri di depan Min Seok.
Min Seok menggeleng, “Kenapa kau ada di sini , Chanyeol~ah?” tanya Min Seok pada pemuda bernama Chanyeol itu.
“Aku tadi ke tempat hyung, tapi hyung tidak ada di sana. Hyung membuatku panik saja.”
Chanyeol mengerucutkan bibirnya.
Min Seok menatap pemuda yang sekarang tengah mencabuti rumput di sekitarnya, wajahnya
tampan, dengan tubuh proposional, anak itu bisa jadi seorang idol kalau dia mau. Tapi dia
malah memilih menjadi seorang barista di salah satu coffe shop. 3 bulan, dia mengenal
pemuda bermarga Park itu. Dipertemukan dengan cara yang tidak biasa, Chanyeol yang
mengulurkan tangan untuk menolong seorang pemuda yang hendak melompat dari sungai
han, dan Min Seok yang menerima uluran tangan sang penolong saat melihat mata tulus
orang itu.
“Chanyeol~ah.” Chanyeol menoleh pada Min Seok saat namanya di panggil.
“Ada apa hyung ? Kau tidak berpikir untuk mengajak ku melompat bersama mu ke sana kan
? Airnya sangat dingin hyung. Kita bisa sakit nanti.” Chanyeol mengusap kedua lengannya
sambil membayangkan dinginnya air sunga Han.
“Kenapa kau menolongku ?” tanya Min Seok.
“Eoh ?”
“Kenapa waktu aku melompat dari jembatan itu, kau menolongku?” Min Seok mengulangi
pertanyaannya.
“Bukannya menolong setiap orang itu memang sudah keharusan.” Chanyeol menjawab seraya menggaruk tengkuknya.
Min Seok menatap Chanyeol tajam, mencari jawaban yang lain di sana.
Chanyeol menghela nafas, “Karena aku bisa melihat diriku yang dulu di dalam dirimu hyung.” Jawab Chanyeol dengan nada serius.
Min Seok memberi tatapan bingung pada Chanyeol, dia selama ini memang selalu merasa ada yang di tutupi Chanyeol dengan sikapnya yang selalu ceria.
“Dulu, aku juga pernah melakukan hal yang sama sepertimu. Melompat dari atas jembatan itu.” Chanyeol menunjuk pada jembatan. “Dan berakhir di dalam air dingin itu.” Chanyeol mengalihkan jarinya menunjuk air sungai. “Percayalah hyung, airnya dingin sekali.” Chanyeol berusaha mencairkan suasana tapi Min Seok masih tetap memperhatikannya lekat – lekat, membuat Chanyeol berdehem.
“Kau, pernah mencoba untuk mengakhiri hidupmu juga ?” tanya Min Seok.
Chanyeol mengangguk, mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu yang hampir saja mengakhiri hidupnya sendiri.
“Tapi akhirnya kau selamat, apa ada yang menyelamatkanmu juga, seperti kau menyelamatkanku?” Tanya Min Seok mulai tertarik dengan kisah Chanyeol.
Chanyeol menggeleng, “Sayangnya, tidak ada yang menyelamatkan aku waktu itu. Aku menyelamatkan diriku sendiri. Itu pun di detik – detik terakhir saat aku berpikir akan benar – benar mati.” Chanyeol menelan ludah, sebelum melanjutkan kata – katanya.
“Kenapa, kau mau mengakhiri hidupmu?”
Chanyeol menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan itu,“Karena aku ingin menyusul ibuku, yang sudah ke surga. Aku kesepian, aku pikir, kalau aku menyusul ibuku aku tidak akan kesepian lagi.”
“Lalu, apa yang membuatmu akhirnya tidak jadi mengakhiri hidupmu?”
Mata Chanyeol menyipit pada Min Seok. “hyung, kau seperti polisi saja. Bertanya padaku seperti sedang mengintrogasi.”
Min Seok mendengus pelan sebagai jawaban, sementara Chanyeol menghela nafas, sambil menatap matahari yang sudah mulai menghilang.
“Saat aku jatuh ke dalam sungai itu, tiba – tiba saja bayangan ibuku muncul. Wajahnya sedih, aku tidak pernah melihat wajah ibuku sesedih itu. Kemudian aku sadar, ibuku akan sedih kalau aku melakukan hal bodoh itu. Karena itu, aku akhirnya berenang kepermukaan.”
"hyung seperti aku dulu. Aku memang tidak tahu bagaimana masa lalu hyung sebelum ini, tapi aku bisa melihat kita punya kesamaan." Chanyeol menatap Min Seok sambil tersenyum, sementara Min Seok mengerutkan dahinya, seolah berkata 'apa kesamaan antara kita?'
"Kita sama - sama kesepian."
Min Seok menyadari, apa yang Chanyeol bilang adalah benar. Dia kesepian, dia merasa sendiri, dia merasa berjuang untuk hidup sendiri. Dan Min Seok lelah, harus berjuang sendirian.
"Aku tahu, pasti lelah berjuang sendirian." Seolah Chanyeol bisa membaca pikiran Min Seok. "Aku dulu juga begitu, aku lelah berjalan sendirian, tanpa pegangan. Tapi harapan untuk sesuatu yang lebih baik di hari esok membuatku terus melanjutkan hidup sampai sekarang."
Chanyeol merangkul Min Seok, pemuda yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. "Aku senang bisa menyelamatkanmu hyung, jadi, jangan pernah menyia - nyiakan perbuatan baik ku. hmm?"
Min Seok tersenyum, pertama kalinya selama 3 bulan terakhir ini dia tersenyum dengan lebar pada Chanyeol. "Terimakasih, sudah menyelamatkanku Chanyeol~ah."
Chanyeol menepuk - nepuk bahu Min Seok keras. "Mari kita sama - sama berjuang dan terus berharap untuk kehidupan yang lebih baik. Karena kau tidak berjuang sendirian lagi."
Lagi, Min Seok menatap langit yang sudah berubah warna menjadi hitam pekat sempurna. Harapan, satu - satunya yang aku miliki sekarang untuk terus berjuang bertahan hidup.
END