CHAPTER 1 : My Heart Is Endlessly Down In The Ground
“I never knew this day would come”
“To be honest iam afraid, what will come after this?”
sebuah pengakuan dari tumpukan perjuangan Jiyong
“Kejujuran yang ingin aku untuk kau ketahui adalah aku mencintaimu seperti orang gila.”
Jika aku adalah kau, apa kau tahu rasanya? Apa kau tahu Jieun!! Jiyong berteriak untuk pertama kali pada Jieun ini adalah tindakan terkahirnya, Jiyong sungguh berharap bahwa pengakuannya ini akan merubah takdirnya. Takdir yang jiyong inginkan, Jiyong-Jieun tertera dalam undangan putih berukir tinta emas. Bukan jieun dan seungho.
Jieun tidak bergeming ia hanya sedikit berdeham dan kemudian bersiap meninggalkan Jiyong. Jieun ia tahu ia jahat, kejam sekelas penyihir. ia tahu Jiyong punya cinta yang sangat besar, ia bisa melihatnya selama ini perjuangan jiyong, hanya saja Jieun memutuskan untuk tidak merasakannya dari dulu. Ia bisa apa jika dirinya sendiri mempunyai rasa cinta yang sangat besar tidak dapat dikendalikan. Tapi bukan Jiyong, ada orang lain.
“Apa kau tahu bahkan untuk bernafas pun sulit untuk kulakukan, apa kau tahu alasan sebenarnya aku selalu berada dimanapun kau berada, karena kau…..” Jiyong terdiam sulit untuknya meneruskan. Air matanya terus saja mengalir yang membuat kata-katanya semakin tersendat dan sulit diucap.
“Karena hanya dengan melihatmu aku merasa hidup. Aku juga sebenarnya tidak menyangka akan sesakit ini mencintaimu.” Jiyong melajutkan kata-katanya sambil memukul dadanya dengan keras, kepalanya tertunduk lesu menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir. Ia sungguh terguncang.
“Semua rasa sakit ini, semua pedih di dalam tubuh ini. aku sungguh tidak menyangka sungguh bisa membuat ku gila, bahkan ingin mati. Apa kau tahu Jieun, apa kau tahu!!! apa kau tahu bahkan di dalam mimpi ini masih terasa menyakitkan”
Sejak lama Jiyong tahu ia sudah mendapatkan jawaban atas cintanya. Sebuah penolakan. Namun Jiyong mempunyai hati yang tidak bisa ia kendalikan sesuka hatinya. Jiyong menunggu, berusaha, menunjukkan keseluruhan cintanya berjuang demi takdir yang diharapkannya, namun begitu sulit bagi Jieun untuk membalas cinta Jiyong, bahkan untuk melihat dan merasakan cinta Jiyong, Jieun mati rasa dan buta. Jiyong menjalani hari dengan terseok, bernafas menjadi sesuatu yang sulit bagi Jiyong. Jiyong bisa apa jika separuh hidupnya berada di Jieun yang bahkan tak mengenal keberadaan Jiyong. Jika angin tak terlihat bisa kau rasa, lalu bagaimana dengan cintaku? Jiyong hidup namun tak hidup. Jiyong ingin hilang.
“apa sebegitu sulit membalas cintaku?” pertanyaan yang mengakhiri pengakuan Jiyong, pertanyaan yang sedari dulu ia tahu jawabannya. Jiyong diam. Ia berharap sebuah pelukan hangat dari jieun akan menyapanya tapi tidak demikian, jieun bergerak membelakangi Jiyong dan kemudian melangkah pergi tanpa bicara. Dilihatnya punggung Jieun berlalu dan perlahan hilang, apakah ini yang terakhir kalinya. Jiyong juga tidak tahu.
Jieun ia tahu mungkin saja suatu waktu ia akan sangat menyesal tidak menggengam cinta Jiyong, tapi untuk sekarang ia hanya tahu bahwa ini yang memang seharusnya dilakukan. Kamu orang baik Jiyong, kamu telah melakukan yang terbaik, Jieun bergumam. Peristiwa ini cukup menyesakkan baginya. tangisnya keluar meski orang itu bukan Jiyong, tapi ia juga manusia meski ia lebih memilih bertindak seperti penyihir mati rasa dalam menanggapi cinta Jiyong. Ia juga tahu betul semua perjuangan Jiyong selam empat tahun ini, semua hal indah yang diterimanya dari Jiyong. Kalau saja Jieun bisa mengendalikan hati dan perasaanya untuk seribu kali mungkin ia akan mencintai Jiyong, namun takdir memberikan kontradiksi.
Jiyong terjatuh dengan lutut menopang badannya, ia tidak kuat bahkan untuk berdiri saat ini. dilihatnya Jieun menangis, lalu berjalan membelakangi Jiyong. Jieun pergi tanpa sepatah katapun. Jiyong sejak lama tahu ada jawaban dalam diamnya Jieun. Penolakan. Tapi siapa peduli penolakan ketika ia punya cinta yang menggebu tak bersiap akan ditolak. Jiyong terus maju. Itu opsinya 4 tahun lalu.
Jiyong masih duduk diam termenung diatas batako basah yang tersusun menjadi alasnya. Tempat itu sepi hanya ada satu kios penjual tteok dan snack lainnya, yang sudah ditinggal pemiliknya karena sudah tutup mengingat malam sudah cukup larut. Jiyong merasakan angin berhembus semakin dingin ia merasa tapi tak perduli, ia juga merasa bahwa kakinya sudah cukup mati rasa terus berada dalam posisi seperti ini, tapi ia juga tidak perduli.
Drtttdttrttrttrttrtttttrtrtrttrtrtrt handphone Jiyong bergetar. Ia pikir malam ini akan turun hujan yang akan mendramatisir keadaannya saat ini karena angin bertiup kencang tapi ternyata, dramanya lain. Handphone Jiyong bergetar, dilihatnya layar handphone tertulis sales asuransi. Ia benci sekali sales pemaksa. Ia sudah bilang bahwa akan menghubungi sales itu kembali jika Jiyong benar benar butuh. Saat ia yakin sekali bahwa ia mau mati saja, dan berharap uang asuransi itu berguna bagi keluarganya. Dan ini baru selang dua hari sejak ia ditawarkan asuransi kemarin. Apa sales ini tidak membiarkan Jiyong berpikir. Seperti sales asuransi turut mendukung keinginan Jiyong untuk cepat mati.
Sebelum handphonenya akan bergetar untuk keenam kali dengan gegas Jiyong me-reject panggilan telepon tersebut. Namun pangilan tersebut sukses membuatnya tersadar sedikit untuk menggerakkan jempol kaki yang tersesak didalam sepatu minta diberi nafas.
Setelah ia menyampaikan semua beban yang dipikulnya pada Jieun bukan keringanan yang ia dapat. Jantungnya terasa dicabut, Jiyong hidup namun tak hidup. Jiyong ingin hilang. Sudah empat hari ia seperti membusuk di dalam kamar apartemennya, tanpa mandi dan hanya minum banyak soju dengan beberapa cup ramyeon yang berserakan memenuhi ruangan. Kamarnya masih tertutup gordeyn yang tak tersingkap selama beberapa hari diluar sana cahaya matahari mulai mendesak ingin masuk tapi tidak diijinkan, rutinitas Jiyong berulang, hanya makan, menangis dan kemudian jatuh tertidur. Jiyong masih sibuk mencerna kejadian yang dialaminya beberapa hari lalu, dan tentu ia masih tidak bisa mengerti.
Hari kelima ponsel Jiyong kembali berdering, dilihatnya layar handphone yang masih menunjukan foto Jieun yang diambilnya secara diam-diam sebagai wallpaper-nya, tulisan sales asuransi menyeruak dan menjadi alasan teleponnya berdering. Dengan mata yang masih tertutup ia meraba telepon genggam yang berada tepat disebelahnya dan menekan tombol answer.
“selamat siang pelanggan yang terhormat, saya dari …………………….” Suara diseberang sana menjelasan dengan nada tegas dan ceria namun jiyong tidak sepenuhnya mendengarkan, dengan tenggorokan yang kering Jiyong mencoba membuka mulutnya meski dengan susah payah.
“aku akan membuat kontrak, aku akan menemuimu. Kau kirimkan saja pesan persyaratan yang harus dibawa” jawab Jiyong dengan suara serak tercekat dan kemudian menutup telponnya sepihak dan perlahan membuka matanya yang kemudian basah lagi oleh air mata.
Dalam renungan Jiyong dalam beberapa hari ini hanya satu hal yang terpikir olehnya, bahkan dalam tidur sekalipun aku tetap membayangkan begitu menyesakkan semua ini. Apa ini hidup?
Setelah berhasil membuat kontrak Asuransi, untuk kesekian kalinya dan mungkin untuk yang terkahir kalinya Jiyong memberi kesempatan untuk hidupnya, akankah tragic ending yang dimilikinya berubah, Jiyong sungguh ingin mengikuti akal sehatnya, dia tidak boleh benar-benar gila hanya karena cinta hanya karena Jieun, hidup ini mempunyai banyak sisi, namun nyatanya tidak ada lagi akal sehat yang bekerja di kepala Jiyong. Uang yang dihasilkannya dihabiskan untuk membayar asuransi VIP dan mencoba menjalani rutinitas normalnya namun dengan keadaan hati yang rusak. Kabar Jiyong gila karena cinta juga sudah menyeruak dikalangan teman-teman dan lingkungan kantornya. Teman-teman dekat jiyong yang memang paham atas perjuangan Jiyong mengutuk Jieun dan seribu kali mencoba meyakinkan jiyong bahwa ini bukanlah akhir, namun jiyong hanya berdeham dan memberikan senyum simpul.
Tepat 3 bulan setelah peristiwa penolakan Jieun, Jiyong kehilangan banyak berat tubuhnya, langit nampak jingga meski apartemennya berjarak 5 halte dari tempat kerjanya Jiyong lebih memilih untuk berjalan kaki untuk membunuh waktu. Ia berjalan sesuai tuntunan langkah kakinya dan kemudian terhenti pada poster film yang terpampang pada halte bis, poster film bernuansa pink pantone yang menggambarkan pria dan wanita saling memeluk dari belakang dan keterangan tertulis sometimes the right love will comes dengan font ukuran besar dan dibold, diamati Jiyong lekat-lekat dan sebuah senyum sinis dan mendesih keluar dari mulut Jiyong. Namun Jiyong berakhir dengan menontonnya.
Jiyong tidak lagi percaya bahwa cinta adalah sumber kebahagian, Jiyong sadar akan kenyataan yang diterimanya, cinta yang dijalaninya jika ia wanita sudah tentu Jiyong akan menangis berteriak melihat film romantis yang sedang ditontonya di bioskop sendirian, sendirian ditengah banyak pasangan yang tersenyum. Jiyong hanya ingin pergi sesaat dari dunia cintanya yang menyesakkan, menyelami dunia film yang sudah pasti hanyalah fiktif, namun Jiyong tidak berpikir akan efek lain yang muncul akibat film ini, Jiyong merasa kesal. ia Jiyong kesal bahkan menurutnya film ini sungguh tidak masuk akal.
“ini konyol!!” teriak Jiyong menggema pada suasana haru dalam bioskop tersebut, layar lebar yang tepat berada dihadapannya menampilkan adegan happy ending yang membuat semua orang terkesan sementara pasangan muda-mudi disebelahnya asyik mendiskusikan ending film yang juga diharapkan dapat menjadi ending bagi mereka. Namun teriakkan Jiyong menggema dan secara spontanitas tatapan semua orang mengarah pada sumber suara dengan berbagai macam ekspresi.
“sungguh ini konyol!!!” Jiyong mengulangi kalimatnya sembari melempar cup popcorn yang masih utuh ke sembarang tempat, untuk beberapa detik tidak ada yang menyahut tindakan gila Jiyong hingga laki-laki yang sudah agak berumur mngeluarkan suara “Apa kau gila hah!” laki-laki itu sangat kesal dengan tingkah gila Jiyong yang tiba-tiba berteriak terlebih cup popcorn yang dilempar sembarang oleh Jiyong mengenai bahunya dengan ceceran popcorn bertebaran di badannya.
Masih dengan tatapan kesal dan nafas yang sulit diatur karena perasaan emosi, Jiyong tidak menjawab. Jiyong tidak lagi tahan berada dibioskop ia memutuskan untuk pergi dan melampiaskan kemarahannya pada kursi bioskop yang ditendangnya kuat-kuat untuk kemudian ia menuju pintu keluar. Jiyong tak perduli teriakan orang-orang yang kesal akibat terganggu oleh ulahnya ia hanya kesal saat ini, sangat kesal.
Suasana di dalam teater itu menjadi hiruk-pikuk. “Sungguh orang macam apa dia” “mengapa orang tersebut bisa masuk sini” semua orang mengumpat tanpa tahu. Disudut sebelah sana dalam deretan kursi F kesamping pada pojok sebelah kanan yang kurang diterangi sinar lampu Jieun tangannya mengeras dan sedikit gemetar, ia takut ia ingin menangis, tapi ada Seungho di sebelahnya. Ia tahu persis suara tersebut, suara yang menggema dengan nada penuh emosi dan terlebih lagi Jieun tahu persis alasan dibalik tindakan gila yang dilakukannya. Jieun ingin sekali memberi penjelasan pada semua orang bahwa laki-laki itu tidak gila, dia laki-laki baik yang hatinya terluka laki-laki yang tidak merasakan ending yang sama dengan film dihadapanya. Tapi mulutnya beku, ia tahu ia tidak bisa. Bahkan memberikan sedikit pembelaan pada Jiyong Jieun tidak bisa.
Jiyong memperlambat laju jalannya ia lelah, terlebih hatinya. Kesempatan yang ia berikan pada hidupnya kali ini mungkin tidak lagi bisa dipakai, tidak adalagi hal baik yang tercipta untuk Jiyong. Hanya ada penderitaan. Jiyong melonggarkan dasinya secara paksa dan melirik jam tangannya. Bukan pada penunjuk waktu tepat disebelahnya masih di dalam lingkaran jam tersebut tertera tanggal 22 agustus.
“hari ini ya” desis Jiyong pelan, yang kemudian disertai seringaian. Untuk sesaat jiyong hanya duduk di halte dengan tatapan kosong, bukan halte dengan poster film romantis, dinding halte ini dipenuhi poster iklan yang bertumpuk, jam 11 malam bis terakhir lewat. jiyong berdiri. Cekitttttttttt, suara rem mobil bus berhenti tepat di depan jiyong dan kemudian secara otomatis pintunya terbuka, meski telah berdiri Jiyong hanya diam dengan kepala tertunduk. “mau naik tidak?” teriak sopir yang rupanya sudah menunggu Jiyong untuk naik. Tidak ada jawaban tanpa memperdulikan supir bus tersebut melaju dan meninggalkan Jiyong.
Setelah bus dihadapannya pergi jiyong melangkah. jalanannya lengang, tanpa meilhat kanan kirinya jiyong terus melanngkah kedepan, terus kedepan melewati pagar pembatas antara jalanan dan sungai.
Dan buuuuuuurrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…………………………
Kenapa orang lain tertawa dengan mudahnya sedangkan aku tidak, kenapa? Aku tidak perlu bersusah payah menahanya, ini akan berakhir dengan alur yang sudah diketahui ujungnya, ini hidup yang siapa saja akan membencinya. Tidak ada lagi perjuangan cinta, tidak ada lagi perjuangan hidup. Aku akan menyelesaikannya.
Malam itu di Tower Bridge.
Kkeut.