CHAPTER 1 : The Wrong Night
×××
Kepalanya bagaikan sudah diatur sedemikian rupa untuk menoleh setiap lima menit sekali ke arah jam yang melingkar manis di pergelangan tangan sebelah kanannya.
Dongwook berdecak untuk yang ke dua ratus lima belas kalinya begitu mendapati jarum jam masih menunjukkan angka empat di sana. Ia mengacak rambutnya frustasi yang tentu saja membuat stylistnya yang sudah susah payah menata rambutnya melemparkan tatapan sengit dan melotot dengan mata sipitnya ke arah Dongwook.
Dan tentu saja, Dongwook tak memerhatikannya dan hanya bisa menyodorkan kepalanya untuk meminta agar stylistnya kembali merapihkan tatanan rambutnya yang sekarang sudah acak kadul layaknya bulu kucing liar.
“Apa kau akan terus membuat aku bekerja delapan belas kali sehari?” tanya Jang Hyejin, penata rias Dongwook yang sudah kehilangan kesabarannya.
Dongwook menoleh dan menatap Hyejin yang kini tengah menatapnya dengan sengit. “Maaf,” gumamnya kemudian memasang senyuman tak berdosa seperti biasanya.
Hyejin memutar bola matanya dan akhirnya kembali membenahi tatanan rambut Dongwook sebelum managernya marah-marah karena sebentar lagi Dongwook harus merekam bagiannya.
Tak lama setelah rambut Dongwook kembali tertata rapih, kini giliran riasan wajahnya yang diperbaiki karena Dongwook sedikit berkeringat sebelumnya. Dan begitu selesai, Kim Sujin selaku Manager Dongwook menghampirinya.
“Sudah siap?” tanya Sujin kepada kedua stylist Dongwook yang dijawab anggukkan pasti, kemudian mengecek keadaan Dongwook yang sepenuhnya tidak fokus karena pandangannya kosong, melayang entah ke mana.
“Dongwook-ah,” panggil Sujin, namun tak digubris sama sekali oleh Dongwook.
“Dongwook-ah.”
Lagi. Dongwook masih hanyut dalam pikirannya.
“Lee Dongwook.” Sujin mencoba sabar dengan memanggil nama lengkapnya, namun Dongwook tetap tak berkutik.
“Ahjussi.”
“Samcheon.”
“Wang Yeo.”
“Joseong-saja.”
Seharusnya Dongwook menepuk kepalanya karena memanggilnya dengan rentetan nama itu sekarang juga. Tetapi Dongwook masih bergeming. Melihat itu, Sujin yang tahu kalau artisnya sedang tidak fokus saat ini, cepat-cepat menepuk bahu Dongwook dan berhasil membuatnya tersentak kaget dan bangkit dari posisinya.
“Aish, mengagetkanku saja!” pekik Dongwook dengan bola mata yang terbuka lebar selagi menatap Managernya.
“Apa yang kau pikirkan, huh?” sosor Sujin, nampak tak memerdulikan cecaran yang Dongwook berikan. Dongwook mendesah pelan mendengarnya.
“Apa aku bisa pulang setelah take nanti?” tanya Dongwook tanpa ragu.
“Tidak,” jawab Sujin secepatnya.
“Dua take setelah ini?”
“Tidak juga.”
Rasanya Dongwook ingin melempari Sujin dengan sepatu sekarang juga.
“Kenapa kau memintaku untuk mengeluarkan pikiranku kalau begitu?” cecar Dongwook kesal.
Sujin menaikkan sebelah alisnya selagi memerhatikan perilaku Dongwook yang terlihat tidak seperti biasanya. “Apa kau salah minum obat?” tanya Sujin.
“Aku tidak menerima pertanyaan darimu lagi.” Dongwook memilih untuk mengabaikan pertanyaan yang sudah jelas ia ketahui jawabannya kelak. “Lebih baik cepat selesaikan ini karena aku memiliki acara penting setelah ini.”
Dongwook langsung berjalan menjauh dari tempatnya beristirahat menuju lokasi shooting selanjutnya, sementara di samping kirinya Sujin yang terpaut tinggi jauh lebih pendek harus susah payah mengikuti langkah kakinya yang panjang. Ia menatapi wajah Dongwook yang kembali tidak berekspresi dan pucat walaupun sudah ditutupi riasan sekalipun.
“Apa kau ada kencan?” tanya Sujin yang entah kenapa terdengar seperti sebuah olokkan di telinga Dongwook dan membuatnya menghentikan langkahnya.
“Apa kau gila?”
Sujin menaikkan kedua pipinya yang sebesar bakpao kemudian menarik tangan Dongwook tanpa adanya rasa penyesalan untuk segera menuju lokasi shootingnya.
×××
Dongwook membanting setirnya ke kanan dengan sebelah tangannya begitu sadar kalau tempat yang dicari-carinya telah terlewat.
Ia berdecak sebal memaki dirinya sendiri yang sempat kehilangan fokus dan berusaha mencari cara agar dapat memarkirkan mobilnya dengan aman di tempat tujuannya. Tangannya bergerak dengan cepat begitu mendapat celah dari mobil yang baru saja keluar area parkir dan cepat-cepat memasang sen untuk memberi tanda kepada kendaraan yang sekiranya berlalu lalang di belakangnya.
Dongwook keluar dari mobil begitu selesai parkir dan mendapati ponselnya yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk dari Sujin, yang tentu saja dengan cepat Dongwook putuskan panggilannya agar Sujin tak perlu repot-repot mengganggunya karena Dongwook sudah hapal benar dengan apa yang akan Sujin katakana di telepon nanti kalau ia menjawab panggilan darinya. Entah itu bertanya Dongwook sekarang di mana, apa yang ia lakukan, dan bertanya apakah ia membawa supir pribadi atau tidak karena selagi Dongwook tidak berada di dalam van, kantor tempat mereka bekerja atau lokasi shooting, maka Sujin menganggap segala kesalahan yang akan Dongwook lakukan adalah tanggung jawabnya secara penuh sebagai seorang manager. Oleh karena itu Sujin sangat berhati-hati.
Laki-laki berusia 35 tahun dengan perawakan 184 senti meter itu melangkahkan kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam salah satu restoran yang bisa terbilang cukup terkenal di daerah Itaewon saat jam menunjuk ke angka enam sore.
Langit masih terang di luar sana yang seharusnya membuat Dongwook senang seperti orang-orang lainnya karena artinya aktifitas luar ruangan bisa berlangsung lebih lama di musim panas ini dibanding dengan musim-musim lainnya yang bahkan matahari telat memancarkan sinarnya di pagi hari. Tapi, Dongwook kini malah khawatir karena matahari yang tak kunjung bergantikan cahayanya dengan sang rembulan karena alasan tertentu.
Ia khawatir dengan seseorang yang harus menahan rasa lapar lebih lama lagi di musim panas ini karena langit cerah yang tak kunjung terbenam.
Begitu sampai di depan kasir, matanya menelaah menu-menu yang terpampang jelas di atas rak dengan ukuran yang dapat Dongwook baca dengan jelas tulisannya. Daftar harga yang nampaknya tidak diperdulikannya juga turut berjajar di sampingnya. Namun, hanya satu pertanyaan yang kini melayang-layang di benak Dongwook yaitu, apa makanan ini adalah makanan yang tepat untuk orang yang tidak makan selama tujuh belas jam?
Enggan melakukan kesalahan yang tak seharusnya, Dongwook akhirnya memilih untuk angkat bicara.
“Apa ada makanan yang pas bagi orang yang tidak makan selama tujuh belas jam di musim panas ini?” tanya Dongwook walau awalnya ragu-ragu.
Sang kasir dengan name tag bertuliskan Kim Hyejin yang seketika mengingatkannya akan sosok stylistnya Jang Hyejin itu tersenyum mendengar pertanyaan Dongwook. Ia kemudian menundukkan sedikit kepalanya untuk meraih sesuatu dari balik laci yang terletak di bawah meja kasir dan menunjukkan sebuah buku menu besar kepada Dongwook.
Sebenarnya, melihat Dongwook di dunia nyata seperti ini merupakan sebuah keajaiban tersendiri bagi sang kasir, namun ia dengan susah payah menahan kesenangannya di dalam hati demi menjaga citra tempat bekerjanya dan agar Dongwook tidak merasa risih dengan pelayanan di sini, dan ia berusaha sekuat tenaga untuk menetralkan nada bicaranya saat melontarkan pertanyaan untuk Dongwook.
“Apa maksudmu untuk orang yang berpuasa?”
Dongwook mengangguk cepat. “Iya, benar,” jawabnya.
Sang kasir mengangguk dan mulai membalik halaman demi halaman yang akan ia tunjukkan kepada Dongwook. “Karena restoran kami adalah restoran halal, sebenarnya seluruh menu makanan musim panas di sini dapat dimakan untuk berbuka puasa, tapi biasanya orang-orang yang berpuasa saat musim panas akan memilih makanan yang manis-manis dan dengan porsi yang tidak terlalu banyak.”
Sebenarnya, itulah yang menjadi salah satu pertanyaan terbesar di pikiran Dongwook selama ini. Bagaimana bisa mereka—orang-orang yang berpuasa di musim panas, tidak makan lebih dari tujuh belas jam—bisa menahan rasa lapar itu dan bahkan hanya memakan sedikit makanan saat berbuka puasa?
“Kalau begitu aku pesan makanan manis yang paling laris terjual sebagai makanan berbuka puasa di sini.”
×××
“Cha Hakyeon!”
Hakyeon yang namanya sudah diteriaki dari luar kurang lebih delapan puluh kali itu menggeretakkan giginya dan melempar naskahnya ke lantai saking kesalnya. Dengan berapi-api, ia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruang ganti dan membukanya dengan kasar sehingga menampakkan sosok wanita berusia awal tiga puluhan yang kini tengah menyedekap tangannya di dada dengan mata sinisnya.
“Noona, apa kau tidak bisa membiarkan aku berlatih dengan tenang barang sedetik saja?”
Jo Jimin yang barusan dipanggil noona—sebutan dari laki-laki yang lebih muda kepada perempuan yang lebih tua—oleh Hakyeon kini memutar bola matanya.
“Kau bilang kau mau berlatih choreography dengan Minah setelah ini, tapi kenapa kau tak kunjung keluar sedari tadi?” cecar Jimin.
“Aish,” gunjing Hakyeon kesal. “Beri aku waktu lima menit saja! Kumohon untuk kali ini, karena besok pagi aku harus melaksanakan shooting dengan dialog dua lembar kertas HVS!”
“Apa kau membaca puisi?” tanya Jimin dengan nada sarkasmenya seperti biasa. “Ayo cepat! Aku tidak bisa marah-marah seperti ini lagi besok jadi lebih baik kau menerimanya sekarang sebelum kesabaranku habis, Cha Hakyeon.”
Hakyeon mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan menendang pintu ruang gantinya kemudian berjalan menjauh untuk masuk ke ruang latihan dan menemui Minah yang sudah menunggunya sejak tiga puluh menit lalu di sana.
Baru saja Jimin hendak mengikuti langkah Hakyeon saat tiba-tiba saja seseorang meneriaki namanya.
“Jimin-ah!” pekik seseorang yang sudah tak lagi asing di telinganya dan tanpa sadar membuat seulas senyum terukir di wajah Jimin yang sebelumnya menekuk ke bawah. Jimin membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok pria berperawakan tinggi dengan paper bag yang ia genggam di tangan kanannya.
Senyuman di wajah Jimin kian mengembang. Itu Dongwook.
“Dongwook-ah,” gumam Jimin yang masih tidak bisa menahan senyuman di wajahnya bahkan saat Dongwook sedang berjalan mendekat ke arahnya kini.
Andai saja Hakyeon melihat adegan ini, ia pasti akan meneriaki Jimin seorang bipolar lagi karena setiap kali bertemu Dongwook, kepribadiannya bagaikan menukik tajam yang berbeda jauh dengan kepribadiannya sehari-hari tanpa Dongwook di sisinya. Itu semua seperti melihat dua adegan film yang berbeda di mata Hakyeon.
Dongwook berhenti di hadapannya dengan senyuman yang tak kalah lebar dengan milik Jimin yang membuat mereka nampak seperti orang bodoh yang tengah dimabuk kasmaran. Enggan membuang waktu yang sudah berlalu begitu lama, Dongwook menarik ujung pakaian yang Jimin kenakan untuk mengajaknya pergi dari sini menuju atap, dan begitu sampai di atap, Dongwook menitahnya agar duduk di salah satu kursi taman yang berada tepat di hadapannya.
“Ada apa kemari?” tanya Jimin bersemangat.
Dongwook cepat-cepat mengeluarkan kotak makanan khas restoran di Itaewon yang sebelumnya ia beli dan meletakkan paper bagnya di bawah meja sebelum ia membuka kotak makanan tadi dan menyodorkannya kepada Jimin yang kini berbunga-bunga menatap makanan di hadapannya.
“Ini untukmu berbuka puasa.”
Perkataan Dongwook seketika membuat Jimin mengerutkan dahinya.
Jimin menoleh sebentar untuk melihat jam tangannya yang menunjukkan angka delapan lewat dua puluh menit dan menyodorkannya kepada Dongwook agar Dongwook dapat melihatnya sendiri. “Sudah jam delapan lewat. Bagaimana bisa ini disebut sebagai menu buka puasa?” ledek Jimin.
Dongwook menghela napasnya panjang. “Aku tau, aku tau,” gumamnya. “Aku membeli ini pukul enam tadi dan menurut GPS hanya perlu memakan waktu empat puluh menit untuk sampai ke sini, tapi ternyata jalur lalu lintas tidak berpihak kepadaku.”
Jimin terkekeh pelan mendengarnya. Dongwook pasti sangat lelah karena Jimin tau kalau Dongwook memiliki jadwal hari ini dan ia repot-repot menyempatkan waktunya untuk membelikannya makanan dan datang ke sini setelah dua jam lebih perjalanan. Ia mengambil garpu dan menusuk salah satu camilan itu untuk ia berikan kepada Dongwook.
“Aigoo,” katanya, menyuapi Dongwook dengan sesendok penuh camilan yang mau tak mau membuat Dongwook membuka mulutnya dan menerima suapan besar dari Jimin yang membuat pipinya gumpal karena penuh makanan sekarang. “Kau sudah bekerja keras,” ujar Jimin tulus dan mengacak-acak rambut Dongwook.
“Apwa kwaw twidak mwaw mwakwan?” tanya Dongwook dengan mulut yang penuh.
Jimin terkekeh lagi. “Habiskan dulu makananmu, baru bicara,” tuturnya.
Setelah selesai mengunyah makanannya, Dongwook langsung membuka tutup botol minuman dan meneguknya sementara Jimin kini memakan makanannya. Entah mengapa, melihat Jimin makan seperti itu membuat semua rasa lelah yang Dongwook rasakan hilang entah ke mana, bagaikan ia mendapatkan seluruh energinya yang telah terkuras sebelumnya.
“Apa kau suka?” tanya Dongwook yang langsung dibalas anggukkan semangat oleh Jimin.
“Aku sangat suka ini, cocok untuk berbuka puasa,” ungkap Jimin. “Tapi—“ Seketika ekspresinya berubah dan sedikit memiringkan kepalanya ke kiri selagi menatap makanan di hadapannya kini.
“Tapi?” pancing Dongwook yang kebingungan menafsirkan arti tatapan Jimin saat ini.
“Apa ini benar untukku berbuka puasa?” tanya Jimin. “Maksudku, selain kau memberikanku di saat sudah jam delapan malam, kenapa kau menyebutkan ini sebagai menu untukku berbuka puasa?”
Dongwook secara reflek menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Apa kau sebegitu rindunya dengan bulan Ramadhan?” tanya Jimin lagi.
Dongwook mengerutkan alis tebalnya. “Apa maksudnya itu?”
Jimin tertawa begitu sadar kalau Dongwook sama sekali tidak paham dengan apa yang ia maksud. “Puasa baru akan dilaksanakan besok, Lee Dongwook, kenapa kau sebut makanan ini sebagai menu buka puasa? Aku bahkan belum melaksanakan sahur, bagai mana bisa aku sudah buka puasa sekarang?”
“Eh?” Dongwook nampak tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jimin tertawa lagi.
“Aku masih belum puasa hari ini, Dongwook.”
“Serius?” ulang Dongwook, dengan pupil mata yang membesar.
Jimin mengangguk menanggapi.
“Lalu, apa aku nanti bisa ikut puasa bersamamu?”
“Tentu saja!” balas Jimin tak kalah bersemangat.
Dongwook tersenyum penuh arti. “Aku akan belajar untuk berpuasa secara penuh, dan kalau aku bisa melewatinya, apa kau mau menikah denganku?”
Pertanyaan Dongwook yang kelewat tiba-tiba, membuat Jimin memundurkan kepalanya dan mengerjapkan matanya berkali-kali karena tidak percaya dengan telinganya sendiri. Ia menatap Dongwook dan memerhatikan dengan seksama wajah yang kini begitu memancarkan kilauan bahagia di sana. Jimin kehabisan kata-kata.
Melihat mata Jimin yang tak kunjung berhenti berkedip, membuat Dongwook ingin mencubiti pipi gempalnya dengan gemas. Dongwook mengeluarkan kotak cincin yang ia beli belum lama ini dari paper bag di bawah meja dan membukanya. Ia menyodorkan cincin itu dan mengenakannya di jari manis sebelah kanan milik Jimin.
“Setelah aku melewati puasaku secara penuh, apa kau mau menikah denganku?” ulang Dongwook dengan senyum merekah di wajahnya.
“Apa itu alasanmu menjadi begitu tidak sabaran menyambut bulan Ramadhan?”
Mendengar Jimin yang sudah menemukan kata-katanya kembali, kini giliran Dongwook yang mengangguk semangat. Ia sudah tidak sabar menantikan apa yang akan keluar dari mulut Jimin selanjutnya.
“Kalau kau beribadah sungguh-sungguh saat puasa nanti, dan tidak kehilangan keyakinanmu setelahnya, aku akan menerima lamaranmu.”
Dan di situlah, di atas atap salah satu bangunan di Seoul, di tengah-tengah langit malam yang menjuntai indah di angkasa, di sela-sela banyaknya bintang yang mengelilingi sang rembulan, Dongwook mengikrar janjinnya.
~ THE END ~
foot note.
samcheon: paman
joseong-saja: malaikat pencabut nyawa
wang yeo: nama peran dongwook sebagai raja dinasti joseon dalam drama goblin, the lonely and the great gods
aigoo: astaga / kalimat terkesan