CHAPTER 1 : Farewell
-001-
“Mengapa kau harus begitu?”
“Apa yang telah aku lakukan?” Nayeon membantah,
“Apa yang telah kamu lakukan?” Jinyoung mengulang, berdesah secara dramatis.
“Kamu menghancurkan reputasi kamu sendiri! Bagaimana JYP akan bereaksi? Bagaimana kita bisa berkencan dan memberi tau kepada publik?”
“Pernah kah kamu berpikir bagaimana aku akan bereaksi? Mengapa kamu tidak berpikir secara manusiawi? Aku juga manusia! Aku punya perasaan!” Nayeon menjadi kesal dengan Jinyoung.
“Aku tau kamu manusia! Tapi pernah kah kamu berpikir bagaimana aksimu dapat mempengaruhi hubungan kita?” Jinyoung mencengkeram setiran mobil dengan ketat hingga jari-jarinya memutih.
“Baiklah! Aku minta maaf! Apakah itu yang kamu inginkan dari ku?”
Jinyoung menghadap kearah Nayeon lalu bertanya, “Menurutmu hal ini dapat diperbaiki dengan kata maa-“
“Jinyoung awas!” Nayeon menjerit sambil menunjuk kedepan, mengakibatkan Jinyoung untuk terkejut. Jinyoung panik saat ia melihat sebuah truk melalui kaca depan mobil yang sedang membunyikan klakson secara berulang kali. Jinyoung hendak membanting setir mobil ke kanan, tetapi ia terlambat. Kedua mobil bertabrakkan, sehingga mobil yang dimiliki Jinyoung terpelanting dan mengenai sebuah tiang.
Mobil tersebut terdiam dalam posisi terbalik, dan Jinyoung berangsur membuka matanya, karena ia merasakan rasa nyeri yang dasyat pada punggung dan kepalanya. Jinyoung melihat kearah Nayeon yang masih berada disebelahnya, tetapi matanya tertutup.
“Na..yeon…?” Jinyoung bisik saat ia sedang bercoba untuk meraih lengan Nayeon. Ia berhasil memegang bahu Nayeon, tetapi Nayeon tidak bergerak. Jinyoung berusaha untuk mengguncang tangan Nayeon, tetapi ia tetap menutup mata. Mata Jinyoung mulai berkaca-kaca saat ia mencoba membangun Nayeon.
“Tolong! Tolong!” Jinyoung berkutik, berharap seseorang dapat mendengarnya.
“Tolong kita!” Masih tidak ada balasan.
Jinyoung menggunakan tenaga sisa yang ia miliki untuk mengambil handphonenya dan menelepon orang pertama di daftar kontaknya.
Ring Ring
Ring Ring
“Halo? Ada apa?”
“JB… tolong…” Jinyoung berkata, kehabisan napas.
“Jinyoung? Kamu kenapa??”
“Tolong…” Dan Jinyoung melepaskan handphonenya – Kehabisan tenaga, hingga kelopak matanya terasa berat,
“Tolong kita…” Jinyoung berbisik, sebelum menutupi matanya secara total.
-002-
Jinyoung berkedip berkali-kali dan menutup matanya kembali karena lampu yang silau. Lalu, dengan perlahan ia membuka mata. Ia merasakan sakit pada kepalanya, lalu ia memijat kepalanya sambil mengerang. Suara yang dimiliki Jinyoung menangkap perhatian beberapa orang dalam ruangan itu.
“Dia bangun! Panggil lah dokter!” Seseorang berseru. Jinyoung mengenal suara itu, tetapi ia tidak yakin siapa. Kemudian, Ia mendengar bisikan-bisikan disekelilingnya. Jinyoung mengurai kamar rumah sakit dan juga beberapa muka yang sepertinya ia kenal. Muka-muka tersebut terlihat khawatir dengan Jinyoung, tetapi Jinyoung tidak mengerti kenapa.
“Apa yang terjadi? Kenapa aku disini?” Jinyoung berkata sekaligus. Ia mencoba untuk mengingat, tetapi aksinya hanya mengakibatkan rasa sakit pada kepalanya, hingga ia mengerang lagi. Kemudian seseorang mendekatinya lalu bertanya,
“Kamu… mengalami kecelakaan.” Ungkap JB dengan ragu.
“Kecelakaan…?” Jinyoung bertanya, lalu secara tiba-tiba ia ingat apa yang telah terjadi. Ketika teman-teman Jinyoung – Jackson, Mark, Youngjae, Yugyeom, dan Bambam, sadar bahwa ia ingat apa yang telah terjadi, mereka semua mengelah napas lega.
“Dimana Nayeon?” Jinyoung bertanya, dan tidak ada yang berani menjawab. Sebelum Jinyoung dapat bertanya mengenai Nayeon lagi, seorang dokter menerobos pintu, dan meminta para pengunjung untuk meninggalkan ruangan tersebut sementara.
“Selamat sore Mr.Park, bagaimana perasaanmu?” Dokter tersebut tersenyum, sambil mengambil papan yang terletak didepan tempat tidur Jinyoung.
“Aku merasa pusing… Dimana Nayeon, Dokter…?”
“Dokter Jeon. Maaf siapa?”
“Nayeon. Im Nayeon. Gadis yang bersama ku saat kecelakan” Jinyoung mengatakan dengan cepat – khawatir dengan keadaan Nayeon.
“Oh, anda ingat.” Dokter tercengang.
“Ya, dimana Nayeon?”
“Maukah anda saya bawa ke ruangannya?”
“Ya. Silahkan.” Jinyoung berkata, menyembunyikan kegembiraannya. Dokter Jeon membawa kursi roda kedalam ruang, lalu membantu Jinyoung berpindah dari tempat tidur ke kursi roda.
“Dokter! Hyung mau di bawa kemana?” Bambam bertanya,
“Aku akan menjenguk Nayeon. Kalian mau ikut?”
“Mau!” Teman-teman Jinyoung tampak bersemangat untuk bertemu dengan Nayeon.
Dokter Jeon mendampingi Jinyoung dan teman-temannya kearah ruangan Im Nayeon. Jinyoung tidak sabar untuk melihatnya. Jinyoung merindukannya. Ia ingin sekali meminta maaf atas perilakunya di mobil sebelum kecelakaan. Ia benar-benar berpikir bahwa ini semua salah dirinya.
Dokter Jeon berhenti didepan sebuah kamar, lalu mengatakan kepada Jinyoung dan kawan-kawannya, “Saya harus bicara bersama Nayeon secara pribadi”. Mereka semua mengangguk. Sepuluh menit telah berlalu. Limabelas menit telat berlalu, Dan lama-lama menjadi tigapuluh menit. Jinyoung menjadi sangat khawatir sehingga orang-orang dapat mengetahui bahwa dirinya khawatir dari mukanya.
“Jinyoung-ah, Nayeon akan baik-baik saja” Mark menyakinkan Jinyoung.
“Semoga” Jinyoung bisik, tetapi Mark tidak dapat mendengarnya. Lima menit berlalu, dan Dokter Jeon akhirnya membuka pintu.
“Bagaimana Dok? Bolehkah kita bertemu dengan Nayeon nuna?” Yugyeom bertanya.
“Saya perlu berbicara bersama Jinyoung sebentar” Dokter Jeon tersenyum dan juga meminta maaf.
“Tidak apa-apa Dok. Bicaralah selama diperlukan” JB tersenyum kepada Dokter.
Setelah itu, Dokter Jeon mendampingi Jinyoung ke kamar Nayeon, dan Jinyoung tidak pernah merasa begitu gugup.
Semoga Nayeon baik-baik saja…
Kursi roda yang digunakan oleh Jinyoung dihentikan ketika mereka sudah berada disebelah tempat tidur Nayeon. Lalu, Nayeon menatap Jinyoung dengan khawatir. Mereka bertanya secara bersamaan,
“Apakah kamu baik-baik saja?”
“Oh? Ya! Aku merasa sehat! Ka..kamu?” Nayeon terdengar gelisah, seolah-olah ia tidak tau bagaimana ia harus bereaksi.
“Ya! Aku baik-baik saja!” Jinyoung merasa bahagia dengan kehadiran Nayeon. Ia merasa seolah-olah berat telah diangkat dari bahunya.
“Maaf untuk memotong, tapi saya harus mendiskusi mengenai hal yang penting yang berkaitan dengan kalian.” Dokter Jeon menyela,
Kedua pasien terdiam – terlalu takut untuk mengetahui hal yang berhubungan dengan mereka. Sekeliling mereka tampak tegang saat Dokter menyebuti ‘hal yang penting yang berkaitan dengan Nayeon dan Jinyoung.
“A…ada apa Dok…” Nayeon bertanya.
“Kalian berdua… kehilangan daya ingat.” Dokter Jeon mengatakan dengan polos. Sejujurnya.
“Amnesia…?” Jinyoung bertanya dengan ketidakpercayaan.
“Betul”
-003-
Jinyoung dan Nayeon berduaan di ruangan rumah sakit yang polos itu – kewalahan dengan jumlah informasi yang diperoleh dalam hari itu. Mereka tidak mengetahui apa yang harus dikatakan, dan mereka tidak dapat mengekspresikan perasaan mereka dengan kata-kata yang singkat. Mereka memerlukan jawaban pada pertanyaan yang tak berujung, tetapi tidak satupun dari mereka bertanya. Hanya keheningan yang menemani renungan mereka.
“Apa benar… kata Youngjae… bahwa aku sebuah trainee dalam agensi JYP?” Nayeon memecah kesunyian,
“Iya…” Jinyoung menjawab.
“Apakah cowo-cowo yang menjengukku… temanku?”
“Iya. JB, Mark, Jackson, Youngjae, Bambam, dan Yugyeom… Mereka semua sahabatmu”
“Termasuk kamu? Kan?” Nayeon bertanya lagi. Jinyoung berpikir sebentar – memikirkan jawaban yang benar.
“Ya, kita sahabat yang sangat dekat” Jinyoung tersenyum dan berusaha untuk tampak ceria, meskipun iya merasakan kepedihan pada hatinya.
Aku tidak melupakan hubungan kita. Bagaimana kamu bisa lupa… Nayeon?
“Nayeon… maukah kamu pergi bersamaku? Saat kita dikeluarkan dari rumah sakit?” Jinyoung mengajukan,
“Huh? Kamu tidak ingin beristirahat?” Nayeon terlihat bimbang, dan juga pusing.
“Apakah kamu baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa kok... Cuman butuh istirahat...” Nayeon tersenyum.
“Aku ingin melakukan segala hal bersama mu. Dokter pun mengatakan bahwa kita harus menghidupkan kembali kenangan yang salah satu kita ingat supaya orang kedua dapat ingat juga!” Jinyoung berseru – termotivasi untuk membuat Nayeon ingat dengan hubungannya bersama Jinyoung. Nayeon pun mengangguk, karena ia senang melihat sisi ceria Jinyoung, dan akan melakukan apa saja untuk melihat dia bahagia.
Nayeon… Aku akan berusaha dan mengingatkanmu mengenai hubungan kita…
-004-
Jinyoung dan Nayeon berjalan kearah taman – dimana mereka pertama bertemu – kata Nayeon. Jinyoung terkejut karena Nayeon ingat dan Jinyoung tidak. Ketika Jinyoung berkata bahwa ia tidak dapat mengigat hal itu, Nayeon terlihat kecewa, tetapi menutupi kecewaannya dengan senyuman manis yang dapat menghangatkan hati Jinyoung.
“Mari kita kesana!” Nayeon membawa Jinyoung ke ayunan seperti anak kecil
“Ayunan? Apakah pertemuan pertama kita disini?” Nayeon menganggug, dan meminta Jinyoung untuk mendorongnya. Jinyoung mendorong Nayeon sambil tertawa,
Rasanya seperti kita menjalani hubungan lagi…
Jinyoung berhenti – merasakan kekecewaan lagi saat ia ingat bahwa Nayeon tidak ingat mengenai hubungan mereka.
“Jinyoung? Ada apa?”
“Hm? Tidak apa-apa…” Lalu, Jinyoung mendengar tereakan sekelompok anak kecil yang sedang bermain bola.
Kita sering bermain dengan anak kecil
Jinyoung mendapatkan sebuah ide.
“Nayeon! Mari kita bermain dengan anak-anak itu!”
“Yuk!” Mereka pun berlari kearah anak-anak itu. Dalam perjalanan, Nayeon hampir terjatuh karena sebuah lobang yang tidak terlihat. Jinyoung bertanya jika Nayeon merasa sakit, tetapi ia hanya menjawab , “Cuman pusing kok”. Jinyoung merasa khawatir dengan kondisi Nayeon.
“Benarkah? Kamu tidak ingin pulang? Sepertinya kamu membutuhkan istirahat.”
“Aku tidak apa-apa. Aku akan istirahat setelah kita menyelesaikan aktivitas kita” Nayeon memandang mata Jinyoung sambil tersenyum.
“Baiklah… Mari kita jalan saja” Jinyoung menarik Nayeon kembali kepada kakinya, dan merangkul bahunya. Saat mereka hendak melanjuti perjalanan, Jinyoung melihat sesuatu yang bercahaya dalam sekilas. Ia ingin tau apa itu yang bercahaya, maka ia berlutut dan mengambil obyek tersebut – gelang yang memiliki kristal. Ia meneliti gelang itu. Gelang Kristal tersebut memiliki charm huruf N dan J, dan dibalik huruf N itu tertulis kata ‘Star’. Jinyoung terdiam melihati gelang itu.
“Jinyoung? Apa yang kamu temukan?”
Ia menyimpannya… Gelang yang ku berikan
“Ini milikmu” Jinyoung berkata sambil mengembalikan gelang kepada Nayeon.
“Bagaimana kamu tau…?” Nayeon bertanya sambil meneliti gelang tersebut – memastikan bahwa itu gelang miliknya.
“Apa reaksimu jika… aku memberi tau… Bahwa gelang itu dari aku…”
“A-aku akan senang! K-karena i-ini dari sahabatku…” Nayeon menjadi gugup dan malu. Jinyoung terdiam sejenak. Berpikir. Lalu secara perlahan mendekati Nayeon.
“Nayeon… Apa reaksimu jika… aku memberi tau bahwa kita dulu menjalin hubungan…” Nayeon terkejut. Ia tidak menduga mereka pernah berkencan.
“Aku… tidak ingat…” Nayeon katakan, sambil lihat ke bawah – malu karena ia telah melupakan hal itu.
“Maukah kamu jika… Kita menghulang ini semua? Menjadi lebih dari teman dan… sedikit seperti pacar?” Nayeon mengadah, lalu mengangguk selagi bersenyum. Jinyoung tidak bisa menahan kebahagiannya, maka ia mendekati Nayeon, lalu memeluknya dengan erat – mengekspresikan kasih saying terhadapnya.
“Thankyou…” Jinyoung bisik kemudian mencium dahi Nayeon secara lembut.
-005-
Malam sudah tiba. Jinyoung dan Nayeon berjalan kearah sebuah jembatan yang terletak tak jauh dari rumah sakit – dimana Nayeon dan Jinyoung dirawat. Jinyoung membawa Nayeon pada tempat tersebut, karena ia ingat betapa dalam cinta Nayeon pada galaksi – terutama bintang. Sekelompok bintang dapat dipandang tepat pada posisi mereka – ditengah jembatan. Mereka sambil berpegangan tangan, seolah-olah mereka berkencan. Jinyoung mengusap kedua tangan Nayeon dengan pelan dan menenangkan.
“Cantiknya…” Nayeon terkesiap, kagum dengan pemandangannya.
“ya… cantik” Jinyoung berkata, sambil menatap Nayeon pada mata.
“Star…” Jinyoung bisik kepada Kuping Nayeon. Nayeon lalu melihat kearah Jinyoung pelan-pelan.
“Apa?”
“Dulu aku sering memanggil mu ‘Star’ karena kamu secantik bintang…” Kaget dengan apa yang telah Jinyoung katakan. Dengan perlahan, Nayeon menyadari bahwa kasih sayang yang dimiliki Jinyoung untuknya itu sepenuh hati – Serius. Gawat. Maka ia perlu mengakhirinya.
“Nayeon… Aku mencintai m-“ Jinyoung terpotong oleh kata-kata Nayeon yang menusuk.
“Sebaiknya kita berhenti” Nayeon menjauh dari Jinyoung. Tidak sanggup berdekatan bersamanya.
“Apa maksudmu Nayeon…” Jinyoung tidak dapat mengerti perempuan yang sedang berdiri dihadapannya.
“Aku butuh waktu”
“Tapi kita bisa pelan-pelan”
“Ini untuk kebaikan kita berdua”
“Aku kira semua baik-baik sa-“
“Maafkan aku, Jinyoung” Hanya seperti itu, Nayeon meninggalkan Jinyoung sendirian.
-006-
Jinyoung masuk sebuah kafe dan ke arah kasir.
“Saya mau pesen Hot Chocolate dan juga brownies satu” Ungkap Jinyoung tanpa keraguan, karena ia selalu memesan kedua hal tersebut.
“Totalnya jadi... Rp55,000 uang Rp100,000 kembalian Rp45,000, mohon ditunggu pesanannya!” Ujar pelayan tersebut sambil memberi kembalian dan juga tanda terima kepada Jinyoung. Dengan automatis, Jinyoung jalan ke sebuah meja yang terletak di pojok belakang kafe, dan berhenti saat ia hanya berjarak sekitar 1 meter dari meja tersebut.
Aku dan Nayeon selalu duduk disini... Saat kita berkencan...
Wajah Jinyoung berubah dan bibirnya melengkung kebawah karena memikirkan masalalu, lalu ia berjalan kearah meja – khusus untuk satu orang, yang bersenderan dengan kaca didepan kafe dan duduk. Pesanannya datang ketika ia bersenderan di kursinya.
“Terima kasih telah menunggu! Ini pesananmu!” Pelayan mengatakan sambil meletakkan cangkir dengan Hot Chocolate dan juga piring kecil dengan brownies.
“Terima kasih” Jinyoung berkata dengan suara yang kecil sambil melihat pesanannya. Ia terdiam, melihatkan pesanannya, sambil mendesah.
Aku benar-benar tidak bisa melupakannya...
Jinyoung mengangkat cangkir tersebut dan meminum Hot Chocolatenya, sambil berusaha keras untuk menikmati rasanya tanpa memikirkan Nayeon. Jinyoung hendak mengambil brownies, tetapi berhenti ketika ia mengingat sebuah kenangan.
“Jinyoung-ah! Bagi dong~” Nayeon meminta sambil melakukan aegyonya kepada Jinyoung.
“Hm… Apa kata mu?”
“Jinyoung-ie oppa~ Aku mau brownies! Suapkan brownies mu kepada ku~”
“Baiklah, apa saja untuk princess ku~” Jinyoung tersenyum dan menyuapkan brownies terserbut kepada Nayeon dengan senang hati.
“Hmmm enakk, Makasih oppa~” Nayeon katakan sambil mengunyah makanannya, lalu memeluk Jinyoung dengan erat.
Jinyoung menjauhkan tangannya dari brownies tersebut, lalu menyeselaikan minumannya. Jinyoung berdiri, kemudian berjalan keluar kafe, dan meninggalkan brownies tersebut.
Jinyoung berjalan di trotoar selagi menunduk kepala – seperti tidak ingin dilihati oleh orang-orang. Ia berjalan terus sampai ia mendengar suara yang ia kenali. Ia mendongak, tetapi menyesal. Ia melihat Nayeon bersama JB di tempat yang tidak jauh dari posisi Jinyoung sekarang.
Mengapa dia bersamanya.
Apakah aku tidak cukup untuk dia?
Tanpa disadari, Jinyoung berjalan kearah mereka dan berhenti saat Nayeon dan JB lambat laun berhenti untuk melihat Jinyoung, terperanjat dengan kehadirannya. Jinyoung menatap Nayeon, dengan tampilan kehampaan.
“Karena inikah kamu butuh waktu? Supaya kamu bisa berkencan dengan sahabatku?” Jinyoung mengeluarkan kata-kata itu seperti racun. Ia tidak bisa menjelaskan rasa kekecewaannya kepada Nayeon dan juga sahabatnya, JB. Terutama JB. Ia tidak bisa percaya bahwa sahabatnya sedang dihadapannya bersama mantannya. Jinyoung seharusnya tidak menghardik mereka, tetapi ia tidak tahan lagi.
“Jinyoung… maafkan aku…”
“Mengapa kamu meminta maaf? Perlu kah kamu meminta maaf? Terutama kepada aku?” Jinyoung bertanya sambil tertawa – membuat Nayeon terdiam.
“Ini salah paham Jinyoung, kita hanya teman baik, bahkan sebelum kalian mulai berkencan” JB memperikan.
Apa yang dikatakan JB memicu Jinyoung, sehingga ia menjadi lebih emosi.
“Jadi kamu ingat tentang persahabatanmu dengan JB? Tapi tidak ingat tentang percintaan kita?”
“Jinyoung… Maafkan aku…” Mata Nayeon berkaca-kaca. Ia benar-benar tidak tau harus mengatakan apa selain kedua kata itu.
“Cukup. Aku tidak mau mencoba lagi. Kita tidak mungkin. Terlalu banyak hal yang mengganggu-gugat kita, dan terlalu banyak hal yang diperlukan dalam sebuah hubungan, tetapi tidak kita miliki.” Nayeon menangis saat Jinyoung mengatakan kata-kata itu. Jinyoung merasa sebilah pisau menikamnya saat ia melihat Nayeon nangis. Ia tidak ingin membuat Nayeon bersedih, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Mereka benar-benar tidak memiliki takdir yang sama, dan sebaiknya mereka tidak bermimpi untuk bersatu. Harapan apapun harus dihilangkan, karena itu tidak sehat bagi mereka. Mereka harus mulai berpikir mengenai realitas – Dimana mereka tidak akan bertemu lagi.
“Selamat tinggal… Star…” Jinyoung terakhir kali mengucap nama panggilan Nayeon yang ia bikin ketika mereka tiduran di rumput dan memandangi bintang-bintang. Jinyoung ingat bagaimana cara dia membuat panggilan tersebut, dan setetes air mata mengalir. Jinyoung yakin bahwa Nayeon tidak mengigat kenangan itu.
Ia pasti lebih ingat mengenai JB
Lalu, Jinyoung mengambil satu langkah kebelakang, sambil mengeringkan muka dari tangisan. Ia menatap Nayeon untuk terakhir kalinya, lalu berbalik badan.
‘Aku bodoh jika aku meninggalkan mu’ Jinyoung pernah mengatakan kepada Nayeon sebelum mereka kecelakaan.
Ya. Aku sangatlah bodoh.
Jinyoung berjalan, dan setiap langkah menjadi lebih berat, seolah-olah badannya menolak untuk meninggalkan Nayeon, tetapi Jinyoung memaksa dirinya. Jinyoung berjalan sampai ia mendengar suara Dug dan tereakan JB – memanggil Nayeon.Jinyoung berbalik kearah kedua orang tersebut, dan melihat Nayeon terletak di jalanan dengan tangan JB yang sedang merangkulnya – sedang berusaha untuk membangunkannya.
“Nayeon!!” Jinyoung mengerih sambil berlari kearah Nayeon dan JB. Ia berlutut, lalu memeluk Nayeon. Mendesak untuk dia bangun, dan meminta maaf atas perilakunya terhadap Nayeon.
“Tolong panggil ambulans!” Seru Jinyoung, sambil memeluk Nayeon secara lembut, seperti barang yang rapuh jika ditempatkan tenaga, akan hancur.
“Star… Kamu akan baik-baik saja…”
Nayeon bergerak secara langsam, seperti memberikan reaksinya kepada kata-kata Jinyoung.
“Jangan tinggalkan aku…”
-007-
“Pasien Im Nayeon dapat dijenguk” Suster mengumumkan kepada Jinyoung, dan JB. Mereka langsung bergegas ke kamar Nayeon, lalu Jinyoung menerobos pintu masuk ruanganya. Nayeon pun melihat kearah pintu dengan muka terkejut. Jinyoung kemudian berlari kesebelah tempat tidur Nayeon dan memegang tangannya dengan erat.
“Nayeon! Apakah kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Maafkan aku, seharusnya aku tidak berkata seperti itu kepada mu”
“Jinyoung…”
“Tolong jangan tinggalkan aku…Star…”
“Jinyoung…dengarkan Nayeon sebentar” JB mendesis dengan pelan. Ia terdengar tidak yakin.
“Ada apa…Adakah sesuatu yang aku perlu tau?” JB mengangguk,
"Jinyoung... Aku sakit...”
Jinyoung menghentikan kata-kata khawatir nya kepada Nayeon dan hanya memperhatikan Nayeon, yang sedang melihat tangannya di rengkuh oleh Jinyoung. Ia tidak dapat mempercayainya. Lalu ia menarik tangannya kembali.
"Apa?"
Nayeon mendesah, dan melihat kearah jinyoung – menatapi matanya.
"Aku punya penyakit hati"
Ia seolah-olah merasakan dunia seakan berhenti berputar dan merobek hatinya saat ia mencoba untuk memproses semuanya.
"Maafkan aku..."
"Hentikan" Jinyoung katakan dengan nada yang tajam dengan tidak sengaja.
"Kata-kata itu menjadi kebiasaanmu... Sampai aku tidak paham apa maksud mu dengan kata itu..." Jinyoung merasa kecewa terhadap Nayeon. Nayeon membuka bibirnya, seperti ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi Jinyoung memotong nya dengan berdiri sambil menengok kearah pintu.
"Aku butuh udara segar"
Jinyoung keluar dari kamar tersebut tanpa menunggu respon dari Nayeon. Lalu ia keluar dari gedung rumah sakit. Ia berjalan terus sambil memprosesi hal-hal yang ia baru saja ketahui.
‘Aku tidak apa-apa kok... Cuman butuh istirahat...’
'Cuman pusing kok'
‘Aku tidak apa-apa’
‘Sebaiknya kita berhenti’
‘Aku butuh waktu’
'Ini untuk kebaikan kita berdua'
Dia memikirkan segala hal yang ia telah mendengar dari Nayeon, dan mulai menyadari bahwa Nayeon telah berusaha untuk menyembunyikan penyakitnya.
'Saya harus bicara bersama Nayeon secara pribadi’
'Aku sakit'
Jinyoung berteriak dalam frustrasi, dan pada saat itu juga ia membenci dirinya. Ia tidak nyangka bahwa dia tidak menyadari tujuan Nayeon untuk putus dengannya. Ia berpikir berkali-kali seandainya ia mengetahui penyakit yang dideritai Nayeon lebih awal. Seandainya ia dapat membawa Nayeon ke rumah sakit lebih awal. Jika iya, Nayeon bisa saja sehat pada saat ini, dan mereka bisa memegang tangan satu sama lain dan berjalan kearah tempat kencan mereka selanjutnya.
Seandainya aku tidak berkelahi dengan Nayeon
Jika itu tidak terjadi, kita tidak akan mengalami kecelakaan, dan Nayeon tidak akan seperti ini
Segala hal dapat menjadi lebih halus dan tidak hancur seperti sekarang.
Seandainya aku tidak mengatakan hal-hal itu kepadanya
Semua ini salah aku
Jinyoung mendesah dan menendang sebuah batu kerikil yang ia temukan di jalanan. Ia lanjut berjalan sampai ia melihat sebuah jembatan. Jinyoung berdiri diatas jembatan tersebut, dan menatapi sungai yang mengalir dengan anggun dibawahnya.
Ia memandang sungai dengan terpesona, karena sungai itu mencerminkan begitu banyak bintang. Setelah itu, ia melihat keatas, memandangi bintang-bintang sambil membayangi masa depan apa bila ia sendirian. Masa depan apa bila ia dapat bersenang-senang bersama Nayeon. Dan pada akhirnya, Ia menatapi sebuah bintang indah yang bersinar lebih terang dari pada yang lain, dan entah kenapa mengingatkannya pada Nayeon
setetes air mata mengalir kebawah wajahnya.
"kau... Yang, entah kenapa ku cintai... Dengan perlahan... akan meninggalkan ku..."
-FIN-