CHAPTER 1 : Replace
Gadis itu terisak. Wajahnya yang beberapa menit yang lalu terlihat sangat kuat menentang lawan bicaranya kini telah menghilang entah ke mana. Ia sendiri bingung, bagaimana awalnya sebuah permasalahan sederhana yang tidak pernah benar-benar mengusik kehidupannya, berakhir menjadi sesuatu yang berhasil membuatnya menangis sesenggukan seperti saat ini.
Tangisannya semakin menjadi tatkala sentuhan lembut dari tangan Ibunya menyentuh kepalanya.
“Hey, kenapa nangis?”
Gadis itu terdiam.
“Merasa bersalah?”
Gadis itu masih diam. Kepalanya bahkan masih menempel pada bantal yang menjadi alat peredam isakannya.
“Mau Ibu beritahu sesuatu?”
Gadis itu masih diam, tapi ia mulai mengangkat kepalanya.
~
Myungki menggeram. Ugh, betapa ia membenci siapapun orang yang mengawali tradisi sekolah pagi hari di negaranya. Sambil menggerutu tak jelas, gadis itu merapikan kasurnya dengan asal dan segera berjalan menuju kamar yang terletak 3 langkah dari kamarnya. Tanpa mengetuk pintu, gadis berpiyama merah muda itu langsung membuka pintu dan mengguncang tubuh pemilik kamar.
“KAK JINYOUNG BANGUN KAK UDAH SIANG!”
Suara Myungki yang nyaring hanya sanggup untuk membuat kening Jinyoung berkerut, tapi tak cukup ampuh untuk membangunkannya. Myungki pun mengikuti cara Mama membangunkannya tadi—menarik selimut Jinyoung tapi dengan tambahan menggelitik telapak kakinya.
“Kak buruan bangun ih aku mau nyamain PR dulu sama temen! Kak Jinyoung!”
Masih tak ada reaksi apapun.
Tapi Myungki tahu kakaknya sudah bangun dari cara kedua mata kakaknya yang terlihat “dipaksa” untuk “merem”.
Kesal, akhirnya Myungki pun mengeluarkan senjata andalan yang biasa digunakannya untuk membangunkan Jinyoung di saat-saat genting.
“Aku telfon Kak Nayeon aja kali y—“
Myungki samasekali belum bergerak dari posisinya di kasur Jinyoung tapi Jinyoung langsung menyambar ponsel di meja sebelah kasurnya begitu mendengar nama mantan kekasihnya. Sambil tersenyum puas, Myungki beranjak dan berjalan keluar kamar bernuansa biru itu. Tapi langkahnya segera terhenti begitu sesuatu yang empuk—tapi tetap menyakitkan—terlempar ke punggungnya.
“Hey—“ gadis itu segera membalas lemparan bantal dari Kakaknya dan segera keluar sebelum ada serangan balasan. Ia sempat melirik kearah pintu di sebelah kamar Jinyoung, berniat untuk mengetuknya. Namun niatnya segera sirna ketika jantungnya sudah berdegup dengan cepat sebelum ia melakukan apapun. Merasa tidak akan sanggup, Myungki pun berlari kearah kamar mandi di sebelah kamar tersebut sebelum—
“Aku duluan.”
“Hih, kan yang bangun duluan aku!” gerutu Myungki kesal.
Jinyoung menggeleng, “aku yang nyampe sini duluan. Disuruh bangunin Kak Jaebum kan sama Mama?”
“Kakak aja gih. Aku kan udah bangunin Kakak.”
“Yang disuruh siapa?”
“Yang duluan bangun siapa?” balas Myungki sebelum melangkah masuk ke kamar mandi. Sayangnya, tarikan di kausnya oleh tangan Jinyoung menahannya untuk melangkah lebih jauh. Refleks, Myungki menghentakkan kaki kanannya ke atas kaki Jongup dan menghasilkan erangan cukup keras dari Jinyoung. Kegaduhan tom&jerry itu semakin menjadi-jadi ketika aksi saling injak berlangsung cukup lama sampai—
Cklek.
Satu-satunya pintu kamar yang masih tertutup pagi itu tiba-tiba terbuka. Myungki dan Jinyoung mematung. Keduanya langsung saling tatap satu sama lain, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Membangunkan Jaebum di pagi hari merupakan sesuatu yang paling dihindari oleh kedua kakak-beradik itu. Salah cara, bukannya terbangun dan mendapat ucapan terimakasih, Jinyoung atau Myungki akan disemprot dengan amukan dari kakaknya yang sedang dalam keadaan setengah sadar itu.
“Berisik.” Hanya itu yang terdengar dari balik pintu Jaebum. Myungki dan Jinyoung belum berani mengeluarkan sedikitpun suara balasan, masih menunggu kata-kata selanjutya dari anak sulung itu.
“Jangan berisik, aku mau tidur lagi.” Ujar Jaebum lagi. Myungki dan Jinyoung saling tatap lagi, keduanya sama-sama bingung apa yang harus mereka katakan selanjutnya.
“Ta—tapi, Kak,” Jinyoung menyela dengan penuh hati-hati setelah disikut oleh Myungki. “Kakak kan kerja?”
“Lagi libur.” Jawab Jaebum cepat sebelum menutup pintunya dengan cukup keras, diikuti dengan Jinyoung dan Myungki yang langsung menghela napas setelah sedari tadi mereka tahan tanpa mereka sadari.
“Yaudah sana mandi duluan, jangan lama-lama. Kalo lama aku tinggal.” Ancam Jinyoung sambil mendorong Myungki masuk kamar mandi.
Myungki mengerucutkan bibirnya, kesal dengan kakaknya yang lebih memilih tidak mandi ke sekolah daripada menunggu dirinya.
~
“Kamu tahu, betapa jarangnya Kakakmu itu mandi selama SMA?”
Gadis itu menggeleng.
“Dia seringkali lebih memilih untuk nggak mandi ke sekolah ketika kamu mandi terlalu lama. Ibu pernah menyuruhnya untuk mengetuk pintu kamar mandi, minta kamu cepet keluar, tapi dia nggak mau.”
Gadis itu kembali terdiam, mengingat kembali bahwa memang Kakaknya itu tidak pernah benar-benar menyuruhnya mandi dengan cepat selain untuk gurauan atau ancaman candaan saja.
~
“Myung? Myungki?” suara Jaebum setengah berbisik sambil menepuk pipi adiknya pelan. “Pindah gih, jangan tidur di sini, dingin.”
Myungki mengerutkan keningnya kemudian membuka mata. Kedua matanya merah, membuktikan bahwa ia memang telah tertidur sebelumnya.
“Apa kak?” tanya Myungki setengah sadar sambil kembali menutup matanya.
“Pindah. Jangan tidur di sofa, dingin.” Titah Jaebum sambil kembali menepuk pelan pipi gadis itu. Dalam keadaan setengah sadarnya, Myungki menggeleng.
“Myungki,”
“Nggak mau, Kak!” amuk gadis itu akhirnya. Jaebum menghela napas, gadis ini sedang setengah sadar. Ia tidak mungkin memarahi orang yang entah sedang berada di alam sadar atau alam bawah sadarnya ini.
Jaebum melirik kearah Jinyoung yang sedang duduk di bawah sofa, mengeluarkan DVD series yang sedang ditonton Myungki sebelum adiknya itu terlelap di atas sofa. “Coba sama kamu.”
Jinyoung mengerang pelan sebelum menepuk pelan kaki adiknya. “Pindah heh, aku mau nonton!”
Tubuh Myungki tiba-tiba terduduk, sudah lelah untuk mempertahankan keputusannya tidur di sofa malam ini.
Jaebum pun segera merangkul adiknya itu, bermaksud membantu adiknya itu untuk berdiri dan berjalan kearah kamar. Tapi kemudian Myungki melepaskan rangkulan Jaebum dan memilih untuk memeluk tangan kekar Kakak sulungnya itu.
“Nggak mau jalan ih, ngantuk!” gerutunya, masih sambil merangkul erat tangan Jaebum yang mungkin ia anggap sebagai guling—atau mungkin samsak?
“Mau digendong!” pintanya lagi.
Jinyoung menatap adiknya dengan mulut setengah menganga. “Gendong? Mah, dulu ngidam apaan sih waktu hamil anak ini? Nyadar body dong sist,” Jinyoung setengah berteriak.
Detik selanjutnya, Myungki tidak bisa mengingat apapun selain pada pagi harinya, ia sudah berada di atas kasurnya sendiri.
~
“Kamu inget nggak, waktu Kakakmu itu untuk pertama kalinya nolak diajak main futsal sama temennya terus uring-uringan di rumah?”
Gadis itu mengangguk pelan, diam-diam mulai memutar kembali memori di mana Kakaknya itu uring-uringan di rumah karena ingin main futsal, padahal ia sendiri yang menolak ketika teman-temannya datang ke rumah untuk menjemputnya.
“Itu karena ia mengangkatmu ke kamar, tepat ketika Jaebum sudah tertidur dan aku terbangun karena ingin minum. Esoknya ia meminta koyo karena katanya punggungnya pegal-pegal.”
Gadis itu kembali terdiam.
~
Myungki mengacak isi trolley sebelum mengantri di kasir. Jaebum baru saja mendapatkan gaji setelah ia dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi di tempatnya bekerja. Tanpa menunggu kedua adiknya merecoki dirinya dengan kode-kode minta ditraktir, ia pun membawa Jinyoung dan Myungki ke salah satu supermarket langganan mereka untuk membeli keperluan sehari-hari beserta beberapa bahan makanan dan alat rumah tangga titipan Mama mereka.
“Loh, emang tadi beli apa aja?” tanya Jaebum yang ikut mengubek isi trolley yang hampir penuh itu.
Myungki mencoba mengingat kembali beberapa produk kosmetik rekomendasi temannya yang tadi ia masukkan ke trolley. Usianya yang akan menginjak 17 tahun di tahun ini membuatnya ingin belajar menggunakan kosmetik seperti teman-temannya yang lain, setelah selama ini hanya mengandalkan produk-produk perawatan kulit sederhana yang ia gunakan bersama dengan kedua Kakaknya ataupun dengan Mamanya.
“Tadi aku masukin bb cream, bedak, lip balm, lip—“
“Aku simpen lagi tadi di tempatnya,” Jinyoung buka suara, “ngapain repot-repot beli make up, nggak akan jadi mirip Yoona juga. Buang-buang uang.”
Jika ini bukan di supermarket, jika di sini tidak ada Jaebum, jika saja ia bisa untuk membuat dirinya dan Jinyoung menjadi invisible—Myungki tidak tahu akan ia apakan Kakaknya yang satu itu. Sentuhan di kepalanya menyadarkan Myungki dari susunan rencana balas dendam pada Jinyoung yang sedang ia rancang di dalam pikirannya.
“Yaudah, sekarang kan udah malem, tokonya mau tutup,” ujar Jaebum sambil mengacak rambut adik perempuannya pelan, “bulan depan kita kesini lagi, ya.”
~
Myungki menutup pintu rumah dengan sedikit membantingnya. Hari ini keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak pada dirinya. Tugas yang salah, lupa tidak membawa dompet, dan turun hujan ketika ia tidak membawa payung. How a great day.
Jinyoung yang tengah duduk di kursi tamu, membaca beberapa majalah lama yang ada di sana, langsung berdiri ketika adiknya itu pulang. Ya, untuk pertama kalinya ia menunggu adik kesayangan-nya itu pulang. Meskipun sempat heran melihat wajah masam dan bantingan pintu dari Myungki, Jinyoung tidak lantas mengurungkan niatnya untuk mengajak Myungki menjadi bagian dari rencananya.
“Myung,” panggil Jinyoung dengan nada seramah mungkin. Yang dipanggil terlihat mengerutkan kening, terkejut dengan nada ramah dari Kakaknya itu. Setelah Myungki berehem sambil melepas sepatunya, Jinyoung meneruskan, “Bentar lagi kan tanggal 14 februari, mau nggak nemenin Kakak ke acara Valentine-an?”
Myungki berhenti dari aktivitasnya begitu mendengar permintaan Kakaknya yang—wow, Jinyoung? Ke acara Valentine-an? Sejak kapan??
Jika ia sedang berada dalam mood yang baik, mungkin ia kini sedang menertawakan Kakaknya yang kini sedang memegang telinganya yang memerah. “Valentine? Ogah ah,”
“Dengerin dulu,” sergah Jinyoung. “acaranya bentaran doang kok. Kamu nggak perlu ngapa-ngapain, cukup ngikutin aku ke mana-mana aja.”
“Situ nyuruh sini jadi bodyguard?”
Jinyoung nyaris akan membalas kata-kata adiknya itu sampai kemudian ia sadar bahwa ia tidak bisa—ia membutuhkan anak ini dan anak ini tidak akan mungkin mau menurutinya jika mereka berakhir bertengkar seperti biasanya. “Bukan. Kamu... pura-pura jadi cewek aku gitu,”
“What—“
“Orang yang dateng ke sana nggak akan ada yang kenal kamu, Myung. Ayolah,” terdengar nada memelas dari suara Jinyoung. “Minimal kita bikin iri jomblo-jomblo yang ada di sana gitu,”
“Bentar,” Myungki akhirnya mengerti ada sesuatu yang aneh di sini. “Minimal? Kakak mau bikin iri siapa emangnya?”
Jinyoung tidak mampu menjawab. Harga diri menahannya agar tidak membocorkan rencana nggak jelasnya itu.
Tapi Jinyoung lupa, adiknya itu sudah mengenal dirinya semenjak adiknya itu lahir. “Kak Nayeon jadi MC acara Valentine-nya?”
Setelah menghela napas, Jinyoung mengangguk pelan. Sedikit berharap bahwa dengan begini adiknya jadi mau menuruti permintaannya.
Myungki tertawa singkat, sebelum kemudian, “Nggak ah, Kakak ajak yang lain aja, jangan aku.”
Tanpa memerdulikan Kakaknya yang masih memelas sambil mengikutinya, Myungki segera masuk ke dalam kamar dan melempar tas-nya. Ia baru saja akan mengusir Jinyoung—yang mengikutinya ke dalam kamar—ketika ia menemukan kantung berwarna pink di dekat cerminnya. Sontak mood Myungki menjadi berubah drastis ketika ia melihat dari isi kantung itu.
“Oh My God Thank You So Much, Kak Jaebum!!” teriaknya—berharap ucapannya bisa sampai ke telinga Jaebum yang belum pulang dari kantornya. Ia terlalu memfokuskan diri pada kantung berisi make up itu sehingga tidak sempat memerhatikan Jinyoung yang sudah berhenti memelas dan hanya berdiri di tempatnya.
~
“Itu make up pemberiannya, kan?”
Gadis itu mengikuti arah pandang Ibunya. “Bukan, itu dari Kak Jaebum.”
“Loh, waktu itu dia pulang sekolah bawa-bawa kantung warna pink terus masuk ke sini.”
Gadis itu kembali terdiam, namun kini keningnya sedikit berkerut. Kenyataan-kenyataan yang dibeberkan Mamanya mulai membuat kepalanya terasa pening dan dadanya sesak. Detik selanjutnya, tetesan-tetesan air mulai kembali membasahi pipinya yang masih memerah.
~
Myungki menekan bel rumahnya sambil sebisa mungkin menahan tawanya. Ia terlalu bersemangat ketika pergi sehingga tidak sempat membawa kunci rumah yang selalu dibawanya. Hari ini tanggal 14 februari, hari di mana ia seharusnya bersama Jinyoung jika ia menuruti permintaan Kakaknya itu. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena ada lelaki lain yang mengajaknya merayakan tanggal 14 itu dan Myungki langsung menyetujuinya tanpa pertimbangan apapun.
Wajah sumringahnya sirna ketika Myungki berhadapan dengan yang membukakan pintu. “Masuk.”
Tanpa harus mengamuk, nada dingin dan tatapan tajam Jaebum sudah berhasil membuat perut Myungki mulas dan tangannya dingin. Gadis itu tahu, saat ini ada yang tidak beres dengan dirinya saat ini dan Jaebum tidak menyukai itu.
“Itu,” Jaebum menunjuk jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri Myungki. “Kamu nggak tahu cara pake itu?”
Myungki refleks langsung memerhatikan jam tangannya sendiri. Oh no—ia sudah terlambat satu jam dari jam malam yang diberlakukan Jaebum padanya. “Maaf kak, tadi—“
“Pergi nggak bilang dulu ke Mamah, nggak bilang sama siapa, dan sekarang pulang nggak tahu waktu. Kamu masih ngehargain keluarga ini nggak, sih? Hah?”
Mata Myungki memanas seiring dengan nada Jaebum yang semakin meninggi. Ia pernah terlambat pulang sebelumnya, terlambat dua jam dari jam malam yang ditentukan, dan dimarahi oleh Jaebum setelah itu, tapi tidak seperti ini. Jaebum tidak pernah benar-benar meninggikan suaranya jika ia harus menasihati dirinya. Tapi kali ini, ia heran karena kali ini Jaebum memarahinya sampai seperti ini ketika ia hanya melanggar 1 jam. Ada apa ini?
Kata-kata Jaebum yang selanjutnya tidak sempat Myungki perhatikan, karena tanpa ia sadari bagaimana awalnya, ia kini tengah sesenggukan dengan air mata yang terus turun dari kedua matanya. Tanpa menunggu tangisannya lebih parah, Myungki segera berlari ke arah kamarnya dan siap menjalankan adegan tipikal remaja yang tengah bersedih. Mengunci diri di kamar, melemparkan tubuh ke atas kasur dan menangis sambil memeluk guling sampai ia tertidur.
~
Myungki kini kembali menangis terisak, namun kini yang dipeluknya adalah Ibunya. Tangisannya semakin menjadi ketika Ibu mengingatkannya bahwa ketika Jaebum memarahinya tahun lalu, Myungki tidak melawan. Bahkan untuk kembali membicarakan hal itu pun Myungki tidak berani.
Berbeda dengan beberapa saat yang lalu.
Semua berawal dengan Myungki yang hari ini kembali pulang malam, setelah sebelumnya berulang kali melakukan hal yang sama, setelah sebelumnya Jinyoung mengingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Namun hari ini berbeda. Jinyoung meluapkan amarahnya terhadap perilaku Myungki—persis seperti yang dilakukan Jaebum setahun yang lalu.
Tapi kini, Myungki meluapkan juga apa yang seharusnya tidak ia luapkan.
“Nggak usah atur-atur aku! Nggak usah so’ ngikutin Kak Jaebum! Kakak nggak akan pernah bisa gantiin Kak Jaebum!”
Myungki menyesal. Sangat menyesal karena telah mengatakan hal itu pada Kakaknya yang selama ini—tanpa ia sadari—memperlakukan dirinya dengan sangat baik dengan caranya sendiri. Kakaknya yang selama ini mau melayani Myungki dengan segala kekanak-kanakannya. Kakaknya yang selama ini berusaha sebisa mungkin untuk menggantikan posisi Jaebum—setelah kepergian anak sulung itu untuk selamanya.
Kakak nggak akan pernah bisa gantiin Kak Jaebum.
Kata-kata itu terngiang di kepala Myungki sendiri. Ia membayangkan betapa sakit hatinya Jinyoung mendengar kata-kata itu, hingga ia langsung meninggalkan rumah setelahMyungki mengatakannya. Pasti ia akan membenciku.
“Belum terlambat, nak.”
Benar. Semuanya belum terlambat.
Gadis itu tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan Ibunya. Ia lalu berdiri, mengambil cardigan dari gantungan baju di pintunya, dan segera melesat keluar dari rumah. Berharap bahwa mungkin Kakaknya belum jauh.
Myungki berlari sambil sesekali memanggil nama Kakak satu-satunya itu. Kakaknya harus tahu bahwa ia menyesal mengatakan hal tersebut dan berjanji tidak akan membanding-bandingnya dirinya dan Jaebum. Ia harus segera meminta maaf. Segera. Karena kita tidak akan pernah tahu sampai kapan seseorang akan bersama kita. Akankah sampai nanti, sampai besok,
atau sampai saat ini.
Myungki berhenti berlari dan segera mematung di tempat. Pemandangan pertama yang dijumpainya begitu sampai di jalan raya utama bukan pemandangan yang ia inginkan. Sebuah situasi yang langsung mengingatkannya pada kejadian tahun lalu. Kejadian yang menelan nyawa Kakak sulungnya—di tempat yang sama.
Kedua kaki Myungki tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Gadis itu terduduk di tempatnya, dan menumpahkan setiap gejolak emosinya melalui bulir-bulir air mata yang mengalir di pipinya. Tangannya yang gemetar mencoba menutup mulutnya, sebisa mungkin mengendap teriakan yang ingin ia keluarkan.
Aku terlambat.
Suara ambulans dan mobil polisi yang semakin mendekat membuat Myungki semakin tidak sanggup untuk berdiri dan mendekati lokasi kecelakaan mobil yang terjadi. Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan, berharap semua kejadian ini tidak terjadi. Bibirnya berkali-kali menyebut nama yang sama.
Jinyoung.
Udara dingin di sekitar Myungki mendadak hangat ketika seseorang memeluknya. Myungki dengan sendirinya bersandar pada yang memeluknya itu. Pada saat itu, Myungki tidak mau tahu siapa orang yang kini sedang mengelus kepalanya pelan. Ia sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk bersandar dengan kesedihan dan penyesalan yang melandanya.
“Sabar,”
Eh?
Myungki berhenti dari tangisannya. Suara itu.
Suaranya.
Apa ia tidak salah dengar?
Apakah ia begitu sedih sehingga ia mulai berhalusinasi?
Myungki mendongakkan kepalanya pelan. Jantungnya nyaris berhenti ketika orang yang dipeluknya balik menatapnya.
“Ih, masih hidup?” Myungki langsung mengutarakan apa yang ada di pikirannya.
“Masih, lah. Emang maunya gimana? Udah ngga?“
“Bukaan,” Myungki meremas jaket Jinyoung dibawah telapak tangannya. “Kirain—“
“Kirain...?”
“Kirain kakak kabur terus—“
“Kabur ke mana coba? Orang aku dari tadi diem di belakang rumah ngasih makan kucing,”
“Ih, terus ngapain ada di sini?”
“Ya aku kaget denger pintu rumah tau-tau kebuka terus liat kamu ‘lah itu si Myungki ngapain lari-lari sambil nyebut nama gue?’ jadi aku ikutin kamu sampe kesini.”
“Dih, tau ah!” Myungki melepaskan pelukannya dan memukul dada Jinyoung dengan kesal. Pipinya kembali basah seiring dengan pukulannya pada dada jinyoung yang semakin pelan. Gadis itu kembali menangis, namun kini orang yang ditangisinya kini sedang memeluknya.
“Maaf,” ujar Myungki pelan di sela-sela isak tangisnya.
“Maaf juga.” Balas Jinyoung. Terdengar suara tawa tertahan dari Jinyoung yang membuat Myungki kembali melepaskan diri.
“Ih, Kakak ngerusak momment banget!”
Kini Jinyoung tertawa lepas. “Berasa lagi mau lebaran gitu maaf-maafan.”
Myungki kini benar-benar menjauhkan diri dari Jinyoung dan segera berdiri. Sambil terus menggerutu memaki Kakaknya yang merusak momen langka diantara mereka, Myungki berjalan dan menjauh dari kerumunan kecelakaan itu.
“Jangan ngambek lagi dong,”
“Au.
“Pergi lagi nih,”
“Sana.”
“Yaudah—“
“Jangan, deh.” Myungki menghentikan langkahnya dan merangkul lengan kakaknya yang kini sedang tersenyum bangga
“Eh, besok tanggal 14 februari kan? Jalan, yuk!”
“Ke mana?”
“Mana aja. Yang penting banyak orang.”
“Ngapain?”
“Bikin jomblo-jomblo pada envy.”
Myungki tertawa sambil menatap wajah Jinyoung, tak percaya dengan pola pikir Kakaknya yang random itu. Jinyoung memang tidak akan bisa benar-benar mengganti posisi Jaebum sebagai Kakak tertuanya, namun Jinyoung bisa mengisi kekosongan Jaebum dengan caranya sendiri.
Dan Myungki benar-benar bersyukur akan hal itu.
“Okay.”