CHAPTER 1 : Imagine 1 Shoot
"Maaf.." aku tidak dapat membendung air mataku.
"Maaf..maaf.." aku tak tahu lagi kata apa yang harus kuucapkan,aku bahkan tak yakin apakah kata "MAAF" pantas menggambarkan apa yang ingin kukatakan. Bahuku gemetar karena bimbang,bingung dan sedih yang menyerang bersamaan.
STOP!! Aku harus berhenti menangis! Aku harus menghentikan air mata ini tapi aku tak mampu, aku menunggu reaksi bams. Ia hanya diam tertunduk, wajahnya dingin tak memancarkan emosi. Sosoknya sungguh menyayat hati. Oh akulah yang membuatnya seperti ini. Ini semua salahku, dari matanya ia terlihat sakit hati, sedih dan merasa dikhianati. Pengkhianatan itulah yang terjadi. Ya aku tahu, aku yang membuatnya seperti ini. Tangan bams yang dulu menggenggam tanganku mengepal dengan kuat sampai uratnya terlihat jelas, pasti rasanya sakit tapi mungkin ia akan menyadari lukanya setelah berjam-jam kemudian. Aku tertunduk terdiam tak berani menatap matanya. Wajah tampan yang biasanya menampilkan ekspresi hangat kini sudah tidak ada. Dia seperti mayat hidup. Semua ekspresi yang ku kenal kini sudah tak tampak sedikitpun dalam dirinya. Memang aku yang salah. Aku berusaha menggenggam tangannya yang mengepal membatu namun sentuhanku hanya membuat kepalan tangannya semakin erat dan tangannya mulai tegang karena emosi yang memuncak.
"Maaf bams, aku minta maaf.."
"Bams, tolong katakan sesuatu. Please.." pintaku. Kesunyian diantara kami membuat suasana semakin tegang. Apakah salah jika aku ingin mendengar suaranya? Bahkan amarahnya? Karena daritadi bams hanya diam tak bergeming. Pelan-pelan kubuka mulut dan mengeluarkan suara lirih disela-sela air mata yang mengalir.
"Please.." aku sudah tak berdaya, mungkin dia tidak akan membuka mulutnya lagi. Ia tak ingin berbicara denganku. Ia tak ingin melihat wajahku. Apakah memang begitu? Apa karena kesalahan yang kubuat ini ia tak ingin berbicara denganku lagi?
"Kamu ingin mengatakan apa..? Aku akan menjawab semua kalimat yang ingin kamu tanyakan" ucap bams dengan suara yang ditekankan. Aku tahu ia sedang berusaha untuk tidak menumpahkan semua emosi yang memuncak dan bersarang dalam benaknya. Walaupun begitu kepalan tangannya semakin erat.
"Bukan..aaaku tak.. Aku hanya ingin mendengar apa yang ada dipikiran ka-..." sebelum kuselesaikan kalimatku bams sudah membuka mulutnya.
"Apa yang aku rasakan.? Apa kamu berharap akan mendengar kalimat 'aku sangat bahagia melihat kamu bermesraan dengan laki-laki lain dibelakangku.?' Begitu.? Itu yang ingin kamu dengar.?" Emosi bams sudah mencapai puncaknya. Ia sudah tak dapat lagi mengendalikan emosi yang memang sudah mencapai batasnya.
BODOH!! aku memang bodoh. Aku tak bisa menyelesaikan kalimatku. Semua kalimat yang aku ucapkan hanya terdengar seperti sebuah alasan saja dan mungkin memang benar semua ucapanku hanyalah alasan belaka. Alasan yang kuharap dapat meringankan kesalahanku. Apa yang ingin kudengar dari mulutnya.? 'Bahwa dia mencintaiku tak peduli apapun kesalahn yang kuperbuat.?' Pemikiran yang sungguh bodoh. Pandanganku kabur karena air mataku yang mulai meluap lagi.
"Maaf.. Maafkan aku.." kataku tanpa berdaya. Hanya kata 'maaf' saja yang dapat kukatakan. Selain kata itu, ada kata apa lagi yang dapat pantas kuucapkan.? Jawabannya adalah TIDAK ADA 1 KATAPUN. Bams terdiam lagi, kesunyian diantara kami sungguh membuatku hampir gila. Ia maaih mengepalkan tangannya dengan kuat. Bahunya kaku tak bergeming. Pandangannya jauh menerawang entah pikirannya sedang kemana. Aku mencoba untuk menyentuh tangannya, bahunya semakin menegang, lalu perlahan mulai sedikit melemas.
"Aku tahu kamu marah, aku tak tahu apa yang harus kukatakan" kataku dengan suara lirih. Aku berbicara seakan ia porselen rapuh, bahu bams masih tegang. Aku mencari kata-kata yang ingin kukatakan. Kata-kata yang tepat. "Aku bersalah padamu.. Ya, aku memang salah. Aku telah selingkuh, padahal dijari manisku sudah melingkar benda perak mungil ini. Aku tahu aku bersalah, kesalahan fatal.. Tak Bisakah..??" Kata-kataku terhenti disitu. Aku tak bisa menyelesaikannya sampai tuntas.
Perlahan-lahan bams menggerakkan tubuhnya, dengan ragu-ragu aku mencoba untuk melihat wajahnya yang kabur karena pandanganku yang terhalang oleh air mata yang meluap tanpa henti. Mata bams memancarkan kekakuan, keangkuhan, rasa sakit dan dingin. Tapi..? Tidakkah aku salah lihat.? Aku masih dapat merasakan secercah kelembutan didalam matanya. Tatapan yang selalu kulihat ketika kami bertatapan. 'Masihkah dia sayang padaku.?' Kupererat genggaman tanganku seakan aku tak ingin melepaskan dirinya. Aku memang tak ingin melepaskan dirinya. Aku memang tak ingin kehilangan dirinya. AKU MENCINTAI BAMS.. Tadi aku bilang apa.? Apa tadi aku bilang bahwa aku mencintai bams.? Ya.. Aku mencintai bams, aku sungguh mencintai dirinya. Kini aku yakin.. Oh Lucy sungguh bodoh kamu.. Kenapa kamu baru sadar sekarang.? Kenapa kamu baru sadar sekarang bahwa kamu mencintai bams.? Setelah kamu hampir kehilangan dirinya.. BODOH!! BODOH!! TIDAK!! aku tidak akan kehilangan dirinya!! Tidak boleh!! Kutatap matanya yang kini terlihat letih.
"I love you" kalimat itu meluncur begitu saja tanpa dapat kucegah dan tanpa perhitungan yang matang. Disaat yang sangat amat teramat tidak tepat tentunya. Oh bodoh, kenapa aku mengucapkan kalimat itu.? Ada apa dengan aku ini.? Oh bodoh.!! Atau apakah sebagian dari diriku susah letih berpura-pura dan tak ingin membohongi diri ini lagi.?
"Aku tak ingin kehilangan kamu" kataku lirih, aku bisa melihat dari sekian banyak emosi yang ia rasakan ada secercah keterkejutan yang terlihat dimatanya. Sepertinya ia tak menyangka aku akan mengatakan kalimat tadi. Kesunyian, hanya ada kesunyian diantara kami.
"Apa yang kamu harapkan dariku.?" Akhirnya bams memecahkan kesunyian diantara kami. "Apa kamu berharap mendengar kalimat yang sama seperti yang barusan kamu ucapkan.? Bahwa aku mencintai kamu juga.?" Katanya dengan datar.
Kesunyian kembali menyelimuti kami berdua. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Apa yang harus aku pikirkan.? Apa yang harus kurasakan.? Kepalaku mulai pusing, aku mulai merasa letih. Aku letih sekali. Apa yang aku harapkan.? Kalimat apa yang aku harapkan keluar dari mulutnya.? Bahwa dia mencintaiku juga.? TENTU.!! aku ingin mendengar kalimat itu dari mulutnya. Itulah yang ingin kudengar, tapi bukan untuk detik ini.
"Iya... I love you too" ucap bams perlahan. Apa.? Tadi dia bilang apa.? "Tapi aku tak tahu lagi" lanjutnya.
Hatiku sakit seakan ada yang mencengkramnnya dengan kuat. Oh Tuhan,aku harus duduk. Aku butuh tempat untuk bersandar.
"Aku tak tahu lagi..." ujarnya
"I love you.. Tapi disisi lain aku tak yakin sekarang aku bisa melihat kamu seperti dulu" lanjut bams.
Oh selesai sudah. Aku sudah kehilangan dirinya. Aku harus mengucapkan selamat tinggal. Aku harus merelakannya pergi, bukankah begitu.? Bukankah aku sendiri yang membuatnya berakhir seperti ini.?
"I need a break.. Aku butuh waktu untuk tenangin diri dulu" ucap bams dengan datar. Perlahan-lahan ia pergi menjauhiku tanpa mengucapkan selamat tinggal atau bahkan melirikku walau hanya sekilas saja. Aku hanya bisa memandangi punggung bams yang semakin menjauh. Tangisku kembali meledak, BAMS,MAAFKAN AKU..!!
************ "aaaand CUT..!! YA,oke..! Adegan tadi bagus sekali"
"Lisa, Bambam.. Akting emosinya benar-benar kuat. Bagus.! bagus sekali.." puji sutradara kondang yang menyutradarai drama kami.
Yeayy, aku langsung tersenyum lebar mendengarnya. Aku dipuji untuk akting perdanaku. Ternyata aku punya bakat. Kuhapus air mata yang tadi membasahi pipiku sejak berakting menjadi LUCY. Benar-benar nggak nyangka, aku bisa mengeluarkan air mata sebanyak ini. Mungkin aku bisa berakting seemosional itu karena ada BAMBAM lawan mainku yang berperan menjadi BAMS.
Tiba-tiba mataku dan mata bams saling bertemu. Aku tersenyum padanya dan memberikan isyarat 'GOOD JOB' dengan kedua jempolku.
"Apa aku bilang.? Aku tahu kamu pasti bisa" ucap bambam dari kejauhan. Setelah menyelesaikan kalimatnya lalu ia sibuk lagi dengan kegiatannya bersama kru drama yang lain. Aku memandangi sosoknya dari kejauhan.
Ahh BAMBAM seandainya kamu tahu kalau AKU MENCINTAI KAMU, sama seperti LUCY MENCINTAI BAMS..