CHAPTER 1 : My Dream Is Not Your Dream
Hari ini adalah hari pertamaku menjalani kehidupan perkuliahan di tingkat 4. Rasanya ingin cepat menyelesaikan masa perkuliahan ini. Entah bagaimana caranya.
“Kirin, lo nggak ikut sosialisasi awal perkuliahan?” seru Song Yunhyeong dari arah luar kelas.
Kuanggukan kepalaku sebagai pertanda kata “ya”. Kubereskan beberapa barang-barangku dan beranjak ke arah Yunhyeong. Langsung saja kami menuju Gedung Pertemuan untuk mengikuti sosialisasi awal perkuliahan.
“Ramai banget.” Gumam Yunhyeong sesaat setelah kami sampai di Gedung Pertemuan.
“Hmm. Kita duduk di sebelah sana saja, gimana?” kataku seraya menunjuk ke arah dua kursi yang masih kosong di bagian pojok belakang ruangan.
“Oke.” Aku dan Yunhyeong langsung saja bergegas ke arah yang aku tunjuk.
“Ini kosong kan?” tanyaku pada seseorang yang tepat duduk di sebelah dua kursi yang kami incar. Orang itu hanya mengangguk.
“Lo jadi mau lanjut S2 ke Amerika?” tanya Yunhyeong tak lama setelah kami berhasil menduduki kursi incaran kami.
“Kayaknya. Kenapa emang?”
“Hah? Ya nggak apa-apa. Nanya aja.”
“Eh, by the way, lo gimana sama Inha?” Inha adalah pacar Yunhyeong sejak SMA. Mereka adalah pasangan terbaik yang pernah aku tahu. Bagaimana tidak, Inha yang begitu cantik dan Yunhyeong yang juga tampan. Aku adalah saksi cinta mereka.
“Udah nggak.” Jawab Yunhyeong singkat.
“Hah? Lo putus? Kenapa?” Jujur saja aku sangat kaget mendengarnya. Aku memang bukan orang yang selalu ada di sekitar mereka tapi aku adalah orang terdepan yang akan kecewa jika mereka mengakhiri hubungannya.
“Nggak apa-apa.”
“Nggak bisa. Kenapa nggak? Lo harus cerita ke gue kenapa. Cepetan! Lo...” cukup sigap Yunyeong membungkam mulutku. Dia pun memberi isyarat kepadaku untuk diam. Hingga aku sadari semua mata telah mengarah ke arah kami. Bodoh. Benar saja aku sedang mengikuti sosialisasi awal perkuliahan.
***
Dreet... dreet... dreet...
Handphone-ku bergetar pertanda ada panggilan masuk. Kulihat nama Yunhyeong disana. Tanpa basa basi langsung saja aku angkat.
“Halo, kenapa?”
“Lo udah sampai kelas belum?”
“Lagi di jalan nih. Kenapa?”
“Gue kayaknya telat nih, tag-in bangku dong. Samping lo ya.”
“Oke.”
Kupercepat langkahku menuju gedung kuliah berharap masih ada bangku kosong di barisan depan. Aku dan Yunhyeong memang terbiasa duduk di barisan depan. Rasanya tidak afdol jika tidak duduk di barisan depan. BRUK. Tanpa sadar aku sudah tersungkur di tanah dengan buku-buku yang berceceran di depanku.
“Hati-hati Kirin.”
Sebuah suara yang cukup aku kenal terdengar dari arah belakang. Kutengokan kepalaku ke arah sumber suara, masih dengan posisi yang sama saat aku terjatuh. Sebuah wajah yang cukup aku kenal menyunggingkan senyumnya dan terus berjalan ke arahku.
“Chanwoo...” sapaku lirih.
“Jangan buru-buru, nggak akan telat kok. Tenang saja.” Katanya seraya merapikan bukuku yang berserakan di tanah.
“Eh nggak usah, aku saja!” seruku seraya mencoba berdiri tapi apa daya ternyata kakiku terkilir cukup hebat, “Aw sakit.” Chanwoo tersenyum lagi.
“Berdarah nggak?” tanyanya dengan posisi tangan yang cukup penuh dengan buku.
“Eh nggak kok, kayaknya cuma kekilir aja sih hehe.”
“Bisa jalan?” tanyanya lagi seraya mengarahkan tangannya ke arahku.
“Bisa kok bisa. Hmm, sini bukunya aku saja yang bawa.”
“Nggak apa-apa aku saja. Kamu kelas Prof. Lee kan?”
“Chanwoo kelas Prof. Lee juga?”
Chanwoo menganggukan kepalanya dan memimpin langkahku menuju kelas. Di sepanjang perjalanan banyak hal yang kami bicarakan. Nyatanya memang tak salah jika aku memilih Chanwoo menjadi satu-satunya laki-laki yang aku suka.
***
Aku tak menyangka hari dimana aku jatuh tersungkur ke tanah di depan Chanwoo akan menjadi hari dimana aku semakin jatuh hati kepadanya. Dia selalu bisa membuatku kagum, apapun yang dia lakukan. Hingga tak terasa kelas Prof. Lee telah selesai.
“Aku duluan ya, ada kelas lagi soalnya.” Kata Chanwoo seraya meninggalkan kursi tepat di sampingku.
“Oh iya hehe, hati-hati.” Jawabku seraya melambaikan tangan ke arahnya.
“Oh iya, kalau jadi lanjut S2 ke Amerika nanti bareng aja.” Langsung saja kuanggukan kepalaku. Dan tak lupa kupersembahkan senyum termanis yang pernah aku miliki.
Setelah bayangan Chanwoo hilang tiba-tiba aku teringat sesuatu. Oh My God, Yunhyeong mana ya? Kok gue lupa sama dia sih. Langsung saja kucari handphone-ku dan menekan nomor telepon Yunhyeong.
“Apa sih telepon telepon?” sebuah suara terdengar dari arah belakang tepat saat sebuah tangan memukul kepalaku. Langsung saja kuarahkan mataku ke arah empunya suara.
“Yunhyeong! Lo masuk kapan? Maaf ya, tadi gue berencana tag-in tempat duduk buat lo di depan, tapi ternyata bangku sisa yang di depan cuma dua doang. Terus tadi gue tuh masuk sama Chanwoo jadi gue nggak enak bilang kalo bangkunya udah gue tag-in. Soalnya siapa tahu Chanwoo pengin duduk di depan juga kan. Dan ternyata emang benar dia pengin duduk di depan. Terus kan gue mau hubungi lo kan, tapi lo tahu kan Prof. Lee kayak gimana orangnya. Jadinya gue juga bingung gimana. Terus lo duduk dimana tadi? Huh?”
“Udah?”
“Udah.”
“Pertanyaan pertama gue lupa masuknya kapan. Pertanyaan kedua gue duduk di bangku paling belakang.” Jawab Yunhyeong seraya menunggalkanku sendiri di kelas.
“Lo marah sama gue?” tanyaku seraya mengejar Yunhyeong.
“Apaan sih berisik deh lo. Orang gue jadi bisa tidur.”
“Nggak nggak, lo nggak kayak gini kalau nggak marah. Gue traktir es krim deh, yuk? Mau nggak?” aku masih dalam kondisi mengejar Yunhyeong yang semakin mempercepat langkahnya. Hingga, BRUK!
“DUH! KOK LO BERHENTI TIBA-TIBA SIH! JADI JATUH GUE!” teriakku dengan posisi yang sama seperti saat aku bertemu Chanwoo pagi tadi.
“Traktir es krim kan? Call!” katanya dengan wajah yang sumringah sembari mengarahkan tangannya ke arahku.
“DIH!”
***
Hari Minggu rasanya hari yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Termasuk aku. Seperti biasanya aku berencana membantu ibu di kios tteokboki-nya. Tiba-tiba sesosok yang aku kenal memasuki kios kami. Kuhampiri sosok itu dan kusambut dengan senyuman termanisku.
“Inha! Lama nggak ketemu!” seruku seraya berjalan ke arahnya.
“Hahaha, iya benar. Kamu lagi sibuk nggak?”
“Nggak kok, nggak? Kenapa emang? Ada yang bisa aku bantu?”
“Pengin ngobrol saja sama kamu.”
“Oh, ayo ayo! Ibu, aku ngobrol sama Inha dulu ya!” kataku setengah berteriak.
“Ya!” suara ibu menggema dari arah dapur.
“Eh ayo duduk. Gimana gimana?”
“Aku sebenarnya nggak tahu mau mulai dari mana.”
“Mulai dari mana maksudnya?” tanyaku cukup bingung dengan perkataan Inha tadi.
“Aku putus sama Yunhyeong.” Kata Inha lirih.
“Oh. Hmm. Iya... aku juga dengar dari Yunhyeong. Kenapa emang kamu putus sama Yunhyeong? Padahal kalian pasangan terbaik di dunia, Inha.” Kataku cukup kecewa dengan kenyataan tersebut.
“Karena kamu.” Jawab Inha seraya tersenyum.
“A... Aku...? Kenapa aku?” aku kebingungan dengan jawaban Inha.
“Kamu ingat nggak, waktu itu kita pernah main truth or dare sambil ngomongin tentang masa depan bertiga. Sebelum aku jadian sama Yunhyeong juga. Kamu inget nggak Yunhyeong ngomong apa?”
“Hmm. Yunhyeong bilang gue pengin jadi seniman. Terus gue nggak mau lanjutin kuliah soalnya ngebosenin... Gue juga mau kursus melukis aja...” jawabku sambil mengingat-ingat.
“Terus kamu ingat nggak jawaban Yunhyeong waktu kamu nanya kenapa dia nggak mau kuliah?”
“Gue nggak suka sesuatu yang exact. Apalagi kaya jurusan lo...”
“Dan dia sekarang kuliah bareng kamu kan? Di jurusan yang dia bilang dia nggak suka.” Tegas Inha.
“Ya... Tapi kan bisa aja seiring berjalannya waktu dia jadi suka jurusan kita sekarang kan?”
Inha menghela napas cukup panjang. Rasanya ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan padaku. Aku masih tak begitu mengerti dengan percakapan kita dari tadi.
“Kirin, dengerin aku. Yunhyeong tuh suka sama kamu. Bahkan dia cinta sama kamu. Alasan apalagi yang bisa membuat orang melawan apa yang dia nggak suka? Yunhyeong tuh paling malas belajar tapi dia rela mati-matian belajar biar bisa masuk SNU. Buat siapa? Kan dia bisa aja kan kursus lukis aja. Bahkan dia masuk jurusan yang sama sekali dia nggak suka. Buat siapa? Buat kamu Kirin.”
Entah kenapa aku hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Inha. Sejujurnya aku juga cukup merasa aneh dengan keputusan Yunhyeong untuk melanjutkan kuliah di jurusan yang aku inginkan. Jurusan kami sekarang.
“Jujur, aku emang udah suka sama Yunyeong dari lama. Tapi aku juga nggak mau egois. Yunhyeong tuh sudah berusaha buat suka sama aku. Tapi dia nggak bisa karena yang dia suka itu kamu. Aku sudah curiga ini dari pas kita main truth or dare itu. Apa yang Yunhyeong bilang waktu itu beda banget sama apa yang dia lakukan. Dia ikut club penelitian bareng kamu, padahal dia bilang dia paling benci meneliti. Buat apa? Biar dia bisa dekat sama kamu Kirin! Bahkan waktu dia minta aku jadi pacarnya aku nggak seseneng itu. Kamu tahu kenapa? Karena aku tahu Yunhyeong cuma berusaha agar dia nggak semakin sayang sama kamu. Apalagi saat kamu bilang, kamu cuma mau Chanwoo yang jadi pacar kamu. Aku nggak mutusin dia. Dia juga nggak mutusin aku. Aku cuma pengin dia bahagia. Aku harap kamu pikirin ini baik-baik. Dan baca ini. Aku nemuin itu di mobil Yunhyeong. Aku diam-diam ambil biar kamu tahu yang sebenarnya.” Inha menyodorkan sebuah sketchbook ke arahku dan berlalu pergi meninggalkanku.
***
Lembar demi lembar sketchbook kubuka. Ada sebuah lukisan dengan beberapa kalimat di samping lukisan itu. Bahkan aku sangat ingat setiap kejadian yang ada di lukiskan itu. Akupun berakhir menangis sejadinya. Begitu bodohnya aku bahkan tidak menyadari semua ini. Kecurigaankupun aku tutup dengan keyakinan bahwa tak akan mungkin timbul perasaan itu pada diri Yunhyeong. Kuraih handphone yang sedari tadi tak aku sentuh sama sekali. Kucari kontak Yunhyeong dan langsung saja aku hubungin nomor itu.
“Yunhyeong...” kataku sedikit terisak.
“Lo kenapa? Nangis?” tanyanya di ujung sana. Mendengar suaranya saja tanpa kusadari air mata turun deras di pipiku.
“Lo bisa kesini nggak?” kini suaraku sudah tak karuan.
“Gue kesitu ya bentar.”
Tak membutuhkan waktu lama kini Yunhyeong telah berada di hadapanku. Tangiskupun kembali pecah. Aku tak tahu harus memulai darimana. Yunhyeong hanya menatapku diam.
“Kemarin Inha kesini.” Kataku mengawali percakapan. Beberapa air mata masih terjatuh dari lubang air mataku. Yunhyeong hanya tersenyum.
“Gue nggak tahu kalau selama ini... Yunhyeong... Lo tahu kan? Gue tuh udah menganggap lo kayak...”
“Saudara lo? Gue nggak pernah mengharap apa-apa dari perasaan gue. Gue juga tahu lo menganggap gue kayak saudara lo. Gue saja yang berharap lebih. Gue juga nggak tahu perasaan itu kapan datang. Karena kalau gue tahu dia bakal datang gue bakal nolak. Gue nggak mau kejadian kayak hari ini bakal kejadian. Gue nggak mau lo jadi kikuk sama gue. Dan yang gue tahu gue selalu senang melihat lo menggapai cita-cita lo. Gue senang lihat lo bahagia. Udah. Lo pemeran utama mimpi gue. Mimpi gue yang dulu itu udah nggak berarti lagi semenjak perasaan itu ada. Karena mimpi gue adalah lo. Bareng lo.”
“Tapi lo tahu kan kalau gue...”
“Suka Chanwoo? Gue nggak buta. Gue bahkan tahu lo mau lanjut S2 di Amerika salah satunya alasannya gara-gara Chanwoo lanjut S2 disana juga. Gue nggak bisa apa-apa lagi kalau pemeran utama mimpi lo bukan gue. Gue cuma pengin lo tahu, hidup gue sekarang semuanya buat lo. Gue tahu kalau gue nggak akan bisa jadi pemeran utama mimpi lo. Tapi gue bisa kan jadi pemeran pendukung mimpi lo? Gue ada disini buat bikin cerita mimpi lo jadi makin bagus.”
Kini aku kembali menangis sejadinya. Tak ada lagi yang bisa aku ungkapkan.
“Tapi kalo ternyata kehadiran gue setelah ini bikin lo nggak nyaman, bikin lo nggak enak, biarin gue pergi ninggalin cerita mimpi lo. Karena percuma juga gue kejar mimpi gue saat keberadaan gue menghambat mimpi lo. Mimpi lo bareng Chanwoo.”
“Yunhyeong...” hanya itu yang bisa kuungkapkan.
“Makasih udah jadi mimpi paling indah di hidup gue selama ini. Gue harap gue cukup membantu sebagai pemeran pendukung mimpi lo. Dan makasih udah rela jadi pemeran utama mimpi gue. Kejar mimpi lo ya! Jangan pernah datang ke gue kalau mimpi lo belum terwujud.” Yunhyeong berdiri seraya mengacak rambutku. Yunhyeong menarik sketchbook yang Inha berikan padaku, “Dan ini biar gue aja yang simpan. Ini jadi saksi kalau gue pernah mencita-citakan lo.”
Sesungging senyum merekah di bibirnya. Perlahan demi perlahan dia meninggalkan posisiku. Yunhyeong, maafkan gue...
***