CHAPTER 1 : Chapter 1
*JiWon pov
“Lihat yang paling terang malam ini dan sentuhlah... Maka waktu akan berjalan lebih cepat…”
“Apa yang paling terang… Errrgghh! Sudah kuduga, ini pasti si bodoh itu.” Aku meremukkan gulungan kertas itu dengan geram dan melemparnya ke tempat sampah.
Ini sudah yang ketiga kalinya saat aku bangun tidur dan menemukan ada gulungan kertas di jendela kamarku.
***
“Kau sudah gila, hah?! JiWon-ah, walaupun aku menyukaimu, surat menjijikan seperti itu.. It’s not my type, you know it.” David terus sibuk bermain dengan ponselnya sambil terus mengelak kalau surat itu bukan darinya.
“Kau satu-satunya orang gila yang pernah menyusup ke kamarku melalui jendela. Menggantung surat-surat itu setiap hari bukan pekerjaan sulit untukmu, kan??” David memang menyukaiku sejak aku masuk universitas. Mahasiswa pertukaran pelajar dari Kanada ini adalah seniorku. Ya, satu-satunya senior yang tidak sepatutnya diperlakukan seperti senior.
“Baiklah!” David berdiri dari tempat duduknya dan memasukan ponselnya kedalam kantong celananya. “Kalau begitu, lain kali kau bisa bukakan pintu rumahmu apabila kau tidak suka caraku memberi kejutan lewat jendela.” Katanya dengan gaya yang menurutku sangat menyebalkan. “Tapi, surat itu hhhmmm I won’t do something disgusting like that.” Katanya lagi sambil bersiap meninggalkan kelas. “Have lunch?”
“Lepaskan tanganmu!” Aku menghentakkan bahuku agar David melepaskan rangkulannya dari bahuku. Lalu dia pergi begitu saja seperti tidak terjadi apa-apa.
Kalau saja aku bisa meminta pergantian kelas, aku sangat bersyukur setidaknya tidak satu kelas dengan pria menjijikan itu.
***
“Lady Eddriene terpaksa mengirimkan anak-anaknya ke bumi demi menyelamatkan mereka dari runtuhnya Alphagos…” Aku menutup novel yang baru saja selesai kubaca. Aku terdiam memikirkan sesuatu sambil menatap kosong keluar jendela.
Kalau David bukan yang mengirim surat-surat itu… Dia ada benarnya juga. Walaupun dia sangat menyebalkan, aku tahu betul itu bukan caranya.
“Mungkin itu dari salah satu anak Lady Eddriene.” Aku langsung tersadar dari lamunanku dan menoleh kearah suara yang bicara padaku.
“Oh, YeWon.” Aku kembali menatap keluar jendela. YeWon meletakkan buku-bukunya di meja dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya.
“Kau tidak perlu terus memikirkannya. Mungkin saja itu orang iseng. Atau kemungkinan paling besar siapa lagi kalau bukan David. Dia hanya terlalu pandai berpura-pura didepanmu.”
“Obreine, Lodrick, Thom. Setelah Lady Eddriene menyelesaikan masalah Alphagos, apa mereka semua kembali ke Alphagos?” Aku tidak terlalu mempedulikan apa yang YeWon katakan barusan.
“Kau sangat menyukai novel itu, kenapa tidak membaca seri lanjutannya?”
“Kau tahu sendiri buku ini hanya dirilis di London. Kakakku terlalu pintar membuatku menyukai buku yang tidak akan aku ketahui kelanjutan ceritanya. Tapi kau…” Aku menoleh kearah YeWon dengan mata berbinar-binar berharap dia akan memberitahuku. “Sangat beruntung pernah tinggal di London dan membaca seluruh seri buku ini.”
YeWon tersenyum sekilas lalu menghela nafas sambil masih mengerjakan tugasnya. “Hanya Obreine dan Thom yang bisa kembali ke Alphagos. Lodrick mengabaikan aturan kerajaan yang sangat sakral dan menikahi seorang wanita di bumi. Sejak kejadian itu, Alphagos seperti kembali mendapat kutukan. Lady Eddriene dan pasukannya kalah dalam peperangan melawan pasukan Weldor. Penduduk kerajaan dijadikan budak. Laddy Eddriene bersama anggota kerajaan lainnya dikorbankan demi kebangkitan Alphagos di tangan Raja Weldor.” YeWon berhenti menulis dan melihat kearahku, “Dan karena itu pada akhirnya aku sangat membenci akhir dari novel ini.” Kemudian dia kembali menulis.
“Aturan semacam itu sama saja menghalangi kebebasan mereka untuk memilih wanita yang benar-benar mereka cintai.”
“Kau tidak sedang berharap surat itu dari orang yang tidak nyata, bukan? Alphagos hanya cerita fiksi, Lodrick dan wanita bumi…” YeWon kembali menatapku. Kali ini seperti sedang menebak-nebak sesuatu, “Kau pasti bercanda.”
“Wae??? Kenapa kau sangat yakin aku sedang berpikir seperti itu?” Aku tertawa sekilas. “YeWon-ah, aku memang suka menyendiri, aku memang suka membaca novel-novel fantasi, kau tenang saja… Aku masih bisa membedakan khayalan dan realita. Kau berlebihan.”
***
Aku tidak biasanya pulang selarut ini. Ini berkat panggilan tiba-tiba dari JoonYoung yang kekurangan pelayan di café nya. Aku sebenarnya tidak keberatan dimintai bantuan apa saja olehnya selagi aku bisa melakukannya. Selain YeWon, JoonYoung adalah salah satu teman baikku sejak dulu.
Sakin larutnya, yang bisa kudengar hanya suara gonggongan anjing peliharaan tetangga sembari aku berjalan menuju apartemenku. Tiba-tiba aku berhenti, terpaku dengan sesuatu yang tergeletak di jalan. Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku menghampirinya untuk memastikan. Aku memungut gumpalan kertas, lebih mirip sampah kalau dilihat-lihat. Tapi aku seperti mengenali sampah ini. Jantungku pun sedikit berdebar sambil membuka satu-persatu gumpalan kertas itu. Aku berharap ini tidak seperti yang ada dipikiranku saat ini.
Akupun menghela nafas panjang, “Yang benar saja…” Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku, memastikan bahwa memang benar-benar ada seseorang dibalik semua ini.
***
Aku hanya bisa duduk terpaku di depan meja belajarku sambil menatap kearah kertas-kertas yang kupungut tadi di jalan. Bagaimana bisa, aku sudah membuangnya seminggu lalu dan tiba-tiba saja muncul lagi tepat di hadapanku. Hal ini tidak mungkin hanya kebetulan, David juga tidak mungkin melakukannya.
“Tiga bintang di langit, hanya satu yang menarik perhatianmu… Sentuhlah…”
“Aku memang bukan satu-satunya. Tapi kau tahu kemana harus melihat. Sentuhlah…”
“Lihat yang paling terang malam ini dan sentuhlah... Maka waktu akan berjalan lebih cepat…”
“Sentuhlah.. Sentuhlah.. Sentuhlah..” Aku melempar satu persatu kertas itu ke meja. “Apa yang kau ingin aku sentuh, hah?!” Aku beranjak dari meja belajarku menuju balkon kamarku. Aku melihat ke langit dan menghela nafas dengan kesal. Baiklah, mungkin ini akan terlihat sangat bodoh. Aku meraih tanganku kearah sebuah bintang yang sedang bersinar di langit seakan-akan aku menyentuhnya. Mungkin saja kalau aku menuruti isi surat itu, keanehan ini akan segera berakhir.
“Aku sudah menuruti maumu.” Aku berbalik melihat kearah meja belajarku dan bicara dengan kertas-kertas itu seakan-akan ada yang mendengarkanku. Aku harap ini bukan tanda-tanda awal aku mengidap sakit jiwa.
Aku membiarkan kertas-kertas itu tergeletak di meja belajarku. Kali ini aku tidak akan membuangnya lagi. Sangat lucu kalau tiba-tiba mereka muncul lagi di hadapanku saat aku sedang mandi.
***