CHAPTER 1 : [SongFic] Cry
*Also posted at my own blog https://thehouseoffiction.wordpress.com/
Disclaimer
Para artis milik Tuhan, keluarganya, diri mereka sendiri dan agensi. OC miik saya pribadi. Cerita murni hasil imaginasi –liar- otak saya. Mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh oc, alur, latar belakang, maupun cerita secara keseluruhan.
Saya tidak mengambil keuntungan komersil apapun dari cerita ini. Semua cerita hanya untuk kesenangan semata. Hak cipta dari cerita ini milik saya pribadi.
Mohon maaf untuk segala bentuk kesalahan penulisan (typo), baik dalam segi pemilihan kata, ejaan, maupun tanda baca.
Butuh banyak masukan.
Happy reading my beloved readers ^_^
DON’T BE PLAGIARISM!!!
https://thehouseoffiction.wordpress.com
LIKE THE CAST? LIKE THE STORY?
JUST STAY ON THIS PAGE!
IF NOT, JUST LEAVE THIS PAGE!!!
NO BASH!!! NO FAN WAR!!!
PLEASE LEAVE SOME COMMENT
DON’T BE SILENT READERS!!!
DON’T BE PLAGIARISM!!!
https://thehouseoffiction.wordpress.com/
Tiga tahun, waktu yang panjang untuk melakukan banyak hal. Termasuk melupakan. Tapi nyatanya, waktu itu tak juga cukup.
Deretan pertokoan yang menjajakan berbagai barang bermerek dengan harga selangit tak lagi semenarik dulu. Tak lagi semenarik di negara asalku. Meski barang yang dijual dari merek yang sama, dengan harga yang sama-sama melangit.
Berbagai macam makanan, mulai dari yang instan samapi dibuat khusus tak lagi semenggoda dulu. Tak lagi semenggoda di negara asalku.
Dipikir-pikir lagi, aku hanya membuang-buang waktu percuma disini. Di negara yang sarat akan kedamaian. Namun tak sedikitpun mampu mendamaikanku dengan waktu dan keadaan. Karena nyatanya, setiap hari, setiap waktu, aku selalu berperang dengan diriku sendiri.
Satu set tuxedo hitam rancangan Armani yang dipajang di etalase menggunakan manekin tampan membuat otakku berputar kebeberapa waktu belakang. Teringat sosok pemakainya. Tinggi, tampan, mapan, tanpa cela.
Di toko berikutnya sebuah mini dress berwarna soft menarik mataku, diikuti tubuhku yang mematung. Teringat akan kepunyaanku yang serupa. Manis, indah, dan cantik, satu paduan yang sempurna.
Ketika berbelok dipersimpangan, aku menjumpai sebuah food truck. Berbagai junk food dijajakan. Lagi-lagi kepalaku berputar, keping-keping ingatan itu menghampiri lagi. Ceramah panjang mengenai buruknya makanan cepat saji, dan bagaimana aku yang tak mau dengar.
*Cry*
“If anyone asks
I'll tell them we both just moved on
When people all stare
I'll pretend that I don't hear them talk”
*Cry*
Banyak yang bertanya padaku tentang ini dan itu dari masa laluku ketika mereka selalu mendapatiku mematung beberapa waktu seperti saat-saat sebelumnya. Aku tersenyum, pahit memang. Kemudian kujawab dengan nada datar, dan ekspresi yang kubuat setenang mungkin. “Tak perlu dibahas. Hidup terus berjalan bukan? Aku dan dia pun sudah berjalan masing-masing.”
Kemudian beberapa mulai menatapku, entah apa yang tersirat dalam tatapan itu. Aku tak paham sepenuhnya. Tapi aku kembali menyibukkan diri, memandang segala hal disekitar seolah-olah menarik, sesekali diiringi senandung dari lagu-lagu yang terputar.
Berpura-pura tak mendengar, tak melihat.
*Cry*
“Whenever I see you
I'll swallow my pride and bite my tongue
Pretend I’m okay with it all
Act like there’s nothing wrong”
*Cry*
Waktu berikutnya. Setelah tiga tahun aku menginjakkan kaki di negara yang sama sekali asing ini. Aku beradu tatap lagi dengannya. Seketika aroma lemon yang menyegarkan menyeruak. Kemudian terganti oleh aroma cinnamon yang bertahan agak lama, membuat siapapun yang menghirupnya akan terlena. Sama seperti diriku yang –sekali lagi- hampir jatuh pada aroma ini.
Selama aroma yang berganti itu, tak sedikitpun aku sanggup mengangkat kepala. Memilih diam seribu bahasa, betolak dengan diriku yang sebenarnya.
Dan ketika aromanya berganti vanilla aku seakan tertampar, namun tak dapat dipungkiri masih ada jejak-jejak menggoda yang tak tertahankan. Saat inilah, aku menatapnya sebagai perpisahan dan rasa hormat. Diakhiri dengan senyum tenang, tatapan datar, dan kalimat penguat diri yang kugumamkan dalam hati. Tidak apa-apa, aku baik-baik saja.
*Cry*
“If anyone asks
I'll tell them we just grew apart
What do I care if they believe me or not
Whenever I feel your memory is breaking my heart
I’ll pretend I’m okay with it all
Act like there’s nothing wrong”
*Cry*
Seketika rasanya mual. Seperti terlalu banyak menghirup wewangian yang memabukkan. Sesuatu mengganjal di ternggorokkan, dan ada yang tidak beres dengan pandanganku. Mendadak semuanya mengabur.
Satu suara menyadarkanku. Aku memejam sejenak sembari menggeleng pelan, sebelum menoleh ke sumber suara. Lalu menjawab, “Aku baik-baik saja... Mengenalnya? Ya, memang aku mengenalnya. Dulu.”
Lalu serpihan-serpihan kenangan itu kembali bermain dikepalaku. Aku tetap bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tak tahu apakah sekelilingku percaya itu atau tidak. Lagi pula, aku tidak peduli.
Hingga akhirnya aku limbung. Semua menjadi panik, dan berebut bertanya kemudain. Lagi-lagi- satu senyuman manis –yang terasa pahit- kuberikan, sembari berkata “Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur semalam.” Meski sungguh dalam hati aku menjerit. Mengapa semua ini tak hilang saja?!
*Cry*
“Is it over yet
Can I open my eyes
Is this as hard as it gets
Is this what it feels like to really cry. Cry”
*Cry*
Dan hari itu, untuk kedua kalinya aku tak sadarkan diri. Sejenak kubertahan dalam kegelapan. Sebelum akhirnya aku meraih terangku sendiri. Tak ada siapa-siapa. Dan saat itulah aku tersadar. Beginikah rasanya benar-benar menangis?
End~
DON’T BE PLAGIARISM!!!
https://thehouseoffiction.wordpress.com/
R&R please ;;)