CHAPTER 1 : Her Memories
Tap, tap. Park Chorong mempercepat langkahnya, ia mengecek jam tangannya, angka sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan sudah mulai terlihat sepi, meskipun masih terlihat beberapa orang masih berlalu-lalang. Akhirnya Park Chorong sampai di depan gerbang rumahnya, dengan segera dia membuka gerbang dan kembali mengunci gerbang rumahnya. Melelahkan sekali hari ini, ucapnya dalam hati. Chorong mengeluarkan kunci rumahnya dan memasukkan kunci ke dalam lubang kunci pintu. Krik. Ah bodoh, ternyata aku lupa mengunci pintunya, umpatnya dalam hati. Chorong menekan daun pintu dan mendorong pintu rumahnya. Benar ternyata tidak dikunci, bodohnya kau Chorong, umpatnya kembali dalam hati. Keadaan rumahnya gelap gulita, Park Chorong selalu berangkat kerja di pagi hari dan pulang di malam hari karena itulah ia selalu mematikan lampu rumahnya ketika ia pergi bekerja. Klik, Park Chorong menyalakan lampu ruang tamu, awalnya ia tidak menyadarinya, seperti biasa ia akan segera pergi ke dapur untuk mengambil air minum, perasaannya sudah tidak enak sejak tadi ia menyadari ia lupa mengunci pintu rumahnya. Park Chorong tinggal di sebuah rumah kecil, kostan lebih tepatnya, ia hanya tinggal sendirian, karena ia anak sebatang kara. Ayah dan ibunya sudah meninggal sejak ia berumur sembilan tahun karena kecelakaan pesawat, selain itu dia tidak punya kerabat dekat. Sebelumnya ia tinggal di panti asuhan, tapi tidak ada pasangan suami dan istri yang berniat mengasuhnya, hingga usianya tujuh belas tahun, ia harus meninggalkan panti asuhan tersebut. Park Chorong mencoba hidup mandiri, memang ia hanya lulusan sekolah menegah atas, tetapi dia merupakan lulusan terbaik di sekolahnya dahulu, sehingga untuk mencari pekerjaan tidaklah sulit untuknya. Sekarang dia sudah bekerja selama dua tahun di sebuah perusahaan penerbitan buku sebagai penterjemah, memang perusahaan tersebut kecil, gajinya pun tidak seberapa, tetapi dia sangat nyaman dengan pekerjaan itu, karena baginya pekerjaan itu seperti hobi. Park Chorong kembali ke ruang tamunya, mengecek apakah ada sesuatu yang salah. Terkejut, dia menggigit bibirnya agar tidak berteriak. Di sofa ada seorang pria, kelihatannya sebaya dengannya, mungkin lebih tua dua atau tiga tahun darinya. Park Chorong mendekati pria tersebut, pria tersebut sepertinya tertidur lelap. Dilihatnya, ada luka berdarah di dahi pria tersebut, seperti habis terkena sesuatu yang keras. Di tangannya penuh dengan luka goresan. Apa yang terjadi dengan pria ini? Tanya Park Chorong dalam hati. Dia merongoh kantung jaketnya untuk mengambil ponsel dan menekan nomor 911, Chorong terdiam dan berpikir apakah ia harus membuat panggilan tersebut. Dia menggelengkan kepalanya, dan memasukan ponselnya kembali ke kantung jaketnya. Mungkin aku harus menolong pria ini, sepertinya ia tidak berbahaya, pikirnya. Park Chorong segera mengambil kotak P3K dan kembali ke sofa ruang tamu dimana pria itu masih terbaring dan tertidur lelap. Chorong mengambil antiseptik untuk membersihkan luka di dahi pria tersebut. Pelan-pelan ia membersihkannya, dia cukup tampan, katanya dalam hati. Chorong tersenyum kecil. Pria itu nampaknya mulai tersadar dan terbangun hingga ia menyadari ada seseorang di sampingnya, ia membuka matanya, sedikit terkejut sambil memegang kepalanya. Chorong terlonjak, pria itu mulai tersadar. “Ka..u sudah tersadar?” bisik Chorong. “Apa yang terjadi denganmu? Siapa kau? Mengapa masuk ke dalam rumah orang sembarangan?” tanya hati-hati. Pria itu bangun dan terduduk di sofa, terlihat sekali ia kesakitan. “Maaf,” kata pria itu pelan. “Apakah aku boleh tinggal di sini untuk sementara ini?” tanyanya. Chorong bangun dan duduk disebelah pria itu. “Apa maksudmu?” tanya Chorong. “Aku tak tahu kau siapa, mengapa kau bisa sampai di sini dan mengapa aku harus mengizinkanmu untuk tinggal di rumahku?” Chorong mulai merasa kesal dengan pria asing tersebut. Orang ini benar-benar ya, katanya dalam hati. “Ceritakan semuanya padaku, dan siapa namamu?” “Aku... Aku tidak ingat siapa namaku,” pria itu menjawab pelan. Chorong menarik napas dalam lama. Ah, pasti aku sudah gila membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah, batinnya dalam hati, tapi bagaimana lagi dia terluka parah tidak mungkin aku membiarkan dia pergi dengan keadaan parah seperti ini. Chorong berdeham, “Baiklah, kau boleh tinggal di rumah ku untuk sementara waktu sampai ingatan dan luka-lukamu pulih.” Dia mengalihkan pandangannya ke arah lemari yang berisi pajangan. Pandangannya jatuh pada sebuah pajangan ksatria kecil. “Ah, bagaimana dengan Suho? Bagaimana jika aku memanggilmu Suho?” Pria itu tertawa kecil dan berkata, “Suho... aku suka nama itu. Baiklah kau bisa memanggilku Suho.” Dia tersenyum pada Chorong. Chorong melihat wajah dan senyuman pria yang kini bernama Suho itu. Dia membalas senyumannya. Entahlah, aku merasa sangat teduh melihat wajahnya, seperti mengingatkanku pada seseorang, pikirnya. Hari demi hari berlalu, luka di kepala dan tangan Suho sudah pulih, tetapi tidak dengan ingatannya. Chorong selalu mengajukan pertanyaan seputar kehidupannya, dengan harapan mungkin Suho dapat mengingat apapun, meskipun ternyata jawabannya selalu tidak ada. Dan sejak hari demi hari berlalu mereka pun kian dekat. Chorong merasa menemukan kehidupan barunya, dimana yang dulunya ia hanya hidup sendirian, kini ia seperti mempunyai keluarga. Tidak, Suho telah membawa perubahan besar bagi hidupnya, mungkin Chorong telah jatuh hati padanya, atau mungkin lebih tepatnya Suho mengingatkan Chorong akan seseorang. Chorong menyukai sikap Suho padanya, bagaimana Suho selalu bersikap baik padanya, bahkan membuatkan makanan untuknya. Setiap malam seusai pulang kerja, Chorong akan menemukan Suho yang sedang tertidur di ruang tamu karena menunggu kedatangannya. Dan seperti biasa, dia sudah menyiapkan makan malam yang bahkan belum tersentuh sama sekali. Begitulah apa yang Chorong rasakan, hatinya mudah sekali tersentuh dengan hal-hal seperti itu. Hingga suatu malam, Chorong yang sedang mengerjakan tugas kantornya terlonjak kaget ketika Suho mengetuk pintu kamarnya. “Oh, kau mengangetkanku, masuk saja,” ujar Chorong. “Ada apa?” tanyanya. Suho hanya menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu kau sedang sibuk atau tidak.” “Seperti yang kau lihat, aku tidak terlalu sibuk, apakah ada hal yang penting yang ingin kau beri tahu kepadaku? Atau kau ingatanmu sudah kembali?” tanyanya antusias. Chorong melihat kepanikan di wajah pria tersebut, dia menebak-nebak apa yang pria ini akan katakan. Suho menarik napas dalam dan berdeham, “Chorong, aku menyukaimu, tidak, aku jatuh cinta padamu. Sejujurnya aku ingin mengungkapkan ini sejak lama, tetapi aku baru dapat menemukan waktu yang pas sekarang ini,” Suho terdiam sesaat, ia mengambil sesuatu dari kantung celananya, sebuah kotak berisi kalung berbentuk hati, yang kemudian ia pasangkan di leher Chorong. Ia memegang tangannya dan berdeham sambil melihat ke arah mata Chorong. “Chorong maukah kau menjadi kekasihku?” Chorong yang melihat kearah dalam matanya pun tidak bisa menjawab apa-apa karena hatinya yang sedang berdentum sangat cepat saat itu. Dengan anggukan mantap Chorong menjawab, “Ya, aku mau Suho.” Dan jawaban tersebut disambut dengan pelukan erat dari Suho. Chorong merasakan panas pada pipinya, menyatakan betapa ia sangat senang akan pengakuan Suho tadi. Mereka melepaskan pelukan mereka dan mereka saling bertatapan sangat dalam, Chorong yang tahu Suho akan menciumnya itu menutup mata. Pelan tetapi pasti jarak bibir mereka semakin dekat dan akhirnya mereka merasakan sentuhan bibir mereka masing-masing. Ciuman itu begitu hangat dan manis bagi Chorong, ciuman yang penuh kasih sayang bukan nafsu belaka. Ciuman yang membawa banyak kenangan yang telah Chorong lupakan. “Eonni, benarkah kekasih eonni itu sangat tampan?” Jieun, sahabatnya bertanya pada Chorong. “Ya, tentu saja, dia sangat sangat sangat tampan, dia baik dan pintar memasak,” jawabnya dengan bangga, “Kau tak akan pernah menemukan pria sesempurna itu, Jieun. Nanti malam akan aku kenalkan kau padanya, bagaimana?” tanya Chorong. “Ah benarkah eonni?” tanya Jieun yang diikuti dengan anggukan antusias, “Tentu saja aku mau.” “Baiklah, oh iya aku belum memberitahumu, dia memberikanku kalung,” Chorong melepas kalung yang ia kenakan dan menunjukkannya pada Jieun. “Bagus, kan?” tanya Chorong. Jieun mengerinyitkan alisnya, ia tak tahu harus berkata apa, ia akhirnya menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan Chorong saat ini. “Boleh aku lihat, eonni?” tanyanya, dilihatnya Chorong mengangguk tanda setuju, ia memegang kalung tersebut dan melihat ada ukiran KJM disana. Ternyata benar itu kalung yang dahulu pernah ditunjukkan oleh Chorong kepadanya. Jieun terkejut dengan apa yang dilihatnya, “Eonni, kita harus bertemu dengan dia sekarang!” Jieun memegang tangan Chorong, “Eonni, ayo kita ke rumah mu sekarang juga!” Melihat tingkah laku Jieun yang aneh, Chorong merasa bingung, dilihatnya pula Jieun seperti akan menangis. Ada apa dengan anak ini, tanyanya dalam hati. Mereka segera bergegas menuju rumah Chorong. Sesampainya di rumah Chorong, Jieun segera masuk, segera di ceknya seluruh ruangan di rumah Chorong, tetapi tidak menemukan siapa-siapa disana. “Eonni, dimana dia?” tanya Jieun, kali ini dia benar-benar menangis. Chorong sangat keheranan dengan tingkah Jieun. “Itu dia Jieun, dia sedang duduk di sofa,” jawab Chorong sambil menunjuk ke arah sofa besar di ruang tamu itu. Chorong yang menyadari Jieun menangis, menghampiri dia dan mengusap air matanya. “Mengapa kau menangis, Jieun?” Tetapi pandangan Chorong jatuh pada Suho yang sedang duduk di sofa. Dia hanya terdiam dan melihat ke arah Chorong. “Tenanglah, Jieun,” katanya sambil mengusap kepala Jieun. “Eonni, aku tidak melihat siapa-siapa, aku mohon berhentilah! Ikhlaskan dia eonni, dia sudah pergi! Kakak ku sudah pergi! Kim Junmyeon oppa sudah pergi dari dunia ini,” tangis Jieun semakin pecah. “Eonni, tidakah kau ingat Junmyeon oppa?” Junmyeon, nama itu kini terbayang-bayang di pikiran Chorong. Sebuah memori yang sangat ingin ia lupakan. Junmyeon, seketika nama itu menjadi rasa takut sendiri untuknya. Junmyeon, miliknya yang kini sudah tiada. Hanya satu nama, Junmyeon, dan Chorong kembali mengingat semuanya. Chorong menoleh kembali ke figur Suho yang kini bangkit dari sofa dan menuju ke arahnya. Suho tersenyum. Senyum yang teduh, senyum yang membuat Chorong merasakan sesuatu ketika pertama kali bertemu dengannya. Semakin lama figur Suho kabur dari pandangannya. Ingatannya kembali pada kejadian setahun yang lalu. Suara klakson mobil, setir yang dibanting, kaca depa pecah, mobil yang tertabrak ke sisi jalan. Chorong mengingat semua itu. Junmyeon, kekasihnya, tidak dapat diselamatkan dari kecelakaan tersebut. Beruntungnya ia dapat diselamatkan, tapi kecelakaan itu menyisakan luka yang dalam untuknya. Butuh waktu dua bulan untuknya melupakan trauma berat yang telah menyebabkan ia kehilangan kekasihnya. Dan disaat itu pula ingatan akan Junmyeon ikut menghilang. Orang-orang disekitarnya merasa kasihan dengan Chorong mereka ketahui mengalami depresi berat, sehingga mereka tidak pernah menyebut apapun tentang Junmyeon. Tetapi, sekarang Chorong telah mengingat semuanya. Semua kejadian itu, semua tentang Junmyeon, semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama. “Junmyeon oppa,” ucapnya lirih. Sedetik kemudian itulah, figur Suho yang masih tersenyum ke arahnya itu benar-benar menghilang untuk selamanya.