CHAPTER 2 : Whistle...
Setelah sekian lama hari yang di nanti pun datang. Sejak kepindahannya semalam ke rumah barunya, Junior terus saja mengingat-ingat kehidupannya di masa lalu. Di mana kenangan buruk dan bahagia yang dimilikinya beradu dan bercampur menjadi satu dalam waktu yang bersamaan. Setelah turun dari mobil angkutan yang berhenti di depan gapura gang rumahnya, ia berjalan menuju rumah yang jaraknya berkisar 20 meter. Namun langkahnya sesaat terhenti di pertigaan yang mengarah ke rumahnya. Sambil memejamkan matanya, pikirannya mencoba mengingat kembali kejadian sepuluh tahun silam yang mulai memudar namun kembali nyata tiap kali ia ingin melupakannya.
"Di sini... Pertama kali aku bertemu denganmu, Cherry. Apakah kamu masih ingat? Aku yang ketika itu tidak bisa mengontrol laju sepedaku karena jalanan yang menurun. Tanpa tahu dari tikungan ini kamu muncul dan tak sengaja tertabrak olehku. Kamu pun langsung tersungkur dan menangis. Karenanya kakimu banyak luka di sana-sini. Aku benar-benar bodoh waktu itu. Tidak seharusnya aku melukaimu. Mungkin aku bukan orang yang dapat kamu maafkan begitu saja. Tapi karena itu juga aku bisa mengenalmu. Hehehe... Aku yang baru tahu bahwa itu adalah hari pertamamu pindah ke sini seolah telah memberikan kesan untukmu. Tapi tak kusangka, aku malah memberikan kesan yang buruk padamu. Dan sejak saat itu untuk menebus kesalahanku, akhirnya aku datang ke rumahmu dan membawakan makanan serta buah-buahan. Mungkin itu semua juga tidak sebanding untuk membayar luka-lukamu. Karena gara-gara luka itu, akhirnya kamu tidak bisa meninggalkan tempat tidur sebelum lukamu sembuh semua. Masih terbayang di ingatanku saat Ibumu memarahiku. Tapi saat itu lah pertama kalinya aku bisa melihatmu tersenyum karenaku. Ya... Aku benar-benar habis dibuat kebingungan olehmu. Karena kamu pelit sekali untuk tersenyum. Namun justru itu membuatku tertantang untuk memunculkan senyum itu sesering mungkin. Akhirnya aku pun berhasil. Senyum yang tidak pernah bisa kulupakan bahkan setelah 10 tahun terakhir. Senyummu kala itu membuatku tersipu malu. Selama seminggu usahaku tidak sia-sia. Aku mencoba mengajakmu ke kebunku, ke tengah sawah, menggembala kambing, memancing ikan, memetik apel, sampai ke air terjun rahasiaku. Itulah tempat yang paling kamu sukai dibanding semua tempat yang kutunjukkan. Apa kamu masih ingat semua itu, Cherry-ah? Ingatkah kamu denganku? Ini aku. Aku telah kembali seperti janjiku dulu. Hehehe... Geuronika, ayo kita bermain sekali lagi. Tebaklah aku, apakah kamu bisa mengenaliku? Aku akan menunggu. Tiga bulan. Hanya tiga bulan waktumu, Cherry. Jika kamu masih tidak bisa mengenaliku, maka aku akan menyerah."
"Hhhmmm..." sekali lagi ia menghela nafas dan meregangkan tubuhnya seraya menyemangati dirinya sendiri dengan mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit.
"Fighting...!"
Sebuah peluit kecil yang terbuat dari baja yang menjadi liontinnya dan selalu di kalungkannya di balik tengkuk lehernya agar tidak ketahuan oleh siapapun. Hanya benda kecil itulah penghubung masa lalunya untuk bertemu dengan cinta sejatinya yang mungkin, jika memang berjodoh. Ia menarik nafas sedalam-dalamnya, mengambil ancang-ancang dan meniupnya dengan sekuat-kuatnya. Suara nyaringnya memberikan semangat dan keyakinan yang dalam untuknya.
Ttttttuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttttt......................!!!
***
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil angkutan, Yoojung dan Saeron asyik mengobrol. Kali ini mereka membahas Sohyun sekaligus menghakimi Yoojung yang bersikap berlebihan padanya.
"Apa kata-katamu tadi tidak terlalu kasar, Jungie-ah?" tegur Saeron.
"Seharusnya kamu saring dulu kata-katamu tadi. Biar bagaimanapun, dia kan teman kita!" imbuhnya.
"Iya, aku mengaku salah. Besok aku akan meminta maaf padanya. Aku hanya ingin membangunkannya saja dari mimpi indah masa lalunya. Itu saja." jawab Yoojung dengan nada santai sambil menoleh cepat seperti biasanya hingga rambut panjangnya mengibas.
"Aku berharap dia bisa segera menemukan pangeran berkuda putihnya itu, tapi bukan orang itu tentunya!" ucap Yoojung bergeming kesal.
***
"COLORBAR...!!!"
"Mereka sudah kembali, ya? Ayo kita kejar mereka!"
"Ayo! Kita harus mendapatkan foto mereka!"
Keramaian terjadi di seluruh penjuru sekolah SMA Moorim karena kembalinya Colorbar. Colorbar adalah sebuah gank yang terbentuk dari perkumpulan anak-anak pemegang saham terbesar di perusahaan terbesar yang ada di Seoul. Mereka terdiri dari Kang Minhyuk, Lee Sungyeol, Jia, Jr dan diketuai oleh Jin. Sementara Jia adalah satu-satunya anggota perempuan. Mereka baru saja kembali dari Jepang setelah satu tahun lamanya belajar di sana. Mereka adalah pewaris dari perusahaan keluarga mereka masing-masing. Jadi mereka harus study kasus di Jepang untuk melihat secara langsung bagaimana sebuah perusahaan besar itu bekerja. Daebak!!!
Seorang dari klub jurnalis tampak sedang sibuk mencari celah untuk mendapatkan informasi perihal kedatangan Colorbar yang sepertinya tak lengkap karena tak adanya Jr di antara mereka.
"Di mana, Junior? Kenapa dia tidak bersama kalian?" tanyanya.
Dengan aura wibawanya seperti biasanya, sebagai seorang leader group Jin memberi penjelasan. "Maaf, Jr tidak bisa hadir bersama kami hari ini. Dia memutuskan untuk cuti sekolah selama tiga bulan karena harus melakukan study banding di salah satu sekolah yang ada di Busan. Jadi dia baru akan kembali ke sini tiga bula kemudian."
Mendengar pernyataan Jin, sontak membuat seluruh mata terutama siswi pengidola Jr terbelalak dan syok. Sepertinya kerinduan mereka dengan idolanya itu masih harus tertahankan hingga tiga bulan yang akan datang.
Obrolan terjadi di mana-mana. Baik dari murid perempuan maupun laki-laki. Kehadiran Colorbar mewarnai hari-hari mereka. Seperti semboyan yang selalu mereka ungkapkan, "Jangan pernah takut akan hujan. Sebab akan ada barisan warna yang berjajar menghiasi langit setelahnya. Jangan pernah menyerah dengan kesedihan. Sebab akan selalu ada hari cerah setelahnyanya"
"Aduh... Mereka keren banget, ya..."
"Iya! Umm...gemes...!"
"Iya! Wajah kak Jin selalu terbayang-bayang di kepalaku. Aku berharap dia menjadi pacarku. Orang yang bijaksana dan berwibawa. Sangat gagah..."
"Mimpi!!!"
"Kalau aku sih selalu ingat dengan wajah Minhyuk Oppa. Dia orang yang sangat ramah. Bahkan baik sekali sikapnya kepada anak perempuan. Aku suka tipe roomantis seperti itu..."
"Ah, kalau aku sih lebih senang dengan Seungyeol Oppa. Lihat deh gayanya yang cool itu. Nggak nahan...!"
"Mereka masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Junior Oppa. Tapi sayang, dia belum pulang..."
"Ah, jutek!!!"
"Yang membuatku iri adalah Jia Eonni. Bagaimana bisa ada perempuan sesempurna itu, ya?! Andai aku seperti dia..."
"Mustahil!!!"
Tak pernah sepi SMA Moorim dari pembicaraan mengenai lima anak Colorbar itu. Kehidupan mewah nan keberuntungan bagi anak seumuran mereka tentu membuat teman-teman seumurannya merasa iri. Banyak yang mengidolakan mereka, namun tak sedikit yang tidak menyukainya.
Hidup di tengah-tengah pro dan kontra seperti itu terkadang membuat jenuh anak-anak Colorbar. Sebab mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak remaja pada umumnya. Yang bebas melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus menjaga reputasi dan kehormatan keluarganya.
"Aish...! Aku lelah dengan semua ini. Kita kan bukan super hero, kenapa mereka harus berisik seperti itu." keluh Minhyuk yang baru saja memasuki ruang klub Colorbar dan disusul ketiga temannya yang lain.
"Nikmati saja, lah! Jarang-jarang ada anak yang beruntung seperti kita." sahut Jia yang langsung sibuk merapikan make upnya.
"Nikmatin apanya? Rasanya tidak bebas. Hidup di Jepang terasa lebih menyenangkan dibandingkan di tanah air sendiri. Seperti di penjara. Di Jepang kita bisa dengan bebas kemanapun kita suka tanpa takut kepergok oleh siapa-siapa apalagi wartawan." tambah Minhyuk sambil merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruangan itu.
"Sudahlah. Terima saja nasib baikmu ini. Toh memang sudah sewajarnya kita mendapatkan perlakuan istimewa. Tapi terkadang aku merasa kita ini sekumpulan anak bodoh. Aku senang dengan perlakuan mereka. Tapi aku tidak bangga sedikitpun. Untuk apa membanggakan diri jika bukan dari hasil jerih payah sendiri. Semua yang kita miliki ini kan milik orang tua kita. Tapi itu dia, kembali lagi kalau kita adalah anak-anak yang beruntung. Tak ada salahnya hanya menikmati." tutur Sungyeol dengan gayanya yang jenaka itu sambil menenggak sekaleng minuman soda.
Jin yang sedari tadi mendengarkan perdebatan teman-temannya itu hanya diam dan tersenyum. Mereka pun dikejutkan dengan dering telepon milik Jin.
"Moshi-moshi!"
"..."
"Iya, ini hari pertama kami masuk sekolah."
"..."
"Hah? Oh... Dia... Dia sedang ke toilet."
"..."
"Iya. Kami baik-baik saja disini."
"..."
"Hai! Wakarimashita!"
Tuut...!
Minhyuk, Seungyeol dan Jia sudah bisa menebak hanya dengan melihat ekspresi dan nada bicara Jin dengan orang di seberang telpon itu. Sedikit gugup menjawab, pasti orang itu menanyakan Jr padanya. Ketiga orang itu hanya bisa saling melemparkan tatapan satu sama lain.
"Pasti Yuri Eonni!?" ujar Jia mencoba memastikan..
Jin hanya menganggukkan kepala membenarkan tebakan Jia.
"Dia pikir Junior masih kecil? Sifat kekanakannya masih belum bisa lepas." keluh Minhyuk jengkel.
"Kalau Junior ada di sini, habislah kau! Jangan sembarangan menghina tuan puteri itu." balas Jin sambil nyengir.
"Kalau Jin sih masih bisa ditangani. Tapi kalau Presdir?" tambah Seungyeol. Keempat anak Colorbar itu pun tertawa ramai karena sukses mengejek keluarga Jr tanpa ada yang tahu.
***
Hari pun telah berganti. Peristiwa-peristiwa sial yang dialaminya kemarin seakan membentur kepala Kim Sohyun dan membuatnya berpikir tentang bermacam hal. Mulai hari ini ia telah memutuskan untuk move on dari kisah cinta masa kecilnya itu. Ia pun sadar bahwa selama ini ia telah salah. Ia telah menghukum dirinya sendiri untuk hal yang tidak pasti, begitu pikirnya. Meski sulit, namun ia berobsesi untuk move on kali ini.
"Benar yang mereka katakan. Tidak seharusnya aku mengubur masa-masa indah SMA-ku. Bagaimanapun caranya, pokoknya tahun ini aku harus punya pacar. Akan kubuktikan kepada teman-temanku kalau aku juga bisa memiliki sebuah hubungan yang indah seperti mereka. Yoosh! Fighting!"
Sohyun pun beranjak dari tempat tidurnya. Ia melangkahkan kakinya menuju meja belajarnya. Dibukanya laci yang ada di bawah meja belajarnya. Di dalamnya terdapat sebuah kotak kecil berikut amplop berwarna biru. Kotak kecil dan amplop itulah yang selama ini membelenggu langkah hidupnya.
"Junior... Apa kamu sudah benar-benar melupakanku? Tapi kamu kan sudah janji kalau kamu akan datang lagi. Sampai sekarang aku masih menunggumu datang. Jika memang kita tidak berjodoh, aku hanya berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya ingin tahu apakah kamu hidup dengan baik di luar sana? Setidaknya aku bisa lega, Junior. Baiklah, aku akan memberimu waktu satu bulan lagi. Kalau sampai akhir bulan ini kamu benar-benar tidak datang, maka aku akan melupakanmu. Aku akan melupakan semua kenangan kita berdua yang dulu."
Sohyun menatap dalam pada kotak kecil berisi harmonika milik Raka dan amplop biru yang merupakan surat terakhir peninggalan darinya yang hingga kini masih disimpannya dengan baik itu. Tiap setahun sekali ia selalu membawa harmonika itu ke tempat perawatan barang antik dan meniupnya untuk menjaga kualitas barang tersebut agar suaranya tetap terdengar merdu seperti saat pertama kali ia menerimanya. Ini adalah tahun kesepuluhnya Sohyun membawa harmonika itu ke tempat Tuan Park.
"Annyeong hashimika, Ahjussi!" sapanya dengan senyum mengembang dan hangat di wajahnya.
"Kamu datang lagi?! Apa yang bisa kubantu kali ini?" jawab Tuan Park si pemilik toko barang antik langganan Sohyun. Matanya yang mulai sulit melihat benda-benda kecil itu membuatnya begitu serius mengerjakan sebuah jam tangan antik milik salah seorang pelanggannya.
"Ah.. Chogi.." kata Sohyun sambil mengulurkan kotak harmonikanya. "Tolong diservis sebaik mungkin ya, Ahjussi?!"
"Tiap tahun kamu selalu datang di hari yang sama dan memintaku untuk melakukan hal yang sama. Apa sepenting itukah harmonika ini?" tandas Tn. Park dengan memulai membersihkan harmonika itu.
"He-emm!" jawabnya dengan anggukan mantap. "Tapi... mungkin ini untuk yang terakhir kalinya, Ahjussi."
Mendengar jawaban Sohyun yang terdengar lesu dan menyerah itu membuat Tn. Park menghentikan pekerjaannya. Seperti ingin mendengar alasan pastinya sekaligus karena keppo.
"Lho, kenapa?"
"Mungkin sudah waktunya untukku berhenti melakukannya. Aku sudah lelah, Ahjussi." jawab Sohyun sambil menyandarkan dagunya di atas etalase Tn. Park yang berisi berbagai macam benda antik yang dipajang.
Meski sudah berusia lama dan mungkin sudah tak zaman lagi, tapi barang-barang itu masih terlihat sangat cantik. Sohyun pun terpesona melihatnya. Mulai dari jam tangan, kotak musik, boneka, pernak-pernik asesoris dan lain-lain. Ia tak pernah bosan memandanginya tiap kali datang ke toko kecil yang berada di sudut jalan. Bukan untuk pertama kalinya bagi Sohyun terpesona dengan barang-barang antik itu. Ia sangat kagum dengan Tn. Park. Melalui tangan-tangan ajaibnya beliau mampu menyulap barang-barang yang mulai usang dan berdebu menjadi terlihat seperti baru.
"Hehehehe... Dasar anak muda. Kupikir kamu berbeda dari anak-anak muda pada umumnya. Ternyata kamu selama ini melakukannya bukan atas dasar cinta. Tapi dengan mengharapkan imbalan." tukas Tn. Park yang melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Maksud Ahjussi apa, ya? Aku tidak mengerti." sahut Sohyun yang kebingungan tak mengerti dengan perkataan Tn. Park barusan.
"Ketulusan, itu yang terpenting." jawab Tn. Park sambil menunjuk ke dadanya sendiri. "Kamu pikir saja sendiri, lah. Tapi sebagai orang tua aku hanya ingin berpesan padamu. Jangan pernah melihat sesuatu hanya dengan menggunakan pandangan matamu. Sesekali tanyakan pada hatimu, dan dengarkan jawabannya. Atau kelak kamu akan menyesal. Lain kali datanglah lagi ke sini. Aku akan membersihkan kaca matamu. Kaca mata hatimu yang mulai kusam dan berdebu itu. Hahahaha..."
Ucapan Tn. Park semakin membuatnya gelisah. Sepanjang perjalanan pulangnya Sohyun terus terpikirkan oleh kata-kata Tn. Park padanya.
"Sebenarnya apa maksudnya, ya?"
Sesampainya di rumah, baru saja ia hendak masuk, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ketika ia mendengar seseorang sedang bercakap-cakap dengan Ibunya.
"Siapa itu? Kedengarannya asyik sekali. Bahkan aku belum pernah mendengar Ibu tertawa hingga terpingkal-pingkal begitu." Sohyun pun meneruskan langkahnya dan menyapa Ibu beserta tamunya.
"Aku pulang, Eomma!"
"Oh, kamu sudah pulang, sayang? Dari mana kamu?"
"Biasa, Eomma. Ke tempatnya Tuan Park."
"Begitu rupanya. Apa sudah selesai servisnya?"
"Sudah."
"Oh iya, ayo ke sini. Ini ada tetangga yang baru pindah, Nak. Namanya Park Jinyoung. Dia pindahan dari Jepang. Dia seumuran lho denganmu. Katanya dia baru saja pindah ke sekolahmu kemarin. Oh iya, dia tinggal bersebelahan dengan rumah kita. Ayo kenalan!
Baru saja akan mengulurkan tangannya, Sohyun langsung teringat dengan wajah Jinyoung. Ya, dia adalah anak yang mengejeknya saat mendapatkan hukuman dri Bu Rossa kemarin. Si anak baru yang tidak ada angin dan tidak ada hujan dengan sengaja mengolok-oloknya di tengah lapangan upacara. Sontak Sohyun pun kaget.
"No?!?" serunya dengan sepasang matanya yang reflek melotot.
"Ah, maaf Ahjuma. Saya baru ingat kalau masih punya janji di tempat lain. Saya permisi dulu." tutur Jinyoung dengan sopan.
"Ah... Baiklah. Aku mengerti. Sayang sekali, ya?! Lain kali kamu harus main ke sini lagi, ya!"
"Iya, pasti Bu. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas bantuannya karena selama ini telah membantu merawat dan menjaga rumah saya."
Jinyoung pun pergi sambil diam-diam menertawai Sohyun. Sepertinya dia memang sengaja bersikap seperti itu hanya untuk menjahili Sohyun. Tapi kenapa dia harus berbuat begitu? Orang baru yang baru saja menjadi tetangga bukannya bersikap ramah malah sebaliknya. Seperti memiliki tujuan dan maksud tertentu.
Sepeninggal Junior, Sohyun langsung menginterogasi Ibunya. Ia menanyakan ini dan itu perihal orang yang telah membuatnya jengkel. "Sebenarnya siapa sih dia, Eomma?"
"Dia itu tetangga kita. Apa kamu lupa dengan orang yang datang beberapa hari yang lalu?"
"Iya, aku ingat. Tapi setahuku itu bukan dia. Orang yang waktu itu sangat sopan dan ramah. Tidak seperti dia. Lagi pula, kenapa tadi aku sepertinya memperhatikan Eomma dan orang itu tertawa sangat geli?! Apa yang kalian bicarakan? Kalian seperti sudah lama saling kenal saja!"
Ny. Ahn hanya menjawab dengan senyum. Ia tak ingin melukai perasaan putrinya kabar yang baru didengarnya dari Jinyoung mengenai hukuman berdiri di tengah lapangan yang diterima putrinya kemarin.
"Sudah, sudah. Kalau kamu ingin lebih mengenalnya, maka berteman baiklah dengannya. Dia anak yang baik, kok. Sudah ya, Ibu mau menyiapkan makan malam dulu. Apa hari ini kamu tidak ada pekerjaan di luar, sayang?"
"Anniyo, Eomma."
Mendengar jawaban Ibunya tampaknya membuat Sohyun tidak puas. Ia terus berpiikir, jika orang yang datang saat pertama kali itu berkata bahwa dia ingin menyelesaikan tugas skripsinya. Tapi kenapa sekarang dia malah masuk ke sekolahnya yang SMA, bukannya institut atau universitas? Bukankah skripsi itu hanya diperuntukkan bagi mahasiswa saja, bukan untuk pelajar SMA?!
"Ah... terserah, lah. Apapun yang akan dilakukannya, aku tidak peduli. Semoga saja dia tidak sekelas denganku. Kalau sampai dia sekelas denganku, aku pasti akan sering mengalami hari sial!"
***
Keesokan harinya, saat ia membuka jendela kamarnya dan meregangkan otot-otot kakunya, di balik tirai tembus pandangnya, dari arah seberang kamarnya Sohyun melihat sosok seseorang yang sedang berdiri tepat di hadapannya tengah menikmati secangkir kopi. Dengan serius memandangi langit fajar yang masih terlihat biru dan tampak jelas bintang-bintang bertaburan. Namun matanya seolah tak sungguh memperhatikan. Seperti sedang memikirkan sesuatu, tatapannya sangat dalam menerawang. Sohyun yang terpancing dengan rasa penasaran di hatinya tanpa sadar membawa serta tubuhnya berjalan perlahan dan mulai mendekati jendela. Di intipnya dari sudut tirai dengan celah yang cukup untuk kedua matanya agar dapat melihat dengan jelas. Kini Ia pun tahu bahwa orang itu adalah Park Jinyoung.
Dengan jarak tiga meter saja dari jendela kamarnya yang saling berhadapan dengan jendela kamar Jinyoung, diam-diam Sohyun memperhatikannya. Untuk pertama kalinya bagi Sohyun bisa dengan jelas melihat seorang laki-laki dengan pakaian tidurnya terlihat sangat cool bahkan mampu menghipnotis matanya pagi itu. Dengan gayanya yang khas, Jinyoung berdiri bersandar di pagar balkon kamarnya dengan mengantongi tangannya yang lain di saku celananya sambil sesekali menenggak minumannya. Pemandangan itu sungguh membuat Sohyun terpaku. Bahkan mampu mengalahkan pemandangan indah sang fajar hari itu, begitu pikirnya. Namun sayang, lamunannya itu pun musnah dalam seketika. Aksinya itu berhasil dipergoki mentah-mentah oleh Jinyoung. Sohyun pun buru-buru menutup tirainya dan bersembunyi di belakang dinding.
"Astaga! Apa yang baru saja kulakukan??? Aduh...! Bagaimana ini? Dia tidak melihatku, kan? Iya, kan?"
Jinyoung pun sadar akan dirinya yang diam-diam sedang diperhatikan oleh gadis yang bertetanggaan dengannya itu. Sebab terlihat jelas bayangan tubuh Sohyun dari tirai putih yang tembus pandang itu. Namun sepertinya ia tak mau ambil pusing. Ia lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan kemudian bersiap-siap pergi ke sekolah. Sebab ini hari pertamanya memasuki kelas, karenanya ia tak boleh datang terlambat.
Sementara Sohyun yang tensin maksimal karena terpergoki mengintip, hatinya menjadi tidak tenang. Ia bahkan merasa seperti tak memiliki nyali jika harus bertemu dan berpapasan dengan Jinyoung di sekolah nanti. Ia pun berdoa dan berharap, semoga Jinyoung tidak dimasukkan ke dalam kelas yang sama dengannya.
Naas, nasib baik tak berpihak padanya. Baru saja Mr. Woobin memasuki kelas untuk mengisi jam pelajaran pertama, yaitu Fisika, di saat yang bersamaan pula datanglah Jinyoung yang turut di belakangnya mengiringi memasuki kelas. Ya, kelas yang sama sekaligus tempat menuntut ilmu bagi Sohyun. Diumumkannya ke seluruh isi kelas bahwa kelasnya kedatangan murid baru dari Seoul.
"Mulai hari ini, Park Jinyoung akan belajar bersama dengan kalian. Dia adalah murid kiriman dari Seoul yang ditugaskan untuk melakukan Studi Banding dengan sekolah kita. Jadi dia hanya akan sementara belajar di sini selama kurang lebih tiga bulan saja. Bapak harap kalian bisa membantunya saat ia membutuhkan bantuan. Dan untukmu Jinyoung, kamu bisa duduk di belakang Sohyun. Dia murid teladan sekolah kami. Semoga kalian bisa saling bertukar pikiran, ya. Jika ada yang ingin kamu ketahui tentang sekolah ini, kamu bisa menanyakannya langsung padanya. Kamu tidak keberatan kan menjadi guide tournya, Sohyun?"
Hari ini bagaikan mimpi buruk untuk Sohyun, sepertinya. Ia harus melaksanakan perintah Mr. Woobin yang merangkap sebagai wali kelasnya meski itu dengan terpaksa sekalipun. Seperti dihujani batu kerikil yang tajam, cloudy di hati Sohyun semakin menjadi setelah Mr. Woobin memutuskan bahwa Jinyoung akan duduk tepat di belakang bangkunya. Jarak yang begitu dekat, hanya terhalang oleh sebuah meja, yang menjadikan peluang besar baginya untuk sering bertemu dengan Jinyoung.
"Sepertinya aku akan sering ketiban sial deh mulai dari hari ini..." Sohyun berdengum.
Baru saja akan duduk di bangkunya, tanpa membuang kesempatan, Jinyoung yang berjalan melewati bangku Sohyun langsung menyindir Sohyun dengan mengatakan, "Sepertinya kita akan lebih sering bertemu ya?"
Ucapan Jinyoung barusaja sukses membuat awal hari Sohyun menjadi mendung. Namun tak hanya Sohyun yang mendengarnya, Saeron yang duduk di sampingnya pun tak sengaja mendengarnya juga. Ia pun mulai mengkhawatiran mood teman sebangkunya itu.
"Cloudy lagi, deh..." gumamnya. Tapi Saeron sempat heran dengan sikap Jinyoung yang tak ramah pada Sohyun. Padahal dia kan murid baru, belum mengenal betul siapa Sohyun. Tapi kenapa ia bersikap seperti itu untuk menarik simpati Sohyun. Seperti sudah akrab saja. Begitulah yang dipikirkan Saeron dengan beribu-ribu dugaan dari hatinya. Matanya yang diam-diam terus tertuju dengan bergantian memandangi Sohyun dan Jinyoung tiap kali kesempatan datang.
"Hai, aku Lee Sungjae! Senang berkenalan denganmu." Sapa anak laki-laki yang mulai detik ini akan menjadi teman sebangku Jinyoung selama di SMA Nuri ini.
Bel istirahat pun berbunyi. Sebagai petugas OSIS, Sohyun, Saeron dan Yoojung langsung menuju ke ruang rapat. Mereka mendapat perintah dari si ketua OSIS untuk rapat guna membahas kegiatan Baksos yang akan dilaksanakan dua minggu dari sekarang.
Yoojung dan Saeron tampak bergegas menuju ke ruang rapat seperti yang dikumandangkan oleh sang ketua OSIS melalui speaker aula yang suaranya bisa langsung di dengar di dalam kelas melalui salon yang terhubung langsung dengannya. Bukan berarti Sohyun lalai dan tak menghiraukan pemberitahuan itu. Tapi ada sesuatu yang harus dilakukannya terlebih dahulu sebelum orang lain tahu.
Dengan secepat kilat Sohyun membalikkan tubuhnya dan menatapkan wajahnya tepat di hadapan Jinyoung. Meski harus menahan malunya, ia mengatakan kepada Jinyoung dengan nada sedikit agak mengancam
"Entah apa yang sudah aku lakukan sehingga Tuhan menghukumku dengan cara seperti ini. Sejak awal aku bertemu denganmu, aku sudah tidak suka padamu. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau ternyata kita adalah tetanggga, bahkan ... Ah... Aku benci mengakuinya. Bahkan bangku kita pun bertetanggaan di kelas. Dengar anak baru, aku tidak ingin orang lain tahu tentang hal ini. Jadi jaga bicaramu, ok?!"
"Kamu mengancamku?"
"Bukan mengancam, tapi mengingatkan! Dengar baik-baik. Jangan macam-macam denganku, karena aku serius." kibasan rambut panjangnya yang berkuncir kuda itu mengakhiri pembicaraan mereka. Tanpa ingin lebih berkelut lidah, Sohyun pun pergi meninggalkan Jinyoung dan bergegas menyusul teman-temannya.
Melihat sikap Sohyun kepadanya barusan sontak membuat Jinyoung terheran. Ia pun mulai berpikir sambil mengembangkan senyum sengit di sudut bibirnya. "Hah??? Apa-apaan dia barusan? Kamu bilang ini bukan ancaman? Harusnya kamu berterus terang saja padaku kalau kamu ingin 'minta tolong'! Dasar! Tak kusangka kamu akan tumbuh menjadi gadis psycho seperti ini."
Sohyun yang tanpa sengaja berpapasan dengan Sungjae saat hendak keluar dari kelas pun meninggalkan jejak dengan raut kesal di wajahnya. Bahkan sapaan Sungjae pun tak digubrisnya sama sekali. Sohyun berjalan dengan menatap lurus ke depan sambil menghentakkan kakinya. Maka semakin jelaslah perasaannya tergambar di mata Sungjae, orang yang sejak masuk SMA mulai menyukainya.
"Kenapa ya? Padahal kan tidak ada siapa-siapa di sini." gumamnya sambil menarik kursinya.
"Ada apa?" tanya Jinyoung yang tanpa sengaja mendengar gumamannya.
"Ah... Tidak ada apa-apa, kok. Itu tadi aku tidak sengaja bertemu Sohyun di depan lorong. Tapi wajahnya terlihat kesal sekali. Bahkan teguranku pun tidak dihiraukannya."
"Sohyun?" dengan berpura-pura tak tahu, Jinyoung berusaha menyangkal dugaan-dugaan yang ada di benak Sungjae.
"Iya. Itu lho anak yang duduk tepat di depanmu. Wajah cantiknya kenapa tiba-tiba berubah jadi mengerikan seperti itu ya?"
"Cantik?" tambah Jinyoung mengalihkan perhatian.
"Iya. Dia cantik, kan? Aku sangat menyukainya. Lebih tepatnya aku sudah mulai menyukainya sejak hari pertama kami MOPD. Kebetulan aku satu kelompok dengannya. Itulah alasanku menyukainya."
"Apa seperti itu bisa dijadikan alasan?"
"Tentu saja. Aku kan orang yang paling lama mengenalnya. Bahkan ketiga kurcaci yang selalu ada di sampingnya itu saja kalah lama denganku. Mereka baru saling mengenal setelah pembagian kelas."
"Jadi menurutmu cinta itu timbul berdasarkan seberapa lama kedua belah pihak itu talah bertemu?"
"Ya itu sih menurutku. Walaupun ada orang yang mengatakan kalau ada cinta yang tumbuh pada pandangan pertama meski tanpa waktu. Tapi tetap saja, waktu itu yang paliing utama, karena dengan bantuan sang waktu, maka si kedua belah pihak itu bisa saling mengenal satu sama lain."
Perkataan Sungjae barusan juga membuat Jinyoung berpikir dalam. Hatinya 50% menyetujui pendapat Sungjae. Sementara 50% sisanya adalah tergantung Tuhan.
"Oh iya, aku kembali kesini untuk mengajakmu ke kantin. Aku lupa kalau kamu masih baru, kamu pasti belum tahu apa-apa. Ayo kita ke kantin!"
Tanpa kuasa Jinyoung pun mengikuti Sungjae yang terus-menerus menarik tangannya. Karena sikapnya itu Jinyoung pun menjadi sedikit sebal dengan teman barunya itu. Bahkan ia sempat berpikir apakah Sungjae layak berteman dengannya.
***
"Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Kalian sepertinya sudah akrab." ujar Sungjae membuka obrolan sambil menyantap makanannya. Seporsi Bibimbap.
"Oh, ya? Apa benar terlihat begitu?" tanya Jinyoung.
"Ya menurutku sih, begitu. Karena jarang sekali Sohyun mau bicara dengan anak laki-laki. Ya meskipun secara tidak langsung dia tidak birbicara denganmu, tapi justru bisa dilihat dari sikapnya padamu."
"Oh... Mungkin karena semua laki-laki di sini takut padanya?!"
"Tidak! Justru semua laki-laki di sini menyukainya. Siapa yang tidak menyukai gadis sempurna seperti Sohyun, coba? Orang bodoh saja yang tidak menyukainya. Kamu bisa lihat sendiri kan, betapa manisnya dia?!" tanpa sadar Sungjae malah kesemsem sendiri.
Mendengar cerita Sungjae membuat Jinyoung semakin penasaran dengan pribadi Sohyun. Ia ingin mengetahui lebih dalam tentang gadis bermarga Kim itu. Kemudian Jinyoung meminta Sungjae untuk mengantarkannya ke kantin. Saat ia tengah menikmati milkshake-nya, dilihatnya gerombolan yang mengenakan almamater berwarna biru tua melewati lorong kantin. Di antaranya ada Sohyun dan ketiga temannya yang lain.
"Mereka itu anak-anak pengurus OSIS. Menurutku mereka itu hanya sekumpulan anak yang gak punya kerjaan. Buat apa capek-capek melakukan ini-itu demi sekolah. Toh jika memang melalui tangan merekalan nama sekolah menjadi harum, mereka juga tidak akan mendapatkan apa-apa. Mau-maunya dimanfaatkan oleh pihak sekolah." jelas Sungjae yang seolah mengetahui apa yang sedang dipikirkan Jinyoung.
"Menurutku tidak seperti itu. Mungkin manfaatnya belum terasa, tapi kelak itu akan memberikan manfaat untuk mereka. Lagi pula kegiatan keorganisasian seperti itu bisa membantu membangun mental." balas Jinyoung yang tak sependapat dengnan Sungjae.
"Apa kamu pengurus OSIS juga di sekolahmu?" tanya Sungjae yang merasa canggung dan tak enak hati karena telah salah bicara.
"Bukan. Aku bukan pengurus OSIS."
***
Ah... Akhirnya selesai juga Chapter 2 nya. Semoga kalian masih mau terus membacanya ya... Mungkin ceritanya agak membosankan. Tapi sebisa mungkin aku membuat crita yang punya klimaks. Dan untuk membuat klimaks cukup membuaut otakku berpikir keras... Aaarrrrgghhh.... Tapi tidak mengapa, karena dengan Love kalian aku akan tambah semangat. Sedikit diungkit tokoh-tokoh barunya tadi, ya... Jadi, nantikan terus kelanjuutannya. Buat kalian yang udah mau baca dan yang belum sempet baca, Saranghae!!!
By: NK