CHAPTER 2 : One Hope
Genre : Fantasy
BTS character : J-Hope
*****
Tanpa rasa takut aku memanjat pembatas jembatan yang berada dihadapanku. Langit sore yang indah ini, mungkin akan menjadi yang terakhir kali aku lihat. Kemudian aku menengok ke arah bawahku. Di sana sebuah aliran sungai yang jernih, nampak tengah menunggu kehadiranku. Yah benar aku berdiri di sini dengan niatan untuk bunuh diri.
Kenapa? Karna aku sudah lelah menjalani kehidupanku yang menderita ini. Jika aku mati, aku tak perlu merasakan penderitaan ini lagi bukan. Lagi pula aku tak pernah merasakan kebahagiaan selama aku hidup. Aku hanya merasakan kesedihan, aku sudah tak sanggup. Jadi aku ingin mengakhiri semua ini.
Ku pejamkan kedua mataku, merasakan hembusan angin disekitar tubuhku. lalu aku buka kembali mataku dan bersiap-siap untuk menjatuhkan tubuhku kedalam sungai. Namun aku terkejut dengan sosok yang berdiri di depanku.
“BRUK”
Aku terjatuh ke belakang dengan keras, terkejut dengan sosok yang aku lihat itu. Apakah sosok namja yang kulihat ini adalah hantu? Aku melihat kakinya tak menyentuh permukaan sama sekali.
Aku menahan sakit yang ku dapati sambil berusaha duduk di aspal tempat ku terjatuh. Dia kemudian berdiri di depanku. Aku ketakutan dengan tatapan yang dia berikan padaku.
“Apa kau mau mati begitu saja?” tanyanya sinis.
“Atau kau mau mati tapi meninggalkan kesan unutkmu? Kau mau pilih yang mana Kang Soo Hye?” ucapnya dengan sedikit menekan nada bicaranya saat menyebutkan namaku.
Aku tak membalas ucapannya, aku masih diam menatapnya dengan ketakutan. Dan kenapa dia bisa tau namaku, siapa dia sebenarnya?.
Dia masih menatapku dengan tajam, “Aku J-HOPE, peri yang dapat mengabulkan satu harapanmu. Kau ingin kebahagiaan bukan? Aku akan mengabulkannya.”
“Tapi... Setelah 30 hari harapanmu terwujud kau akan mati. Dengan kata lain kau menukar harapan itu dengan nyawamu,” lanjutnya.
“Bukankah ini penawaran menarik, di bandingkan kau harus mati begitu saja dengan bunuh diri. Aku tak akan memberikan penawan ini dua kali padamu. Jadi bagaimana, apa kau mau?” tawarnya sambil menjulurkan tangannya ke arahku.
Sebenarnya aku masih tak mengerti apa yang dia ucapkan. Tapi apa benar dia dapat mengabulkan harapanku yang ingin merasakan kebahagiaan?. Jika ia, apa salahnya kalau aku menerima tawarannya. Yah lebih baik aku menerima tawarannya.
“Ya, aku mau,” balasku sambil meraih uluran tangan J-Hope.
Diapun menggengam tanganku erat lalu tersenyum ke arahku. Tiba-tiba di sekitarku menjadi gelap, dan semakin gelap.
.
.
.
Aku membuka mataku lebar-lebar, menerawang apa yang ada dihadapanku. Dan yang aku lihat sekarang adalah langit-langit kamarku. Kenapa aku bisa tiba-tiba ada di sini? apakah tadi itu hanya mimpi? Tapi jelas-jelas tadi aku sudah berada di jembatan untuk bunuh diri. Lalu peri itu juga benar-benar nyata.
“Soo Hye,” suara eomma memanggilku.
Aku dengan segera menghampiri suara tersebut. aku takut kalau nanti eomma memukuli aku lagi kalau aku telat menghampirinya. Yah inilah salah satu alasan kenapa aku ingin mengakhiri hidupku. Orang tuaku tak pernah peduli dengan hidupku. Mereka hanya mengurusi kehidupan mereka masing-masing, sibuk dengan urusan bisnisnya. Dan mereka selalu menyiksaku kalau aku melakukan kesalahan sekecil apapun itu. Karena itulah aku muak untuk menjalani hidupku seperti ini.
“Ne eomma,” ucapku terengah-engah.
Ku lihat kedua orang tuaku sedang duduk di meja makan bersama dengan raut wajah yang bahagia. Ini pemandangan yang tak pernah ku dapati sebelumnya.
“Kau baru bangun? Bukannya hari ini kau harus ke sekolah?” tanya Eomma.
“Ia,” jawabku dengan takut.
“Cepat mandi lalu kita sarapan bersama. Eomma sudah menyiapkan sarapan untukmu,” ucapnya dengan tersenyum.
Aku kaget melihat sikap eommaku. Apa mungkin ini harapanku yang dikabulkan oleh peri itu?
Dengan segera aku melaksanakan perintah eomma ku. Dan akhirnya kami pun sarapan bersama dalam satu meja makan. Inilah yang selama ini aku impikan. Kami saling menatap dan berbincang dengan perasaan bahagia.
Aku juga tak menyangka kalau ayahku mau mengantarku pergi ke sekolah. Biasanya aku ke sekolah sendiri naik bus tanpa ayah memperdulikanku.
Aku sudah sampai di sekolahku. Satu hal lagi yang aku tak suka dengan kehidupanku adalah karena orang-orang di sekolah ini. Teman-teman yeoja kelas ku sering membully ku, setiap hari mereka selalu mengerjaiku. Padahal aku tak pernah melakukan kesalahan apapun pada mereka. Tapi mereka sekejam itu hanya gara-gara banyak namja di sekolah yang menyukaiku termasuk gebetan mereka. Mereka bilang kalau aku ini wanita penggoda. Padahal wajah cantik dan tubuh ideal yang aku miliki ini memang sudah anugrah yang aku dapatkan. Aku tak pernah operasi apapun dan aku juga tidak pernah menggoda namja-namja itu.
Aku duduk di bangku ku, masih dengan perasaan was-was takut tiba-tiba mereka mengerjaiku lagi.
“Annyeong, Soohye,” sapa salah satu teman kelasku.
“Ann...yeong,” balasku dengan ketakutan. Yah yeoja yang menyapaku adalah dalang dari pembullyan yang selama ini aku terima.
“Seperti biasa hari ini kau terlihat cantik, wah aku iri padamu. Hayolah beri tahu aku rahasianya kau bisa cantik seperti itu. Kita kan teman,” ucapnya sambil tersenyum. Senyuman tulus, bukan senyum sinis yang selama ini aku lihat.
“Ahh... itu.” Aku kebingungan dengan keadaan ini. belum lagi teman-teman yang lain langsung mendekati mejaku dengan wajah penuh senyum.
Dengan memberanikan diri akhirnya aku mencoba untuk mengobrol dengan mereka. Ternyata peri itu benar-benar telah mengabulkan harapanku. Hari ini aku menjalani hariku tanpa ada penderitaan sama sekali. Yah aku merasa bahagia.
****
“Apa kau sudah merasa bahagia?” terdengar suara namja yang tengah mengajakku berbicara. Aku menoleh ke arahnya. Dan aku terkejut melihat sosoknya.
“J-Hope,”
“Kau tak perlu kaget begitu, aku di sini mengawasimu. Memastikan bahwa harapanmu terwujud. Tapi ingat waktu mu hanya 30 hari,” ucapnya.
“Ahh aku mengerti,”
“Jadi kau akan selalu berada di dekatku untuk mengawasiku selama 30 hari?” tanyaku.
“Yah tentu, itu adalah tugasku. Yang dapat melihatku hanya dirimu, jadi tenang saja,” jawabnya.
“Kau benar-benar seorang peri?” tanyaku lagi yang masih tak percaya.
“Tentu, kan kau juga sudah merasakannya. Apa kau masih ingin bukti lagi?”
“Kalau begitu apa kau bisa membuatku terbang?” pintaku
“Tentu kalau itu saja sih aku bisa,” balasnya. Dia pun kemudian mengeluarkan kekuatanya dan membuatku terbang di sekitar kamarku.
“Wah daebak, J-Hope jadilah temanku,” pintaku lagi.
“Untuk apa aku berteman dengan manusia?” Dia merasa tak perlu berteman denganku.
“Hayolah, jadilah temanku selama 30 hari ini.” Aku bersikeras meminta berteman dengannya.
“Hmm, baiklah,” jawabnya sambil tersenyum. Senyuman yang sangat manis dan hangat, yang entah kenapa membuat jantungku berdetag saat melihatnya.
****
Dua puluh sembilan hari telah berlalu, aku menikmati kebahagiaan yang telah aku rasakan dari peri itu. Yaitu kehidupan yang tak pernah kudapati sebelumnya, keluarga yang hangat dan teman yang ramah. Dan satu lagi perasaan jatuh cinta yang baru pertama kali aku rasakan ini. Yah aku jatuh cinta pada J-Hope peri yang telah mengabulkan harapanku.
Selama ini dia yang selalu ada di sisiku. Semakin lama aku semakin nyama dengan kehadirannya. Kebahagiaan yang aku dapat saat bersamanya jauh terasa lebih nyata dibandingkan kebahagian lain yang aku rasakan.
“Waktumu tinggal 5 menit lagi, ada hal lain yang ingin kau lakukan sebelum kau mati?” tanya J-Hope.
“Hmmm ku rasa tidak ada,” jawabku singkat.
“Apa kau tak menyesal?” tanyanya lagi.
“Tidak, aku malah bersyukur karna bisa bertemu denganmu,” balasku sambil menoleh padanya.
“Ada yang ingkin aku katakan padamu sebelum aku mati,”
“Apa?”
Aku mengecup bibir J-Hope sekilas. Dia nampak terkejut dengan tindakanku barusan. “Aku mencintaimu J-Hope, mianne.”
Dia kemudian memelukku, “Apa dengan begini kau juga merasa bahagia?”
“Iah... Kenapa kau lakukan ini?” tanyaku sambil membalas pelukannya.
“Karna sudah tugasku membuat harapanmu terwujud sebelum kau mati,” jawabnya.
“Oh begitu. Gomawo, kau sudah mewujudkan harapanku,” balasku sambil menahan tangisku. Sebenarnya aku sudah siap dengan kematianku. Tapi rasanya aku tak ingin pergi dari sisi J-Hope.
“1 menit lagi.” J-Hope mengingatkanku.
Aku memeluknya semakin erat. Entah kenapa aku jadi serakah ingin memilikinya. Padahal waktuku sebentar lagi habis. Tapi jika aku dapat memohon lagi, aku ingin membuat satu harapan. Harapan di mana aku ingin bisa hidup bersama J-Hope, seseorang yang aku cintai.
“Selamat tinggal J-Hope,” ucapku sebagai tanda perpisahan. Yah waktuku di dunia ini sudah berakhir. Dan akankah satu harapan terakhirku itu dapat terwujud?
.
.
.
.
END