CHAPTER 1 : First Meeting
Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.45 dini hari. Pria itu kemudian mengusap kedua matanya yang terasa sangat perih dan sedikit berarir. Sudah hampir 8 jam dia duduk menghadap computer sambil mengenakan headset berwarna emas yang terus mendentumkan lagu-lagu yang sama. Sebagai produser, leader, sekaligus member dari boyband ternama di Korea Selatan memang pria ini sangat perfektionis sekali mengenai setiap lagu yang dikeluarkannya. Di satu sisi, hal ini memang sangat pantas untuk dikagumi, karena ini menunjukkan profesionalitas dan keseriusannya dalam berkarya. Namun, di sisi lain, ini juga sedikit merugikan dirinya sendiri. Terkadang, dia bisa melupakan kepentingannya sendiri seperti istirahat dan makan untuk mendengarkan hasil akhir dari setiap lagu yang sudah selesai melalui proses mixing and mastering tersebut untuk memastikan bahwa semua sudah sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dan tentunya, hal itu tidak memakan waktu yang sedikit pula, apalagi ini adalah comeback mereka bersama-sama setelah 3 tahun tidak muncul dengan anggota yang lengkap. Semuanya sibuk dengan aktivitas solo mereka masing-masing. Untuk itulah dia benar-benar ingin memberikan yang terbaik untuk fans yang dirasanya sudah terlalu lama menunggu.
Rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi-jadi membuatnya memutuskan untuk berhenti dan mengakhiri kegiatannya sebelum akhirnya malah jatuh sakit. Dia kemudian mematikan semua peralatan dan beranjak dari kursi tersebut. Pria itu meraih jaket, topi dan kunci mobilnya yang tergeletak di atas sofa di studio tersebut kemudian hendak beranjak keluar saat dia menyadari bahwa ponselnya tidak ada di sana. Pria itu kemudian mencari ponsel tersebut sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali dia melihat benda tersebut. Saat itulah dia tersadar bahwa dia mungkin meninggalkannya di ruang latihan saat siang tadi mereka melakukan latihan untuk penampilan comeback mereka. Pria itu bergegas mematikan lampu ruangan tersebut dan keluar dari sana menuju lift. Setelah menekan tombol menuju lantai tempat latihan itu berada, dia menyandarkan tubuhnya di dinding untuk sedikit mengurangi rasa pusing di kepalanya. Saat pintu lift terbuka, samar samar didengarnya suara music yang menghentak. DIa mengernyitkan keningnya kemudian perlahan keluar dari lift menuju ruang latihan. Dilihatnya lampu ruangan tersebut masih menyala dengan pintu yang sedikit terbuka.
‘Siapa yang masih berlatih tengah malam seperti ini?’, pikirnya dalam hati.
Perlahan dia berjalan mendekati ruangan tersebut dan sedikit melebarkan celah pintu itu untuk dapat melihat ke dalamnya. Pria itu melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang diikat ke atas tengah berlatih menari dengan serius menghadap cermin yang memang memenuhi ruang latihan tersebut. Tampaknya, dia sangat serius sampai tidak menyadari kehadiran pria itu disana. Pria itu kemudian memperhatikan gadis yang tampak sangat serius berlatih itu sambil bersandar di dinding. Gadis itu mengenakan sepatu olahraga berwarna merah dengan aksen hitam, celana pendek berwarna hitam, dan kaus putih kebesaran yang sesekali terangkat memperlihatkan perutnya yang rata. Rambut hitam panjangnya yang diikat bergerak kesana kemari seirama dengan gerakan tarinya yang cepat sesuai dengan irama music yang menghentak.
‘Tidak buruk juga, sepertinya dia sudah lama berlatih menari. Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Lagipula, dengan kemampuan seperti itu seharusnya dia sudah bisa melakukan debut. Kenapa Yang sajangnim belum menyebutkan akan ada debut dalam waktu dekat? Atau mungkin kemampuan bernyanyinya masih belum terlalu baik?’, pria itu menerka-nerka dalam hati.
“AH!”, suara pekikan gadis itu menyadarkannya dari lamunan.
Dilihatnya gadis itu tengah terduduk sambil memegangi lutut sebelah kirinya yang memang dipasangi decker tersebut. Gadis tersebut terlihat membuka deckernya dan mengurut-urut lututnya sambil sesekali mengomel panjang pendek. Pria itu hanya tertawa kecil melihat gadis itu mengomeli lututnya seperti mengomeli seorang anak. Saat gadis itu beranjak berdiri untuk berjalan menuju kursi, tanpa sadar pria itu bergeser dari posisinya untuk bersembunyi dari penglihatan gadis itu. Namun, masih bisa dilihatnya gadis tersebut berjalan sedikit tertatih-tatih, mematikan suara music yang menghentak kemudian duduk di kursi sambil meluruskan kedua kakinya dan melepaskan kausnya. Pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, ‘apa-apaan gadis itu’, pikirnya. Selang berapa lama, pria itu kembali melihat ke arah gadis yang tenyata mengenakan pakaian ketat berwarna hitam yang menutupi dadanya.
‘apa yang ada di otakmu, hah?! Kau pikir dia tidak mengenakan apa-apa di balik kausnya itu?! Pervert!’, sebuah suara berbisik di otak pria itu.
Gadis itu terlihat sudah duduk di lantai dengan tangan memeluk kakinya dan kepalanya bersandar di lututnya yang tertekuk. Rambutnya yang berwarna hitam sudah terurai dan menutupi wajahnya. Bahunya yang bergerak naik turun sesuai dengan irama nafasnya menunjukkan betapa kelelahan dirinya sebenarnya. Dia hanya terdiam disana. Selama beberapa saat, pria itu pun hanya bisa diam memperhatikan. Dia teringat pada dirinya sendiri, malam demi malam berlatih tanpa ada kepastian kapan dia akan benar-benar mampu mencapai tujuannya. Sekarang, saat dia sudah berada di titik puncak kesuksesannya seperti ini, tidak pernah sekalipun dia melupakan atau menyesali semua itu. Melihat gadis itu benar-benar mengingatkanya pada masa-masa itu. Gadis itu tiba tiba mengangkat wajahnya dan memukul-mukul kedua pipinya sendiri.
“fighting, fighting, fighting!!!”, ujarnya sambil memukul pelan pipinya kemudian tersenyum dan berdiri.
Gadis itu mengambil jaket hitam yang tergelak di atas kursi dan mengenakannya. Dibiarkannya jaket yang panjangnya sampai menutupi separuh pahanya itu tidak terkancing, mematut diri di cermin dan merapikan rambutnya yang kemudian ditutupinya dengan topi berwarna senada. Gadis itu kemudian mengenakan kacamata full frame miliknya, membuat wajahnya semakin terlihat seperti gadis kutu buku. Gadis itu kemudian tersenyum setelah merasa bahwa pantulan dirinya tidak buruk dan berjalan menuju tasnya yang tergeletak di lantai. Saat hendak meraih tasnya itulah dia menemukan sebuah ponsel berwarna putih yang berada di atas kursi tepat di dekat tasnya. Gadis itu tertegun sejenak, kemudian mengambil ponsel itu, menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. Saat itulah pria itu menyadari bahwa itu adalah ponsel miliknya. Baru saja dia akan masuk dan mengambil ponselnya, tiba-tiba ponsel itu berbunyi. Gadis itu secara refleks langsung menerima panggilan telepon tersebut.
“yoboseyo”, ucapnya.
“….”
“yoboseyo?”, ulangnya lagi.
“Jiyong-ah?”, ujar suara dari ponsel itu.
“ne?”, tanyanya.
“bukankah ini nomer ponsel jiyong?”, ujar suara dari ponsel itu.
“Jiyong?”, saat itulah gadis itu melihat pria yang tengah berdiri di pintu dan menatap ke arahnya. Dan dia menyadari kesalahannya.
Pria itu mengulurkan tangannya. Gadis yang masih shock itu hanya bisa menatapnya balik dengan pandangan bingung, takut, dan malu bercampur jadi satu. Pria itu menunjuk ponsel yang ada di tangan gadis itu. Tersadar dari rasa kagetnya, segera diserahkannya ponsel itu sambil menundukkan tubuhnya. Saat mulutnya terbuka untuk meminta maaf, pria itu meletakkan telunjuknya di bibir, tanda menyuruhnya untuk diam. Gadis itu segera menutup mulutnya kembali dan menunduk sambil memaki dalam hati.
“ne youngbae-ah. Ah wae? Gadis yang mana? Kau salah dengar, mungkin kau kurang istirahat makanya aku selalu menyuruhmu untuk memanfaatkan waktu luangmu dengan baik kan. Aku tidak mengalihkan pembicaran. Kau salah dengar. Sudahlah, aku akan tiba di dorm sebentar lagi, nanti saja kita bicarakan. Annyeong”, pria itu kemudian mematikan sambungan itu dan meletakkan ponselnya di saku jaketnya sambil menatap gadis yang berdiri di hadapanya. Belum sempat dia berkata apapun, gadis itu dilihatnya sudah membungkuk dalam-dalam.
“mianhabnida, sunbaenim. Aku tidak tahu bahwa ponsel itu milikmu. Ah, meskipun begitu harusnya aku tidak sembarangan menerima telepon di ponsel orang lain, aku yang bodoh, seharusnya aku tidak melakukan hal itu. Bagaimana kalau nanti ada skandal. Ah, aku benar-benar bodoh..”, gadis it u terus berbicara.
“berhenti berbicara”, perintahnya.
Seketika gadis itu langsung berhenti berbicara. Pria itu kemudian menyuruhnya untuk berdiri dan berhenti membungkuk. Ketika gadis itu sudah berdiri tegak dan menatapnya, pria tersebut menemukan sepasang bola mata berwarna kecokelatan. Samar-samar, dirasakanya ada rasa takut dari pandangan tersebut. Pria itu tersenyum tipis.
“Tidak perlu takut seperti itu, aku tidak marah.”, ujarnya.
Gadis itu hanya menatapnya kemudian mengangguk. Namun dari bahasa tubuhnya, pria bernama Jiyong itu sadar bahwa gadis itu masih sangat tegang. Tanpa sadar tangannya bergerak menyentuh bahu gadis itu dan menepuknya.
“hei, tenanglah. Aku tidak marah, lagipula itu tadi youngbae, ah, taeyang yang menelepon, jadi tenang saja. Tidak akan ada skandal apapun”, ujar Jiyong sambil membuat tanda petik dengan kedua tangannya.
“Ah, tapi aku benar benar minta maaf, sunbaenim.”, ujarnya sambil menunduk lagi.
“Berhentilah meminta maaf, aku bilang kan tidak apa-apa”, ujarnya.
Gadis itu kemudian kembali berdiri tegak. Jaketnya sedikit tersingkap dan memperlihatkan bahunya. Jiyong melihat sebuah tato di pundak sebelah kirinya. Tato berbentuk inisial huruf L dan A dengan gambar bintang ditengahnya. Tanpa sadar Jiyong mengernyitkan dahi sambil memperhatikan tato tersebut. Gadis itu mengikuti arah pandangannya dan terkejut mendapati tatonya yang terlihat. Tergesa-gesa, segera dirapikannya kembali jaket tersebut untuk menutupi tato tersebut. Namun, karena hal itu, keduanya malah terlihat kikuk.
“Lututmu tidak apa-apa?”, tanya Jiyong memecahkan keheningan.
“Ne?”, tanya gadis itu tidak mengerti.
“Lututmu. Kau tadi berhenti berlatih karena lututmu kan. Tidak apa-apa?”, tanyanya lagi.
“Ah, gwencanayo sunbaenim. Cuma cidera lama yang sedikit ngilu kalau aku bergerak terlalu lama”, jawabnya.
“begitu rupanya”, Jiyong hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“ne. terima kasih sudah bertanya. Maaf kalau aku tidak sopan, sunbaenim. Tapi aku rasa aku harus segera pulang, sudah terlalu larut.”, ujar gadis itu lagi.
“Memangnya kamu tinggal dimana?”, tanya Jiyong.
Gadis itu menyebutkan alamatnya kemudian kembali berpamitan. Jiyong kemudian membiarkan gadis itu keluar terlebih dahulu. Saking tergesa-gesanya, sempat dilihatnya gadis itu tersandung dan nyaris kehilangan keseimbangan. Jiyong hanya tertawa pelan melihat kelakuan gadis yang ternyata kikuk dan ceroboh itu. Dilihatnya gadis itu berjalan cepat sambil memaki pelan menuju tangga yang berada di sebelah lift. Jiyong mengerutkan keningnya, tidak menyangka gadis itu menggunakan tangga padahal dia tahu sekali betapa lelahnya latihan berjam-jam. Jiyong hanya menggelengkan kepala kemudian berjalan masuk ke lift yang membawanya menuju tempat mobilnya di parkir. Saat sudah berada di dalam mobil, Jiyong segera menyalakan mesin mobil, mengenakan sabuk pengaman, kemudian perlahan mengendarai mobilnya menuju jalan utama. Saat itulah, dilihatnya sosok yang tidak asing tengah berjalan sendiri sambil mengenakan earphone berwarna putih.
‘gadis itu pulang berjalan kaki?! Tengah malam seperti ini?!’, ujarnya dalam hati.
Jiyong mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, dan langsung mengendarai mobilnya kea rah gadis itu. Setelah menyejajari gadis itu, Jiyong membunyikan klakson untuk menarik perhatiannya. Gadis itu langsung berhenti berjalan dan menoleh ke arahnya, terkejut melihat siapa yang berhenti di mobil disisi jalan.
“Cepat naik!”, ucap Jiyong.
Gadis itu tertegun sejenak. Namun, ketika Jiyong menyuruhnya untuk naik untuk yang kedua kalinya, gadis itu segera saja naik ke kursi penumpang di sisi Jiyong dan mengenakan sabuk pengamannya. Meskipun bingung dan tidak mengerti akan apa yang terjadi, gadis itu hanya bisa terdiam sambil sesekali melirik Jiyong di sisinya. Tidak pernah dalam mimpinya sekalipun dia akan bisa diberi tumpangan oleh seorang Kwon Ji Yong alias G-Dragon yang selama ini menjadi idolanya. Gadis itu masih mencerna apa yang baru saja terjadi saat tiba-tiba dia tersadar satu hal.
“AAKKK”, jeritnya tanpa sadar.
“hei, kenapa kau tiba-tiba berteriak seperti itu?! Mengejutkan saja! Berbahaya, tau?”, ujar Jiyong.
“Maaf sunbaenim, aku lupa kalau aku seharusnya mampir ke convenience store untuk membeli beberapa barang dan bahan makanan karena stok di apartemenku sudah habis. Lebih baik aku turun disini saja. Maaf, mengejutkan sunbaenim”, ucap gadis itu tergesa-gesa.
“Aku kira kau ini kenapa. Kau selalu punya kebiasaan berbicara tergesa-gesa ketika panik, ya?”, tebak Jiyong.
Gadis itu hanya mengangguk perlahan karena malu dan merasa bersalah. Jiyong hanya tertawa melihatnya kemudian mengendarai mobilnya menjauhi arah tempat tinggal gadis itu. Gadis itu hanya bisa terdiam, bahkan tidak mampu untuk bertanya kemana tujuan mereka sebenarnya. Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di pusat perbelanjaan yang masih buka sampai 24jam. Jiyong segera mencari tempat untuk parkir dan menghentikan mobilnya. Ketika mobil sudah berhenti, gadis itu segera mengucapkan terima kasih dan keluar dari mobil sambil menunduk berkali-kali mengucapkan maaf dan terima kasih. Lalu, dia berlalu begitu saja menuju pintu masuk pusat perbelanjaan. Jiyong tidak bisa menahan tawanya melihat kelakuan gadis itu. Saat akan berlalu dari sana, didengarnya suara yang tidak familiar berasal dari tempat duduk gadis itu. Terdapat sebuah ponsel yang berkelap-kelip tanda adanya panggilan masuk. Jiyong meraih ponsel itu dan melihat ID Caller-nya. Panggilan dari ‘My other half, A’. Jiyong tertegun sesaat, memutuskan untuk mengangkatnya atau tidak. Panggilan tersebut terlanjur terputus sebelum Jiyong memutuskan untuk menjawabnya. Setelah berpikir beberapa saat, Jiyong memutuskan untuk menyusul gadis itu ke dalam untuk mengembalikan ponselnya. Diraihnya sebuah masker yang selalu disediakannya di mobilnya.
Setelah mengenakan masker, topi, dan menaikkan hoodie jaketnya, Jiyong beranjak memasuki pusat perbelanjaan itu dan mulai mencari-cari keberadaan gadis itu. Sebisa mungkin, dia menghindari bertatapan mata dengan siapapun, untuk mengurangi resiko dirinya dikenali. Dilihatnya gadis itu tengah memilah-milah sayur-sayuran, sementara di dalam troli yang dibawanya saja sudah penuh dengan berbagai buah, susu, telur, dan makanan lainnya. Bergegas Jiyong menghampiri gadis itu dan menepuk pundaknya. Gadis itu menoleh dan terkesiap, tidak menyangka akan melihat Jiyong disana.
“ponselmu tertinggal di mobilku, aku datang untuk mengembalikannya”, ujar Jiyong sambil mengulurkan ponsel itu kepadanya.
Gadis itu menerima ponsel tersebut masih dengan ekspresi terkejut yang sama. Dia sampai tidak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa mengangguk-angguk seperti orang bodoh.
“Kau sudah selesai berbelanja?”, tanya Jiyong lagi.
“ne, sunbaenim”, jawabnya.
“jangan panggil aku sunbaenim disini, panggil aku oppa. Dan berhenti bersikap seperti kau melihat hantu, orang-orang akan curiga!”, ujar Jiyong sambil setengah berbisik.
“Ne, oppa. Aku sudah selesai berbelanja. Ini aku tinggal menuju kasir dan membayarnya”, jawab gadis itu terdengar lebih akrab, meskipun masih terasa kaku.
“Yasudah, ayo segera pergi dari sini”, ujar Jiyong sambil mengambil alih trolinya dan mendorongnya menuju kasir.
Gadis itu hanya bisa bengong melihatnya kemudian berjalan mengikutinya dari belakang. Sampai di kasir, meskipun tidak begitu ramai, mereka tetap harus mengantri. Saat mengantri, gadis itu kembali tampak berdiri kikuk di sebelahnya. Gadis yang sedikit lebih pendek darinya itu terlihat memiliki kebiasaan menggigit bibir bawahnya saat dia kikuk atau tidak nyaman. Jiyong mengamati gadis itu sambil tersenyum di balik masker wajahnya. Gadis ini memang manis, pikirnya dalam hati. Saat mereka beradu pandang, Jiyong dapat melihat rona merah menjalar dari pipi gadis itu hingga ke telinganya yang memiliki dua lubang tindik. Gadis itu kembali menunduk, mencoba mengalihkan pandangannya. Saat antrian mereka berjalan dan hanya tersisa satu orang didepan, gadis itu tiba-tiba mendongak seperti mengingat sesuatu.
“Oppa, sebentar ada yang harus aku ambil. Apakah tidak apa-apa kalau oppa sendirian disini?”, tanyanya.
“yasudah cepatlah, sebentar lagi giliran kita membayar”, ujarnya.
Gadis itu tersenyum kecil, mengangguk, kemudian mulai berjalan –setengah berlari- entah menuju kemana. Tidak lama kemudian, antrian didepan mereka sudah selesai membayar. Jiyong yang bingung karena gadis itu belum kembali akhirnya memutuskan untuk maju dan membiarkan barang-barang di trolinya dikeluarkan untuk dihitung.
“Ini sudah semua?”, tanya bibi yang menjaga kasir tersebut.
“ah, sebentar. Temanku sedang mengambil sesuatu. Lebih baik yang ini saja dulu yang dihitung”, ucap Jiyong sambil mengeluarkan dompetnya.
Barang-barang tersebut mulai dihitung satu persatu. Jiyong kemudian tersadar, gadis itu membeli banyak sekali bahan makanan dan hanya beberapa makanan siap saji. Selain itu, ada juga beberapa barang keperluan rumah tangga seperti tisu toilet, sabun, dan sebagainya. Sepertinya gadis ini tinggal sendiri, pikir Jiyong dalam hati. Saat melihat jumlah yang harus dibayarkan, Jiyong tertegun. Dia tersadar bahwa dia tidak membawa uang cash. Segera dia mengeluarkan kartu kreditnya dan mengangsurkannya kepada bibi yang menjaga kasir. Bibi itu terlihat sedikit terkejut melihat nama yang ada di kartu itu, namun kemudian hanya tersenyum penuh arti. uh-oh, Jiyong baru tersadar bahwa namanya terpampang jelas di kartu tersebut.