CHAPTER 1 :
Esse
"Mau ikut ke Mango Six, tidak?" tanya Seunghee, aku memasukan buku ke loker lalu mengambil tasku.
"Entahlah, Seunghee. Aku harus ke Myeongdong." jawabku lelah.
"Tapi ini 'kan ulang tahunnya Yoojin, semua anak diundang. Masa kau tak datang?"
"Aku juga berharap bisa ikut, Seunghee." kami berjalan menuju gerbang sekolah, di mana Sunbyul dan Jimin sudah menunggu. "Sungrin mana?" tanyaku pada mereka.
"Harus mengantar sesuatu ke rumah sakit." Sunbyul mengancingkan trench coatnya sampai leher. Angin sedang bertiup kencang sekali hari ini.
Orang tua Sungrin bekerja di rumah sakit lokal di dekat sini. Bukan sebagai dokter, tapi sebagai staff. Ibunya di bagian administratif dan ayahnya seorang apoteker. Tidak hanya itu, pekerjaan sampingan mereka ternyata adalah pemasok peralatan kedokteran ke rumah sakit tersebut. Dan kakak laki-laki Sungrin adalah dokter bedah muda yang belakangan menjadi ketua majelis di konferensi dokter bedah se-Asia Timur. Tidak heran kalau Sungrin juga terobsesi untuk jadi dokter, dia hidup di lingkungan penuh obat kimia dan jas putih steril. Aku hanya tidak mengerti pola pikir mereka.
"Oke kalau begitu. Selamat bersenang-senang, ya!" aku tersenyum singkat pada teman-temanku lalu berlari ke halte bis dan tak lama kemudian bis yang akan mengangkutku pun datang.
Yang tidak kusadari adalah, langit yang tadinya berawan kini mulai terbuka. Meneteskan rintik-rintik gerimis yang semakin lama semakin deras dengan butir-butir air yang makin besar. Semoga saja aku membawa jas hujan, pikirku. Saat kuperiksa tasku, aku tak menemukan jas hujanku. Yang benar saja, aku lupa membawa jas hujan.
Oh, kenapa aku bisa tidak memprediksi hujannya.
Beberapa kali kucoba menelpon Kibum tapi tidak juga ada jawaban.
"Oh, tidak." Gumamku ketika melihat ke luar jendela.
Hujannya makin deras begitu aku sampai di perhentian. Pakaianku pun langsung basah kuyup saat aku turun dari bis.
Tidak mungkin aku sampai di sana dengan keadaan seperti ini.
Tiba-tiba ada satu pesan masuk ke ponselku. Ternyata dari Hanna.
Kau dmn? :(
Tanpa menunggu lagi aku langsung menelpon Hanna. Setelah nada tunggu ketiga, barulah Hanna mengangkat telponnya.
"Minah! Kau di mana? Hujannya deras sekali di sini!" Hanna berteriak dari ujung telponnya.
"Uh, di sini juga hujan. Apa ada yang bisa menjemputku? Aku tidak yakin bisa selamat sampai di sana."
"Aku bisa saja menjemputmu ke sana, Minah. Tapi di sini sibuk sekali, harus ada yang mengatur-Ah!" seseorang merebut ponsel Hanna.
"Tengil!" Kibum? "Aku bilang kan tidak usah datang! Cuacanya buruk begini, dasar tolong!"
"Kau tidak bilang-!"
"Aku kirim e-mail sampai tiga kali!"
"Masa?"
"Sekarang terserah kau saja mau pulang atau diam di sana karena tidak akan ada yang menjemputmu!"
Lalu sambungannya diputus.
Kuperiksa pesan masuk dan menemukan tiga surel dari Kibum. Salah satu di antaranya masuk kotak spam. Bodohnya aku. Hujan sederas ini tidak ada kendaraan yang lewat. Bahkan bis pun tidak ada. Dan Kibum sangat marah padaku. Bagaimana aku harus pulang?
Apa aku jalan kaki saja? Aku akan sampai di rumah tepat sebelum makan malam kalau aku mau berjalan sedikit.
Tapi bagaimana dengan hujannya? Ini tidak terlihat seperti akan berhenti sebentar lagi.
Kupeluk lututku sampai ke dada, rasanya aku ingin menangis. Kenapa tidak ada kendaraan umum sama sekali? Bukankah ini wilayah yang sibuk? Kenapa aku lupa membawa jas hujan? Kenapa aku tidak melihat email Key?
Tanpa sadar air mataku mengalir dan aku mulai menangis.
Aku cuma mau pulang.
Pakaianku basah kuyup dan aku kedinginan. Andai hujannya berhenti, aku pasti akan langsung pulang. Bisa saja aku menelpon teman-temanku dan memintai mereka untuk menjemputku, tapi mereka pasti sedang bersenang-senang dan aku tidak mau mengganggu.
Memberitahu Jonghyun pun tak ada gunanya. Ponselnya mati. Sudah pasti Jonghyun masih sibuk dengan pekerjaannya.
Sudah empat puluh menit aku di sini, hujannya sudah mulai mereda dan tinggal menyisakan gerimis.
Cepat-cepat aku seka wajahku dengan lengan baju, aku sudah tidak peduli lagi kalau aku terlihat berantakan.
Jalanan mulai dilalui kendaraan dan para pejalan kaki dengan payung-payung mereka mulai bermunculan.
Aku melompat dari tempat duduk lalu berjalan pulang. Gigiku bergemeretuk dan badanku mengigil karena kedinginan. Kedua tanganku menggosok lengan berharap bisa mengurangi rasa dingin yang menusuk.
Aku berbelok di pertigaan kesekian. Sebuah cafe mungil dengan pencahayaan yang hangat dan dipagari tanaman Peoni terlihat sangat mengundang. Untuk masuk ke dalam, duduk di kursi yang empuk, dan memesan coklat panas pasti akan terasa sangat menyenangkan.
Tapi tidak. Aku tidak punya waktu untuk mampir ke cafe.
Aku menggeleng lalu melanjutkan perjalanan. Di sebelah cafe tadi terdapat toko kecantikan yang sama mungilnya. Dari jendela kaca di depan toko, terlihat etalase-etalase kayu yang menyimpan keranjang-keranjang kecil berisi macam-macam alat kecantikan.
Angin berembus lagi, lumayan kencang sehingga membuatku mendongak ke arah langit untuk memastikan hujan tidak akan turun lagi.
Untunglah pada saat yang sama cahaya matahari sore muncul dari sela-sela awan yang terbawa pergi oleh angin. Untuk sementara aku bisa tersenyum.
Baru aku mau berjalan lagi ketika sesuatu menutupi kepalaku.
"Ah!" erangku. Ternyata sebuah blazer- dan terdapat inisial sekolahku?
"Pakai itu. Kau bisa masuk angin." Seseorang di sebelahku.
"Junhong?"
"Kau tidak ikut ke Mango Six."
"Yeah, harusnya aku ke open house Keybum's di Myeongdong. Tapi malah kehujanan di jalan." Kulepas blazerku sendiri lalu kukenakan miliknya.
Blazernya terlalu besar untukku, ujungnya bahkan hampir mencapai lutuku.
Kadang menjadi orang pendek tida terlalu menyenangkan, terutama ketika kau harus jalan berdampingan dengan orang yang tingginya hampir 2 meter dan memakai blazernya.
"Bis terakhir sudah lewat sekitar 15 menit yang lalu."
Aku menendang kerikil yang kutemukan di depanku, "Aku tahu."
"Kau mau jalan sampai rumah?" tanya Junhong, terkejut.
"Mh.. Kurasa begitu." Dadaku rasanya sesak kalau harus ingat bagaimana Key membentakku tadi. Key mungkin bisa jadi kakak yang menyebalkan, tapi dia tidak pernah membentakku.
"Tidak keberatan 'kan kalau aku mengantarmu?" Junhong membungkuk sedikit ke arahku, "hey, jangan menangis begitu dong. Kau kenapa sih?"
Jemariku bergerak ke pipi dengan sendirinya dan menemukan air mataku mengalir tanpa sadar. Buru-buru kuhapus air mataku.
"Aku baik-baik saja kok," jawabku.
"Kau yakin?" Junhong melangkah ke hadapanku dan membungkukan badannya lagi, "sepertinya matamu tadi berkata lain."
"Aku baik-baik saja! Oke?"
Kemudian perutku berbunyi. Sangat keras. Sepertinya karena tadi aku habis menangis di halte. Dan Junhong, dengan segala kemungkinan suatu hari nanti dia akan jadi adik iparku, menertawainya. Sungguh memalukan.
Junhong mencoba menahan tawanya setelah kupelototi. "Perutmu itu tidak baik-baik saja," lalu menarikku ke kedai sandwich di ujung jalan. "Biar aku yang traktir."
Dia melakukannya lagi. Matanya, bibirnya, dia menatapku dengan cara itu lagi.
Kupesan sandwich telur dengan mustard. Setelah mendapatkan yang kuinginkan, aku langsung berbalik dan meneruskan perjalanan, tidak peduli pada Junhong dan meninggalkannya.
Oh, Tuhan. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah, perutku rasanya mulas dan pipiku panas. Berjalan dengan hanya seorang teman pada petang hari seperti ini membuatku tidak nyaman, meskipun temanku ini laki-laki. Apalagi kalau temanku ini laki-laki. Kakakku bilang jangan pernah percaya pada laki-laki, cukup aneh mendengarnya dari laki-laki tapi, apa salahnya mengikuti saran mereka.
"Hey! Aku bahkan belum sempat mendapatkan pesananku," Junhong berlari ke arahku sambil memegang sandwich tuna di tangan kanannya. "Jalanmu cepat sekali."
"Jonghyun belum tahu kalau aku pulang telat, jadi aku buru-buru." Dilahapnya sandwich dalam satu gigitan besar. Aku tidak bisa berhenti melihat bibirnya. Oh, ini lebih memalukan.
"Kita bisa naik kereta kalau kau mau." Junhong melirikku dari balik sandwichya, "Ada masalah?"
"Apa? Uh, semuanya baik." sampai aku sadar ternyata mustardku menetes.
"Ahahaha," dirangkulnya bahuku. "Ayo, kita tidak mau ketinggalan kereta."
"Oh, ya. Tentu saja, ya."
-
Rasanya hening sekali di gerbong kereta, tentu saja setelah mengabaikan fakta tentang suara deru kereta yang terdengar, begitu hening sampai aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
"Jadi, kenapa kau tidak minta dijemput saja?" tanya Junhong memecah keheningan, yang serta merta membuatku terkejut dan hampir menjatuhkan tasku dari pangkuan.
"Sudah kok. Tapi kedua kakakku sibuk, tak satu pun dari mereka bisa menjemputku." kulirik jendela di sebelahku. Terowongannya gelap sekali sampai aku tidak bisa melihat apapun, untuk beberapa saat kegelapan itu membuatku cemas.
"Seharusnya kau tidak perlu pergi, kau tahu?"
"Ya, seharusnya aku ikut ke Mango Six bersama kalian." Aku tersenyum tipis dan mencoba mengabaikan sorot khawatir di matanya.
Waktu rasanya cepat berlalu ketika kami akhirnya sampai di perhentian akhir, dari sini rumahku tidak jauh lagi, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jalanan becek dan licin karena hujan, beberapa mobil yang diparkir di luar halaman dipasangi penutup hujan agar tidak kebasahan.
"Kau benar baik-baik saja kalau harus mengantarku sampai rumah?" tanyaku.
"Tentu saja, 'kan aku yang ingin mengantarmu pulang." kedua tangannya dimasukan ke saku celana.
"Junhong," kulirik dia sekali lagi, "tidak kah kau merasa aneh."
"Hm?" Junhong balas melirikku.
"Dengan semua ini. Kita jarang sekali berbicara sebelumnya, dan sekarang kau malah mengantarku pulang."
Junhong menatapku bingung, "Kau merasa terganggu?"
"Bukan, bukan itu. Hanya saja menurutku kalau waktu itu kita tidak sengaja bertemu di belakang toko, mungkin kita tidak akan berbicara sesering ini."
Aku tersenyum pada Junhong yang masih terlihat agak bingung, tapi lama kelamaan dia ikut tersenyum juga.
"Kau tahu, Awalnya juga aku pikir kita tidak mungkin bisa jadi sedekat ini. Awalnya menurutku kau itu, maaf ya, agak sedikit aneh dengan obsesimu terhadap kakakku yang begitu besar," aku tertawa mendengarnya, "ditambah lagi kau sampai nekad mencuri file milik kakakmu untuk kepentingan pribadi, itu 'kan tindakan kriminal namanya-"
"Hey, hey! Sudah cukup oke? tidak perlu diteruskan, aku sudah mengerti." kataku memotong kalimatnya.
"Yeah, tapi aku tidak menyesal kita tidak sengaja bertemu waktu itu." Junhong tertawa sekilas, membuatku tertegun.
"Yeah, aku juga."
{TBC, maybe...}