CHAPTER 1 : 1 Of 2
Hampir semua orang tahu, manusia terdiri atas bertrilliun-trilliun sel dalam tubuh mereka.
Tapi, apakah mereka tahu, bahwa mereka sebenarnya memiliki sebuah sel yang dinamakan sel cinta?
Peranku sebagai sel cinta mudah. Tak serumit teka-teki bagaimana Spongebob bisa mandi di dalam laut. Aku—sebagai sel cinta- memberi nilai estetika bagi semua manusia. Agar mereka bisa mencintai, mengasihi dan merasakan semua rasa campur aduk itu ketika bertemu dengan seseorang.
Bisakah kau bayangkan kehidupan manusia tanpa sebuah cinta? Autobot di Transformer saja memiliki rasa kasih sayang pada sesama manusia.
Tugasku memang mudah. Kecuali jika sang majikan dimana tempatku berdiam telah kehilangan minatnya pada romansa, maka tugasku akan menjadi sedikit lebih rumit. Bagaimana tidak? Sebuah sel cinta akan mati jika selama satu tahun sang pemilik sel cinta tak juga berkencan, berkasih dengan siapapun.
Majikanku adalah Lim Seulong. Seorang pria yang telah membujang selama hampir satu tahun. Seorang chef di sebuah restoran di pinggir kota Seoul. Aku tak ingin bercerita panjang lebar, karena sebenarnya aku tak pintar bernarasi. Singkatnya, namja penyendiri ini awalnya berkencan dengan seorang gadis cantik bernama Ye Bom. Seulong mencintai yeoja itu dengan tulus—sangat tulus. Namun suatu hari, cintanya harus kandas. Sang yeoja menuturkan bahwa semua rasa yang pernah ia rasakan kepada Seulong telah hilang. Hanya selang beberapa minggu, yeoja itu memiliki namjachingu baru.
Seulong bukan tipe namja yang bisa jatuh hati dengan mudah. Sehingga ketika ia sakit hati pun, tak semudah itu baginya untuk memulai kembali sebuah hubungan asmara.
Aku, sebuah sel cinta dari Seulong, menjadi saksi bisu atas kehidupan asmaranya.
Tanggal lahirku, 28 Januari 2014. Satu setengah tahun yang lalu. Sebuah love cell memang terlahir ketika pertama kali sang pemilik tubuh merasakan cinta. Dan saat itu, yeoja pertama dan terakhir yang dapat kulihat bersama Seulong adalah yeoja itu, Yebom.
Yeoja pertama dan terakhir yang Seulong pernah cintai.
Aneh memang, jarang bagi seorang manusia baru sekali merasakan cinta dalam hidupnya.
Hidup tanpa rasa cinta itu tidak apa-apa?
Apa memang begitu?
Tapi bagaimana bisa Seulong yang awalnya bekerja sebagai seorang chef di sebuah acara Televisi kini harus turun tingkat menjadi seorang chef biasa di restoran pinggiran di Seoul karena sang director dan sutradara merasa Seulong tidak bisa seperti dulu lagi?
Tak hanya itu, berita terbarunya, kepala restoran tempat Seulong bekerja memecat Seulong karena merasa masakannya terasa tidak enak lagi semenjak Seulong putus hubungan dengan kekasihnya?
Dalam keadaan seperti ini, sebuah sel cinta harus bekerja lebih ekstra lagi..dan bahkan sel cinta sepertiku akhirnya mengupgrade kemampuanku menjadi lebih lagi.
“Hei lihatlah yeoja di sana itu. Bukankah ia lumayan? Stylenya juga glamour..”
Aku bahkan mengupgrade kemampuanku sebagai love cell untuk bisa berbicara dengan majikanku sendiri. Aku membuatnya bisa mendengar apa yang ingin kukatakan.
“Bwo? Bukankah baru saja ada yang berbicara? Dan suaranya berasal dari kepalaku. Ahahahaha maldo andwae! ”
Seulong berjalan sedikit tidak tegak. Alkohol telah memenuhi pembuluh darahnya, mempengaruhi setiap saraf yang mempersarafi alat geraknya.
“Aigoo...Baru saja kau melewatinya.”
“Bwo? suara itu datang lagi.”
“Yaaaa! Carilah yeoja lagii.. dan bercinta dengannya. Jika kau tak segera menemukannya, satu bulan lagi kau benar-benar tidak bisa merasakan cinta.”
Seulong memukul pelan kepalanya dengan tangan. “Bukan dia! Yang kuinginkan hanyalah...”
BUGH.
Seulong terjatuh—setelah tubuh proporsionalnya bertemu dengan keras dengan tembok bangunan pertokoan di pinggir jalan ibukota Seoul.
Kepalanya terasa berat, diikuti dengan kesadarannya yang menghilang.
“Yaaaa bangunlaah!! Kau harus segera menemukan kekasih sebelum aku matii!!”
Aku terus berteriak di dalam kepalanya—namun sepertinya ia tak akan mendengarkanku.
Padahal waktuku tinggal sebulan lagi...Bagaimana pun, aku peduli padanya. Aku tak ingin Seulong akan hidup tanpa bisa merasakan cinta, kasih sayang.
Seulong adalah diriku, dan diriku adalah Seulong. Aku telah merasa menyatu dengannya, selama satu setengah tahun ini.
Aku harus segera memutuskannya, tawaran dari Woobin—dewa Sel Cinta yang telah mengatur regulasi dari sel cinta.
“Kau bisa berubah menjadi manusia. Itu adalah cara termudah untuk mempertahankan hidupmu, dan mempertahankan sel cinta yang dimiliki oleh majikanmu.”
Aku sempat goyah. Batinku sedang dalam perdebatan panjang. Ricuh. Rasanya seperti ingin meledak. Bagaimana pun juga, aku tak ingin Seulong terus hidup seperti ini.
“BOOM”
Aku pun memutuskan untuk menjadi manusia. Dan waktuku tinggal setengah bulan lagi. Waktuku akan selalu berkurang menjadi setengah setiap kali aku mengupgrade kemampuanku.
Seulong selalu melakukannya—ketika Yebom mabuk. Ia selalu memapahnya, dan menghentikan sebuah taxi. Aku pun mengangatnya—kuakui, kurasa otot-ototnya mendominasi berat badannya. Aku kewalahan, namun setiap kali melihat wajah Seulong, aku selalu bisa tersenyum dan keluhan yang terasa akan keluar dari tubuhku rasanya tertahan.
“Kawasan rumah Flat di Cheong-du.” pesanku pada sang sopir.
Aku tak sengaja melihat ke sebuah rear mirror ketika mengatakannya. Terlihat bayanganku di sana. Aku telah benar-benar berubah menjadi seorang manusia.
Bukankah itu hebat?
Aku tersenyum sendiri melihatnya.
Setelah bersusah payah membopongnya hingga ke dalam kamarnya, kuambrukkan tubuh Seulong ke kasur super empuk itu. Ia hanya ber-ngeh pelan. Lalu kembali diam.
Kujongkokkan badanku di samping bed, kuamati wajah tenang miliknya. Kudalami terus wajah itu—aku menyentuhnya pelan. Senyum tak terasa terukir ketika aku melakukannya.
“Bahkan wajahmu ketika sedang tertidur lebih terlihat bahagia..” ujarku pelan.
Dan aku pun tertidur di sampingnya.
Hitam. Lalu menjadi putih. Sebuah padang rumput.
Selama aku menjadi love cell, ketika Seulong tertidur, aku akan bertemu dengan Woobin—Sang Dewa Love Cells. Dia akan memberiku banyak pengetahuan tentang percintaan dan beberapa peraturan yang kadang aku malas mendengarkannya.
Karena saat ini aku telah menjadi manusia, bolehkah aku berharap aku akan bermimpi bersama dengan majikanku?
Ah.
Aku menyesal pernah berharap begitu.
“Kau telah menggunakan kemampuanmu untuk menjadi manusia.”
“Aku tahu itu.” balasku pada Woobin. Dia menunjukkan seringai. “Lalu?” Kurasa aku terdengar kurang sabar. Terang saja aku bersikap begitu... Seringainya menandakan tiga perkara: 1. Ia menemukan sebuah hal yang menarik, 2. Ia ingin memberitahu hal yang mengejutkan padaku 3. Aku akan mendengarkan sesuatu yang kurang menyenangkan.
Ia mengajakku duduk sebelum ia akhirnya bercerita.
“Dahulu, ada sebuah sel cinta yang jatuh cinta pada majikannya. Begitu juga sang majikan. Mereka saling mencintai. Sang sel cinta saat itu sudah berwujud manusia dan mereka saling mencintai. Sang sel cinta akhirnya harus mati karena pemiliknya terlambat menyadari rasa sukanya itu pada sang love cell yang berwujud manusia, juga ia gagal dalam memiliki kekasih baru lagi. Pada akhirnya, sidang antar dewa cinta diadakan dan kini dibuat kebijakan baru.”
“kebijakan baru?”
Woobin menengok ke arahku—wajahnya penuh dengan kejutan. Untuk kali pertamanya aku dapat melihatnya tersenyum.
“Kebijakan baru para dewa cinta adalah...sebuah sel cinta dan majikannya bisa saling mencintai dan..”
“Dan?”
“Dan sang love cell akan tetap menjadi manusia jika sang majikan juga mencintainya. Jika tidak, maka sang love cell akan mati. Jadi..”
“Jadi?”
“Kau memiliki dua pilihan Yoojung-a. Buat Seulong kembali ke kekasihnya yang dulu, atau buat Seulong jatuh hati padamu.”
“AAACCCKK” suara bass-tenor itu menyambut telingaku. Kuangkat kepalaku dan kubuka mataku dengan perlahan.
Mata Seulong membulat melihatku.
“Siapa kamu dan apa yang telah kau lakukan di sini?”
Kukedipkan mataku. Lalu aku tersenyum geli. Dia terlihat sangat lucu. Biasanya aku hanya bisa melihatnya melalui cermin ketika ia sedang berkaca.
“Mengapa kau tertawa mesum seperti itu? YAAA.”
“Waeee.. Aku hanya mengantarmu. Kau mabuk dan terjatuh di tengah jalan kau tak ingat, eoh?”
Kami bertengkar. dan aku menikmatinya. Pada akhirnya, ia mengingat-ingat kembali dan mengakui bahwa dirinya memang mabuk.
“Aku tak melakukan apapun padamu, kan?” tanyanya agak ragu-ragu. Minuman isotonik yang berada di genggamanku pun terhenti di udara.Aku memutuskan untuk meminumnya nanti.
Kutundukkan kepalaku. Aku tak ingin diusir, kalian harus tahu itu. Sehingga, setidaknya aku harus membuat sebuah drama.
“Umm...Seulong-ah...Kau mungkin tidak ingat...Akan tetapi..Ketika kesadaranmu menghilang...Aaah...Mungkin kau sudah melupakannya...Kejadian kemarin malam..”
Dari sudut mataku sudah terlihat, wajahnya yang terkejut. Begitu menggemaskan.Meski begitu, aku terus saja berakting—seolah apa yang kulakukan sudah benar, menipunya seperti ini.
“Jadi, kita telah bermalam bersama? Benar-benar bermalam bersama sesama orang dewasa?”
Aku menunjukkan wajah malu-maluku. Well, yang ini tidak sepenuhnya akting. Karena bagaimana pun juga wajahku memerah ketika mendengar kalimat yang Seulong ucapkan.
“Parahnya aku tidak menggunakan kontrasepsi apapun?”
Aku mengangguk.
“Aku akan mengantarmu pulang.”
Seulong menarik tanganku—aku menepisnya. “Aku tidak memiliki rumah. dan aku tak berani untuk pulang...Tak ada lagi yang bisa kuharapkan...”
Dengan begitu, ia membiarkanku di rumah ini selama beberapa hari.
Kami begitu canggung awalnya namun lama kelamaan, kami terbiasa.
Saat ini status Seulong adalah seorang pengangguran—akan tetapi uang penghasilan lamanya masih bisa untuk menghidupinya beberapa bulan ke depan.
Namun begitu, Seulong tak pernah melihatku sebagai seorang yeoja. Ekspresinya selalu datar. Ia membiarkanku tinggal bersamanya karena ia percaya dengan ceritaku saja. Sampai sekarang pun ia terus berkeyakinan seperti itu. Sama sekali tak terlihat ada rasa lain.
Ia melakukannya semata-mata demi tanggung jawabnya. Such a gentleman..Tapi tetap saja, aku merasa ada yang kurang.
Tapi, pantaskah love cell sepertiku menuntut lebih? Bisa seperti ini dengannya saja aku harus bersyukur seratus kali sehari.
“Masih mual? Apakah obat morning sickmu habis?” Tanyanya padaku. Wajahku terlihat memerah—itu pasti. Entah mengapa aku menikmati semua kepura-puraan ini. Dosakah aku menikmatinya?
“Aa—aku lupa sepertinya..Aku akan meminumnya sekarang.”
“Baiklah. Aku akan pergi sebentar.”
Aku mencekal tangannya, tak ingin ia pergi begitu saja.
“kemana?”
“Pekerjaan baru.”
“Dimana?”
“Hanya part time di sebuah minimarket. Aku akan kembali petang nanti.”
Ia lalu menunjukkanku punggungnya lagi. Tanpa sebuah senyum seperti biasa.
Walau sebenarnya bukan itu yang kuharapkan..Bukan itu yang ingin aku tanyakan.
Salahkah aku jika mengharap ia mencium dahiku seraya mengucapkan “Jaga dirimu dan kesehatanmu baik-baik, Yoojung-a.”
Well...mimpimu, Kim Yoojung! Bisa berada dekat dengannya saja aku sudah sangat bahagia.
Sudah seminggu.
Aku masih terus menghitung hari.
Waktuku seminggu lagi.
Tak terasa, semua hari hampaku dengan Seulong berlangsung begitu saja.
Aku melangkah menuju dapur. Seulong kemarin membeli beberapa lobak. Naluri wanitaku muncul. Aku ingin membuatnya terkesan. Memasak sebuah kimchi adalah pilihanku.
Kubuka lemari kecil itu satu per satu. Mencari perkakas memasak dan bumbu-bumbu dapur.
Tak lama, aku menemukan sebuah buku agenda kecil. Kubuka perlahan satu per satu. Ku tersenyum ketika melihatnya. Seulong benar-benar seorang chef yang berdedikasi tinggi. Ia mencatat semua resep yang pernah ia coba. Bahkan ia menjelaskan begitu rinci setiap manfaat dari bumbu yang ada di resep makanannya.
Namun tak lama, hatiku serasa diremas.
‘Kimchi YeLong (Yebom Seulong) <3’
Buku itu terjatuh begitu saja..Aku mundur..Terus mundur..Tanganku kusandarkan pada counter dapur.
“Kau memiliki dua pilihan Yoojung-a. Buat Seulong kembali ke kekasihnya yang dulu, atau buat Seulong jatuh hati padamu.”
Seharusnya aku membuat mereka berdua kembali, bukan? Mengapa aku begitu egois?
Ku tak peduli dengan pisau yang ternyata telah mengiris tanganku. Aku terus menangis.
“Aku hanya mencoba untuk memasak.”
Ternyata ia marah, tatkala ia tahu luka yang cukup besar di tanganku.
“Sudah kubilang bukan untuk tidak berbuat macam-macam dan jaga diri baik-baik di rumah?” nadanya meninggi.
Sesungguhnya, aku bingung. Apakah aku harus bersedih, atau senang.
Aku senang ia mengkhawatirkanku, marah padaku.
Namun di sisi lain, aku sedih.
“Kapan kau mengatakannya padaku? Kapan, Seulong-a?!! Kau terus saja menunjukkanku wajah dingin itu. Meskipun aku selalu berusaha ada untukmu. Merawatmu. Menghiburmu selama satu minggu ini.”
Aku ingin meneriakkannya kencang—namun tak sampai.
Hanya air mata lah perwujudan dari perasaanku sekarang.
Akhirnya, aku memutuskan untuk senang akan reaksi dari Seulong.
Merasa dikhawatirkan adalah hal yang sangat lebih bagiku.
Melihatku menangis, ia mendekat. Wajahnya melunak. Ia berhenti memarahiku.
Ia merengkuhku—seakan aku adalah benda terrapuh sedunia.
Ia mengelus rambutku pelan—memberikan sensasi yang luar biasa ke seluruh tubuhku. Menjadi manusia memang sebuah hal yang menakjubkan.
“Ullijima...Lain kali, berhati-hatilah. Apakah aku harus memberitahumu bahwa kau tidak boleh terluka? Bayi di perutmu membutuhkanmu. Kau harus tahu itu.”
Seulong-a, mengapa kau begitu baik? Aku menjadi merasa tak pantas untuk menyandingmu, apalagi menatap matamu.
Tapi bolehkah aku menjadi sedikit egois?
Sudah delapan hari aku bersamanya.
Sudah sehari setelah kejadian di dapur itu.
Aku mendekap erat tubuhnya. Kutahu saat ini ia sedang berada di alam mimpinya. Tak apa ia tak pernah memandangku ketika kami tidur bersama, aku akan selalu memeluknya dari belakang. Punggungnya begitu lebar, dan hangat.
Ah, kemarin ia akhirnya megajariku beberapa resep masakan.
Aku kembali mengingatnya.
“Bwo? Kau tahu kebiasan memasakku?”
Tentu saja ia terkejut. Ia tentu saja tidak tahu bahwa aku setiap hari melihatnya memasak—ketika diriku masih berada di dalam tubuhnya dan tidak bisa melakukan apapun.
Mataku melebar seketika. Dapat kurasakan tangan Seulong memegang tanganku.
Mataku berbinar. Mungkinkah...
“Yebom-ah. Kajima!”
Oh, tidak.
“Kita akan makan di luar. Bosan juga harus makan di rumah terus menerus.”
Bahkan seorang chef sepertinya berkata seperti itu.
Aku pun mengangguk—dengan sangat riang. Karena tentu saja, ajakan Seulong berarti satu bagiku.
Sebuah kencan!
Aku harus berdandan secantik mungkin, bukan!
Oh, well...Aku saat itu meminta Woobin untuk membelikan beberapa kebutuhanku ketika berada di alam mimpi.
Dia mengungkapkan bahwa kali ini gratis—tanpa pengurangan umur. Ternyata dia bisa baik juga...
Aku benar-benar tak bisa mengungkapkan perasaanku. Seulong bahkan menggunakan salah satu pakaian terbaiknya. Pakaian yang menyesuaikan bentuk tubuhnya yang benar-benar proporsional.
click next page